2005. Saya ingat, untuk pertama
kalinya saya mulai memproklamirkan diri bahwa cita-cita saya ingin menjadi
‘penulis’.
Cita-cita yang tercetus dari
mulut seorang anak berusia tiga belas tahun pada saat itu. Menulis adalah hal
mendasar untuk setiap manusia, sejak kecil, saya meyakini, semua manusia
diajarkan untuk menulis. Menginjak remaja, ketika satu hari saya di pinjami
sebuah buku yang disebut teman saya novel, saya tidak suka membaca apalagi
menulis, tapi, teman saya terus saja menyodori novel ‘tebal’ itu kepada saya.
‘Oke. Oke. Gue pinjam!’ kata saya
akhirnya, novel itu saya bawa pulang, enggak untuk dibaca, tapi saya biarkan di
dalam tas sekolah. Satu malam, hati kecil saya memerintah untuk membuka novel
tersebut, dan saat itu pula, ketika saya membaca halaman pertama dan
seterusnya, saya seperti tersedot ke dalamnya. Saya masuk ke dunia yang
berbeda, dunia seorang penulis. Setelah rampung membaca novel itu, selanjutnya,
membaca menjadi kegemaran saya. Seperti yang sering dikatakan kebanyakan orang,
biasanya orang yang gemar membaca, senang juga untuk menulis. Pelan-pelan, saya
mencoba menulis, menulis yang enggak biasanya saya tulis. Menulis sebuah
cerita, cerita panjang dengan tokoh-tokoh yang saya ciptakan sendiri. Sampai
detik ini, menulis, menjadi bagian tak terpisahkan dari diri saya.
Kata Dee Lestari, tulislah apa yang ingin kamu baca. Jangan menulis sesuatu yang kamu sendiri tidak mau membacanya. Misal begini, kamu menulis sebuah novel, ya tulislah novel yang memang ingin kamu baca. Nah, setidaknya, ketika novel itu terbit dan ada di toko-toko buku, maka novel tersebut sudah memiliki satu pembaca dan satu pembeli. Yaitu diri kamu sendiri, penulisnya.
Hampir dua tahun ini, saya
beruntung karena memiliki satu pembaca setia. Katanya, apapun yang saya tulis,
dia akan membacanya. Setidaknya, sejak saat itu, saya sudah memiliki dua
pembaca pasti. Saya sendiri dan dia.
Namanya Hardi. Saya bertemu
dengannya di satu perjalanan sekitar akhir maret 2013 silam. Saya tidak tahu
apakah dia sungguh-sungguh pembaca saya atau sekadar ingin memberi saya
semangat agar tidak pernah berhenti menulis. Saya menyebutnya pembaca bawel,
karena kadang, dia begitu berlebihan menagih tulisan saya. Bawel yang saya
syukuri. Pernah satu waktu, saya buru-buru menulis sekadar untuk menjawab pesan
yang di kirimnya. Hah, dia seolah editor yang memberikan tenggat waktu kepada
saya selaku penulisnya. Tapi saya tetap mensyukurinya, karenanya, saya selalu
merasa kalau di luar sana ada yang sedang menunggu tulisan saya. Itu sudah
lebih dari cukup bagi seorang penulis.
Jika ditarik ke belakang, begitu
banyak drama yang saya lalui sejak mulai memutuskan untuk menjadi penulis.
Sangat banyak sekali. Tentang impian maju mundur, impian seorang anak yang
terbatas fasilitas. Impian seorang buruh yang terhalang waktu. Sampai kepada
impian seseorang yang tidak memilki keyakinan akan mimpinya sendiri. Lalu jika
sudah sejauh ini, alasan apa yang membuat saya harus berhenti apalagi mundur?
Menulis bagi saya adalah
memungkinkan segala ketidakmungkinan. Banyak hal yang memang tidak bisa di
katakan atau di sampaikan secara langsung, mungkin, di tuliskan akan
tersampaikan dengan cara yang tepat.
Di tahun 2015 ini, saya mempunyai
tiga buah buku. Satu buku karya saya sendiri, dan dua buku lainnya karya
bersama. Ketiga bukunya saya terbitkan sendiri melalui nulisbuku. Sungguh,
mewujudkan impian menjadi nyata memang sebuah kebahagian tak terhingga. Tapi
maukah kamu saya beritahu yang lebih daripada itu?
Menjadi sebab mimpi seseorang menjadi nyata, itulah jawabannya.
Satu per satu penulis, yang siapa
mereka? mempercayakan naskah mereka kepada saya. Naskah-naskah yang nyaris
membuat saya mual karena harus membacanya berulang-ulang. Mual karena pusing
dengan tumpukkan naskah tersebut, ini memang bukan pegangan saya, saya penulis
yang sedang berperan menjadi seorang editor. Keluar dari jalur yang seharusnya.
Tapi bukankah tidak ada larangan untuk mencoba segala yang baru?
Satu per satu, email saya terima.
Email dari mereka yang dengan sepenuh hati mengucapkan terima kasih karena impiannya menjadi seorang
penulis telah terwujud dengan adanya buku tersebut. Tidak ada kalimat lain yang
saya lontarkan selain ‘teruslah menulis dan berkarya’.
Lalu jika saya bisa menuliskan
kalimat itu dan mengirimnya ke banyak orang, katakan pada saya, apa saya pantas
untuk berhenti?
JANGAN PERNAH BERHENTI NULIS
BalasHapusNULIS TERUS POKOKNYA
ADA PEMBACA MU YG BAWEL DI SINI