Bali. Katanya, bukan orang Indonesia namanya kalau belum menginjakkan kaki di Bali. Ada juga yang bilang, Indonesia identik dengan pulau dewata tersebut. Anything, semua orang bebas beropini.
Dalam list kota-kota yang ingin saya kunjungi, tidak ada BALI disana. Entah saya lupa, atau saya memang tidak berniat untuk mengunjunginya, saya tidak ingat. Tapi, langkah kaki membawa saya sampai di pulau yang penuh turis tersebut, dua hari saya menghirup udara pulau dewata.
Tengah malam, kapal perry yang membawa saya menyebrang dari pelabuhan Gilimanuk (Lombok) ke Padang bay (Denpasar) menepi dengan lembut, setelah kurang lebih lima jam saya menikmati perjalanan laut yang begitu luar biasa romantis, tidak, romantis tidak melulu harus bersama kekasih, bukan ? saya rasa tidak salah kalau saya menganggap perjalanan laut Gilimanuk-Padang bay itu romantis, bagaimana salah, saya terbaring di bangku kayu yang berada di tengah dek kapal, saya berada tepat di pertengahan, laut dan langit. Suara ombak dan deru angin yang begitu merdu terasa syahdu dengan pemandangan langit gelap yang tergelar apik di terangi cahaya bintang beserta bulan. Berkali, saya takjub dengan maha karya Tuhan yang tidak pernah biasa, sungguh, malam itu adalah perjalanan laut pertama saya yang tak akan pernah terlupakan. Jono tidak henti menyuruh saya untuk berpindah, masuk ke dalam kabin dan istirahat disana. Saya menolak, angin laut memang tidak begitu bersahabat, namun entah, saya merasa kalau malam itu tubuh saya justru ingin menyambut dinginnya hawa malam. Setelah membungkus tubuh saya dengan jaket tebal milik Jono, saya tetap ingin berada di dek kapal. Hardi sudah menghilang sejak beberapa jam, ia memilih kabin sebagai tempat peristiharatan. Jono masih kuat terbaring di bangku sebelah saya, ia sibuk menonton film. Tepat segaris lurus di depan saya, Ipul terlelap di atas bangku yang ukurannya sama, ia nyenyak dengan seluruh tubuh yang terbungkus.