Rabu, 19 Juni 2013

Pelopor, maaf, kalau saya harus berkata 'saya masih terjajah'


Bekasi,           Juni 2013

Yth.
Sang pelopor,
Bung Karno


Salam kenal dari saya, seorang buruh pabrik yang bermimpi menjadi seorang penulis.

            Hai Bung ! Ah, kedengarannya tidak sopan. Apa saya harus menyapa dengan panggilan ‘Anda’ ? Ah tidak juga, itu terlalu formal. Bagaimana kalau ‘Eyang’ ? Ya, ya, kita memang jauh generasi. Tapi kedengarannya pun terlalu akrab. Izinkan saya menyapa dengan panggilan ‘Pelopor’. Hai Pelopor ! Nah, ini baru cocok.
            Pelopor. Kau tahu, saya sama sekali tidak pernah benar-benar mengenalmu. Tapi saya tahu kalau pelopor lahir pada tanggal 6 Juni 1901. Iya, saya mencari tahu di ‘mbah’ google. Kenapa ? pelopor pasti tidak kenal dengan ‘mbah’ tersebut. Lupakanlah !  Pelopor, kita memang berbeda generasi yang cukup jauh. Pelopor ada di generasi 1901 dan saya ada di generasi 1990. Ah, jauh sekali. Dan ketika pelopor pergi pada tahun 1970, entah ada di mana saya saat itu. Tidak perlu di pikirkan, karena jawabannya pun tidak akan ada.
            Pelopor. Boleh saya jujur padamu ? Kau benar, jika kau melarang pun, saya akan tetap mengatakannya. Kau patut bangga karena memiliki rakyat seperti saya. Tidak berlebihan, karena saya pun bangga memiliki pelopor seperti dirimu.
            Pelopor. Ada satu hari dimana saya menonton sebuah film karya anak bangsa, dan di dalamnya saya menemukan sebuah petuah darimu. Saya masih jelas mengingatnya, ‘seribu orang tua hanya mampu bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia’. Seketika, semangat saya mendidih, entah dari mana datangnya, darah saya mengalir begitu cepat dan hati saya terasa sangat yakin. Saya pemuda. Berarti saya bisa mengubah dunia.