Minggu, 30 November 2014

9 di 23

“Kamu bawa CV ?” gue mengangguk ketika seseorang yang baru gue temui setelah dua jam mondar-mandir di salah satu rumah sakit swasta terbesar di daerah bekasi menyapa gue dengan tatapan heran. Beberapa orang yang ada di ruangan bertulis ‘ruang gizi’ di depan pintu itu spontan menatap ke arah gue.
“Iya. Saya di suruh nemuin ibu Mita (nama samaran) di bagian gizi” jelas gue santai.
“Kamu mau ngelamar kerja ?” gue ngangguk sekali lagi mendengar suara yang keluar dari sosok wanita setengah baya berseragam serba putih.
“Enggak ! Saya enggak mau ! Saya enggak mau nerima. Kamu, kalau mau ngelamar kerja yang sopan dong. Pakai kemeja putih, bawahan hitam. Pulang sana. Besok kesini lagi ! Pakai pakaian yang sopan. Masa ngelamar kerja pake beginian ? mau kemana kamu ?”

Kamis, 13 November 2014

5 MENIT

“Ay, itu anak-anak lagi pada ngomongin eloh. Mereka bilang kalau yang ngambilin daleman yang lagi di jemur itu eloh. Terus ada juga yang bilang, katanya eloh yang tiap malem ngeraba-raba badan anak-anak, soalnya, kan, eloh doang yang enggak punya pacar diantara kita. Tapi gue .. gue percaya, lo─”

“STOP ! Anjirrrrrrr ! gue di fitnah ! brengsek ! ini pasti si Annabelek yang nyebar gossip. Biar gue santet tuh orang sampe mampus !”

Kalau gede nanti, gue mau jadi cantik.

Susan, susan, susan
Besok gede mau jadi apa
Aku kepingin pinter
Biar jadi dokter

Nah, Susan aja punya cita-cita. Ya, masa gue enggak. Zaman gue SD, gue selalu menulis ‘Presiden’ di kolom cita-cita (titik dua), karena di benak gue yang seorang anak kecil, Presiden adalah orang nomor satu di sebuah Negara. Kalau jadi Presiden, gue enggak punya lagi atasan. Semua terserah gue. Selesai.

Selasa, 04 November 2014

Pernah ada

Bedanya, dulu kita begitu lepas untuk sekadar tertawa bersama, pun bercerita. Tapi sekarang untuk bertegur sapa saja seperti ada rasa sungkan.
Jujur, sebulir air menetes dari sudut mata saya ketika membaca personal messenger yang ada di dalam contact aplikasi android milik saya. Salah seorang teman menuliskan dua kalimat tersebut. Tak peduli kalimat itu di peruntukkan untuk saya ataupun tidak, saya tak memikirkan hal itu. Namun, sepercik kerinduan melesat tak terelakkan. Ingatan saya menyusup, memaksa untuk memutar mundur canda tawa ataupun duka lebay di masa lalu. Masa dimana semua selalu baik-baik saja, masa dimana kecanggungan tak perlu berperan sebagai pembatas, masa dimana waktu selalu tak pernah habis untuk di lewati bersama.