Jumat, 27 September 2013

EDUKASI yang tak terdapat dari sekolah ataupun skripsi !


Selasa, 24 September 2013.

“Gue bahagia hidup di dunia ini.”

Kalimat pembuka yang sangat manis. Ya, begitulah cara gue berterima kasih kepada Tuhan, menikmati kesempatan yang diberikan-Nya, hidup di dunia ini.

Malam ini, enggak tau kenapa, gue ngerasain aliran rasa bangga sama diri gue sendiri. Enggak berlebihan, mungkin hal itu terjadi karena gue bisa tersenyum ditengah amarah yang sedang menggebu saat ini. Ya, suatu rasa yang benar jika dikatakan ‘perasaan paling enggak enak sedunia’, SESAL.

Winna Efendi menuliskan perasaan menyakitkan itu dalam bukunya yang berjudul Melbourne, baru tadi sore gue baca di perjalanan sepulang kerja.

Buat gue, perasaan enggak enak sedunia adalah sesal. Apapun yang lo lakukan, lo enggak akan bisa menekan tombol rewind untuk kembali ke momen saat segalanya berubah. Lo enggak akan bisa naik mesin waktu atau memutarbalikkan jarum jam untuk kembali ke masa itu, untuk memperbaiki kesalahan yang lo perbuat, atau mengembalikan keadaan seperti sebelumnya.

Dengan menerima kenyataan, kita akan lebih mudah bergerak maju, mengecilkan ruang untuk rasa sesal.

LIFE NOT LIKE NOODLE, BUT LIFE LIKE a RENDANG


Versi Noodle.


“Aku Sayang sama kamu, mau gak jadi pacar aku.” Markum menatap mata Encun dalam-dalam.
“Tapi bang, kita kan baru kenal seminggu.”
“Lah emang ngapa, orang abang suka sama eneng. Eneng juga suka kan sama abang ?”
Encum senyum-senyum malu, ya, dua manusia ini sedang kasmaran.
Sip. Mereka pun resmi jadian setelah seminggu perkenalan mereka.

Tiga bulan kemudian.

Jadi, abang mau kita putus ?
Sebuah pesan singkat masuk ke inbox Markum. Dengan penuh semangat, laki-laki bertubuh tambun itu mengetik kata-kata yang pas sebagai balasan.
Ini yg trbaik buat qt, neng. Neng trlalu baik buat abng. Abng gak pantes buat neng. Semoga neng dpt laki2 yg lbh baik dr abng. Amin. Maafin abng ya, neng.

Minggu, 22 September 2013

Dear me, Aya Nurhayani (Blogger Gathering #Terios7Wonders)


Imposibble. Mungkin para juri khilaf. Mimpi.

Perkiraan-perkiraan tersebut yang melintas dibenak saya, ketika Rabu, 18 September 2013 at 3.25 pm kemarin, mba Putri dari Vivalog menelpon saya. Saya yang saat itu baru bangun tidur karena habis kerja malam, shock berat ketika di kabari kalau artikel yang saya ikut sertakan di kompetisi #Terios7Wonders terpilih menjadi 25 finalis.

Deg.

“Mba serius ?” Tanya saya menegaskan.
“Iya. Saya mau minta biodatanya, kemarin udah di email ke imelnaya@yahoo.com.”
“Ooh, iya, iya, saya belum buka email.”
“Oh gituh, iya di tunggu ya mba datanya, soalnya jam empat mau saya kirim ke pihak Daihatsu.”

Klik. Setelah mengucapkan terima kasih, saya akhiri pembicaraan tersebut. Jam 4 ? Ini udah setengah 4 .. waduuuh .. saya bergegas menghidupkan pc, menancapkan modem dan duduk tegap di depan monitor. Tapi, ah .. pulsa modem habis. Saya pun menghubungi beberapa teman yang menjual pulsa, tapi lagi-lagi tidak ada respon dari mereka. Entahlah. Akhirnya, saya memutuskan untuk berjalan kaki ke warnet, ya .. saya tidak bisa mengendarai motor, oleh karena itu saya jalan kaki.

Sekitar pukul empat kurang lima belas menit saya sampai di warnet, duduk depan pc dan mulai membuka email. Ya. Benar sekali, ada email yang dikirim dari  putri.megasari@viva.co.id . Dengan cepat saya unduh attach-nya dan saya isi form yang ada di file tersebut. Selesai. Saya kirim form yang telah terisi sebagai balasan.

Sabtu, 14 September 2013

KESIANGAN PAGI ITU ..


Konsekuensi, hal itu yang terlintas dalam benak gue ketika gue bangun kesiangan di pagi lalu. Selasa, 10 September 2013. Gue bangun lebih lama tiga puluh menit dari jam biasanya. Kenapa ? Karena gue baru tidur jam 03.30 am, dan bangun 05.32 am. Kisaran waktu yang lumayan buat istirahat, mungkin.

Ya. Hidup gue sudah terjadwal. Gue harus bangun jam segini, berangkat kerja jam segini, istirahat jam segini, makan jam segini dan pulang jam segini. Semua sudah tertata dengan rapih. Gue adalah pekerja yang terikat dengan semua ketentuan yang ada. Dan gue sadar akan hal itu.

Tapi, ada protes khusus dalam hati ini. Impian. Ini tentang impian.

05.30 am, adalah waktu gue untuk berangkat kerja, dan 04.30 pm pekerjaan gue di hari itu selesai. Begitu setiap harinya. Gue bukan tipe orang yang puas hanya dengan bekerja, makan, tidur dan kembali lagi bekerja. Entahlah. Rasanya hambar.

Kamis, 12 September 2013

CIKARANG-CAWANG-BEKASI-JOGJA


Ini bukan cerita destination gue yang keren. Ya. Bukan sebuah perjalanan yang patut untuk dibanggakan. Absurd. Ini adalah kisah kesasaran gue untuk kesekian kalinya.

Akhir Juni lalu, tepatnya hari rabu 26 Juni 2013. Gue berniat untuk eksis di salah satu café di daerah Cikarang. deBangoorcoffe nama tempatnya. Letaknya ada di gemah lapik (Cikarang ), keluar pintu tol cikarang, sederet dengan Boutique hotel.

Setiap rabu malem, atau malem kamis jam setengah delapan sampai menjelang tengah malem, café ini ngadain acara openmic. Iya, stand up comedy gitu. Betul. Gue pengin coba tampil, ya, gue gemes aja kalo ngeliat orang-orang openmic gitu, bawaannya pengin coba tampil. Dan dengan kepercayaan diri yang udah di atur bener-bener, gue pun niat eksis di sana malem itu, bareng anak-anak @standupcikarang.

Senin, 09 September 2013

Pulang kota


cerpen ..

“Nyak, lebaran taun ini Udin ikut mpo Romlah ya. Mudik ke kampung suaminya.” Udin yang baru saja pulang kerja, duduk di kursi yang ada di dapur. Mengganggu enyaknya yang lagi sibuk menyiapkan hidangan untuk berbuka. Ya. Lebaran seminggu lagi, suasananya sudah mulai tercium. Udin yang lahir, tumbuh dan hidup di Bekasi belum pernah merasakan yang namanya mudik. Kebiasaan yang selalu menjadi trending topik ketika lebaran.
“Lu mau ninggalin enyak sama babeh ? Mpo lu mah udah nikah, wajar ikut suaminya. Nah lu ? Pengen kemana selaen di sini ? Pan, lu lahir ame gede disini. Pengasinan !” Enyak Rodiah mengangkat sayur lodeh yang masih mengebul, menuangnya di mangkok besar yang terletak di atas meja makan, di dapur.
“Delapan belas taun Udin idup disini. Udin udah gede, Udin udah kerja sembari kuliah. Udin pengen ngerasain pulang kampung, kayak orang-orang.” Udin adalah anak bontot dari lima bersaudara, empat kakaknya perempuan dan masing-masing sudah menikah, sudah meninggalkan rumah berhalaman besar itu. hanya tersisa Udin, Enyak dan Babehnya.
Allah hu akbar … Allah hu akbar …
Adzan maghrib berkumandang, menutup pembicaraan sore itu.
“Udeh, batalin dulu puasanye. Abis ntu mandi, solat teraweh. Pan ni malem, bebeh lu jadi imam. Sono mandi, enyak mau nyiapin bukaan.”
Udin kesal. Laki-laki bertubuh tambun itu bangkit dari duduknya, masuk ke kamar mandi.

Di sentil UPIL ..



Seorang wanita setengah baya hidup di kota Bandung dalem. Ia tinggal dengan tiga anaknya yang tiga-tiganya autis (kelainan pada saraf otak). Ibu tiga anak itu adalah tulang punggung keluarga kecil tersebut, ya, sudah lama suaminya lepas tanggung jawab dan meninggalkan dirinya serta tiga anaknya begitu saja.

Sebut saja Suyem, nama wanita setengah itu. Suyem bekerja di sebuah hutan Aren yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalnya, dan ia membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam untuk sampai ke tempat yang menjadi sumber keuangannya. Tapi satu hal, enggak pernah sama sekali ia mengeluh dengan semua kondisi yang ada. Ia sadar, bahwa Tuhan enggak akan pernah membebani hamba-Nya di luar kebatasan dirinya. Dan saat ini, yang hanya ingin ia lakukan adalah “Bagaimana untuk bisa terus bertahan dan menjaga tiga buah hatinya ?” Ya. Hanya itu yang ada di dalam benaknya.

Kamis, 05 September 2013

GAGAL TRAVELER


GAGAL TRAVELER

Pecah.

Satu kata itu mewakili semua yang gue rasain. Pecah harapan gue, berlibur sambil menghibur diri. Pecah harapan gue, ngelepas penat yang ada di benak gue. pecah harapan gue, jalan-jalan kecil di sisi pantai. Pecah. Pecah. Pecah.

Hari ini, sabtu 31 Agustus 2013. Gue gagal traveler, lagi.
Ya. Sebenernya emang udah gagal dari sebelum-sebelumnya, niat gue, hari ini gue berangkat ke sawarna dan menikmati maha karya Tuhan yang ada di sana.
Tapi. Seminggu sebelum rencana perjalanan yang gue yakin bakalan indah akhirnya, semua udah jelas bakalan gagal.

Pertama, ke Sawarna itu akses jalannya susah. Dan gue pengin punya cerita lain dengan cara sampe sono ngecer. Kebelaguan ! Dan, betul, saran yang gue terima dari orang-orang yang beruntung pernah kesana, mereka bilang “Jangan naik angkot, kedalemnya jauh !” gue pun ciut.
Ke sawarna ngecer biar kece.