Versi Noodle.
“Aku Sayang sama kamu, mau gak
jadi pacar aku.” Markum menatap mata Encun dalam-dalam.
“Tapi bang, kita kan baru kenal
seminggu.”
“Lah emang ngapa, orang abang
suka sama eneng. Eneng juga suka kan sama abang ?”
Encum senyum-senyum malu, ya, dua
manusia ini sedang kasmaran.
Sip. Mereka pun resmi jadian
setelah seminggu perkenalan mereka.
Tiga bulan kemudian.
Jadi, abang mau kita putus ?
Sebuah pesan singkat masuk ke
inbox Markum. Dengan penuh semangat, laki-laki bertubuh tambun itu mengetik
kata-kata yang pas sebagai balasan.
Ini yg trbaik buat qt, neng. Neng trlalu baik buat abng. Abng gak
pantes buat neng. Semoga neng dpt laki2 yg lbh baik dr abng. Amin. Maafin abng
ya, neng.
Seminggu. Sebulan. Setahun. Mungkin Encum masih sering
nangis-nangis Bombay, masih sering kepo-in wall pesbuk Markum, Timeline Markum,
atau juga bau ketek Markum. #Eeeh.
Tapi fine, Markum malah enggak
inget kalau dia pernah pacaran sama Encum. Ya, maklum, usahanya gampang buat
dapetin si Encum. Gampang pula buat ngelupainnya.
Wassalam.
Versi Rendang.
“Sebenernya, udah lama aku mau
bilang ini. Tapi aku tau kalau kamu masih ragu sama aku. Tapi serius, aku
sayang sama kamu.” Fahri menelan ludah dengan susah payah setelah sukses meluncurkan
kata-kata yang menyesakkan dadanya selama ini. Lima tahun sudah ia menyimpan
dan berusaha setengah mampus untuk mendapatkan Aisah, gadis pujaannya.
Aisah tersenyum. Gadis itu diam
seribu bahasa, akan tetapi ingatannya berputar bagai slide foto yang sedang di
mainkan.
Lima tahun lalu.
Keduanya bertemu di acara Seminar
kampus, sejak awal, Aisah tau kalau Fahri menyimpan rasa padanya. Bagaimana
tidak, laki-laki itu enggak pernah absen untuk menghubunginya. Laki-laki itu
rela ujan-ujanan untuk menjemputnya pulang mengajar di rumah singgah. Masih
laki-laki itu yang melempar secarik kertas ke kamar kosannya ketika sinyal
provider lagi buruk. Fahri juga yang membelikannya semangkok bubur ayam ketika
ia sedang sakit. Ya, ia yakin kalau Fahri menyimpan rasa lebih padanya. Akan
tetapi, Aisah bukanlah wanita yang gampang memberikan hatinya pada seseorang. Dan
ia pun paham, kalau yang instant enggak akan pernah tahan lama.
Dan saat ini, Fahri pun
memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya.
“Kamu mau, jalanin hubungan sama
aku ?” Fahri melirik wajah Aisah yang sejak tadi tertunduk malu.
Aisah tersenyum, dan .. .. ia
mengangguk, guys. Iya. Fahri diterima !!! #Uyeeeeh.
Setahun kemudian.
“Aisah. Aku minta maaf, aku
enggak pernah bohong sama kamu. Maria itu hanya teman. Aisah ..” Fahri mengejar
Aisah yang berlari menghindarinya.
Aisah menghentikan langkah
cepatnya itu. masih membelakangi laki-laki yang selama ini ada di dalam
hatinya.
“Baiklah Aisah, aku salah. Aku
minta maaf.”
“Enggak ada yang perlu di
maafkan, aku mau sendiri dulu.”
Fahri memejamkan matanya, ada
hentakkan benda tajam tepat di dasar hatinya. Dan dalam hitungan detik, tanpa
menunggu jawaban Fahri, Aisah pergi begitu saja.
Seminggu. Sebulan. Setahun. Bahkan bertahun-tahun. Fahri tidak
pernah bisa melupakan Aisah. Walau, entah berapa kali wanita lain masuk dalam
hidupnya. Tapi hanya Aisah wanita yang di usahakannya dengan sungguh-sungguh.
Tujuh tahun kemudian.
“Assalammualaikum Aisah.”
“Fahri.”
“Iya. Ini aku, apa kabar kamu ?”
Aisah terdiam sejenak, jemari
yang sejak tadi sibuk menggoreskan huruf-huruf di papan tulis putih itu
mendadak kaku.
Aisah berdehem satu kali sebelum
menjawab “Alhamdulillah aku baik, kamu ?”
Fahri tersenyum, benarkah suara
itu nyata. Suara yang selalu dirindukannya.
“Aku juga baik.”
“Aisah.”
“Iya.”
“Apa kamu sudah menikah ?”
Aisah terdiam. Wanita bermata
sendu itu menarik napas panjang, masih terdiam.
“Jika belum, bolehkan aku menjadi
imam dalam hidupmu.”
Lagi-lagi Aisah terdiam.
“Ini pasti kak Fahri. Pacarnya
kak Aisah. Kakak ingat aku enggak ? Aku Aina, murid kak Aisah yang dulu sering
kakak ajarkan membaca Al-quran dengan lagu. Kakak ingat ?”
Fahri sedikit berpikir menatap
gadis remaja yang tiba-tiba menjadi penengah antara dirinya dan Aisah, dan ..
“Ya. Aina, kamu udah besar sekarang.”
Suasana tegang tadi mulai
mencair.
“Ya udah besar lah kak, kakak aja
udah kayak gini. Ini lihat, kak Aisah udah lama nunggu kakak.”
Deg.
“Aina.” Desis Aisah tegas.
“Kenapa kak ? Masih mau bohong
sama perasaan kakak sendiri ? Sampai kapan ?”
“Aisah. Jadi selama ini .. ..
Astaghfirullah al adzim ..” Fahri mengerti.
Ya. Ending yang mengharukan.
Keduanya pun menikah. Kesetiaan, usaha di masa lalu. Dan keyakinan akan apa
yang dirsakan oleh hati keduanya.
Cerita di atas itu, sekedar
contoh dalam urusan asmara. Tapi gue, mau menerapkannya dalam kehidupan. Bukan
hanya dalam percintaan, tapi dalam semua hal.
Life not like noodle, hidup
enggak seperti mie instant. Lo beli di warung, lo buka kemasannya, lo masukin
ke air yang mendidih, lalu terakhir, lo masukin ke mangkok, dan lo makan sampai
habis. Enggak gitu, guys. Life like is rendang, hidup itu seperti rendang. Lo
beli berbagai macam bumbu dapur, lo racik satu per satu, abis itu lo ulek pake
tenaga dalem sampe keringetan. Enggak sampai di situ, lo juga harus motongin
daging sapinya menjadi beberapa bagian, lo cuci sampai bersih, lo kasih jeruk
nipis biar enggak amis, dan lo tunggu untuk beberapa saat. Terakhir, lo masukin
semua bahan itu ke satu wadah. Dan lo harus sabar untuk mendapatkan rendang
yang lezat, lo harus nunggu beberapa jam, agar air yang ada di dalam wadah
tersebut mengering dan padat menjadi bumbu yang gurih. Selesai.
Rendang itu selesai lo masak. Lo
makan hari ini, bisa di simpan buat besok, besok lusa, bahkan sampai seminggu.
Begitulah kehidupan, guys. Lo
harus jatuh dulu, bangkit lagi, jatuh, terhempas, terinjak, berhenti sejenak,
lalu kembali bangkit, kemudian jatuh lagi. Tapi percaya, ketika lo memutuskan
untuk terus melanjutkan, maka lo belum gagal. Hanya saja, waktu ‘itu’ belum
tercipta buat lo. Tuhan enggak tidur, meski pun enggak ada orang lain yang tau
seperti apa usaha lo. Dia selalu memperhatikan apa-apa yang lo usahakan. Dan
Tuhan, enggak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang sungguh-sungguh.
Kalau lo belum mendapatkan apa
yang lo mau, mungkin lo kurang tekun. Coba lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi.
Karena kesuksesan yang
sesungguhnya ada pada prosesnya, bukan hasil !!
Jadi, hidup bukan seperti mie
instant, tapi hidup seperti rendang.
boleh tau no hp?kalo boleh kirim ke suyut23utomo@yahoo.co.id
BalasHapusthanks