Jumat, 31 Januari 2014

Pedagang asongan


Gambir, 2000

                Sebut saja pak Domeh, beliau adalah bapak–bapak setengah baya yang masih tangguh. Pak Domeh pedagang asongan di stasiun Gambir. Dia punya anak cewek satu–satunya dan masih sekolah dasar kelas dua. Bu Domeh, isteri pak Domeh hanya seorang buruh cuci yang di gaji bulanan, dan sayangnya majikan Bu Domeh sangat pelit dan tidak bisa di harapkan. Namun bu Domeh tetap bertahan untuk mengais rezeki yang halal.
                Suatu ketika, Imeh anak semata wayang mereka ingin mengikuti ujian dan di haruskan melunasi spp bulanannya dan tunggakkan lainnya sebesar empat puluh lima ribu rupiah. Bu Domeh dan Pak Domeh bingung, mereka sama sekali tidak mempunyai uang simpanan. Sedangkan waktu yang tersisa hanya satu hari.

                “Pak, gimana ini ? senin hari terakhir buat Imeh ngelunasin tunggakkan. Sekarang udah hari sabtu, tinggal besok doang pak. Apa Imeh enggak usah lanjut aja sekolahnya ?” Bu Domeh putus asa.

                “Bapak juga bingung bu, paling Bapak dapat sehari lima belas ribu. Buat makan kita, lima belas ribu juga udah kerja dari gelap.”

                “Terus .. gue harus bilang WOW gitu ?” Apalagi ini ? Enggak. Enggak gitu.

                “Terus ?” Gitu doang tanya bu Domeh.
                Dalam kegalauan kedua orang tersebut, tiba–tiba sang anak datang. Imeh baru pulang ngaji.

                “Assalammualaikum.”

                “Waalaikumsalam.”

Senin, 27 Januari 2014

S.E.I

Sei, begitu para penghuniku biasa menyebut namaku.

Juli nanti, usiaku genap tujuh belas tahun, usia transisi dari remaja beranjak dewasa. Usia yang selalu di tunggu-tunggu untuk suatu perubahan. Namun sayang, di usia ke tujuh belasku nanti, aku tak dapat merayakannya bersama para penghuniku lagi. Aku sedih. Jujur, aku sangat sedih.

Yang aku tahu, ditinggalkan sedikit lebih menyedihkan jika harus dibandingkan dengan meninggalkan.
Sepertinya tidak adil jika para penghuniku terus memakiku. Mungkin mereka sedang tidak ingat, kalau telah banyak hal yang di lewatinya bersamaku. Mengubah mereka yang semula malas menjadi rajin, mereka yang mungkin dulu bermental kapas menjadi baja, menjadi saksi pertemuan mereka yang sejak awal tak saling kenal lalu menyatu menjadi pasangan yang bahagia, menyaksikan hubungan-hubungan baru yang tercipta, dan yang tak mungkin terpungkiri, menemani mereka menghabiskan cukup banyak waktu untuk mencari rupiah. Sekali lagi ku katakan, mungkin para penghuniku sedang tidak ingat. Tidak, aku tidak mengatakan kalau mereka lupa, aku yakin, mereka hanya sedang tidak ingat.

Aku tidak tahu, penghuni baru seperti apa yang akan ku jumpai nanti, atau aku tidak akan pernah lagi memiliki penghuni. Entahlah.

Minggu, 26 Januari 2014

Letaknya di hati ..


“Kita cinta sama Allah, Allah makin cinta sama kita. Kita luangin waktu banyak buat Allah, Allah ngasih waktu yang enggak ada abisnya buat kita. Kita benci sama Allah, Allah tetap cinta sama kita”

Deg.

Ada hentakan berat yang terasa di dalam hati saya, walau tak terlihat, namun rasanya sungguh menyesakkan.

“Aya, sekarang tanggal 26 Januari, pas banget setahun kita ikut pengajian ini,” ucap Putri yang duduk di sebelah saya, saya diam, mencoba mengingat, “lo ingat enggak, abis kita ngaji dari sini, gue sms lo, yang Rafi ahmad kena kasus narkoba.” Saya masih terdiam, “emang iya ?” hanya kalimat itu yang terucap dari mulut saya, kalimat yang membuat Putri mendesah panjang dan mengalihkan pandangannya dari saya.

Senin, 13 Januari 2014

Sarang gonggo


@anissusanti tetap nulis ya .. pembaca tetap kamu nambah satu, aku :)

Flashback. Dulu, alasan utama gue bikin blog cuma untuk dijadiin tempat penyimpanan naskah-naskah gue yang di tolak penerbit. Ya, berhubung di tolak, kan enggak mungkin ada yang baca. Makanya, gue masukin ke blog, siapa tau ada yang mau baca. Siapa tau .. ..

Tapi ? hah’ sama saja.

Gue harus ngancem-ngancem dulu, supaya orang-orang mau buka blog gue. Gue berkoar-koar .. promosi ..
“Eh, gue punya blog lho.”
“Eh, buka blog gue dong !”
“Pake paket internet gak ? Buka blog gue deh !”
Gue ibarat tukang kue putu yang bunyi nyaring ‘tuuuuut’ .. dan enggak bakalan berhenti sebelum ada yang beli. Iya, gue begitu. Promosi sana sini, minta orang-orang untuk masuk blog gue dan membacanya. Tapi jawabannya, pada begini .. ..
“Ada apaan sih emang di blog lu ?”
“Gue enggak suka baca.”
“Entar deh gue liat.” Entaaar .. kalo inget !

Sabtu, 11 Januari 2014

‘Wanita malam tak tau diri’



Jika boleh jujur, aku ingin berhenti dari pekerjaan ini. Bukan bosan alasan utamaku, karena sejak awal pun aku tidak menyukainya.

Aku ingin bertanya pada kalian, jika kalian di paksakan untuk melakukan pekerjaan yang tidak kalian sukai, apa kalian akan tetap melakukannya ? ah, sudahlah, tak perlu di jawab, karena kalian hanya ilalang yang kubutuhkan untuk menjadi pendengar baikku.

Aku rindu dengan aku yang dulu, aku yang ketika itu masih anak-anak. Anak-anak selalu bebas bermain, selalu bebas berkata-kata, selalu bebas melakukan kesalahan, selalu bebas berteman dengan siapapun. Aku rindu aku yang dulu.

Dulu, ibu selalu berkata padaku ‘apapun yang terjadi, kamu jangan pernah ninggalin sholat. Sholat itu tiangnya agama, kalau tiangnya saja enggak bisa berdiri, bagaimana dengan sekitarnya’ itu pesan ibu yang ku ucapkan juga setiap pagi kepada anakku.

Dan syukurlah, anakku menjalankan pesan tersebut. Anak itu, ia begitu berharga, ia tumbuh dengan keadaan fisik yang nyaris sempurna. Lihat saja, bibirnya tipis dengan warna cerah seperti senja, hidungnya tinggi dengan ujung yang lancip, kedua matanya bulat seperti bola pimpong dan bulu-bulu di sekitar matanya melengkung dengan baik. Jika ia tersenyum akan muncul dua lubang di sisi-sisi pipinya yang putih.

Yang Senja tunggu



 
Sepasang kaki itu terus berayun di ujung dermaga tua yang tak terurus. Sebenarnya nyaris tak dapat dipercaya kalau dermaga kayu dengan warna hitam itu tak terurus. Bagaimana tidak, dermaga yang hanya mempunyai satu sisi bagian yang dapat di sandari dengan deretan alas yang bisa ditapaki itu masih kokoh berdiri. Mungkin dermaga itu bertahan untuk menjadi penenang bagi siapa pun yang memerlukannya. Ya. Mungkin.

Lima jam sudah ia duduk di bagian ujung dermaga ini, entah apa yang dilakukannya. Lima jam lalu, ia melangkah pelan-pelan hingga sampai di ujung dermaga. Kedua tangannya ia letakkan ke bebelakang untuk menyangga tubuhnya, kakinya tak berhenti berayun, sesekali ia memejamkan mata, tersenyum, lalu mendesah panjang.

Malam tadi, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke dermaga yang sebelumnya tidak pernah lagi ingin di kunjunginya, sejak hari itu. Gadis yang memakai kerudung merah marun itu baru saja menerima lamaran seseorang. Semalam. Ya. Tidak lama lagi, ia akan menikah.