Senin, 13 Januari 2014

Sarang gonggo


@anissusanti tetap nulis ya .. pembaca tetap kamu nambah satu, aku :)

Flashback. Dulu, alasan utama gue bikin blog cuma untuk dijadiin tempat penyimpanan naskah-naskah gue yang di tolak penerbit. Ya, berhubung di tolak, kan enggak mungkin ada yang baca. Makanya, gue masukin ke blog, siapa tau ada yang mau baca. Siapa tau .. ..

Tapi ? hah’ sama saja.

Gue harus ngancem-ngancem dulu, supaya orang-orang mau buka blog gue. Gue berkoar-koar .. promosi ..
“Eh, gue punya blog lho.”
“Eh, buka blog gue dong !”
“Pake paket internet gak ? Buka blog gue deh !”
Gue ibarat tukang kue putu yang bunyi nyaring ‘tuuuuut’ .. dan enggak bakalan berhenti sebelum ada yang beli. Iya, gue begitu. Promosi sana sini, minta orang-orang untuk masuk blog gue dan membacanya. Tapi jawabannya, pada begini .. ..
“Ada apaan sih emang di blog lu ?”
“Gue enggak suka baca.”
“Entar deh gue liat.” Entaaar .. kalo inget !


Tapi oke, I’m fine. Gue tetap tersenyum dan yakin, kalau mereka pasti nanti buka blog  gue. Diem-diem nangis kejer dibawah shower.

Pertengahan 2011 gue bikin blog itu. Blog, yang sama sekali gue enggak ngerti apaan itu. Gue masih bapuk soal blog, bahkan gue enggak tahu page break, enggak tahu notif yang masuk ke email (karena emang enggak ada yang komen -_-), enggak tahu gejrot #lho. Ya, gue sama sekali buta tentang ruang tulis yang dinamakan blog tersebut.

Gue bikin alamat blog gue, gue masukin naskah novel gue yang di tolak penerbit dan cerpen yang gagal masuk nominasi 50 besar. Abis gue masukin, dan jadi, tulisan gue tersebut bisa di baca banyak orang. Tapi, gue enggak ngerti nge-sharenya. Iya, gue punya akun pesbuk, juga twitter, tapi, asli, gue belum ngerti gimana caranya berbagi dari blog. Alhasil, mulut gue lah cara yang gue pakai untuk ngasih tahu orang-orang kalau gue punya blog.

Pikiran dangkal gue tuh dulu, gue bikin blog, masukin tulisan-tulisan gue, terus dibaca penerbit, terus penerbitnya suka, di terbitin jadi buku, gue terkenal deh. Cakep !!

Ohmaygod. *tepok jidat*

Seiring berjalannya waktu, gue enggak ngelihat ada tanda-tanda yang menggembirakan dari blog gue. Hape gue pun enggak bunyi karena ada panggilan masuk dari penerbit. Gue juga ngerasa, kalau enggak ada orang yang buka blog gue. Gue hopeless, selain naskah yang mati-matian gue kerjain di tengah rutinitas gue sebagai wali (wanita kuli), gue enggak minat lagi buat nge-blog. Buat apaan coba ? Udahlah ! Gue nulis aja, terus kalau udah selesai, kirim deh ke penerbit. Kalau ditolak, yaudah, simpen aja. Sabar, nanti juga ada yang lolos, ada yang jadi buku. Sabar aja. Dulu, gue gituh.

Nulis. Ngarep di terbitin. Jadi buku. Barulah gue punya pembaca.

Arti seorang ‘pembaca’ buat gue yang dulu, sama sekali bukan sesuatu yang penting. Gue cuma mikir, ‘lo baca tulisan gue nanti kalo udah jadi buku’. Makanya, gue cuma mau berbagi naskah-naskah yang tertolak.
Gue pun enggak pernah lagi buka-buka blog gue. Gue dimein dia sampe jadi sarang gonggo. Di lumutin mungkin. Entahlah. Gue udah enggak lagi memperdulikannya.

Gue kembali menulis, walau kadang ngerasa putus asa dan mau udahan, mau berhenti buat ngeraih impian itu.

Impian jadi penulis terkenal. Dulu, itu ambisi gue.

Dan, pendapat orang-orang sekitar gue cenderung membenarkan keputus asaan gue. Nyaris enggak ada yang percaya, kalau gue bisa ‘nulis’. Kalau gue bisa jadi penulis.

“udahlah, kerja yang pasti-pasti aja.”
Kalimat itu pernah terlontar dari salah satu teman gue, yang ngerasa, jadi buruh pabrik aja udah cukup. Dan gue membenarkannya, waktu itu.

Namun, sesuatu yang ada di kepala gue menolak. Gue sering merasa gelisah kalau enggak nulis. Menulis itu udah jadi candu dalam kehidupan gue, yang, kalau gue enggak nulis, ya gue bisa sakaw.

“Writing a book is a horrible, exhausting struggle, like a long bout of some painful illness. One would never undertake such a thing if one were not driven on by some demon whom one can neither resist nor understand.” ~George Orwell~

Akhir 2011, gue ke toko buku. Biasa, nyari referensi buat tulisan gue. Gue kepengin jadi penulis novel islami gitu. Sebelas dua belas-lah sama kang Abiek, Habbiburrahman. Heheheee.

Tapi, sore itu, mata gue terpana sama plang kecil bertuliskan ‘buku laris’ yang tergantung di atas tumpukkan buku di dekat pintu masuk gramedia. Gue pun penasaran, buku apaan sih yang dikategorikan ‘buku laris’.

My stupid boss. Gue baca buku itu, dan enggak mau berhenti. Buku, yang isinya tentang celoteh-celoteh seorang sekertaris tentang kebegoan bosnya. Ini lucu. Pikir gue. Gue pun membelinya.

Entah kenapa, sejak saat itu, aliran gue berubah. Hahahaaa. Aliran sesat keleees.

Tapi asli, gue membenarkan kata Raditya dika ‘saya selalu percaya tulisan yang paling baik (buku, skenario, dll) biasanya yang paling sederhana. Tulisan komedi, apalagi’

Gue juga membenarkan ‘You write what you read’. Lo nulis apa yang lo baca.

Gue mulai mencari buku-buku sejenis ‘My stupid boss’, ya, buku-buku bang Dika emang jadi bagian dari tulisan-tulisan gue, gue ngerasa nemuin ‘jati diri’, di diri gue yang sesungguhnya. Gue emang enggak lucu, tapi gue menyukai segala sesuatu yang lucu.

Dan sejak saat itu, gue kepengin punya cerita tentang diri gue sendiri. Gue menulis pengalaman-pengalaman absurd dalam hidup gue. Enggak, gue enggak peduli lagi dengan iming-iming jadi penulis. Gue cuma mau punya ruang khusus untuk menuliskan setiap kejadian yang gue alami, dan nanti, kelak, saat gue kembali membuka ruang tersebut, gue akan langsung kembali ke masa lalu. Hanya dengan membaca tulisan itu. Cuma untuk itu.

Dan saat itulah, gue teringat dengan sarang gonggo yang udah lama gue tinggalin. Gue pun kembali membukanya, belajar untuk mendesain ulang tampilannya, memberi properti-properti untuk mengisinya, menjadikannya nyaman untuk gue tempati.

Juni 2013. Sarang gonggo itu kembali terisi.

Gue terharu gini inget sarang gonggo yang saat ini mulai menerima beberapa tamu. Sarang gonggo itu mulai ada yang mengetuk pintunya, lalu berdiam di dalamnya untuk kemudian berhenti sejenak, dan meninggalkannya dengan satu dua kalimat yang di tinggalkannya kepada pemiliknya. Gue.

Kamu tidak akan mendapatkan penghargaan jika terus menulis sampai pagi, atau terjaga semalaman untuk menyelesaikan tulisanmu itu, pun, kamu tidak akan di pecat jika memilih untuk menyudahinya. Berhenti, lalu tertidur. Tapi apapun itu. Tetaplah menulis.

Gue lupa, punya siapa quote tersebut. Namun gue membenarkannya.

Gue punya pembaca. Bisik gue pada diri gue sendiri. Dan rasanya itu .. berjuta kata tak dapat mewakili.

Dan semoga, setiap komentar, baik yang berbentuk pujian ataupun kritik, enggak ngebuat gue jadi tinggi hati ataupun lupa daratan. Di depan sana, masih banyak sarang gonggo yang jauh lebih menarik untuk di kunjungi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar