@anissusanti tetap nulis ya .. pembaca tetap kamu nambah satu, aku :)
Flashback. Dulu, alasan utama gue bikin blog cuma untuk dijadiin
tempat penyimpanan naskah-naskah gue yang di tolak penerbit. Ya, berhubung di
tolak, kan enggak mungkin ada yang baca. Makanya, gue masukin ke blog, siapa
tau ada yang mau baca. Siapa tau .. ..
Tapi ? hah’ sama saja.
Gue harus ngancem-ngancem dulu,
supaya orang-orang mau buka blog gue. Gue berkoar-koar .. promosi ..
“Eh, gue punya blog lho.”
“Eh, buka blog gue dong !”
“Pake paket internet gak ? Buka
blog gue deh !”
Gue ibarat tukang kue putu yang
bunyi nyaring ‘tuuuuut’ .. dan enggak bakalan berhenti sebelum ada yang beli.
Iya, gue begitu. Promosi sana sini, minta orang-orang untuk masuk blog gue dan
membacanya. Tapi jawabannya, pada begini .. ..
“Ada apaan sih emang di blog lu
?”
“Gue enggak suka baca.”
“Entar deh gue liat.” Entaaar ..
kalo inget !
Tapi oke, I’m fine. Gue tetap tersenyum dan yakin, kalau mereka pasti nanti
buka blog gue. Diem-diem nangis kejer dibawah shower.
Pertengahan 2011 gue bikin blog
itu. Blog, yang sama sekali gue enggak ngerti apaan itu. Gue masih bapuk soal blog, bahkan
gue enggak tahu page break, enggak
tahu notif yang masuk ke email
(karena emang enggak ada yang komen -_-),
enggak tahu gejrot #lho. Ya, gue sama sekali buta tentang ruang tulis yang dinamakan blog tersebut.
Gue bikin alamat blog gue, gue
masukin naskah novel gue yang di tolak penerbit dan cerpen yang gagal masuk
nominasi 50 besar. Abis gue masukin, dan jadi, tulisan gue tersebut bisa di
baca banyak orang. Tapi, gue enggak ngerti nge-sharenya. Iya, gue punya akun pesbuk, juga twitter, tapi, asli, gue
belum ngerti gimana caranya berbagi dari blog. Alhasil, mulut gue lah cara yang
gue pakai untuk ngasih tahu orang-orang kalau gue punya blog.
Pikiran dangkal gue tuh dulu, gue
bikin blog, masukin tulisan-tulisan gue, terus dibaca penerbit, terus
penerbitnya suka, di terbitin jadi buku, gue terkenal deh. Cakep !!
Ohmaygod. *tepok jidat*
Seiring berjalannya waktu, gue
enggak ngelihat ada tanda-tanda yang menggembirakan dari blog gue. Hape gue pun enggak bunyi karena ada panggilan masuk dari penerbit. Gue juga
ngerasa, kalau enggak ada orang yang buka blog gue. Gue hopeless, selain naskah yang mati-matian gue kerjain di tengah
rutinitas gue sebagai wali (wanita kuli), gue enggak minat lagi buat nge-blog.
Buat apaan coba ? Udahlah ! Gue nulis aja, terus kalau udah selesai, kirim deh
ke penerbit. Kalau ditolak, yaudah, simpen aja. Sabar, nanti juga ada yang
lolos, ada yang jadi buku. Sabar aja. Dulu, gue gituh.
Nulis. Ngarep di terbitin. Jadi
buku. Barulah gue punya pembaca.
Arti seorang ‘pembaca’ buat gue
yang dulu, sama sekali bukan sesuatu yang penting. Gue cuma mikir, ‘lo baca
tulisan gue nanti kalo udah jadi buku’. Makanya, gue cuma mau berbagi
naskah-naskah yang tertolak.
Gue pun enggak pernah lagi
buka-buka blog gue. Gue dimein dia sampe jadi sarang gonggo. Di lumutin
mungkin. Entahlah. Gue udah enggak lagi memperdulikannya.
Gue kembali menulis, walau kadang
ngerasa putus asa dan mau udahan, mau berhenti buat ngeraih impian itu.
Impian jadi penulis terkenal.
Dulu, itu ambisi gue.
Dan, pendapat orang-orang sekitar
gue cenderung membenarkan keputus asaan gue. Nyaris enggak ada yang percaya,
kalau gue bisa ‘nulis’. Kalau gue bisa jadi penulis.
“udahlah, kerja yang pasti-pasti
aja.”
Kalimat itu pernah terlontar dari
salah satu teman gue, yang ngerasa, jadi buruh pabrik aja udah cukup. Dan gue
membenarkannya, waktu itu.
Namun, sesuatu yang ada di kepala
gue menolak. Gue sering merasa gelisah kalau enggak nulis. Menulis itu udah
jadi candu dalam kehidupan gue, yang, kalau gue enggak nulis, ya gue bisa
sakaw.
“Writing a book is a horrible, exhausting struggle, like a long bout of
some painful illness. One would never undertake such a thing if one were not
driven on by some demon whom one can neither resist nor understand.” ~George
Orwell~
Akhir 2011, gue ke toko buku.
Biasa, nyari referensi buat tulisan gue. Gue kepengin jadi penulis novel islami
gitu. Sebelas dua belas-lah sama kang Abiek, Habbiburrahman. Heheheee.
Tapi, sore itu, mata gue terpana
sama plang kecil bertuliskan ‘buku laris’ yang tergantung di atas tumpukkan
buku di dekat pintu masuk gramedia. Gue pun penasaran, buku apaan sih yang
dikategorikan ‘buku laris’.
My stupid boss. Gue baca buku
itu, dan enggak mau berhenti. Buku, yang isinya tentang celoteh-celoteh seorang sekertaris tentang kebegoan bosnya. Ini lucu. Pikir gue. Gue pun
membelinya.
Entah kenapa, sejak saat itu,
aliran gue berubah. Hahahaaa. Aliran sesat keleees.
Tapi asli, gue membenarkan kata
Raditya dika ‘saya selalu percaya tulisan yang paling baik (buku, skenario,
dll) biasanya yang paling sederhana. Tulisan komedi, apalagi’
Gue juga membenarkan ‘You write what you read’. Lo nulis apa
yang lo baca.
Gue mulai mencari buku-buku
sejenis ‘My stupid boss’, ya, buku-buku bang Dika emang jadi bagian dari
tulisan-tulisan gue, gue ngerasa nemuin ‘jati diri’, di diri gue yang
sesungguhnya. Gue emang enggak lucu, tapi gue menyukai segala sesuatu yang
lucu.
Dan sejak saat itu, gue kepengin
punya cerita tentang diri gue sendiri. Gue menulis pengalaman-pengalaman
absurd dalam hidup gue. Enggak, gue enggak peduli lagi dengan iming-iming jadi
penulis. Gue cuma mau punya ruang khusus untuk menuliskan setiap kejadian yang
gue alami, dan nanti, kelak, saat gue kembali membuka ruang tersebut, gue akan
langsung kembali ke masa lalu. Hanya dengan membaca tulisan itu. Cuma untuk
itu.
Dan saat itulah, gue teringat dengan sarang gonggo
yang udah lama gue tinggalin. Gue pun kembali membukanya, belajar untuk
mendesain ulang tampilannya, memberi properti-properti untuk mengisinya,
menjadikannya nyaman untuk gue tempati.
Juni 2013. Sarang gonggo itu
kembali terisi.
Gue terharu gini inget sarang
gonggo yang saat ini mulai menerima beberapa tamu. Sarang gonggo itu mulai ada
yang mengetuk pintunya, lalu berdiam di dalamnya untuk kemudian berhenti sejenak,
dan meninggalkannya dengan satu dua kalimat yang di tinggalkannya kepada
pemiliknya. Gue.
Kamu tidak akan mendapatkan penghargaan jika terus menulis sampai pagi,
atau terjaga semalaman untuk menyelesaikan tulisanmu itu, pun, kamu tidak akan
di pecat jika memilih untuk menyudahinya. Berhenti, lalu tertidur. Tapi apapun
itu. Tetaplah menulis.
Gue lupa, punya siapa quote tersebut. Namun gue
membenarkannya.
Gue punya pembaca. Bisik gue pada
diri gue sendiri. Dan rasanya itu .. berjuta kata tak dapat mewakili.
Dan semoga, setiap komentar, baik
yang berbentuk pujian ataupun kritik, enggak ngebuat gue jadi tinggi hati
ataupun lupa daratan. Di depan sana, masih banyak sarang gonggo yang jauh lebih
menarik untuk di kunjungi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar