“Kita cinta sama
Allah, Allah makin cinta sama kita. Kita luangin waktu banyak buat Allah, Allah
ngasih waktu yang enggak ada abisnya buat kita. Kita benci sama Allah, Allah
tetap cinta sama kita”
Deg.
Ada hentakan berat yang terasa di dalam hati saya, walau tak
terlihat, namun rasanya sungguh menyesakkan.
“Aya, sekarang tanggal 26 Januari, pas banget setahun kita
ikut pengajian ini,” ucap Putri yang duduk di sebelah saya, saya diam, mencoba
mengingat, “lo ingat enggak, abis kita ngaji dari sini, gue sms lo, yang Rafi
ahmad kena kasus narkoba.” Saya masih terdiam, “emang iya ?” hanya kalimat itu
yang terucap dari mulut saya, kalimat yang membuat Putri mendesah panjang dan
mengalihkan pandangannya dari saya.
Saya benar-benar sedang tak dapat berpikir jernih, sesuatu
yang ada di dalam tempurung kepala saya sedang tidak bekerja dengan baik.
2012 atau 2011 pun saya tidak ingat kapan pastinya saya
mulai mengagumi sosok yang begitu kaya ilmu.
Pagi itu, selesai sholat subuh, sekitar jam 5 pagi, setelah
mandi dan telah bersiap dengan seragam kerja, saya duduk di depan tivi. Mencari
chanel yang sekiranya dapat mengisi waktu tiga puluh menit saya sebelum
berangkat kerja. Jari telunjuk saya berhenti di angka 17, salah satu saluran
tivi yang dulunya berslogan ‘wow keren’, kedua mata saya menangkap sesosok
laki-laki setengah baya yang tak asing lagi bagi saya, mungkin juga bagi
kebanyakan orang. Laki-laki yang mengenakan kemeja putih yang di balut jas
hitam, dengan celana bahan dengan warna senada jas tersebut, lengkap dengan
kopiah yang menutupi kepalanya. Di sebelahnya ada sebuah papan yang menyangga
tumpukkan-tumpukkan kertas berwarna hitam, yang sudah berisi beberapa coretan
tangannya.
Allah dulu, Allah
lagi, Allah terus.
Itu menarik, bagi saya. Saya yang pagi itu sudah bersiap
untuk berangkat kerja, saya yang selalu mengisi pagi dengan leyeh-leyeh (baca:malas-malasan),
saya yang biasa melakukan berbagai cara untuk memaksa kedua kelopak mata ini
agar dapat terbuka, saya yang biasa merintih dengan keluhan kekesalan namun
harus melawannya, melawan rasa kantuk.
Sejak pagi itu, semua telah berubah.
Saya selalu merindukan pagi. Saya selalu ingin menyudahi tidur
malam saya dan cepat-cepat membuka mata menyambut matahari yang nongol, atau
mengintip bulan yang diam-diam pergi karna tugasnya telah selesai. Dan sejak
saat itu, tiga puluh menit yang selalu membuat saya merasa lebih baik.
Lima hari dalam seminggu, setiap pagi, saya selalu mengikuti
acara tersebut. Dan, saya benci ketika saya kena sift malam, sift yang membuat
saya harus ketinggalan tiga puluh menit sebelum setengah enam itu. Tapi sudahlah,
toh bekerja pun merupakan hal yang saya senangi.
Aneh. Misalnya, ada
sepasang suami isteri yang lagi butuh uang buat nyambut kelahiran anak
pertamanya. Bingung nih sepasang suami isteri ini. Mau nyari duit kemana ?
minjem kesiapa ? mau jual apa ? Buru-buru ngelist data orang-orang kaya yang di
kenalnya. Di telponin deh satu-satu.
Jreng !
Dapet nih satu orang
yang bisa ngebantu mereka. Disuruhlah datang ke rumah orang kaya tersebut, jam
delapan pagi. Jam delapan pagi janjiannya, jam enam dia udah datang. Mau pinjam
uang, enggak enak kalau telat.
Giliran udah dua jam
lebih awal datangya, si orang kayanya sibuk. Enggak bisalah nemuin, di suruh datang
lagi jam tujuh malem.
Nurut, manut, patuh. Jam
enam udah nyampe di rumah orang kaya itu.
Itu, cuma mau nemuin
orang kaya. Coba .. kalau yang manggil Allah.
Allah hu akbar .. Allah hu akbar ..
Nanggung, lagi
pesbukan. Nanggung, satu file lagi. Nanggung, satu paragraph lagi. Nanggung,
nanggung dan nanggung.
Ah baru adzan ini,
belum qomat.
Ah baru qomat, entar
jam dua.
Ah baru jam dua, entar
setengah tiga.
Lima menit sebelum
ashar, baru datangin Allah.
Tapi apa Allah nolak ?
Enggak, enggak bos. Dia tetap nungguin ente. Nungguin ente sampe datang.
Saya senang mendengarkannya bicara, saya suka menyimak
setiap cerita yang disampaikannya, dan saya sangat menikmati setiap lantunan
ayat yang keluar dari mulutnya.
Dream. Pray. Action.
Yang pernah baca atau menonton film Sang pemimpi karya bang
Andrea Hirata pasti tau sosok Arai. Si pemimpi kelas kakap. Dan entah mengapa,
saya selalu merasa, ada sosok Arai di dalam diri saya. Saya pemimpi. Saya percaya
pada impian.
Dan darinya pun, saya belajar tentang keyakinan pada impian.
“Sekarang tanggal 26 Januari, tepat haulnya almarhum ayah
saya, ayah Uci.” Ucapnya di sela-sela pembahasan yang sedang di sampaikannya. Dan,
kali ini saya ingat. Kali pertama saya mengikuti pengajian bulanan itu. Melihat
sosoknya secara langsung dan mendengarkan lantunan-lantunan ayat-ayat yang ada
di kitab suci agama saya. Ayat-ayat yang terdengar indah, namun bagai roda
motor yang begitu kencang di hati saya.
Saya memang tak fanatik tentang agama pun dalam segala hal. Banyak
hal yang kadang di anggap salah, namun masih saya kerjakan, di dalam persoalan
agama. Saya tidak ingin menjadi yang terbaik, tapi setidaknya, saya ingin terus
belajar untuk menjadi lebih baik.
Bersukurlah ketika dalam 1 hari, 24 jam, 1.440 menit, 86.400
detik, kau masih dapat mengingat Tuhanmu walau hanya 25 menit dalam 5 waktu
sholat. Mungkin besok akan bertambah, kemudian bertambah lagi, lagi, dan lagi,
sampai pada setiap kedipan mata, detak jantung, hembusan napas, kau akan selalu
mengingat-Nya.
Namun percayalah, sekalipun kau tak mengingat-Nya. Dia tidak
akan pernah melupakanmu.
Gambar diambil dari www.islamedia.web.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar