Minggu, 26 Januari 2014

Letaknya di hati ..


“Kita cinta sama Allah, Allah makin cinta sama kita. Kita luangin waktu banyak buat Allah, Allah ngasih waktu yang enggak ada abisnya buat kita. Kita benci sama Allah, Allah tetap cinta sama kita”

Deg.

Ada hentakan berat yang terasa di dalam hati saya, walau tak terlihat, namun rasanya sungguh menyesakkan.

“Aya, sekarang tanggal 26 Januari, pas banget setahun kita ikut pengajian ini,” ucap Putri yang duduk di sebelah saya, saya diam, mencoba mengingat, “lo ingat enggak, abis kita ngaji dari sini, gue sms lo, yang Rafi ahmad kena kasus narkoba.” Saya masih terdiam, “emang iya ?” hanya kalimat itu yang terucap dari mulut saya, kalimat yang membuat Putri mendesah panjang dan mengalihkan pandangannya dari saya.


Saya benar-benar sedang tak dapat berpikir jernih, sesuatu yang ada di dalam tempurung kepala saya sedang tidak bekerja dengan baik.

2012 atau 2011 pun saya tidak ingat kapan pastinya saya mulai mengagumi sosok yang begitu kaya ilmu.

Pagi itu, selesai sholat subuh, sekitar jam 5 pagi, setelah mandi dan telah bersiap dengan seragam kerja, saya duduk di depan tivi. Mencari chanel yang sekiranya dapat mengisi waktu tiga puluh menit saya sebelum berangkat kerja. Jari telunjuk saya berhenti di angka 17, salah satu saluran tivi yang dulunya berslogan ‘wow keren’, kedua mata saya menangkap sesosok laki-laki setengah baya yang tak asing lagi bagi saya, mungkin juga bagi kebanyakan orang. Laki-laki yang mengenakan kemeja putih yang di balut jas hitam, dengan celana bahan dengan warna senada jas tersebut, lengkap dengan kopiah yang menutupi kepalanya. Di sebelahnya ada sebuah papan yang menyangga tumpukkan-tumpukkan kertas berwarna hitam, yang sudah berisi beberapa coretan tangannya.

Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.

Itu menarik, bagi saya. Saya yang pagi itu sudah bersiap untuk berangkat kerja, saya yang selalu mengisi pagi dengan leyeh-leyeh (baca:malas-malasan), saya yang biasa melakukan berbagai cara untuk memaksa kedua kelopak mata ini agar dapat terbuka, saya yang biasa merintih dengan keluhan kekesalan namun harus melawannya, melawan rasa kantuk.

Sejak pagi itu, semua telah berubah.

Saya selalu merindukan pagi. Saya selalu ingin menyudahi tidur malam saya dan cepat-cepat membuka mata menyambut matahari yang nongol, atau mengintip bulan yang diam-diam pergi karna tugasnya telah selesai. Dan sejak saat itu, tiga puluh menit yang selalu membuat saya merasa lebih baik.

Lima hari dalam seminggu, setiap pagi, saya selalu mengikuti acara tersebut. Dan, saya benci ketika saya kena sift malam, sift yang membuat saya harus ketinggalan tiga puluh menit sebelum setengah enam itu. Tapi sudahlah, toh bekerja pun merupakan hal yang saya senangi.

*** 
Aneh. Misalnya, ada sepasang suami isteri yang lagi butuh uang buat nyambut kelahiran anak pertamanya. Bingung nih sepasang suami isteri ini. Mau nyari duit kemana ? minjem kesiapa ? mau jual apa ? Buru-buru ngelist data orang-orang kaya yang di kenalnya. Di telponin deh satu-satu.

Jreng !

Dapet nih satu orang yang bisa ngebantu mereka. Disuruhlah datang ke rumah orang kaya tersebut, jam delapan pagi. Jam delapan pagi janjiannya, jam enam dia udah datang. Mau pinjam uang, enggak enak kalau telat.

Giliran udah dua jam lebih awal datangya, si orang kayanya sibuk. Enggak bisalah nemuin, di suruh datang lagi jam tujuh malem.

Nurut, manut, patuh. Jam enam udah nyampe di rumah orang kaya itu.
Itu, cuma mau nemuin orang kaya. Coba .. kalau yang manggil Allah.

Allah hu akbar .. Allah hu akbar ..

Nanggung, lagi pesbukan. Nanggung, satu file lagi. Nanggung, satu paragraph lagi. Nanggung, nanggung dan nanggung.

Ah baru adzan ini, belum qomat.
Ah baru qomat, entar jam dua.
Ah baru jam dua, entar setengah tiga.
Lima menit sebelum ashar, baru datangin Allah.

Tapi apa Allah nolak ? Enggak, enggak bos. Dia tetap nungguin ente. Nungguin ente sampe datang.

***

Saya senang mendengarkannya bicara, saya suka menyimak setiap cerita yang disampaikannya, dan saya sangat menikmati setiap lantunan ayat yang keluar dari mulutnya.

Dream. Pray. Action.

Yang pernah baca atau menonton film Sang pemimpi karya bang Andrea Hirata pasti tau sosok Arai. Si pemimpi kelas kakap. Dan entah mengapa, saya selalu merasa, ada sosok Arai di dalam diri saya. Saya pemimpi. Saya percaya pada impian.

Dan darinya pun, saya belajar tentang keyakinan pada impian.

“Sekarang tanggal 26 Januari, tepat haulnya almarhum ayah saya, ayah Uci.” Ucapnya di sela-sela pembahasan yang sedang di sampaikannya. Dan, kali ini saya ingat. Kali pertama saya mengikuti pengajian bulanan itu. Melihat sosoknya secara langsung dan mendengarkan lantunan-lantunan ayat-ayat yang ada di kitab suci agama saya. Ayat-ayat yang terdengar indah, namun bagai roda motor yang begitu kencang di hati saya.

Saya memang tak fanatik tentang agama pun dalam segala hal. Banyak hal yang kadang di anggap salah, namun masih saya kerjakan, di dalam persoalan agama. Saya tidak ingin menjadi yang terbaik, tapi setidaknya, saya ingin terus belajar untuk menjadi lebih baik.

Bersukurlah ketika dalam 1 hari, 24 jam, 1.440 menit, 86.400 detik, kau masih dapat mengingat Tuhanmu walau hanya 25 menit dalam 5 waktu sholat. Mungkin besok akan bertambah, kemudian bertambah lagi, lagi, dan lagi, sampai pada setiap kedipan mata, detak jantung, hembusan napas, kau akan selalu mengingat-Nya.


Namun percayalah, sekalipun kau tak mengingat-Nya. Dia tidak akan pernah melupakanmu.


Gambar diambil dari www.islamedia.web.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar