Jika boleh jujur, aku ingin
berhenti dari pekerjaan ini. Bukan bosan alasan utamaku, karena sejak awal pun
aku tidak menyukainya.
Aku ingin bertanya pada kalian,
jika kalian di paksakan untuk melakukan pekerjaan yang tidak kalian sukai, apa
kalian akan tetap melakukannya ? ah, sudahlah, tak perlu di jawab, karena
kalian hanya ilalang yang kubutuhkan untuk menjadi pendengar baikku.
Aku rindu dengan aku yang dulu,
aku yang ketika itu masih anak-anak. Anak-anak selalu bebas bermain, selalu
bebas berkata-kata, selalu bebas melakukan kesalahan, selalu bebas berteman
dengan siapapun. Aku rindu aku yang dulu.
Dulu, ibu selalu berkata padaku ‘apapun
yang terjadi, kamu jangan pernah ninggalin sholat. Sholat itu tiangnya agama,
kalau tiangnya saja enggak bisa berdiri, bagaimana dengan sekitarnya’ itu pesan
ibu yang ku ucapkan juga setiap pagi kepada anakku.
Dan syukurlah, anakku menjalankan
pesan tersebut. Anak itu, ia begitu berharga, ia tumbuh dengan keadaan fisik
yang nyaris sempurna. Lihat saja, bibirnya tipis dengan warna cerah seperti
senja, hidungnya tinggi dengan ujung yang lancip, kedua matanya bulat seperti
bola pimpong dan bulu-bulu di sekitar matanya melengkung dengan baik. Jika ia
tersenyum akan muncul dua lubang di sisi-sisi pipinya yang putih.
Bibirnya mungkin saja seperti
bibir laki-laki yang bekerja di club
malam, tempatku bekerja dulu. Hidungnya hampir mirip dengan laki-laki bule yang
membayarku dengan harga tinggi, ah, bisa juga hidung si pemilik hotel bintang
lima, ya, hidung laki-laki tua itu juga sama tingginya dengan hidung anakku. Kalau
kedua mata bulat itu aku yakini laki-laki yang sering di panggil ‘tuan muda’
lah pemiliknya.
“Ibu, sekarang aku udah juz
lima.”
“Hebat. Coba, sekarang bacakan,
ibu mau dengar.”
Di kamis malam, aku memilih untuk
tidak keluar. Aku ingin mendengar gadis kecil itu mengaji. Tumbuh dalam
indahnya lantunan-lantunan ayat yang menenangkan.
Mungkin, hanya aku lonte1
yang tak tau diri. Aku sering mengendap-endap, lalu berhenti sejenak di
semak-semak belakang mushola kecil yang ada di kampung kumuh ini. Ditemani
makhluk-makhluk kecil penghisap darah yang berterbangan mengelilingi tubuhku
yang hanya terbalut atasan dan bawahan dengan ukuran kecil. Tak peduli, aku
ikhlas jika harus berbagi darah dengan makhluk-makhluk kecil itu. Bahkan sampai
mereka kembung karena kekenyangan, aku ikhlas. Setiap kali kudengar suara-suara
tenang itu, sudut-sudut mataku terasa panas, dan sedetik kemudian kedua pipiku
akan basah, membuat bedak tebalku luntur tak karuan, aku akan buru-buru menyeka
butiran-butiran bening itu sebelum sukses membuat warna hitam di lingkar mataku
berantakkan, bibirku yang sudah merah merona akan bergetar perlahan, aku
merasakan kerinduan yang begitu dalam, sangat dalam. Aku tak pernah mengenal
siapa pemilik suara-suara tenang tersebut, karena aku yakin, pemiliknya tak
hanya satu. Ah, aku sering membayangkan wajah-wajah pemilik suara tenang itu,
pastilah wajah yang bersinar dengan cahaya kesucian. Suara mereka tak ada yang
tak bagus, walau setiap harinya berbeda. Semuanya sama menenangkannya bagiku. Lima
sampai sepuluh menit selalu kuhabiskan untuk mendengarkan suara-suara tenang
itu. Entah mengapa, aku sangat menyukai kebiasaan itu. Kebiasaan yang selalu ku
lakukan sebelum aku melakoni profesi malamku.
Tidak. Demi Tuhan, tak pernah
kubiarkan serupiah pun uang itu masuk ke dalam tubuh anakku. Demi Tuhan, tidak.
Menjelang pagi, sehabis aku liar
dengan linangan air yang kadang keluar dan kadang tertahan di kelopak mataku,
di atas ranjang yang menjadi saksi bisu perbuatanku, aku tak langsung tidur.
Aku pergi ke rumah-rumah mewah di depan gang tempat tinggalku, mengetuk
pintu-pintu megah itu, mengambil pakaian-pakaian mereka, baik yang bersih untuk
di setrika ataupun yang sudah bau untuk di cuci. Itu adalah pekerjaan pagi
hingga soreku. Dan, itu halal, bukan ?
Demi Tuhan, hasil dari buruh
mencuci-lah yang kupakai untuk membesarkan gadis kecilku. Sekali lagi ku katakan,
tak serupiah pun kupakai uang dari profesi malamku untuk menghidupinya.
Aku janji, kelak, jika semua
hutang-hutang pemabuk tua itu sudah tak tersisa, aku akan berhenti dari profesi
malamku. Tenang, aku pintar membuat kue basah. Dulu, ibu yang mengajariku cara
membuatnya. Aku akan menjadi penjual kue, tapi nanti, setelah urusanku dengan berandal-berandal
berbadan besar itu selesai. Aku janji.
Aku sering melihat gadis kecilku
tertidur lelap di kamarnya. Melihatnya selalu menumbuhkan aliran energi di badanku.
Lalu aku berbisik, ‘Terima kasih, Tuhan’.
Dan di kamar satunya lagi,
disanalah terbaring si pemabuk tua itu. Laki-laki yang ku panggil ayah.
Laki-laki yang telah menjerumuskanku ke dalam profesi malam. Suami dari wanita
yang sangat aku sayangi. Kadang aku bersyukur, Tuhan telah memanggil ibu lebih
dulu. Hah’ anak macam apa aku ? mensyukuri kematian ibunya. Tapi untuk kali
ini, percayalah padaku, setidaknya, ibu tidak pernah sekali pun melihat aku
yang sekarang. Itu yang aku syukuri.
Sebenarnya tidak sulit bagiku
untuk mengikuti emosi jiwaku, pemabuk tua itu sama sekali tak berdaya. Ia hanya
terbaring lemah dengan tubuh yang kaku, mulutnya mengok, mungkin akibat sering
memahariku di waktu dulu. Bisa saja, aku mengambil bantal dan mendekap wajahnya
dengan bantal tersebut sampai mampus. Atau kalau tidak, langsung saja kucekik
lehernya yang hanya terbalut kulit tuanya.
Tapi untuk apa ?
Aku malah sering berpesan kepada
anakku agar selalu menemaninya. Beri ia minum ketika ia haus, dan beri ia makan
ketika ia lapar.
Selain mabuk, ayahku adalah
seorang pecandu perjudian. Hal itu pula-lah yang membuat ia buta hati hingga akhirnya
memilihku sebagai korbannya. Sebentar ! Apa orang seperti itu masih punya hati
? Ah, sudahlah, biar bagaimana pun, laki-laki itu adalah ayahku. Laki-laki yang
menikahi ibuku.
Rupiah yang harus ku kumpulkan
sudah mulai berkurang. Aku yakin, tidak lama lagi, urusanku dengan
berandal-berandal berbadan besar itu akan selesai. Ya. Aku yakin.
Jangan berkata seperti itu dulu.
Pernah, aku pernah berhenti dari profesi malam ini. Aku menjadi buruh cuci
seharian penuh. Lalu menjadi pelayan cafe di tengah malam. Tapi hasilnya tak
sedikitpun mendekati rupiah yang kumaksud.
Hutang si pemabuk tua itu terlalu
tinggi. Aku tidak bisa lagi berbuat apa-apa selain kembali melakoni profesi
malamku. Ini yang aku benci, aku bukanlah sosok yang optimis. Walau sebenarnya,
aku yakin, Tuhan akan selalu membantuku. Tapi sekali lagi kutegaskan, aku
bukanlah sosok yang optimis.
Ah, tamparan yang bertubi-tubi
mendarat di wajahku hingga membuat wajahku terlihat sedikit menyeramkan,
bukanlah hal yang penting. Aku pun tidak peduli dengan tendangan-tendangan yang
meluncur di tubuhku. Dan, ciuman-ciuman menjijikan dari berandal-berandal
berbadan besar itu. Aku tidak peduli.
Bodoh. Aku tak tahan, melihat si
pemabuk tua itu di aniaya oleh berandal-berandal berbadan besar itu di
hadapanku. Baiklah, jika ingin mengingat, si pemabuk tua itu pun sepertinya tak
peduli dengan tangisan ku ketika pertama kali harus memasuki kamar remang-remang
yang ditemani seseorang berkulit hitam dengan berbagai rantai berwarna emas di
leher, dan tangannya. Sedang ia, si pemabuk tua itu hanya tertawa-tawa
mengelilingi meja dengan tumpukan rupiah disana. Aku masih jelas mengingatnya.
Tapi lagi-lagi, suara ibu
terdengar ‘kalau kejahatan dibalas dengan kejahatan, ya enggak ada habisnya.
Kejahatan apapun, kalau dibalas dengan kebaikan, rasanya akan jauh lebih baik.
Apapun kejahatannya, nak’ ucapnya sambil membelai rambut panjangku.
Aku ingin bertanya padanya,
‘sampai kapan kejahatan harus di balas dengan kebaikkan ? apa sampai kita mati
nanti, bu ?’
Tapi sayang, ibu sudah tiada.
Husssssh. Diam sebentar !
Gadis kecilku, sedang membaca
surat Ar-Rahman.
“Surat Ar-Rahman itu sangat
indah, bu. Di awali dengan ayat pertama yang berarti kasih sayang. Ada ayat yang
di ulang sebanyak .. emmm ..”
“Tiga puluh satu kali.”
“Wah, iya benar. Ibu pintar.”
Aku senang dengan semua surat di
dalam kitab yang sangat kucintai itu. Cinta kataku ? Apa bisa kubilang aku
mencintainya, sedang aku sudah melesat jauh dari setiap makna yang di jabarkan
dalam kitab itu. Entahlah. Sudahlah.
Lihat ! rupiah yang ku kumpulkan
untuk berandal-berandal berbadan besar yang terus menghantui hidupku itu sudah
banyak, mungkin tinggal beberapa malam lagi aku melakoni profesi malamku.
Rupiah yang aku maksudkan jumlanya nyaris terpenuhi. Hutang si pemabuk tua itu
akan segera lunas. Aku janji, aku akan segera meninggalkan profesi malamku.
Tapi tunggu ! Bagaimana kalau
ajalku tiba sebelum rupiah itu terkumpul ? Tidak, aku tidak lagi memikirkan
tentang hutang si pemabuk tua itu, tapi apa di sana, di alam yang nantinya akan
ku masuki, apakah aku bisa mendengar suara-suara tenang itu, lagi ? Itu yang
aku khawatirkan.
Oh ya, tolong ingatkan aku kalau
aku sudah berjanji, jika rupiah itu sudah terkumpul dan hutang si pemabuk tua
itu sudah terbayar. Aku akan berhenti dari profesi malamku. Aku takut melupakan
janji itu. Jadi, tolong ingatkan aku.
1Wanita malam,
pelacur, pekerja seks komersial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar