Sabtu, 11 Januari 2014

‘Wanita malam tak tau diri’



Jika boleh jujur, aku ingin berhenti dari pekerjaan ini. Bukan bosan alasan utamaku, karena sejak awal pun aku tidak menyukainya.

Aku ingin bertanya pada kalian, jika kalian di paksakan untuk melakukan pekerjaan yang tidak kalian sukai, apa kalian akan tetap melakukannya ? ah, sudahlah, tak perlu di jawab, karena kalian hanya ilalang yang kubutuhkan untuk menjadi pendengar baikku.

Aku rindu dengan aku yang dulu, aku yang ketika itu masih anak-anak. Anak-anak selalu bebas bermain, selalu bebas berkata-kata, selalu bebas melakukan kesalahan, selalu bebas berteman dengan siapapun. Aku rindu aku yang dulu.

Dulu, ibu selalu berkata padaku ‘apapun yang terjadi, kamu jangan pernah ninggalin sholat. Sholat itu tiangnya agama, kalau tiangnya saja enggak bisa berdiri, bagaimana dengan sekitarnya’ itu pesan ibu yang ku ucapkan juga setiap pagi kepada anakku.

Dan syukurlah, anakku menjalankan pesan tersebut. Anak itu, ia begitu berharga, ia tumbuh dengan keadaan fisik yang nyaris sempurna. Lihat saja, bibirnya tipis dengan warna cerah seperti senja, hidungnya tinggi dengan ujung yang lancip, kedua matanya bulat seperti bola pimpong dan bulu-bulu di sekitar matanya melengkung dengan baik. Jika ia tersenyum akan muncul dua lubang di sisi-sisi pipinya yang putih.


Bibirnya mungkin saja seperti bibir laki-laki yang bekerja di club malam, tempatku bekerja dulu. Hidungnya hampir mirip dengan laki-laki bule yang membayarku dengan harga tinggi, ah, bisa juga hidung si pemilik hotel bintang lima, ya, hidung laki-laki tua itu juga sama tingginya dengan hidung anakku. Kalau kedua mata bulat itu aku yakini laki-laki yang sering di panggil ‘tuan muda’ lah pemiliknya.

“Ibu, sekarang aku udah juz lima.”

“Hebat. Coba, sekarang bacakan, ibu mau dengar.”

Di kamis malam, aku memilih untuk tidak keluar. Aku ingin mendengar gadis kecil itu mengaji. Tumbuh dalam indahnya lantunan-lantunan ayat yang menenangkan.

Mungkin, hanya aku lonte1 yang tak tau diri. Aku sering mengendap-endap, lalu berhenti sejenak di semak-semak belakang mushola kecil yang ada di kampung kumuh ini. Ditemani makhluk-makhluk kecil penghisap darah yang berterbangan mengelilingi tubuhku yang hanya terbalut atasan dan bawahan dengan ukuran kecil. Tak peduli, aku ikhlas jika harus berbagi darah dengan makhluk-makhluk kecil itu. Bahkan sampai mereka kembung karena kekenyangan, aku ikhlas. Setiap kali kudengar suara-suara tenang itu, sudut-sudut mataku terasa panas, dan sedetik kemudian kedua pipiku akan basah, membuat bedak tebalku luntur tak karuan, aku akan buru-buru menyeka butiran-butiran bening itu sebelum sukses membuat warna hitam di lingkar mataku berantakkan, bibirku yang sudah merah merona akan bergetar perlahan, aku merasakan kerinduan yang begitu dalam, sangat dalam. Aku tak pernah mengenal siapa pemilik suara-suara tenang tersebut, karena aku yakin, pemiliknya tak hanya satu. Ah, aku sering membayangkan wajah-wajah pemilik suara tenang itu, pastilah wajah yang bersinar dengan cahaya kesucian. Suara mereka tak ada yang tak bagus, walau setiap harinya berbeda. Semuanya sama menenangkannya bagiku. Lima sampai sepuluh menit selalu kuhabiskan untuk mendengarkan suara-suara tenang itu. Entah mengapa, aku sangat menyukai kebiasaan itu. Kebiasaan yang selalu ku lakukan sebelum aku melakoni profesi malamku.

Tidak. Demi Tuhan, tak pernah kubiarkan serupiah pun uang itu masuk ke dalam tubuh anakku. Demi Tuhan, tidak.

Menjelang pagi, sehabis aku liar dengan linangan air yang kadang keluar dan kadang tertahan di kelopak mataku, di atas ranjang yang menjadi saksi bisu perbuatanku, aku tak langsung tidur. Aku pergi ke rumah-rumah mewah di depan gang tempat tinggalku, mengetuk pintu-pintu megah itu, mengambil pakaian-pakaian mereka, baik yang bersih untuk di setrika ataupun yang sudah bau untuk di cuci. Itu adalah pekerjaan pagi hingga soreku. Dan, itu halal, bukan ?

Demi Tuhan, hasil dari buruh mencuci-lah yang kupakai untuk membesarkan gadis kecilku. Sekali lagi ku katakan, tak serupiah pun kupakai uang dari profesi malamku untuk menghidupinya.

Aku janji, kelak, jika semua hutang-hutang pemabuk tua itu sudah tak tersisa, aku akan berhenti dari profesi malamku. Tenang, aku pintar membuat kue basah. Dulu, ibu yang mengajariku cara membuatnya. Aku akan menjadi penjual kue, tapi nanti, setelah urusanku dengan berandal-berandal berbadan besar itu selesai. Aku janji.

Aku sering melihat gadis kecilku tertidur lelap di kamarnya. Melihatnya selalu menumbuhkan aliran energi di badanku. Lalu aku berbisik, ‘Terima kasih, Tuhan’.

Dan di kamar satunya lagi, disanalah terbaring si pemabuk tua itu. Laki-laki yang ku panggil ayah. Laki-laki yang telah menjerumuskanku ke dalam profesi malam. Suami dari wanita yang sangat aku sayangi. Kadang aku bersyukur, Tuhan telah memanggil ibu lebih dulu. Hah’ anak macam apa aku ? mensyukuri kematian ibunya. Tapi untuk kali ini, percayalah padaku, setidaknya, ibu tidak pernah sekali pun melihat aku yang sekarang. Itu yang aku syukuri.

Sebenarnya tidak sulit bagiku untuk mengikuti emosi jiwaku, pemabuk tua itu sama sekali tak berdaya. Ia hanya terbaring lemah dengan tubuh yang kaku, mulutnya mengok, mungkin akibat sering memahariku di waktu dulu. Bisa saja, aku mengambil bantal dan mendekap wajahnya dengan bantal tersebut sampai mampus. Atau kalau tidak, langsung saja kucekik lehernya yang hanya terbalut kulit tuanya.

Tapi untuk apa ?

Aku malah sering berpesan kepada anakku agar selalu menemaninya. Beri ia minum ketika ia haus, dan beri ia makan ketika ia lapar.

Selain mabuk, ayahku adalah seorang pecandu perjudian. Hal itu pula-lah yang membuat ia buta hati hingga akhirnya memilihku sebagai korbannya. Sebentar ! Apa orang seperti itu masih punya hati ? Ah, sudahlah, biar bagaimana pun, laki-laki itu adalah ayahku. Laki-laki yang menikahi ibuku.

Rupiah yang harus ku kumpulkan sudah mulai berkurang. Aku yakin, tidak lama lagi, urusanku dengan berandal-berandal berbadan besar itu akan selesai. Ya. Aku yakin.

Jangan berkata seperti itu dulu. Pernah, aku pernah berhenti dari profesi malam ini. Aku menjadi buruh cuci seharian penuh. Lalu menjadi pelayan cafe di tengah malam. Tapi hasilnya tak sedikitpun mendekati rupiah yang kumaksud.

Hutang si pemabuk tua itu terlalu tinggi. Aku tidak bisa lagi berbuat apa-apa selain kembali melakoni profesi malamku. Ini yang aku benci, aku bukanlah sosok yang optimis. Walau sebenarnya, aku yakin, Tuhan akan selalu membantuku. Tapi sekali lagi kutegaskan, aku bukanlah sosok yang optimis.

Ah, tamparan yang bertubi-tubi mendarat di wajahku hingga membuat wajahku terlihat sedikit menyeramkan, bukanlah hal yang penting. Aku pun tidak peduli dengan tendangan-tendangan yang meluncur di tubuhku. Dan, ciuman-ciuman menjijikan dari berandal-berandal berbadan besar itu. Aku tidak peduli.

Bodoh. Aku tak tahan, melihat si pemabuk tua itu di aniaya oleh berandal-berandal berbadan besar itu di hadapanku. Baiklah, jika ingin mengingat, si pemabuk tua itu pun sepertinya tak peduli dengan tangisan ku ketika pertama kali harus memasuki kamar remang-remang yang ditemani seseorang berkulit hitam dengan berbagai rantai berwarna emas di leher, dan tangannya. Sedang ia, si pemabuk tua itu hanya tertawa-tawa mengelilingi meja dengan tumpukan rupiah disana. Aku masih jelas mengingatnya.

Tapi lagi-lagi, suara ibu terdengar ‘kalau kejahatan dibalas dengan kejahatan, ya enggak ada habisnya. Kejahatan apapun, kalau dibalas dengan kebaikan, rasanya akan jauh lebih baik. Apapun kejahatannya, nak’ ucapnya sambil membelai rambut panjangku.

Aku ingin bertanya padanya, ‘sampai kapan kejahatan harus di balas dengan kebaikkan ? apa sampai kita mati nanti, bu ?’

Tapi sayang, ibu sudah tiada.

Husssssh. Diam sebentar !

Gadis kecilku, sedang membaca surat Ar-Rahman.

“Surat Ar-Rahman itu sangat indah, bu. Di awali dengan ayat pertama yang berarti kasih sayang. Ada ayat yang di ulang sebanyak .. emmm ..”

 “Tiga puluh satu kali.”

“Wah, iya benar. Ibu pintar.”

Aku senang dengan semua surat di dalam kitab yang sangat kucintai itu. Cinta kataku ? Apa bisa kubilang aku mencintainya, sedang aku sudah melesat jauh dari setiap makna yang di jabarkan dalam kitab itu. Entahlah. Sudahlah.

Lihat ! rupiah yang ku kumpulkan untuk berandal-berandal berbadan besar yang terus menghantui hidupku itu sudah banyak, mungkin tinggal beberapa malam lagi aku melakoni profesi malamku. Rupiah yang aku maksudkan jumlanya nyaris terpenuhi. Hutang si pemabuk tua itu akan segera lunas. Aku janji, aku akan segera meninggalkan profesi malamku.

Tapi tunggu ! Bagaimana kalau ajalku tiba sebelum rupiah itu terkumpul ? Tidak, aku tidak lagi memikirkan tentang hutang si pemabuk tua itu, tapi apa di sana, di alam yang nantinya akan ku masuki, apakah aku bisa mendengar suara-suara tenang itu, lagi ? Itu yang aku khawatirkan.

Oh ya, tolong ingatkan aku kalau aku sudah berjanji, jika rupiah itu sudah terkumpul dan hutang si pemabuk tua itu sudah terbayar. Aku akan berhenti dari profesi malamku. Aku takut melupakan janji itu. Jadi, tolong ingatkan aku.




1Wanita malam, pelacur, pekerja seks komersial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar