Sepasang kaki itu terus berayun
di ujung dermaga tua yang tak terurus. Sebenarnya nyaris tak dapat dipercaya
kalau dermaga kayu dengan warna hitam itu tak terurus. Bagaimana tidak, dermaga
yang hanya mempunyai satu sisi bagian yang dapat di sandari dengan deretan alas
yang bisa ditapaki itu masih kokoh berdiri. Mungkin dermaga itu bertahan untuk
menjadi penenang bagi siapa pun yang memerlukannya. Ya. Mungkin.
Lima jam sudah ia duduk di bagian
ujung dermaga ini, entah apa yang dilakukannya. Lima jam lalu, ia melangkah
pelan-pelan hingga sampai di ujung dermaga. Kedua tangannya ia letakkan ke bebelakang
untuk menyangga tubuhnya, kakinya tak berhenti berayun, sesekali ia memejamkan
mata, tersenyum, lalu mendesah panjang.
Malam tadi, sebelum akhirnya ia
memutuskan untuk kembali ke dermaga yang sebelumnya tidak pernah lagi ingin di
kunjunginya, sejak hari itu. Gadis yang memakai kerudung merah marun itu baru
saja menerima lamaran seseorang. Semalam. Ya. Tidak lama lagi, ia akan menikah.
Bibir tipis itu tertarik, lalu
melengkung, menimbulkan lubang kecil di satu pipinya yang lembut. Gadis itu
menengadahkan pandangannya ke atas, menyapa beberapa burung yang bebas terbang
di udara. Tapi sejujurnya, ia benci ingatan ini. Ingatan yang tidak pernah
ingin dilupakannya, namun harus.
*
“Nja, ayo cepat ambil gambar gue
!” Suara Nayla menyadarkan diri Senja, menyadarkan dari kediamannya untuk
beberapa detik barusan. Gadis berkerudung itu menyengir sebelum akhirnya
menuruti perintah sahabatnya.
“Cheers”
Senja. Kali pertama untuknya
berlibur ke sebuah pulau kecil, pulau yang tidak berpenghuni. Kali pertama juga
baginya melakukan perjalanan bersama orang-orang yang tidak dikenalnya. Dan
kali pertama ia melihat laki-laki itu. Laki-laki yang tidak terlalu tinggi,
juga tidak pendek, laki-laki berkaos biru langit dengan kemeja kotak-kotak yang
dibiarkannya terbuka, emang kurang mathcing
dengan bawahan jeans merah bata. Tapi Senja menyukainya. Laki-laki itu tampak
tenang melangkah sendirian, di lehernya tergantung sebuah kamera SLR Nikon. Dan
kaca mata hitam memberikan kesan cool
pada dirinya.
“Mau di fotoin berdua ?” Ada apa
dengan Senja ? bibir gadis itu seakan terjahit rapat, tak sedikit pun mampu
untuk terbuka, dan sial, jantungnya mendadak ingin keluar dari tempatnya.
“Boleh. Boleh. Viewnya ke laut ya,
mas.” Lagi, Nayla menyadarkan kediaman Senja.
“Ini. Pake kamera saya.” Senja
memberikan kamera saku yang sejak tadi di genggamnnya erat. Ah, kenapa
laki-laki itu harus tersenyum, dan rasanya ia sama sekali tidak bersalah, bukan
laki-laki itu yang salah, tapi Senja-lah yang harus memeriksakan dirinya.
Senja, lo lagi liburan. Come on. Bisiknya pada diri sendiri.
Perlahan, gadis itu mulai
mengendalikan perasaannya. Tunggu ! mengendalikan perasaan ? untuk apa ? Dan perasaan
apa maksudnya ? Senja menelan ludah dengan susah payah untuk memikirkan jawaban
akan pertanyaanya sendiri.
Dan demi Tuhan, gadis itu tidak
bisa lagi menikmati liburan ini dengan sempurna. Ah, tapi setidaknya, ia mulai
menikmati perasaan yang menyelundup masuk tanpa permisi.
“Nja. Tau gini, tadi gue bawa
bekal. Gila, makanannya mahal-mahal banget.” Gerutu Nayla yang baru saja
membayar semangkok indomie rebus dan sebotol air mineral. Senja hanya tertawa
menanggapi penyesalan sahabatnya itu, tawa yang terdengar renyah di setiap
telinga yang mendengarnya. Seketika, tawa renyah itu mengambang di udara, suara
itu terputus tanpa akhir, ada aliran darah yang mengalir begitu cepat, entah
ada di bagian mana, kedua mata bulat milik gadis itu buru-buru ditariknya dari
apa yang dilihatnya. Baru saja pandangan Senja bertemu dengan pandagan
laki-laki itu, entah sengaja atau tidak, entah sudah berapa lama laki-laki itu
memperhatikannya, apa ia merasakan apa yang Senja rasakan ? Cukup ! Senja tidak
ingin menebak-nebak terlalu jauh.
“Kenapa lo ?” Nayla memiringkan
kepalanya, gadis berkerudung hijau lumut itu mengerutkan keningnya, menatap
Senja heran.
“Lo, marah-marah aja. Eh, sholat
yuk !” Senja tidak ingin siapapun tau tentang apa yang sedang ia rasakan, juga
tidak dengan Nayla.
Keduanya berlalu meninggalkan
satu-satunya rumah makan yang ada di pulau itu. Dari kejauhan kedua mata Senja
menangkap pandangan yang terus mengikutinya. Stop Senja ! Jangan ke geeran !
Gumamnya dalam hati.
Tuhan, apa arti semua ini ? Baru
saja Senja menyelesaikan sholatnya, salam, lalu berdoa. Sepasang kaki yang ia
rasa telah mengenal siapa pemiliknya, berdiri tepat dihadapannya. Ya. Mushola
yang ada disana kecil, tidak ada pembatas sama sekali untuk jamaah cowok dan
cewek. Senja tidak ingin memastikan siapa sosok yang berdiri tepat di depannya,
tapi coba dengar, degup daging berbentuk kerucut ini sangat kencang, membuatnya
merasa tidak nyaman. Dan seperti membenarkan perasaannya, mendukung degup si daging
kerucut itu, hatinya berbisik lembut, Elang
Muhammad. Baru saja Senja menyebutkan nama laki-laki itu, bukan, bukan
Senja, tetapi hati kecilnya. Hati yang kemudian merasa lebih baik setelah
membisikkan nama itu. Buru-buru Senja melipat mukenanya, sekali lagi, ia harus
bisa mengendalikan perasaan lancang ini.
Elang Muhammad, ia tau nama itu
dari akun resmi agency travel yang
saat ini ia ikuti. Laki-laki itu bagian dari pencetus perjalanan ini.
Senja, kenapa harus laki-laki itu ? Ini, coba lo liat, banyak
cowok-cowok yang mungkin bisa lo taksir, setidaknya ada kemungkinan buat lo
pedekate sama mereka. Bukan laki-laki itu. Ia terlalu jauh buat lo raih, enggak
mungkin, Nja, enggak mungkin.
Tapi, jodoh itu kan urusan Allah. Enggak ada yang enggak mungkin, kan ?
Iya. Tapi .. Sadar diri aja-lah, lo siapa dan dia siapa. Jangan,
please, jangan jatuh kepada seseorang yang enggak mau nangkap kejatuhan lo. Itu
sakit, Nja.
Telat. Gue udah jatuh cinta sama dia, entah dari kapan. Kali pertama
gue ngeliatnya-kah ? atau pas di mushola tadi. Gue enggak tau, tapi satu hal
yang membenarkan kalau gue jatuh cinta sama laki-laki itu, gue mengaggumi
kepribadiannya. Oke. Gue baru kenal dia hari ini, malah baru beberapa jam, tapi
ngeliat dia sholat tadi, ada satu hentaman di hati gue yang ngeyakinin kalau
dia laki-laki baik, karena apa ? dalam kesibukannya, ia masih sempat untuk
sholat.
Terserah ! Tapi ingat ! Dia terlalu jauh buat lo raih. Lo harus sadar
akan hal itu !
Suara-suara itu terdengar jelas
di telinga Senja. Entah darimana asalnya, entah siapa yang mengeluarkannya.
Antara logika dan hati kecilnya. Senja sama sekali tidak mengerti. Dan jujur,
ia pun tidak dapat menolak telinganya untuk mendengarkan suara-suara itu. Ah
salah, bukan dengan telinganya yang digunakan untuk mendengar, kini ia percaya,
kalau hati memiliki multi fungsi. Ya. Ia percaya akan hal itu.
Perjalanan hari itu selesai. Ada
rasa lega di hati Senja, namun entah mengapa, dirinya merasa, sesuatu baru saja
dimulai. Tentu, perasaan yang lancang, masuk tanpa permisi.
*
Mengingat kejadian tiga tahun
lalu, saat usianya masih dua puluh dua tahun. Gadis itu selalu tersenyum, sulit
menjelaskan arti senyuman itu. Bohong, kalau dirinya tak melakukan apa-apa
untuk menuruti kata hatinya. Bohong, kalau dirinya baik-baik saja setelah
mempersilakan perasaan itu masuk.
Bayangan laki-laki itu bagaikan
slide yang berputar di benaknya. Sejak ia bangun dari tidurnya hingga ia
tertidur lagi, bahkan, tanpa dosa, bayangan itu pun hadir dalam tidurnya. Satu
sisi, Senja menikmati setiap kejap bayangan laki-laki itu, namun di sisi lain,
Senja harus mengakuinya kalau dirinya merasa tidak lagi baik. Perasaan itu
begitu menyiksa. Rindu yang entah bagaimana menyampaikannya, keinginan yang
juga entah harus di kemanakan. Senja tidak dapat mengabaikan masalah ini.
Masalah ? Mungkin.
*
“Jadi, lo jatuh cinta sama Elang
?” Nayla menaikkan nada suaranya di akhir kalimat. Gadis yang duduk di
hadapannya sambil mengaduk-aduk segelas cokelat panas itu mengangguk pelan. Tak
satu kata pun keluar dari mulutnya.
“Aduuuuuh Senja .. ..” gadis di
hadapannya terlihat bingung, bagaimana tidak, perjalanan itu sudah berlalu enam
bulan lalu dan Senja baru mengatakannya saat ini. Bahkan Nayla pun tak begitu
mengingat apa-apa yang terjadi dalam perjalanan enam bulan lalu.
Nayla menegakkan tubuhnya,
menggeser kursi duduknya, mendekat ke meja “Nja, mending lo lupain perasaan lo.
Hmm .. mungkin itu cuma perasaan sesaat, kebawa karena perjalanan kemaren. Tapi
kan udah lama juga, sejak kapan ? sejak kapan lo naksir dia ?”
Senja menghentikan aktifitasnya,
megaduk-aduk minumannya. Gadis itu mendesah pelan “Gue enggak tau pada bagian
mana gue baru ngerasain perasaan ini, tapi, gue benar-benar berani menyebutkan
namanya selesai gue sholat dzuhur. Dia berdiri tepat di depan gue, Nay. Dan
kurang ajarnya, hati gue nyebutin nama dia, gue enggak bisa nolak” Senja
menghentikan ucapannya, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi “andai bisa,
gue enggak mau perasaan ini ada.” Lirinya kemudian.
“Senja, Senja, Senja. I know, lo pasti kesiksa banget. Tapi,
kan lo tau dia. Dia bukan cowok biasa, dia pemimpin agency travel, Nja. Setiap harinya pasti ketemu sama cewek-cewek
yang jauh lebih apa-apanya dari lo, dan gue rasa, dia playboy juga” Nayla
menjeda kalimatnya, membiarkan Senja untuk mencerna setiap kata yang keluar dari
mulutnya “Sekarang gini deh, lo jatuh cinta sama dia, itu sama aja kayak ..
kayak punguk merindukan bulan. Enggak bakalan nyampe, Nja. Satu, lo enggak
ngejalin komunikasi sama dia, bagaimana lo bisa jadi sama dia ? Dua, lo enggak
ada di lingkungannya dia, oke, kalau seandainya lo tiap hari ketemu. Nah ini,
kapasitas lo ketemu sama dia, enggak ada, nol besar, Nja. Aduuuuh, lo jatuh
cinta pilih-pilih dulu kek.”
“Berkali-kali gue buang pikiran
ini, Nay. Gue abaikan perasaan ini, tapi berkali-kali juga gue gagal.” Kedua
mata bulat itu terlihat cukup kuat untuk menahan beningan air yang mulai
tampak.
“Aneh. Lo kan enggak tau dia,
sama sekali enggak pernah ngobrol sama dia, dan .. .. aduuuh .. gue juga enggak
ngerti harus bilang apa.”
Usaha Senja untuk membagikan
sedikit ketidak tenangan dalam hidupnya kepada Nayla, tak mengubah keadaan.
Tapi setidaknya, ia sudah mengeluarkan apa yang menjadi gumpalan di hatinya.
*
Gadis itu masih mengayunkan kedua
kakinya, tak peduli dengan waktu yang terus berjalan, langit yang mulai
berganti warna. Untuk terakhir kalinya, biarkan ia meraskan perasaan itu,
perasaan yang selalu ingin ia bunuh ketika baru tumbuh. Ia janji, setelah
pernikahan nanti, pernikahannya dengan seorang laki-laki yang telah melamarnya,
ia tidak akan lagi menikmati perasaan itu. Ya. Itu janjinya. Izinkan ingatan
ini terus berputar, hanya untuk sekali saja.
*
Enam bulan mungkin telah berlalu.
Dan enam bulan mungkin bukanlah waktu yang lama untuk melupakan satu perasaan.
Tapi saat ini, waktu begitu cepat berlalu. Tiga tahun telah Senja lewatkan
dengan hidup bersama perasaan yang enggan hilang ini.
Sebenarnya tidak sulit untuk
mencari tahu apapun tentang laki-laki itu. Senja tahu kalau ia anak pertama
dari tiga bersaudara, Senja tahu kalau ia menyukai boneka kardus, Senja tahu
kalau ia dulunya pernah bekerja di sebuah perusahaan, menjadi mas-mas kantoran,
Senja tahu kalau ia suka dengan dunia photograph, Senja pun tahu kalau
laki-laki itu tidak memiliki kekasih. Senja tahu semua itu. Tapi untuk apa ia
tahu ? Ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.
Sejak saat itu, ia memutuskan
untuk mundur. Sejak dua tahun enam bulan lalu, Senja paham kalau perasaan ini
hanya membuatnya tidak nyaman. Mencintai orang diam-diam itu sangat
menyakitkan, terlalu banyak hal yang ia terka, menyambungkan apa-apa yang
terjadi untuk memperkuat perasaannya, membenarkan jalan pikirannya. Memang
mengasikan, mencintai diam-diam itu. Tapi lihat, dirinya pernah menghubungi
laki-laki itu dengan merahasiakan nomornya, hanya untuk mendengar suaranya. Dan
itu konyol, hal bodoh yang Senja sesali.
Sejak saat itu, gadis itu hanya
bisa menceritakan semua yang ia rasakan, tanpa terkecuali, pada Tuhannya. Ia
sadar, dan yakin, kalau hanya bercerita pada-Nya-lah yang akan membuatnya
tenang, setidaknya, saat ini ia hanya membutuhkan pendengar yang baik, bukan
jawaban yang pasti. Ya. Senja hanya membutuhkan pendengar yang setia.
Bercerita dengan-Nya, tak
membuatnya harus merasa malu ketika tersedu-sedu dengan jebolan air yang keluar
dari kelopak matanya. Bercerita dengan-Nya tak sedikit pun merasa sungkan
karena harus menghabiskan waktu berjam-jam. Ya. Ia telah memilih teman yang
tepat untuk bercerita.
Hatinya pun mulai terkendali, ia
sadar, kalau cinta memang tidak pernah memilih kepada siapa ia jatuh, kapan ia
datang, tapi setidaknya, Senja tahu kalau ia harus bisa mengendalikannya.
*
Senja menghentikan ayunan
kakinya, telinganya mendengar sayup-sayup langkah seseorang, langkah yang
mendekat ke arahnya. Hembusan angin memang terasa kencang petang itu, namun
langkah kaki seseorang yang menginjak dermaga kayu itu masih dapat terdengar di
telinga Senja. Seperti gendang yang tak berhenti di pukul, degup jantung Senja
berdegup tak beraturan, seratus delapan puluh derajat berubah dengan keadaan
sebelumnya. Sebentar ! Kemana langkah itu ? Senja tak dapat lagi mendengarnya.
Gadis itu mencoba mengingat, apa ia telah memberitahu seseorang kalau dirinya
berada disini, ah, sepertinya tidak. Setelah makan siang tadi, Senja izin untuk
tidak kembali ke tempat kerjanya. Dan, tak ada satu orang pun yang tahu. Ingin
Senja membalikkan badan, lalu melihat siapa yang ada di belakangnya. Namun ada
rasa takut yang menjalar.
Langkah itu kembali terdengar,
semakin dekat. Dan lagi-lagi terhenti. Tidak ada waktu lagi, Senja meraih sepasang
sandal teplek yang ada di sisi kanannya, lalu dengan satu gerakkan, gadis itu
sudah berdiri membalikkan tubuhnya.
Gadis itu terdiam, kaku membeku,
sepasang sandal yang di genggamnya berhenti bergoyang. Gadis yang mengenakan
celana gombrong berwarna hitam dengan dalaman merah marun yang di balut
cardigan hitam itu nyaris tak bernyawa. Ia lupa caranya bernapas, karena sejak
tadi ia menahannya. Ia menelan ludah berkali-kali, walau sebenarnya
tenggorokkannya sudah kering. Ingin berkata sesuatu, tapi apa ini ?
tenggorokkannya terasa sempit, sampai-sampai tak mampu untuk mengeluarkan kata.
Kerudungnya masih terlihat rapih, ia tidak dapat mendengar apapun, kecuali
degup jantungnya yang mungkin sedang berdansa dengan situasi saat ini.
“Sepertinya kita pernah bertemu.”
Sapa seorang laki-laki yang masih melingkarkan jemarinya di mulut kamera, ia
memandang wajah Senja, mengingat-ingat, kapan mereka bertemu.
Gambar *) diambil dari www.edo-ding.blogspot.com
Senja jangan lama menungu. Menjemput tidak salah, kan? Nice ^^
BalasHapusTidak pernah ada yang salah dalam cinta :)
Hapusmakasih disempetin baca :D
hehahehahehaahahaha
BalasHapus