Sabtu, 11 Januari 2014

Yang Senja tunggu



 
Sepasang kaki itu terus berayun di ujung dermaga tua yang tak terurus. Sebenarnya nyaris tak dapat dipercaya kalau dermaga kayu dengan warna hitam itu tak terurus. Bagaimana tidak, dermaga yang hanya mempunyai satu sisi bagian yang dapat di sandari dengan deretan alas yang bisa ditapaki itu masih kokoh berdiri. Mungkin dermaga itu bertahan untuk menjadi penenang bagi siapa pun yang memerlukannya. Ya. Mungkin.

Lima jam sudah ia duduk di bagian ujung dermaga ini, entah apa yang dilakukannya. Lima jam lalu, ia melangkah pelan-pelan hingga sampai di ujung dermaga. Kedua tangannya ia letakkan ke bebelakang untuk menyangga tubuhnya, kakinya tak berhenti berayun, sesekali ia memejamkan mata, tersenyum, lalu mendesah panjang.

Malam tadi, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke dermaga yang sebelumnya tidak pernah lagi ingin di kunjunginya, sejak hari itu. Gadis yang memakai kerudung merah marun itu baru saja menerima lamaran seseorang. Semalam. Ya. Tidak lama lagi, ia akan menikah.


Bibir tipis itu tertarik, lalu melengkung, menimbulkan lubang kecil di satu pipinya yang lembut. Gadis itu menengadahkan pandangannya ke atas, menyapa beberapa burung yang bebas terbang di udara. Tapi sejujurnya, ia benci ingatan ini. Ingatan yang tidak pernah ingin dilupakannya, namun harus.

*

“Nja, ayo cepat ambil gambar gue !” Suara Nayla menyadarkan diri Senja, menyadarkan dari kediamannya untuk beberapa detik barusan. Gadis berkerudung itu menyengir sebelum akhirnya menuruti perintah sahabatnya.

Cheers

Senja. Kali pertama untuknya berlibur ke sebuah pulau kecil, pulau yang tidak berpenghuni. Kali pertama juga baginya melakukan perjalanan bersama orang-orang yang tidak dikenalnya. Dan kali pertama ia melihat laki-laki itu. Laki-laki yang tidak terlalu tinggi, juga tidak pendek, laki-laki berkaos biru langit dengan kemeja kotak-kotak yang dibiarkannya terbuka, emang kurang mathcing dengan bawahan jeans merah bata. Tapi Senja menyukainya. Laki-laki itu tampak tenang melangkah sendirian, di lehernya tergantung sebuah kamera SLR Nikon. Dan kaca mata hitam memberikan kesan cool pada dirinya.

“Mau di fotoin berdua ?” Ada apa dengan Senja ? bibir gadis itu seakan terjahit rapat, tak sedikit pun mampu untuk terbuka, dan sial, jantungnya mendadak ingin keluar dari tempatnya.

“Boleh. Boleh. Viewnya ke laut ya, mas.” Lagi, Nayla menyadarkan kediaman Senja.

“Ini. Pake kamera saya.” Senja memberikan kamera saku yang sejak tadi di genggamnnya erat. Ah, kenapa laki-laki itu harus tersenyum, dan rasanya ia sama sekali tidak bersalah, bukan laki-laki itu yang salah, tapi Senja-lah yang harus memeriksakan dirinya.

Senja, lo lagi liburan. Come on. Bisiknya pada diri sendiri.

Perlahan, gadis itu mulai mengendalikan perasaannya. Tunggu ! mengendalikan perasaan ? untuk apa ? Dan perasaan apa maksudnya ? Senja menelan ludah dengan susah payah untuk memikirkan jawaban akan pertanyaanya sendiri.

Dan demi Tuhan, gadis itu tidak bisa lagi menikmati liburan ini dengan sempurna. Ah, tapi setidaknya, ia mulai menikmati perasaan yang menyelundup masuk tanpa permisi.

“Nja. Tau gini, tadi gue bawa bekal. Gila, makanannya mahal-mahal banget.” Gerutu Nayla yang baru saja membayar semangkok indomie rebus dan sebotol air mineral. Senja hanya tertawa menanggapi penyesalan sahabatnya itu, tawa yang terdengar renyah di setiap telinga yang mendengarnya. Seketika, tawa renyah itu mengambang di udara, suara itu terputus tanpa akhir, ada aliran darah yang mengalir begitu cepat, entah ada di bagian mana, kedua mata bulat milik gadis itu buru-buru ditariknya dari apa yang dilihatnya. Baru saja pandangan Senja bertemu dengan pandagan laki-laki itu, entah sengaja atau tidak, entah sudah berapa lama laki-laki itu memperhatikannya, apa ia merasakan apa yang Senja rasakan ? Cukup ! Senja tidak ingin menebak-nebak terlalu jauh.

“Kenapa lo ?” Nayla memiringkan kepalanya, gadis berkerudung hijau lumut itu mengerutkan keningnya, menatap Senja heran.

“Lo, marah-marah aja. Eh, sholat yuk !” Senja tidak ingin siapapun tau tentang apa yang sedang ia rasakan, juga tidak dengan Nayla.

Keduanya berlalu meninggalkan satu-satunya rumah makan yang ada di pulau itu. Dari kejauhan kedua mata Senja menangkap pandangan yang terus mengikutinya. Stop Senja ! Jangan ke geeran ! Gumamnya dalam hati.

Tuhan, apa arti semua ini ? Baru saja Senja menyelesaikan sholatnya, salam, lalu berdoa. Sepasang kaki yang ia rasa telah mengenal siapa pemiliknya, berdiri tepat dihadapannya. Ya. Mushola yang ada disana kecil, tidak ada pembatas sama sekali untuk jamaah cowok dan cewek. Senja tidak ingin memastikan siapa sosok yang berdiri tepat di depannya, tapi coba dengar, degup daging berbentuk kerucut ini sangat kencang, membuatnya merasa tidak nyaman. Dan seperti membenarkan perasaannya, mendukung degup si daging kerucut itu, hatinya berbisik lembut, Elang Muhammad. Baru saja Senja menyebutkan nama laki-laki itu, bukan, bukan Senja, tetapi hati kecilnya. Hati yang kemudian merasa lebih baik setelah membisikkan nama itu. Buru-buru Senja melipat mukenanya, sekali lagi, ia harus bisa mengendalikan perasaan lancang ini.
Elang Muhammad, ia tau nama itu dari akun resmi agency travel yang saat ini ia ikuti. Laki-laki itu bagian dari pencetus perjalanan ini.

Senja, kenapa harus laki-laki itu ? Ini, coba lo liat, banyak cowok-cowok yang mungkin bisa lo taksir, setidaknya ada kemungkinan buat lo pedekate sama mereka. Bukan laki-laki itu. Ia terlalu jauh buat lo raih, enggak mungkin, Nja, enggak mungkin.

Tapi, jodoh itu kan urusan Allah. Enggak ada yang enggak mungkin, kan ?

Iya. Tapi .. Sadar diri aja-lah, lo siapa dan dia siapa. Jangan, please, jangan jatuh kepada seseorang yang enggak mau nangkap kejatuhan lo. Itu sakit, Nja.

Telat. Gue udah jatuh cinta sama dia, entah dari kapan. Kali pertama gue ngeliatnya-kah ? atau pas di mushola tadi. Gue enggak tau, tapi satu hal yang membenarkan kalau gue jatuh cinta sama laki-laki itu, gue mengaggumi kepribadiannya. Oke. Gue baru kenal dia hari ini, malah baru beberapa jam, tapi ngeliat dia sholat tadi, ada satu hentaman di hati gue yang ngeyakinin kalau dia laki-laki baik, karena apa ? dalam kesibukannya, ia masih sempat untuk sholat.

Terserah ! Tapi ingat ! Dia terlalu jauh buat lo raih. Lo harus sadar akan hal itu !

Suara-suara itu terdengar jelas di telinga Senja. Entah darimana asalnya, entah siapa yang mengeluarkannya. Antara logika dan hati kecilnya. Senja sama sekali tidak mengerti. Dan jujur, ia pun tidak dapat menolak telinganya untuk mendengarkan suara-suara itu. Ah salah, bukan dengan telinganya yang digunakan untuk mendengar, kini ia percaya, kalau hati memiliki multi fungsi. Ya. Ia percaya akan hal itu.

Perjalanan hari itu selesai. Ada rasa lega di hati Senja, namun entah mengapa, dirinya merasa, sesuatu baru saja dimulai. Tentu, perasaan yang lancang, masuk tanpa permisi.

*

Mengingat kejadian tiga tahun lalu, saat usianya masih dua puluh dua tahun. Gadis itu selalu tersenyum, sulit menjelaskan arti senyuman itu. Bohong, kalau dirinya tak melakukan apa-apa untuk menuruti kata hatinya. Bohong, kalau dirinya baik-baik saja setelah mempersilakan perasaan itu masuk.

Bayangan laki-laki itu bagaikan slide yang berputar di benaknya. Sejak ia bangun dari tidurnya hingga ia tertidur lagi, bahkan, tanpa dosa, bayangan itu pun hadir dalam tidurnya. Satu sisi, Senja menikmati setiap kejap bayangan laki-laki itu, namun di sisi lain, Senja harus mengakuinya kalau dirinya merasa tidak lagi baik. Perasaan itu begitu menyiksa. Rindu yang entah bagaimana menyampaikannya, keinginan yang juga entah harus di kemanakan. Senja tidak dapat mengabaikan masalah ini. Masalah ? Mungkin.

*

“Jadi, lo jatuh cinta sama Elang ?” Nayla menaikkan nada suaranya di akhir kalimat. Gadis yang duduk di hadapannya sambil mengaduk-aduk segelas cokelat panas itu mengangguk pelan. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya.

“Aduuuuuh Senja .. ..” gadis di hadapannya terlihat bingung, bagaimana tidak, perjalanan itu sudah berlalu enam bulan lalu dan Senja baru mengatakannya saat ini. Bahkan Nayla pun tak begitu mengingat apa-apa yang terjadi dalam perjalanan enam bulan lalu.

Nayla menegakkan tubuhnya, menggeser kursi duduknya, mendekat ke meja “Nja, mending lo lupain perasaan lo. Hmm .. mungkin itu cuma perasaan sesaat, kebawa karena perjalanan kemaren. Tapi kan udah lama juga, sejak kapan ? sejak kapan lo naksir dia ?”

Senja menghentikan aktifitasnya, megaduk-aduk minumannya. Gadis itu mendesah pelan “Gue enggak tau pada bagian mana gue baru ngerasain perasaan ini, tapi, gue benar-benar berani menyebutkan namanya selesai gue sholat dzuhur. Dia berdiri tepat di depan gue, Nay. Dan kurang ajarnya, hati gue nyebutin nama dia, gue enggak bisa nolak” Senja menghentikan ucapannya, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi “andai bisa, gue enggak mau perasaan ini ada.” Lirinya kemudian.

“Senja, Senja, Senja. I know, lo pasti kesiksa banget. Tapi, kan lo tau dia. Dia bukan cowok biasa, dia pemimpin agency travel, Nja. Setiap harinya pasti ketemu sama cewek-cewek yang jauh lebih apa-apanya dari lo, dan gue rasa, dia playboy juga” Nayla menjeda kalimatnya, membiarkan Senja untuk mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya “Sekarang gini deh, lo jatuh cinta sama dia, itu sama aja kayak .. kayak punguk merindukan bulan. Enggak bakalan nyampe, Nja. Satu, lo enggak ngejalin komunikasi sama dia, bagaimana lo bisa jadi sama dia ? Dua, lo enggak ada di lingkungannya dia, oke, kalau seandainya lo tiap hari ketemu. Nah ini, kapasitas lo ketemu sama dia, enggak ada, nol besar, Nja. Aduuuuh, lo jatuh cinta pilih-pilih dulu kek.”

“Berkali-kali gue buang pikiran ini, Nay. Gue abaikan perasaan ini, tapi berkali-kali juga gue gagal.” Kedua mata bulat itu terlihat cukup kuat untuk menahan beningan air yang mulai tampak.

“Aneh. Lo kan enggak tau dia, sama sekali enggak pernah ngobrol sama dia, dan .. .. aduuuh .. gue juga enggak ngerti harus bilang apa.”

Usaha Senja untuk membagikan sedikit ketidak tenangan dalam hidupnya kepada Nayla, tak mengubah keadaan. Tapi setidaknya, ia sudah mengeluarkan apa yang menjadi gumpalan di hatinya.

*

Gadis itu masih mengayunkan kedua kakinya, tak peduli dengan waktu yang terus berjalan, langit yang mulai berganti warna. Untuk terakhir kalinya, biarkan ia meraskan perasaan itu, perasaan yang selalu ingin ia bunuh ketika baru tumbuh. Ia janji, setelah pernikahan nanti, pernikahannya dengan seorang laki-laki yang telah melamarnya, ia tidak akan lagi menikmati perasaan itu. Ya. Itu janjinya. Izinkan ingatan ini terus berputar, hanya untuk sekali saja.

*

Enam bulan mungkin telah berlalu. Dan enam bulan mungkin bukanlah waktu yang lama untuk melupakan satu perasaan. Tapi saat ini, waktu begitu cepat berlalu. Tiga tahun telah Senja lewatkan dengan hidup bersama perasaan yang enggan hilang ini.

Sebenarnya tidak sulit untuk mencari tahu apapun tentang laki-laki itu. Senja tahu kalau ia anak pertama dari tiga bersaudara, Senja tahu kalau ia menyukai boneka kardus, Senja tahu kalau ia dulunya pernah bekerja di sebuah perusahaan, menjadi mas-mas kantoran, Senja tahu kalau ia suka dengan dunia photograph, Senja pun tahu kalau laki-laki itu tidak memiliki kekasih. Senja tahu semua itu. Tapi untuk apa ia tahu ? Ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.

Sejak saat itu, ia memutuskan untuk mundur. Sejak dua tahun enam bulan lalu, Senja paham kalau perasaan ini hanya membuatnya tidak nyaman. Mencintai orang diam-diam itu sangat menyakitkan, terlalu banyak hal yang ia terka, menyambungkan apa-apa yang terjadi untuk memperkuat perasaannya, membenarkan jalan pikirannya. Memang mengasikan, mencintai diam-diam itu. Tapi lihat, dirinya pernah menghubungi laki-laki itu dengan merahasiakan nomornya, hanya untuk mendengar suaranya. Dan itu konyol, hal bodoh yang Senja sesali.

Sejak saat itu, gadis itu hanya bisa menceritakan semua yang ia rasakan, tanpa terkecuali, pada Tuhannya. Ia sadar, dan yakin, kalau hanya bercerita pada-Nya-lah yang akan membuatnya tenang, setidaknya, saat ini ia hanya membutuhkan pendengar yang baik, bukan jawaban yang pasti. Ya. Senja hanya membutuhkan pendengar yang setia.

Bercerita dengan-Nya, tak membuatnya harus merasa malu ketika tersedu-sedu dengan jebolan air yang keluar dari kelopak matanya. Bercerita dengan-Nya tak sedikit pun merasa sungkan karena harus menghabiskan waktu berjam-jam. Ya. Ia telah memilih teman yang tepat untuk bercerita.
Hatinya pun mulai terkendali, ia sadar, kalau cinta memang tidak pernah memilih kepada siapa ia jatuh, kapan ia datang, tapi setidaknya, Senja tahu kalau ia harus bisa mengendalikannya.

*

Senja menghentikan ayunan kakinya, telinganya mendengar sayup-sayup langkah seseorang, langkah yang mendekat ke arahnya. Hembusan angin memang terasa kencang petang itu, namun langkah kaki seseorang yang menginjak dermaga kayu itu masih dapat terdengar di telinga Senja. Seperti gendang yang tak berhenti di pukul, degup jantung Senja berdegup tak beraturan, seratus delapan puluh derajat berubah dengan keadaan sebelumnya. Sebentar ! Kemana langkah itu ? Senja tak dapat lagi mendengarnya. Gadis itu mencoba mengingat, apa ia telah memberitahu seseorang kalau dirinya berada disini, ah, sepertinya tidak. Setelah makan siang tadi, Senja izin untuk tidak kembali ke tempat kerjanya. Dan, tak ada satu orang pun yang tahu. Ingin Senja membalikkan badan, lalu melihat siapa yang ada di belakangnya. Namun ada rasa takut yang menjalar.

Langkah itu kembali terdengar, semakin dekat. Dan lagi-lagi terhenti. Tidak ada waktu lagi, Senja meraih sepasang sandal teplek yang ada di sisi kanannya, lalu dengan satu gerakkan, gadis itu sudah berdiri membalikkan tubuhnya.

Gadis itu terdiam, kaku membeku, sepasang sandal yang di genggamnya berhenti bergoyang. Gadis yang mengenakan celana gombrong berwarna hitam dengan dalaman merah marun yang di balut cardigan hitam itu nyaris tak bernyawa. Ia lupa caranya bernapas, karena sejak tadi ia menahannya. Ia menelan ludah berkali-kali, walau sebenarnya tenggorokkannya sudah kering. Ingin berkata sesuatu, tapi apa ini ? tenggorokkannya terasa sempit, sampai-sampai tak mampu untuk mengeluarkan kata. Kerudungnya masih terlihat rapih, ia tidak dapat mendengar apapun, kecuali degup jantungnya yang mungkin sedang berdansa dengan situasi saat ini.

“Sepertinya kita pernah bertemu.” Sapa seorang laki-laki yang masih melingkarkan jemarinya di mulut kamera, ia memandang wajah Senja, mengingat-ingat, kapan mereka bertemu.




Gambar *) diambil dari www.edo-ding.blogspot.com

3 komentar:

  1. Senja jangan lama menungu. Menjemput tidak salah, kan? Nice ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak pernah ada yang salah dalam cinta :)

      makasih disempetin baca :D

      Hapus