Kegagalan adalah keberhasilan
yang tertunda, katanya. Namun, jika boleh mengubah sedikit saja dari pepatah
tersebut, kegagalan merupakan puing-puing perjalanan yang akan kita rindukan
saat keberhasilan tengah kita rasakan. Mungkin seperti itu bagi saya. Konyol
kedengarannya, gagal kok dirindukan. But,
I like anyway.
Seharusnya, ya, seharusnya saya
menuliskan hal tersebut ketika saya tengah berhasil. Seharusnya, namun, kalau
harus menunggu saat itu, entah kapan tulisan ini akan beredar. Ini bukan
berarti saya tidak berhasil. Karena berhasil hanyalah bonus dalam sebuah
perjalanan.
Rasanya semakin saya menikmati
setiap perjalanan penuh kegagalan dalam meraih impian, membuat saya terbiasa
dengan sebuah ‘kegagalan’. Sama halnya ketika saya mulai menikmati setiap
kesasaran dalam perjalanan-perjalanan saya. Saya menikmatinya.
Karena bukankah, kebahagiaan itu
berlandaskan dengan rasa cukup ? Begitu-lah hal yang pernah saya dengar dari
salah seorang editor di penerbit, Jakarta, Windy ariestanty. Dan saya sangat
amat membenarkannya.
Saking seringnya ‘gagal’, saya
lupa bahwa ada keberhasilan yang akan menghampiri. Ah, saya terlalu karib
dengan hal yang sering menjadi alasan utama para pemimpi menyerah. Ya.
Kegagalan.
Juni 2013 lalu, saya memenangkan
satu kompetisi dalam dunia tulis menulis. Untuk pertama kalinya. Cieeee .. gue
menang. Hahaa.
Mungkin, bukan hal yang ‘wah’
buat sebagian orang atau mungkin juga adalah hal yang ‘luar biasa’ buat
sebagian orang lainnya. Mungkin.
Dan buat saya, saya yang terbiasa
dengan kegagalan, entah apa yang saya rasakan. Sulit rasanya untuk
mendeskripsikan perasaan tersebut. Bagaimana tidak, orang yang terbiasa gagal,
kini menjadi pemenang ?
Ini toh rasanya berhasil.
Berhasil di dalam bidang yang saya senangi. Berhasil mengubah impian menjadi
kenyataan. Jadi, begini rasanya ?
Pujian mulai membanjiri mention saya di twitter. Ya. Kompetisi
menulis yang saya ikuti di selenggarakan oleh sebuah akun twitter @FilmSoekarno
dengan #SuratUntukBung. Pujian tersebut bersumber dari siapapun, baik yang
mengenal dan saya kenal, ataupun orang asing yang tidak saling kenal. Dan
sekali lagi saya menegaskan pada diri saya sendiri, jadi begini rasanya .. ..
Namun, semua selalu seimbang.
Saya terdiam beberapa detik. Bukan. Bukan nahan boker. Saya terdiam, entah kenapa, ketika beberapa orang yang
mengetahui bahwa saya menjadi pemenang kompetisi tersebut bertanya, “Dapat apah
?”.
“Dapat apah ?”
Kenapa harus ada pertanyaan
seperti itu ? Ya. Saya pun pasti pernah melontarkan pertanyaan tersebut kepada
seseorang yang mungkin pernah mengalami satu keberhasilan. “Dapat apah ?”
“Dapat buku.” Jawab saya
kemudian.
“Buku doang ?” nadanya di naikkan
dikit. Alisnya berkerut. Mulutnya agak monyong.
“Iya. Hmm .. tapi tulisan aku di
pajang di web resmi film tersebut.” Saya senyum bangga.
“Enggak dapat bayaran ?” nadanya
terdengar mengejek. Dengan sedikit gerakkan tubuh.
“Enggak.” Melas.
Saya terdiam. Bukan. Bukan
terdiam, namun memilih untuk diam. Saya enggan meneruskan obrolan tersebut.
Saya sedang tidak ingin membuat perasaan saya kecewa.
Come on, lo lagi meraih satu keberhasilan. Enggak peduli apa yang
lo dapat, tapi hal yang nyata, tulisan lo dibaca banyak orang. Lo, punya
pembaca. Itu udah lebih dari cukup !
Saya terus bergelut dengan
suara-suara yang entah darimana asalnya, tapi saya yakin kalau suara-suara
tersebut adalah suara yang selalu membuat saya bangkit setiap kali terjatuh.
Suara tersebut adalah cambuk ketika rasa malas sedang memaksa saya untuk terus
bermimpi indah dalam nyenyak, suara yang tak pernah sedikit pun merasa lelah
untuk mengingatkan saya agar terus mengubah impian menjadi kenyataan. Suara
yang sering menyuruh saya untuk menembus zona-zona di luar batas pemikiran
saya. Dan suara itu tidak pernah jauh sedikit pun dari diri saya. Karena ia terletak
di dalam hati yang begitu dalam. Meski kecil, ia selalu terdengar lantang.
Bahkan kadang membuat saya harus mencerna setiap kata yang di ucapkannya.
Perlahan, bibir saya tertarik
untuk tersenyum. Bukankah pembaca adalah nyawa bagi seorang penulis ? Itu saja
sudah cukup.
Lagi. Artikel saya yang saya ikut
sertakan dalam kompetisi ‘menulis blog terios 7 wonders’ dengan judul ‘Sawarna,
desa sederhana dengan maha karya yang tidak sederhana’ mengantarkan saya
menjadi 25 finalis dari Vivalog. Viva yang bekerjasama dengan Daihatsu. It’s amazing, buat gue yang sering gagal.
Terlebih, 25 finalis tersebut di
undang untuk menghadiri blogger gathering di Jakarta. Dan, jika ada yang
bertanya “Dapat apah ?” saya akan menjawab dengan bangga “Satu buah miniature
mobil terios dan tas backpacker eiger yang ada logo daihatsunya + makan siang
gratis”. Gila enggak tuh .. biasa sih !
Tapi, ketika kegagalan mulai
meninggalkan saya, saya memiliki teman baru yang bernama ‘kesasaran’. Ya. Saya
tidak sampai di acara blogger gathering tersebut. Enggak. Bukannya enggak
sampe, cuma, telat tiga jam. Dan, saya pun pulang dengan membawa cerita
baru.
Lagi, pertanyaan itu pun
terlontar “Dapat apah ?”
Dengan cengiran ketegaran, saya
pun bercerita apa yang terjadi sebenarnya. Walau malu, gengsi, dan enggak kuat
kalau harus mengingat hal tersebut. Dan ini tanggapan mereka yang mendengar,
“Ya ampun, sayang banget.”
“Wiiih, tas backpack eiger
meeen.”
“Wah, di JIExpo ? Itu tempat
keren banget.”
“Kenapa enggak naik kereta aja,
turun di kemayoran, kan dari situ dekat.”
Dan saya selalu punya jawaban
handal untuk menghindari percakapan tersebut “Ya, mungkin emang udah jalannya
seperti itu. Mau gimana lagi ?”
Asli. Mereka semua akan terdiam
dan membenarkan pernyataan saya. Berhasil ! Berhasil ! Horeee .. Sorak dora di
dalam benak saya.
Dan mulai saat itu, saya lebih
memilih diam setiap kali mengikuti satu kompetisi. Lebih tepatnya
merahasiakannya dari siapapun. Apapun itu.
Saya hanya ingin, mereka tahu
ketika saya berhasil.
Cukuplah saya yang mengetahui
proses demi proses yang saya alami. Awalnya.
Dan semua pun berubah.
Seperti yang pernah saya tuliskan
di postingan sebelumnya, (Sebenarnya,
sejak dulu, sejak saya mulai mengalami kesasaran-kesasaran yang rasanya sejak
saat itu sulit terlepas dalam setiap perjalanan saya. Saya merasa lebih
penasaran dengan ‘apa yang akan terjadi di perjalanan nanti, gue nyasar enggak
nih ya entar’ dibandingkan dengan rasa penasaran saya akan tempat tujuan yang
ingin saya kunjungi). Persis. Saya ingin menikmati setiap proses yang saya
alami, proses menuju satu keberhasilan. Bukan hanya keberhasilannya saja.
Rasanya, dulu, ketika awal saya
menulis, ketika masih SMP (2005), saya ingin terkenal. Saya ingin punya uang
banyak.
Tapi semakin sering saya menulis,
semakin banyak hal-hal yang tidak pernah terduga terjadi begitu saja, dan
semakin dalam kecintaan saya pada dunia ini (baca:menulis).
Rasanya ..
Tak ingin lagi popularitas. Meski
tak muna soal royalti. Lupakan angan-angan untuk terkenal.
Bukankah bahagia berlandaskan
dengan rasa cukup ?
Saya hanya melakukan apa yang
saya cintai. Membagi apa yang saya alami. Menceritakan tentang apa yang saya
rasakan. Dan menjelaskan bahwa ‘kegagalan’ juga ‘kesasaran’ adalah teman
terbaik dalam hidup saya. Walau jujur, saya sangat ingin di tinggalkan oleh
keduanya.
Ini bukan persoalan “Dapat apah
?” dan enggak perlu juga pusing untuk memikirkan jawabannya. Jawaban yang
keren, yang jika orang mendengarnya, mereka akan terkagum-kagum. Bukan.
Semakin sering saya melangkah
bersama impian yang sejak dulu tumbuh di benak saya, saya semakin mengerti
bahwa ‘hasil’ bukanlah tujuan akhir saya. Bahwa ‘hasil’ tak melulu harus
sesuatu yang istimewa. Bohong, kalau saya berkata saya enggak pengin ‘ini itu’.
Tapi jika harus menyimpulkan, saya selalu percaya, orang yang berani bermimpi,
lalu berusaha untuk mengubah impian tersebut menjadi nyata dan enggak pernah
lelah untuk mengejarnya. Ia sesungguhnya telah berhasil.
Orang yang berani bermimpi,
berani hidup dengan impian-impian besarnya, berani keluar dari zona nyamannya,
dan berani berteman dengan kegagalan, ia akan banyak menemukan apa-apa yang
enggak orang lain temukan. Ia akan mendapatkan apa-apa yang enggak orang lain
dapatkan. Dan ia akan mengerti .. bahwa hidupnya terasa lebih mengesankan.
Ini bukan lagi persoalan “Dapat
apah ?”, hanya saja, pertanyaan besarnya, “bagaimana bisa ?” sehingga
pertanyaan “Dapat apah ?” itu di tujukan kepada kita.
Ah, playlist saya sedang memutar
lagu hidup berawal dari mimpi, sebuah lagu dari Bondan prakoso feat Fade2Black
yang enggak pernah absen untuk saya dengarkan ketika saya memutar playlist.
Kujelang
matahari dengan segelas teh panas
Dipagi
ini ku bebas karena enggak ada kelas
Di
ruang mata ini kamar ini serasa luas
Letih
dan lelah juga lambat-lambat terkuras
Teh
sudah habis, kerongkonganku pun puas
Mulai
kutulis semua kehidupan di kertas
Hari-hari
yang keras, kisah cinta yang pedas
Perasaan
yang waswas,
Dan
gerakku yang terbatas
Tinta
yang keluar dari dalam pena
Berirama
dengan apa yang kurasa
Dalam
hati ini ingin kuubah semua
Kehidupan
monoton penuh luka putus asa
Tinggalkanlah
gengsi, hidup berawal dari mimpi
Gantungkan
yang tinggi, agar semua terjadi
Rasakan
semua, peduli itu ironi-tragedi
Senang-bahagia,
hingga kelak kau mati
Dunia
memang tak selebar daun kelor
Akal
dan pikiranku pun tak selamanya kotor
Membuka
mata hati demi sebuah cita-cita
Melangkah
pasti, pena dan tinta berbicara
Tetapkan
pilihan ‘tuk satu kemungkinan
Sebagai
bintang hiburan, dan terus melayang
Tak
heran ragaku, terbalut label mewah
Cerminan
seorang raja dalam cerita Cinderella
Ini
bukan mimpi atau halusinasi
Sebuah
anugerah yang akan kunikmati nanti
Hasil
kerja kerasku terbayarkan lunas .. tuntas ..
Melakoni
jati diri sampai puas
Jalan
sedikit tersungkur terjungkir terbalik
Melangkah
menuju titik, lakukan yang terbaik
Kuketatkan
tekad dan niat agar melesat
Seperti
rudal squad, mimpiku kan kudapat
Mencari
tepuk tangan atas karya keringatku
Bukan
satu yang ingin aku tuju
Naik
ke atas pentas, agar orang puas
Dapat
applause, cek ataupun uang kertas
Cari
sensasi atau pun kontroversi
Bukan
caraku agar hidupku rekonstruksi
Dari
mimpi semua hal dapat terjadi
Maka
lebarkan sayap dan terbanglah yang tinggi
Seorang penyair pernah ditanya soal utopia. “Apa itu utopia ?” tanya
seseorang kepadanya.
“Utopia adalah sebuah titik, yang ketika kau berada di sebuah horizon,
titik itu berada sepuluh langkah dihadapanmu,” kata si penyair, “setiap kali
kau mendekatinya sepuluh langkah, titik itu akan menjauh sepuluh langkah. Dan
ketika kau berusaha menggapainya seribu langkah, titik itu selalu menjauh
sebanyak langkah yang kau ambil,” lanjut si penyair.
“Lalu, apa pentingnya utopia ?” Si penanya terus bertanya.
“Itu tadi, utopia penting untuk dimiliki. Agar kau selalu melangkah,
dan terus melangkah.” (di kutip dari
buku “Hidup berawal dari mimpi-Fahd Djibran, Bondan prakoso & Fade2Black)
Gambar * diambil dari www.baltyra.com
Gambar ** diambil dari www.realagriculture.com
*ngasih jempol* :)
BalasHapusAsiik ..
HapusDibuka, dibaca, dicomment pula .. *hug*