Senin, 30 Desember 2013

DAPAT APAH ?

*

Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda, katanya. Namun, jika boleh mengubah sedikit saja dari pepatah tersebut, kegagalan merupakan puing-puing perjalanan yang akan kita rindukan saat keberhasilan tengah kita rasakan. Mungkin seperti itu bagi saya. Konyol kedengarannya, gagal kok dirindukan. But, I like anyway.

Seharusnya, ya, seharusnya saya menuliskan hal tersebut ketika saya tengah berhasil. Seharusnya, namun, kalau harus menunggu saat itu, entah kapan tulisan ini akan beredar. Ini bukan berarti saya tidak berhasil. Karena berhasil hanyalah bonus dalam sebuah perjalanan.

Rasanya semakin saya menikmati setiap perjalanan penuh kegagalan dalam meraih impian, membuat saya terbiasa dengan sebuah ‘kegagalan’. Sama halnya ketika saya mulai menikmati setiap kesasaran dalam perjalanan-perjalanan saya. Saya menikmatinya.

Karena bukankah, kebahagiaan itu berlandaskan dengan rasa cukup ? Begitu-lah hal yang pernah saya dengar dari salah seorang editor di penerbit, Jakarta, Windy ariestanty. Dan saya sangat amat membenarkannya.


Saking seringnya ‘gagal’, saya lupa bahwa ada keberhasilan yang akan menghampiri. Ah, saya terlalu karib dengan hal yang sering menjadi alasan utama para pemimpi menyerah. Ya. Kegagalan.
Juni 2013 lalu, saya memenangkan satu kompetisi dalam dunia tulis menulis. Untuk pertama kalinya. Cieeee .. gue menang. Hahaa.

Mungkin, bukan hal yang ‘wah’ buat sebagian orang atau mungkin juga adalah hal yang ‘luar biasa’ buat sebagian orang lainnya. Mungkin.

Dan buat saya, saya yang terbiasa dengan kegagalan, entah apa yang saya rasakan. Sulit rasanya untuk mendeskripsikan perasaan tersebut. Bagaimana tidak, orang yang terbiasa gagal, kini menjadi pemenang ?
Ini toh rasanya berhasil. Berhasil di dalam bidang yang saya senangi. Berhasil mengubah impian menjadi kenyataan. Jadi, begini rasanya ?

Pujian mulai membanjiri mention saya di twitter. Ya. Kompetisi menulis yang saya ikuti di selenggarakan oleh sebuah akun twitter @FilmSoekarno dengan #SuratUntukBung. Pujian tersebut bersumber dari siapapun, baik yang mengenal dan saya kenal, ataupun orang asing yang tidak saling kenal. Dan sekali lagi saya menegaskan pada diri saya sendiri, jadi begini rasanya .. ..

Namun, semua selalu seimbang. Saya terdiam beberapa detik. Bukan. Bukan nahan boker. Saya terdiam,  entah kenapa, ketika beberapa orang yang mengetahui bahwa saya menjadi pemenang kompetisi tersebut bertanya, “Dapat apah ?”.

“Dapat apah ?”

Kenapa harus ada pertanyaan seperti itu ? Ya. Saya pun pasti pernah melontarkan pertanyaan tersebut kepada seseorang yang mungkin pernah mengalami satu keberhasilan. “Dapat apah ?”

“Dapat buku.” Jawab saya kemudian.
“Buku doang ?” nadanya di naikkan dikit. Alisnya berkerut. Mulutnya agak monyong.
“Iya. Hmm .. tapi tulisan aku di pajang di web resmi film tersebut.” Saya senyum bangga.
“Enggak dapat bayaran ?” nadanya terdengar mengejek. Dengan sedikit gerakkan tubuh.
“Enggak.” Melas.

Saya terdiam. Bukan. Bukan terdiam, namun memilih untuk diam. Saya enggan meneruskan obrolan tersebut. Saya sedang tidak ingin membuat perasaan saya kecewa.

Come on, lo lagi meraih satu keberhasilan. Enggak peduli apa yang lo dapat, tapi hal yang nyata, tulisan lo dibaca banyak orang. Lo, punya pembaca. Itu udah lebih dari cukup !

Saya terus bergelut dengan suara-suara yang entah darimana asalnya, tapi saya yakin kalau suara-suara tersebut adalah suara yang selalu membuat saya bangkit setiap kali terjatuh. Suara tersebut adalah cambuk ketika rasa malas sedang memaksa saya untuk terus bermimpi indah dalam nyenyak, suara yang tak pernah sedikit pun merasa lelah untuk mengingatkan saya agar terus mengubah impian menjadi kenyataan. Suara yang sering menyuruh saya untuk menembus zona-zona di luar batas pemikiran saya. Dan suara itu tidak pernah jauh sedikit pun dari diri saya. Karena ia terletak di dalam hati yang begitu dalam. Meski kecil, ia selalu terdengar lantang. Bahkan kadang membuat saya harus mencerna setiap kata yang di ucapkannya.

Perlahan, bibir saya tertarik untuk tersenyum. Bukankah pembaca adalah nyawa bagi seorang penulis ? Itu saja sudah cukup.

Lagi. Artikel saya yang saya ikut sertakan dalam kompetisi ‘menulis blog terios 7 wonders’ dengan judul ‘Sawarna, desa sederhana dengan maha karya yang tidak sederhana’ mengantarkan saya menjadi 25 finalis dari Vivalog. Viva yang bekerjasama dengan Daihatsu. It’s amazing, buat gue yang sering gagal.

Terlebih, 25 finalis tersebut di undang untuk menghadiri blogger gathering di Jakarta. Dan, jika ada yang bertanya “Dapat apah ?” saya akan menjawab dengan bangga “Satu buah miniature mobil terios dan tas backpacker eiger yang ada logo daihatsunya + makan siang gratis”. Gila enggak tuh .. biasa sih !

Tapi, ketika kegagalan mulai meninggalkan saya, saya memiliki teman baru yang bernama ‘kesasaran’. Ya. Saya tidak sampai di acara blogger gathering tersebut. Enggak. Bukannya enggak sampe, cuma, telat tiga jam. Dan, saya pun pulang dengan membawa cerita baru.

Lagi, pertanyaan itu pun terlontar “Dapat apah ?”

Dengan cengiran ketegaran, saya pun bercerita apa yang terjadi sebenarnya. Walau malu, gengsi, dan enggak kuat kalau harus mengingat hal tersebut. Dan ini tanggapan mereka yang mendengar,
“Ya ampun, sayang banget.”
“Wiiih, tas backpack eiger meeen.”
“Wah, di JIExpo ? Itu tempat keren banget.”
“Kenapa enggak naik kereta aja, turun di kemayoran, kan dari situ dekat.”

Dan saya selalu punya jawaban handal untuk menghindari percakapan tersebut “Ya, mungkin emang udah jalannya seperti itu. Mau gimana lagi ?”

Asli. Mereka semua akan terdiam dan membenarkan pernyataan saya. Berhasil ! Berhasil ! Horeee .. Sorak dora di dalam benak saya.

Dan mulai saat itu, saya lebih memilih diam setiap kali mengikuti satu kompetisi. Lebih tepatnya merahasiakannya dari siapapun. Apapun itu.

Saya hanya ingin, mereka tahu ketika saya berhasil.

Cukuplah saya yang mengetahui proses demi proses yang saya alami. Awalnya.
Dan semua pun berubah.

Seperti yang pernah saya tuliskan di postingan sebelumnya, (Sebenarnya, sejak dulu, sejak saya mulai mengalami kesasaran-kesasaran yang rasanya sejak saat itu sulit terlepas dalam setiap perjalanan saya. Saya merasa lebih penasaran dengan ‘apa yang akan terjadi di perjalanan nanti, gue nyasar enggak nih ya entar’ dibandingkan dengan rasa penasaran saya akan tempat tujuan yang ingin saya kunjungi). Persis. Saya ingin menikmati setiap proses yang saya alami, proses menuju satu keberhasilan. Bukan hanya keberhasilannya saja.

Rasanya, dulu, ketika awal saya menulis, ketika masih SMP (2005), saya ingin terkenal. Saya ingin punya uang banyak.

Tapi semakin sering saya menulis, semakin banyak hal-hal yang tidak pernah terduga terjadi begitu saja, dan semakin dalam kecintaan saya pada dunia ini (baca:menulis).

Rasanya ..

Tak ingin lagi popularitas. Meski tak muna soal royalti. Lupakan angan-angan untuk terkenal.

Bukankah bahagia berlandaskan dengan rasa cukup ?

Saya hanya melakukan apa yang saya cintai. Membagi apa yang saya alami. Menceritakan tentang apa yang saya rasakan. Dan menjelaskan bahwa ‘kegagalan’ juga ‘kesasaran’ adalah teman terbaik dalam hidup saya. Walau jujur, saya sangat ingin di tinggalkan oleh keduanya.

Ini bukan persoalan “Dapat apah ?” dan enggak perlu juga pusing untuk memikirkan jawabannya. Jawaban yang keren, yang jika orang mendengarnya, mereka akan terkagum-kagum. Bukan.

Semakin sering saya melangkah bersama impian yang sejak dulu tumbuh di benak saya, saya semakin mengerti bahwa ‘hasil’ bukanlah tujuan akhir saya. Bahwa ‘hasil’ tak melulu harus sesuatu yang istimewa. Bohong, kalau saya berkata saya enggak pengin ‘ini itu’. Tapi jika harus menyimpulkan, saya selalu percaya, orang yang berani bermimpi, lalu berusaha untuk mengubah impian tersebut menjadi nyata dan enggak pernah lelah untuk mengejarnya. Ia sesungguhnya telah berhasil.

Orang yang berani bermimpi, berani hidup dengan impian-impian besarnya, berani keluar dari zona nyamannya, dan berani berteman dengan kegagalan, ia akan banyak menemukan apa-apa yang enggak orang lain temukan. Ia akan mendapatkan apa-apa yang enggak orang lain dapatkan. Dan ia akan mengerti .. bahwa hidupnya terasa lebih mengesankan.

Ini bukan lagi persoalan “Dapat apah ?”, hanya saja, pertanyaan besarnya, “bagaimana bisa ?” sehingga pertanyaan “Dapat apah ?” itu di tujukan kepada kita.

**


Ah, playlist saya sedang memutar lagu hidup berawal dari mimpi, sebuah lagu dari Bondan prakoso feat Fade2Black yang enggak pernah absen untuk saya dengarkan ketika saya memutar playlist.

Kujelang matahari dengan segelas teh panas
Dipagi ini ku bebas karena enggak ada kelas
Di ruang mata ini kamar ini serasa luas
Letih dan lelah juga lambat-lambat terkuras

Teh sudah habis, kerongkonganku pun puas
Mulai kutulis semua kehidupan di kertas
Hari-hari yang keras, kisah cinta yang pedas
Perasaan yang waswas,
Dan gerakku yang terbatas

Tinta yang keluar dari dalam pena
Berirama dengan apa yang kurasa
Dalam hati ini ingin kuubah semua
Kehidupan monoton penuh luka putus asa

Tinggalkanlah gengsi, hidup berawal dari mimpi
Gantungkan yang tinggi, agar semua terjadi
Rasakan semua, peduli itu ironi-tragedi
Senang-bahagia, hingga kelak kau mati

Dunia memang tak selebar daun kelor
Akal dan pikiranku pun tak selamanya kotor
Membuka mata hati demi sebuah cita-cita
Melangkah pasti, pena dan tinta berbicara

Tetapkan pilihan ‘tuk satu kemungkinan
Sebagai bintang hiburan, dan terus melayang
Tak heran ragaku, terbalut label mewah
Cerminan seorang raja dalam cerita Cinderella

Ini bukan mimpi atau halusinasi
Sebuah anugerah yang akan kunikmati nanti
Hasil kerja kerasku terbayarkan lunas .. tuntas ..
Melakoni jati diri sampai puas

Jalan sedikit tersungkur terjungkir terbalik
Melangkah menuju titik, lakukan yang terbaik
Kuketatkan tekad dan niat agar melesat
Seperti rudal squad, mimpiku kan kudapat

Mencari tepuk tangan atas karya keringatku
Bukan satu yang ingin aku tuju
Naik ke atas pentas, agar orang puas
Dapat applause, cek ataupun uang kertas

Cari sensasi atau pun kontroversi
Bukan caraku agar hidupku rekonstruksi
Dari mimpi semua hal dapat terjadi
Maka lebarkan sayap dan terbanglah yang tinggi

Seorang penyair pernah ditanya soal utopia. “Apa itu utopia ?” tanya seseorang kepadanya.
“Utopia adalah sebuah titik, yang ketika kau berada di sebuah horizon, titik itu berada sepuluh langkah dihadapanmu,” kata si penyair, “setiap kali kau mendekatinya sepuluh langkah, titik itu akan menjauh sepuluh langkah. Dan ketika kau berusaha menggapainya seribu langkah, titik itu selalu menjauh sebanyak langkah yang kau ambil,” lanjut si penyair.
“Lalu, apa pentingnya utopia ?” Si penanya terus bertanya.

“Itu tadi, utopia penting untuk dimiliki. Agar kau selalu melangkah, dan terus melangkah.” (di kutip dari buku “Hidup berawal dari mimpi-Fahd Djibran, Bondan prakoso & Fade2Black) 



Gambar * diambil dari www.baltyra.com
Gambar ** diambil dari www.realagriculture.com

2 komentar: