Saya adalah seorang gadis remaja
yang hampir memasuki jenjang pendewasaan, dulu. Ketika itu, saya lupa kapan
tepatnya. Mungkin sekitar akhir tahun 2010 atau awal tahun 2011, entahlah,
mungkin rasanya telat untuk diceritakan kembali. Namun, memori saya terus
memaksa untuk menuliskan hal ini, walau sudah berkali-kali saya menolaknya.
Berkali-kali pula saya memaksa ingatan saya untuk mengingat kembai waktunya,
kapan, namun berkali-kali pula, kepala saya malah menjadi sakit. Oke. Saya
menyerah, tak peduli kapan kejadian itu terjadi. Tapi izinkanlah saya
bercerita.
Di Daerah Pondok gede wilayah
Jakarta Timur, disana ada satu keluarga dari mama saya, adik mama tepatnya.
Hari itu, pertama kalinya saya
pergi ke rumahnya tanpa ditemani mama, hanya saya dan adik saya. Tidak. Saya
tidak ingin bercerita tentang keluarga saya, ataupun keluarga adik mama saya
tersebut.
Dari Bekasi, tempat tinggal saya,
saya menyetop angkotan umum berwarna merah dengan angka 02 di kaca
depan-belakang. Siang itu cuaca panas, lagi-lagi saya lupa ada berapa orang
jumlah penumpang di dalam angkot tersebut. Tapi yang pasti, penumpangnya silih
berganti, kecuali saya dan adik saya yang memang akan turun di tujuan akhir
angkot tersebut. Saya duduk di pojok dekat kaca belakang bersebelahan dengan
adik saya yang tertidur pulas di paha saya.
Angkot tersebut baru saja
memasuki pasar pondok gede, dan sebentar lagi saya turun. Namun dalam waktu
yang sikat, dengan penumpang yang nyaris penuh dengan ibu-ibu dan ada kurang
lebih dua wanita mudanya. Bukan. Bukan saya dan adik saya. Saya buru-buru
membangunkan adik saya, karena sebentar lagi kita sampai.
Entah darimana, ditengah teriknya
matahari, tiba-tiba hembusan angin kencang masuk ke dalam angkot tersebut.
Bukan. Bukan kedalam angkot itu, melainkan ke diri saya. Hanya saya.
Rambut saya yang terurai panjang
mendekati punggung pun berantakan. Saya mulai sibuk menghindari angin yang
terus membuat rambut saya tak beraturan, berkali-kali saya menyibakkan poni
yang menutupi hampir kedua mata saya, anak-anak rambut di sisi kanan-kiri yang
sama-sama membuat wajah saya tak
terlihat. Mulut saya pun tak henti-hentinya mendecakkan lidah. Kesal.
Sebentar.
Saya yang sejak tadi sibuk
merapikan rambut yang terkena hembusan angin mendadak diam, seperti ada yang
menekan tombol ‘pause’ pada diri saya. Satu tangan saya masih memegangi rambut
ikal saya, saya menelan ludah satu kali sambil melemparkan pandangan
sekeliling. Ada apa ini ? kenapa sepertinya, angin tersebut hanya menyerang
diri saya. Bahkan adik saya yang ketika itu sudah terbangun dar tidurnya pun,
tak terganggu sama sekali. Ya. Rambut ia memang pendek, nyaris sepeti
laki-laki, jadi wajar kalau ia tidak perlu repot-repot untuk membereskan
rambutnya seperti saya. Tapi .. ah, saya sulit untuk mencerna semua itu.
Saya pun mengambil semua rambut
panjang saya dan menjatuhkannya di atas bahu sebelah kanan. Saya terdiam,
pikiran saya liar, ada sesuatu yang sulit untuk saya terima namun harus saya
akui kebenarannya.
Di dalam angkot tersebut, hanya
saya yang tidak menggunakan jilbab. Ya, ada adik saya dan sopir angkot
tentunya. Yang sama-sama tidak memakai penutup kepala tersebut. Tapi, melihat
wajah-wajah tenang dengan balutan pakaian yang menutupi hampir semua
tubuh-tubuh itu membuat saya malu. Entah malu kepada siapa, karena saat itu
saya benar-benar tidak dapat berpikir apapun. Namun saya bisa merasakan
perasaan tersebut, malu.
Saya pun berseru “kiri bang” lalu keluar dari angkot
tersebut. Dan diam-diam, hati saya berbisik ‘gue mau pake jilbab’.
***
Jilbab ialah
sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Satu ayat itu,
ayat ke -59 dalam Al-Quran surah Al-Ahzab adalah bukti, bahwa mengenakan jilbab
bukanlah perintah dari nabi, ulama, kiyai, ataupun ustadz-ustadzah, melainkan
langsung dari Allah SWT. Teruntuk wanita muslimah semuanya. Tanpa terkecuali.
***
Ya. Saya memang seorang muslimah,
muslimah biasa. Jilbab yang saya kenakan pun masih jauh dari muslimah-muslimah
di luar sana. Saya pun masih sering menggunakan celana jeans ketat, dan
atasan-atasan panjang yang lengannya tak sampai ke pergelangan tangan.
Tapi, bukankah hidup adalah
perjalanan ? Dan setiap pelajaran akan selalu membawa perubahan. Saya percaya
akan hal itu.
Memang bukan perkara mudah untuk
suatu perubahan. Wong, orang baik saja masih sering di komentari yang tidak
enak, apalagi kita, orang yang setengah baik, atau mungkin sama sekali tidak
baik. Ah, toh pada dasarnya, semua orang baik. Hanya saja ada faktor-faktor
penunjang yang membuatnya melenceng.
Awal saya mengenakan jilbab, niat
utamanya, biar enggak ribet, enggak perlu bawa sisir kemana-mana, dan, kalau
ada angin bisa duduk tenang dan enggak perlu sibuk merapikan helaian rambut
yang berantakan lagi.
Belum siap. Enggak percaya diri.
Dan harus siap mendengarkan komentar orang-orang di sekitar kita. Baik positif
maupun negative.
“Eh ibu aji.” Kemudian tertawa
“Ah lo, cakepan enggak pake jilbab.” Lagi-lagi di akhiri dengan tawa
“Keliatan dewasa kalo pake
jilbab, kayak emak-emak.” Masih berakhir dengan tawa.
Beberapa teman berkomentar seperi
itu, membuat rasa percaya diri saya hilang. Saya pun sempat buka-tutup jilbab.
Kadang pakai, kadang enggak. Dan itu terjadi cukup lama. Sebelum akhirnya saya
memutuskan untuk terus memakainya.
***
Pernah. Saya yang sedang
merasakan pahitnya sakit hati dan mencari pelarian dengan pergi seorang diri.
Tidak. Saya tidak travelling kemana pun. Melainkan, masjid tujuan saya. Waktu
itu, kali pertama saya mengunjungi masjid Istiqlal (Jakarta). Saya yang dari
rumah sekitar jam sembilanan berangkat seorang diri, dengan menaiki angkotan
umum ke pulogadung dan menyambung dengan menggunakan busway.
Saya yang mengenakan jeans pensil
hitam panjang dengan atasan kaos ketat bertuliskan I love you di bagian depan
yang berwarna dasar putih, kaos dengan lengan jauh di atas siku. Saya duduk di
deretan pojok bangku penumpang bus TransJakarta, mengeluarkan satu buku tebal
berjudul La Tahzan. Ya. Sejak dulu, buku adalah benda wajib yang harus selalu
ada di dalam tas saya. Kemana pun saya pergi. Dan dimana pun saya berada. Saya
mulai tenggelam membaca setiap kata yang di torehkan oleh Drs. Aidh Al Qarni
tersebut. Sebelumnya, saya berpesan pada petugas bus untuk memberitahu saya
kalau sudah sampai Istiqlal.
Saya sampai di masjid besar itu
sekitar jam sepuluh pagi, setelah menanyakan kepada tukang dagang di pinggir
jalan ‘dimana pintu masuknya’. Saya tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Dan,
pikiran serta rasa sakit hati saya membenarkan ketidak tahuan saya.
Saya terus melangkah menelusuri
bangunan luas itu. Sendirian. Tanpa tau, mau kemana saya.
Saya merasakan tatapan-tatapan
aneh yang mengarah kepada saya. Pandangan yang entah apa artinya,
padangan-pandangan yang membuat saya kembali merasakan perasaan itu. Malu. Tapi
terlanjur, ah, hal itu tak bisa dipungkiri, niat saya yang tadinya ingin
mencari pengobat hati, malah harus merasakan perasaan seperti itu. Terlanjur,
saya enggak mungkin memutar balik tubuh saya dan berlari cepat meninggalkan
tempat itu. Walau ingin. Sangat ingin. Tapi saya terus berjalan kedepan.
Saya berhenti ketika menemukan
plang kecil bertuliskan ‘Toilet dan tempat wudhu’. Saya buru-buru masuk ke
dalam tempat tersebut, berpikir keras, apa yang harus saya lakukan ? Atau,
bagaimana caranya saya keluar dari tempat ini ? Atau .. .. ah, lagi-lagi saya
tidak dapat berpikir jernih.
Cukup lama saya berada di dalam
tempat tadi, entah apa yang saya lakukan disana. Saya keluar setelah selesai
berwudhu. Kembali melangkah.
Saya tersenyum lega, ketika
melihat ruangan luas yang sepertinya adalah ruang utama para jamaah masjid. Alhamdulillah. Desis saya pelan. Saya
buru-buru masuk ke tempat yang begitu menanangkan, tapi tidak dengan kondisi
saya saat itu. Saya duduk di balik tiang besar, bersembunyi disana. Saya takut akan
ada mata-mata yang melihat ke arah saya lagi. Saya pun langsung mengenakan
mukena yang memang sengaja saya bawa dari rumah.
Selesai mengerjakan sholat dzuhur
berjamaah di masjid tersebut, saya memilih pulang dan berlalu.
Tapi apa kalian tahu ? Sepanjang
perjalanan menelusuri ruas-ruas bangunan tersebut saya tidak melepaskan mukena
yang tadi saya pakai untuk sholat.
Saya merasa terlindungi dari
tatapan-tatapan sebelumnya. Saya merasa lebih percaya diri, langkah kaki saya
terasa ringan, tak lagi penuh tanya akan tatapan-tatapan aneh semula.
Setelah sampai di pintu keluar,
baru saya melepaskan mukena dan kembali dengan jeans pensil dan kaos ketat.
Namun, saat itu saya berdesis,
‘nanti kalau gue kesini lagi, gue akan pakai jilbab’.
Hidup adalah memilih. Dan setiap
pilihan pastilah sepaket dengan resiko yang ada.
Saya hanyalah wanita biasa yang
memilih mengenakan jilbab dengan pengalaman yang absurd. Ya. Walau perlahan
saya paham kalau jilbab adalah perintah wajib dari Tuhan.
Tuhan tak pernah kehabisan cara
untuk mengingatkan hamba-Nya. Itu kesimpulan dalam perjalanan saya tentang
jilbab.
Namun, doakan saya agar kian hari
semakin paham tentang pengertian jilbab yang sesungguhnya.
Dan angin .. .. terima kasih.
***
Gambar diambil dari www.sigma-unnes.blogspot.com
Waahhhhh.... terharu bacanya mba, semoga kita bisa tetap istiqomah dalam hal jilbab yahhh :D
BalasHapusSemoga .. aamiin ..
HapusTerimakasih, siapa pun kamu, di sempatkan berkunjung ke goresan ini :)