Minggu, 15 Desember 2013

ANGIN dan ANGKOTAN UMUM K 02 (Bekasi-Pondok gede)


Saya adalah seorang gadis remaja yang hampir memasuki jenjang pendewasaan, dulu. Ketika itu, saya lupa kapan tepatnya. Mungkin sekitar akhir tahun 2010 atau awal tahun 2011, entahlah, mungkin rasanya telat untuk diceritakan kembali. Namun, memori saya terus memaksa untuk menuliskan hal ini, walau sudah berkali-kali saya menolaknya. Berkali-kali pula saya memaksa ingatan saya untuk mengingat kembai waktunya, kapan, namun berkali-kali pula, kepala saya malah menjadi sakit. Oke. Saya menyerah, tak peduli kapan kejadian itu terjadi. Tapi izinkanlah saya bercerita.
Di Daerah Pondok gede wilayah Jakarta Timur, disana ada satu keluarga dari mama saya, adik mama tepatnya.
Hari itu, pertama kalinya saya pergi ke rumahnya tanpa ditemani mama, hanya saya dan adik saya. Tidak. Saya tidak ingin bercerita tentang keluarga saya, ataupun keluarga adik mama saya tersebut.

Dari Bekasi, tempat tinggal saya, saya menyetop angkotan umum berwarna merah dengan angka 02 di kaca depan-belakang. Siang itu cuaca panas, lagi-lagi saya lupa ada berapa orang jumlah penumpang di dalam angkot tersebut. Tapi yang pasti, penumpangnya silih berganti, kecuali saya dan adik saya yang memang akan turun di tujuan akhir angkot tersebut. Saya duduk di pojok dekat kaca belakang bersebelahan dengan adik saya yang tertidur pulas di paha saya.

Angkot tersebut baru saja memasuki pasar pondok gede, dan sebentar lagi saya turun. Namun dalam waktu yang sikat, dengan penumpang yang nyaris penuh dengan ibu-ibu dan ada kurang lebih dua wanita mudanya. Bukan. Bukan saya dan adik saya. Saya buru-buru membangunkan adik saya, karena sebentar lagi kita sampai.

Entah darimana, ditengah teriknya matahari, tiba-tiba hembusan angin kencang masuk ke dalam angkot tersebut. Bukan. Bukan kedalam angkot itu, melainkan ke diri saya. Hanya saya.

Rambut saya yang terurai panjang mendekati punggung pun berantakan. Saya mulai sibuk menghindari angin yang terus membuat rambut saya tak beraturan, berkali-kali saya menyibakkan poni yang menutupi hampir kedua mata saya, anak-anak rambut di sisi kanan-kiri yang sama-sama  membuat wajah saya tak terlihat. Mulut saya pun tak henti-hentinya mendecakkan lidah. Kesal.

Sebentar.

Saya yang sejak tadi sibuk merapikan rambut yang terkena hembusan angin mendadak diam, seperti ada yang menekan tombol ‘pause’ pada diri saya. Satu tangan saya masih memegangi rambut ikal saya, saya menelan ludah satu kali sambil melemparkan pandangan sekeliling. Ada apa ini ? kenapa sepertinya, angin tersebut hanya menyerang diri saya. Bahkan adik saya yang ketika itu sudah terbangun dar tidurnya pun, tak terganggu sama sekali. Ya. Rambut ia memang pendek, nyaris sepeti laki-laki, jadi wajar kalau ia tidak perlu repot-repot untuk membereskan rambutnya seperti saya. Tapi .. ah, saya sulit untuk mencerna semua itu.

Saya pun mengambil semua rambut panjang saya dan menjatuhkannya di atas bahu sebelah kanan. Saya terdiam, pikiran saya liar, ada sesuatu yang sulit untuk saya terima namun harus saya akui kebenarannya.

Di dalam angkot tersebut, hanya saya yang tidak menggunakan jilbab. Ya, ada adik saya dan sopir angkot tentunya. Yang sama-sama tidak memakai penutup kepala tersebut. Tapi, melihat wajah-wajah tenang dengan balutan pakaian yang menutupi hampir semua tubuh-tubuh itu membuat saya malu. Entah malu kepada siapa, karena saat itu saya benar-benar tidak dapat berpikir apapun. Namun saya bisa merasakan perasaan tersebut, malu.

Saya pun berseru “kiri bang” lalu keluar dari angkot tersebut. Dan diam-diam, hati saya berbisik ‘gue mau pake jilbab’.

***

Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Satu ayat itu, ayat ke -59 dalam Al-Quran surah Al-Ahzab adalah bukti, bahwa mengenakan jilbab bukanlah perintah dari nabi, ulama, kiyai, ataupun ustadz-ustadzah, melainkan langsung dari Allah SWT. Teruntuk wanita muslimah semuanya. Tanpa terkecuali.

***

Ya. Saya memang seorang muslimah, muslimah biasa. Jilbab yang saya kenakan pun masih jauh dari muslimah-muslimah di luar sana. Saya pun masih sering menggunakan celana jeans ketat, dan atasan-atasan panjang yang lengannya tak sampai ke pergelangan tangan.

Tapi, bukankah hidup adalah perjalanan ? Dan setiap pelajaran akan selalu membawa perubahan. Saya percaya akan hal itu.

Memang bukan perkara mudah untuk suatu perubahan. Wong, orang baik saja masih sering di komentari yang tidak enak, apalagi kita, orang yang setengah baik, atau mungkin sama sekali tidak baik. Ah, toh pada dasarnya, semua orang baik. Hanya saja ada faktor-faktor penunjang yang membuatnya melenceng.

Awal saya mengenakan jilbab, niat utamanya, biar enggak ribet, enggak perlu bawa sisir kemana-mana, dan, kalau ada angin bisa duduk tenang dan enggak perlu sibuk merapikan helaian rambut yang berantakan lagi.
Belum siap. Enggak percaya diri. Dan harus siap mendengarkan komentar orang-orang di sekitar kita. Baik positif maupun negative.

Eh ibu aji.” Kemudian tertawa
Ah lo, cakepan enggak pake jilbab.” Lagi-lagi di akhiri dengan tawa
“Keliatan dewasa kalo pake jilbab, kayak emak-emak.” Masih berakhir dengan tawa.

Beberapa teman berkomentar seperi itu, membuat rasa percaya diri saya hilang. Saya pun sempat buka-tutup jilbab. Kadang pakai, kadang enggak. Dan itu terjadi cukup lama. Sebelum akhirnya saya memutuskan untuk terus memakainya.

***

Pernah. Saya yang sedang merasakan pahitnya sakit hati dan mencari pelarian dengan pergi seorang diri. Tidak. Saya tidak travelling kemana pun. Melainkan, masjid tujuan saya. Waktu itu, kali pertama saya mengunjungi masjid Istiqlal (Jakarta). Saya yang dari rumah sekitar jam sembilanan berangkat seorang diri, dengan menaiki angkotan umum ke pulogadung dan menyambung dengan menggunakan busway.

Saya yang mengenakan jeans pensil hitam panjang dengan atasan kaos ketat bertuliskan I love you di bagian depan yang berwarna dasar putih, kaos dengan lengan jauh di atas siku. Saya duduk di deretan pojok bangku penumpang bus TransJakarta, mengeluarkan satu buku tebal berjudul La Tahzan. Ya. Sejak dulu, buku adalah benda wajib yang harus selalu ada di dalam tas saya. Kemana pun saya pergi. Dan dimana pun saya berada. Saya mulai tenggelam membaca setiap kata yang di torehkan oleh Drs. Aidh Al Qarni tersebut. Sebelumnya, saya berpesan pada petugas bus untuk memberitahu saya kalau sudah sampai Istiqlal.

Saya sampai di masjid besar itu sekitar jam sepuluh pagi, setelah menanyakan kepada tukang dagang di pinggir jalan ‘dimana pintu masuknya’. Saya tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Dan, pikiran serta rasa sakit hati saya membenarkan ketidak tahuan saya.

Saya terus melangkah menelusuri bangunan luas itu. Sendirian. Tanpa tau, mau kemana saya.

Saya merasakan tatapan-tatapan aneh yang mengarah kepada saya. Pandangan yang entah apa artinya, padangan-pandangan yang membuat saya kembali merasakan perasaan itu. Malu. Tapi terlanjur, ah, hal itu tak bisa dipungkiri, niat saya yang tadinya ingin mencari pengobat hati, malah harus merasakan perasaan seperti itu. Terlanjur, saya enggak mungkin memutar balik tubuh saya dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Walau ingin. Sangat ingin. Tapi saya terus berjalan kedepan.

Saya berhenti ketika menemukan plang kecil bertuliskan ‘Toilet dan tempat wudhu’. Saya buru-buru masuk ke dalam tempat tersebut, berpikir keras, apa yang harus saya lakukan ? Atau, bagaimana caranya saya keluar dari tempat ini ? Atau .. .. ah, lagi-lagi saya tidak dapat berpikir jernih.

Cukup lama saya berada di dalam tempat tadi, entah apa yang saya lakukan disana. Saya keluar setelah selesai berwudhu. Kembali melangkah.

Saya tersenyum lega, ketika melihat ruangan luas yang sepertinya adalah ruang utama para jamaah masjid. Alhamdulillah. Desis saya pelan. Saya buru-buru masuk ke tempat yang begitu menanangkan, tapi tidak dengan kondisi saya saat itu. Saya duduk di balik tiang besar, bersembunyi disana. Saya takut akan ada mata-mata yang melihat ke arah saya lagi. Saya pun langsung mengenakan mukena yang memang sengaja saya bawa dari rumah.

Selesai mengerjakan sholat dzuhur berjamaah di masjid tersebut, saya memilih pulang dan berlalu.

Tapi apa kalian tahu ? Sepanjang perjalanan menelusuri ruas-ruas bangunan tersebut saya tidak melepaskan mukena yang tadi saya pakai untuk sholat.

Saya merasa terlindungi dari tatapan-tatapan sebelumnya. Saya merasa lebih percaya diri, langkah kaki saya terasa ringan, tak lagi penuh tanya akan tatapan-tatapan aneh semula.

Setelah sampai di pintu keluar, baru saya melepaskan mukena dan kembali dengan jeans pensil dan kaos ketat.

Namun, saat itu saya berdesis, ‘nanti kalau gue kesini lagi, gue akan pakai jilbab’.

Hidup adalah memilih. Dan setiap pilihan pastilah sepaket dengan resiko yang ada.

Saya hanyalah wanita biasa yang memilih mengenakan jilbab dengan pengalaman yang absurd. Ya. Walau perlahan saya paham kalau jilbab adalah perintah wajib dari Tuhan.

Tuhan tak pernah kehabisan cara untuk mengingatkan hamba-Nya. Itu kesimpulan dalam perjalanan saya tentang jilbab.

Namun, doakan saya agar kian hari semakin paham tentang pengertian jilbab yang sesungguhnya.

Dan angin .. .. terima kasih.

***

Gambar diambil dari www.sigma-unnes.blogspot.com

2 komentar:

  1. Waahhhhh.... terharu bacanya mba, semoga kita bisa tetap istiqomah dalam hal jilbab yahhh :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga .. aamiin ..
      Terimakasih, siapa pun kamu, di sempatkan berkunjung ke goresan ini :)

      Hapus