Gambir, 2000
Sebut saja pak Domeh, beliau adalah
bapak–bapak setengah baya yang masih tangguh. Pak Domeh pedagang asongan di
stasiun Gambir. Dia punya anak cewek satu–satunya dan masih sekolah dasar kelas
dua. Bu Domeh, isteri pak Domeh hanya seorang buruh cuci yang di gaji bulanan,
dan sayangnya majikan Bu Domeh sangat pelit dan tidak bisa di harapkan. Namun
bu Domeh tetap bertahan untuk mengais rezeki yang halal.
Suatu
ketika, Imeh anak semata wayang mereka ingin mengikuti ujian dan di haruskan
melunasi spp bulanannya dan tunggakkan lainnya sebesar empat puluh lima ribu
rupiah. Bu Domeh dan Pak Domeh bingung, mereka sama sekali tidak mempunyai uang
simpanan. Sedangkan waktu yang tersisa hanya satu hari.
“Pak,
gimana ini ? senin hari terakhir buat Imeh ngelunasin tunggakkan. Sekarang udah
hari sabtu, tinggal besok doang pak. Apa Imeh enggak usah lanjut aja sekolahnya
?” Bu Domeh putus asa.
“Bapak
juga bingung bu, paling Bapak dapat sehari lima belas ribu. Buat makan kita,
lima belas ribu juga udah kerja dari gelap.”
“Terus .. gue harus bilang WOW gitu ?”
Apalagi ini ? Enggak. Enggak gitu.
“Terus
?” Gitu doang tanya bu Domeh.
Dalam
kegalauan kedua orang tersebut, tiba–tiba sang anak datang. Imeh baru pulang
ngaji.
“Assalammualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Tiba–tiba
saja bu Domeh tertegun melihat anaknya yang baru pulang mengaji. Pikirannya
melayang jauh, dan dia berkata pada suaminya.
“Bapak
udah sholat isya ?”
“Sholat
?”
“Iya.
Sholat.”
Bu
Domeh dan pak Domeh bertatapan kemudian sama–sama mengalihkan tatapannya kepada
Imeh yang sedang melipat mukena dan meletakkannya di atas lemari kayu tua yang
ada di dalam gubuk kecil yang menjadi tempat tinggal mereka.
“Kata
orang, kalau kita sholatnya sekarang, terus doa, keinginan kita bakalan di
kabulin besoknya. Coba kita sholat sekarang !” Ajak bu Domeh yakin. Pasangan
suami isteri ini sudah lama lalai menjalankan perintah Tuhannya. Mereka sibuk
dengan pekerjaan dunianya.
“Ibu
aja sono. Bapak ngantuk, bapak sholatnya subuh aja.” Pak Domeh menjatuhkan
tubuhnya di atas tiker bolong yang ada di gubuk satu petak itu. Dan malam itu
pun berlalu tanpa sholat isya. Pasangan suami itu tidak mengerjakan sholat
isya.
Besoknya.
“Pak,
sebelum dagang. Kita sholat dulu yuk !” ajak bu Domeh sambil memberikan sarung
lusuh untuk di gunakan pak Domeh sholat. Pak Domeh sedikit tertegun dengan
ajakan isterinya, lalu melirik sekilas Imeh yang masih tertidur.
Hatinya pun terketuk.
Dua rakaat selesai pasangan suami isteri itu
kerjakan.
“Kalau
kita doa-nya di waktu subuh, dzuhur pasti terkabul pak.” Yakin bu Domeh. Pak
Domeh pun mengangguk yakin. Empat puluh lima ribu, yakinnya di dalam hati.
Laki–laki
itu pun pergi sambil menggendong setumpuk dagangannya.
Di sinilah guys, kita akan lihat sampai
dimana keyakinan seorang hamba terhadap Tuhannya.
Pak
Domeh berdagang asongan di stasiun Gambir. Penghasilan terbesar dalam hidupnya
selama menjadi pedagang asongan adalah tiga puluh ribu rupiah. Jarum jam sudah
berada di angka sepuluh pagi. Dagangan pak Domeh belum ada yang terjual satu
biji pun. Dia pun bingung.
“Biasanya jam
segini dagangan gua udah ada yang laku. Kata si Emak, kalo kita doa di waktu
subuh bakalan terkabul di waktu dzuhur, gua tunggu ampe dzuhur deh.” Katanya
pada diri sendiri.
Tik. Tik. Tok. Tok.
Dua jam berlalu, suara adzan dzuhur
berkumandang. Pak Domeh clingak–clinguk ke sekelilingnya. Siapa tau ada yang
mau beli dagangannya. Tapi guys, enggak ada. Iya. Dagangan pak Domeh masih
belum ada yang beli. Ada sedikit rasa kecewa dalam hatinya, tapi ia coba
menepisnya.
“Kalau
gua doa di waktu subuh, bakalan terkabul di waktu dzuhur. Berarti, kalau gua
doa di waktu dzuhur, bakalan terkabul di waktu ashar. Oke. Gua sholat lagi.”
Pikirnya.
Ketika mendengar iqamah di dalam mushola
yang ada di stasiun itu, pak Domeh pun ikut sholat berjama’ah dan berada di
shaf paling depan.
Empat rakaat selesai di kerjaan. Pak Domeh
berdoa, meminta kepada Sang Pemberi.
“Ya Allah, tolong beri saya uang empat puluh
lima ribu buat bayar tunggakkan sekolah Imeh. Aamiin.” Itu doang yang dia
minta, guys.
Tok. Tok. Tik. Tik.
Tiga jam lebih berlalu. Masih sama, belum
ada satu dagangan pak Domeh pun yang laku. Rasa kecewa benar–benar jelas di
hati pak Domeh. Bahkan ia ragu pada doa-nya. Begitu mendengar adzan ashar
berkumandang ia diam sejenak.
“Biasanya, jam
segini gua udah dapat duit sepuluh ribuan. Se-engaknya, dagangan gua udah ada
yang laku. Lah, ini kenapa pas gua sholat, sampe jam segini, dagangan gua
enggak ada yang laku satu pun.” Pak Domeh berpikir keras, kata hati dan
logikanya bertarung pelik. Mengapa ? Apa ? dan Bagaimana ? Mengapa ? dan
mengapa ? Dengan hati yang sudah ragu, dia tetap mengerjakan sholat ashar. Kali
ini, dia ada di barisan shaf nomor dua. Tidak se-antusias waktu dzhur tadi. Dan
dia pun kembali berdoa.
“Ya Allah, kalau emang empat puluh lima ribu
kegedean. Saya turunin deh, jadi dua puluh ribu. Dua puluh ribu aja ya Allah. Aamiin.”
Dengan polos dan ada rasa ragu kalau doa-nya akan terkabul, tapi ia tetap
berdoa.
Pak Domeh kembali berdagang. Menjajakan
dagangannya ke setiap orang yang berseliweran di stasiun. Beneran guys, dari
segitu banyaknya orang yang ada di stasiun, enggak ada satu pun yang ngebeli
dagangan pak Domeh. Dan kali ini, ia benar–benar ragu. Putus asa. Enggak yakin.
Pesimis.
Dan saat adzan
maghrib berkumandang. Pak Domeh diam.
“Gua enggak mau
sholat ah, kalau gua enggak sholat gua dapat duit. Kenapa pas gua sholat terus
gua doa, gua malah enggak dapat duit.” Pikirnya. Ia masih duduk di sisi peron
kereta api. Dan saat itu adzan maghrib masih berkumandang.
“Tapi ..”
penasaran hatinya. Ia pun bangkit dari duduknya, melangkah menuju mushola.
Ketika iqamah di kumandangkan, hatinya kembali berkata “Enggak ah, gua enggak
mau sholat !” Dia ngambek, guys. Ngambek sama Allah.
Allah hu akbar.
Imam pun memulai sholat. Pak Domeh masih
bediri di ambang pintu mushola. Menimbang–nimbang pikirannya. Sholat. Enggak.
Sholat. Enggak.
Dan sampai pada ketika imam sujud yang
pertama, pak Domeh memantapkan hatinya untuk mengerjakan sholat (lagi). Ia pun
mengambil air wudhu dan ikut bergabung di shaf paling belakang. Menjadi makmum
masbuk, makmum yang ketinggalan rakaat.
Saat imam selesai, dan semua orang sudah
keluar mushola. Pak Domeh yang ketinggalan satu rakaat, kembali berdoa,
“Ya Allah, kalau emang empat puluh lima ribu
terlalu berat bagi-Mu, dan dua puluh ribu pun enggak mau Kau berikan. Saya
turunin lagi, minimal satuuuuuuu permen aja yang laku terjual. Aamiin.”
Dan disini, guys !
Disini ! Allah mulai memainkan peranan-Nya.
Pak
Domeh menghentikan gerakkan langkahnya pas dia baru aja mau keluar mushola,
ketika seorang pemuda memanggilnya.
“Bapak maaf, saya
mau beli permen.” Kata pemuda yang sejak tadi menunggu pak Domeh dan duduk di
sudut mushola.
“Permen ? Lho, kok
mas tau kalau saya jualan permen.” Pak Domeh bingung.
“Tadi saya juga
ikut sholat berjama’ah. Dan saat mau keluar, saya liat ada kotak asongan. Dan
yang ada di dalam cuma bapak, jadi saya yakin kalau itu dagangan bapak.” Jelas
pemuda itu dengan ucapan yang sopan. Pak Domeh ngangguk–ngangguk.
Jangan-
jangan, doa gua terkabul.
Yakinnya dalam hati. Tapi, gua bilang kan
cuma satu permen. Jangan–jangan ... katanya lagi di dalam hati.
“Bapak ..”
Suara pemuda itu membuyarkan semua pikiran
pak Domeh.
“Oh
maaf, mas mau beli apa tadi ?”
“Permen
asem manis ada pak ?.”
“Ada.
Mau beli berapa ?”
“Satu
biji aja.”
Jleb.
Pak Domeh
tertegun. Ya Allah, beneran satu doang
ini ? Bener–bener dah Allah mah .. gumamnya dalam hati.
“Beneran satu aja
mas ?” Tegas pak Domeh.
“Iya. Satu biji
saja pak.”
“Sebentar ya, saya
ambil dulu.”
Pak Domeh pun permisi keluar untuk mengambil
permen yang di beli pemuda tadi. Satu biji permen asem manis.
“Ini
mas permennya.”
“Berapa
Pak ?”
“Seratus
rupiah.”
“Ini
uangnya.”
“Wah
si Mas, bercanda ini. Masa beli permen satu biji bayarnya seratus ribuan. Saya
enggak ada kembaliannya.” Pak Domeh
benar–benar enggak curiga sama sekali, kalau saat ini, Allah lagi memainkan
peran-Nya melalui pemuda itu.
“Ini
uang bapak pegang, saya beli satu permen. Seratus rupiah. Dan kembalinya,
sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus rupiah buat bapak.
Assalammualaikum.” Pemuda itu pergi meninggalkan pak Domeh seorang diri.
Tubuhnya terasa
beku. Seperti tersiram air keras, bahkan kedua bibirnya pun tidak bisa bergerak
sedikit pun. Hanya air mata yang mengalir deras di kedua pipi yang mulai
keriput itu. Dan perlahan, kucuran keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Hatinya berdesir lembut, jantungnya berdetak kencang. Seperti ini kah cara
Allah mengabulkan doa hamba-Nya ? saat keraguan besar mulai muncul dan ketika
sampai pada ujung permasalahan, sampai pada batas waktu yang sepertinya tidak
mungkin lagi bisa di harapkan.
Pak Domeh hanya meminta uang empat puluh
lima ribu rupiah. Tapi Allah memberinya sembilan puluh sembilan ribu sembilan
ratus rupiah. Saat kita tidak pernah meminta apa–apa, Tuhan tetap memberikan
sesuatu kepada kita. Dan saat kita meminta, Tuhan akan memberinya lebih. Itu
hukum kehidupan yang gue pelajari dan yakinin.
Cerita
ini benar–benar bikin gue tersentuh guys, bahwa keyakinan terasa begitu berat
ketika semua usaha dan doa udah kita lakuin. Tapi mereka yang enggak akan
pernah berhenti buat percaya, maka mereka yang akan mendapatkannya. Cerita ini,
gua kutip dari kajian Ust. Yusuf Mansur di acara Wisata Hati. Gue simak
baik–baik, sampai pada akhirnya bisa gue ceritakan kembali sama kalian semua.
Mungkin enggak sama persis kayak cerita Beliau, ya maklum, cerita ini di potong
menjadi beberapa episode. Dan gue berusaha mengingatnya dengan baik.
Gue berharap, cerita ini bisa bermanfaat buat kalian yang mau membacanya.
Don’t stop believing !!
(4)-Dia (Zakaria) berkata : “Ya Tuhanku, sungguh tulangku
telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam
berdo’a kepada-Mu, ya Tuhanku. (5) Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku
sepeninggalku, padahal isteriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku
seorang anak dari sisi-Mu. (6) yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari
keluarga Yakub, dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang di ridhai. (7)
Allah berfirman, “Wahai Zakaria ! Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan
seorang anak laki-laki namanya Yahya, yang Kami belum pernah memberikan nama
itu sebelumnya. (8) Dia (Zakaria) berkata, “ Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku
akan mempunyai anak, padahal istriku seorang yang mandul dan aku sesungguhnya
sudah mencapai usia yang sangat tua ?”. (9) (Allah) berfirman, “Demikianlah.
Hal itu mudah bagi-Ku, sungguh engkau Aku ciptakan sebelum itu, padahal (pada
waktu itu) engkau belum terwujud sama sekali.
Q.S. Maryam (4-9)
Subhanallah...bener sekali pren. Hidup emang berat, tapi itu tinggal darimana kita melihatnya. Selama kita yakin, Allah tidak pernah tidur. Dan pren (gpp saya manggil kamu pren?) ada baiknya kalau umat Islam di kita membuat Baitul Mal. Seperti jaman Nabi SAW dulu. Paling enggak tiap kota-lah. Sehingga uang yang terkumpul dari Baitul Mal ini bisa disalurkan pada yang berhak. Bahkan kalo perlu bisa menjadi semacam 'bank' juga, dimana setiap orang (pemuda) dimudahkan untuk mendapatkan dana dari sana untuk usaha. Ini akan menjadi suatu hal untuk mengurangi pengangguran dan atau tindakan kejahatan. Bagaimana menurut kamu pren?
BalasHapus