Minggu, 02 Februari 2014

KEMBALI



“Jadi, kau memutuskan untuk kembali menari, melatih menari ?” Rana masih diam di posisinya, bersandar pada kaca besar yang menjadi penutup sisi gedung berlantai tiga itu. Tak ada tanggapan apapun yang diberikannya sebagai jawaban. Raut wajahnya datar. Pertanyaan itu melesat begitu saja tanpa ingin ia jawab. Sudahlah, orang yang bertanya pun sepertinya sudah mengerti apa jawaban yang akan keluar dari mulutnya.

“Baiklah. Kembalilah melatih mulai besok sore, murid-muridmu tentu akan dengan senang hati menerimamu kembali.” Wanita yang mengenakan jaket tebal untuk menutupi lekuk tubuhnya yang hanya terbalut tangtop ketat itu mulai mengemas beberapa barang yang berserakan di meja, di dalam ruangan itu.

“Aku harap, Rana benar-benar telah kembali.” Ucapnya sambil berlalu meninggalkan gadis yang masih diam sejak satu jam lalu. Sejak kakinya kembali melangkah masuk ke dalam ruangan itu.
●●●

Rana benci sekaligus senang dengan jati dirinya. Benci, karena ia sulit sekali mengontrol hasrat yang berubah menjadi gesture tubuh yang selalu bergerak mengikuti alunan musik yang di dengarnya. Senang, ia menyenangi semua kebiasaan yang ada pada dirinya. Menari.

Rana masih ingin tetap berada di ruangan itu, ruangan yang selalu di rindukannya beberapa tahun terakhir ini. Memasukan botol minuman ke dalam tas ranselnya, memakai jaket tebal untuk menutupi lekuk tubuhnya yang ideal, dan mengusap keringat yang masih tersisa di wajahnya. Rambut panjangnya di ikat tinggi. Seketika, langkah kakinya terhenti. Langkah ketika baru saja ia ingin meninggalkan ruangan itu. Suara itu bagai hipnotis yang membuat Rana mendekatinya, mencari dimana sumber suara itu.

Musik itu terlalu berharga untuk Rana abaikan. Gadis itu melangkah pelan-pelan menuruni anak tangga, memasang telinganya dengan serius. Di sini. Di balik pintu ini. Gadis itu mendorong hati-hati pintu yang tertutup rapat, menyelinap masuk dengan langkah kecil. Perlahan.

Tidak ada orang disana, tapi sebentar, suara musik itu terdengar begitu dekat. Dan, ah, ada sorot lampu yang terpancar membentuk siluet. Seperti mempersilakan Rana untuk menari disana. Pelan. Gadis itu menarik resleting jaketnya, melemparkannya ke sembarang arah, dengan kaki telanjang, ia mulai menari. Mengikuti alunan musik klasik yang bercerita tentang kerinduan. Alunan musik yang bersumber dari gesekkan biola.

Rana membungkukkan tubuhnya ke depan, ke kanan, ke kiri dan ke belakang. Seolah, ia baru saja menyelesaikan sebuah pertunjukkan hebat. Seperti yang sering ia lakukan. Dan suara riuh tepuk tangan penonton seolah bergeming di ruangan kosong itu.

●●●

Gadis itu mendesah panjang, ada apa dengan ingatannya. Bukankah ia telah berjanji untuk tidak lagi mengingat semua itu.

“Kak Rana” Seseorang memanggil namanya, semoga suara itu mampu melenyapkan pikiran lancang itu. “Ini benar kak Rana, kan ?” tambah gadis yang jauh lebih muda darinya. Mungkin sejak tadi ia bisa mengabaikan Nancy, teman sekaligus pemilik kelas menari di tempatnya melatih. Tapi tidak untuk gadis yang kini tepat berdiri dihadapannya. “Kakak ..” tanpa izin, gadis itu mendekap penuh haru tubuh yang terlihat sedikit lebih kurus dari pertemuan sebelumnya. Cukup lama Rana hanya membeku, membiarkan remaja tanggung itu mendekapnya erat, namun akhirnya, ia menyerah, Rana tak lagi mampu menahan kedua tangannya untuk tidak mengusap rambut panjang itu. Bagaimana tidak, Vania, nama remaja tanggung itu, adalah murid pertamanya, saat tak ada yang percaya dengan kemampuannya untuk melatih menari, remaja tanggung itu yang mengajukan diri untuk menjadi murid pertamanya. Remaja tanggung yang menumbuhkan kepercayaan dirinya. Ah, dulu remaja tanggung ini masih kecil.

“Vania enggak percaya, kalau kak Rana kembali.” Lirih remaja tanggung itu dan kembali mendekapnya erat, tak ingin lagi melepaskannya. Senyum yang baru mengembang di wajah teduh itu kembali redup. Kedua matanya menangkap benda cokelat yang terbuat dari kayu jati, benda itu tanpa malu menampakkan wajahnya dari lubang kecil ransel yang di sampirkan di sisi bahu Vania.

●●●

“Sebenarnya aku menyukai semua alat musik, apapun itu,” kata-katanya terhenti, laki-laki itu mengunyah beberapa helai mie (pasta) yang baru saja di suapnya “tapi entah mengapa, aku begitu mencintai biola, ya, aku memang hebat, kau tak perlu mengatakannya, Na” laki-laki itu tertawa kecil, tawa yang renyah “biola itu laksana pasangan hidup yang selalu ku peluk dan ku bawa kemanapun aku pergi.” lanjutnya, kemudian kembali menikmati suapan pastanya. Gadis yang duduk di hadapannya tersenyum, tulus, mendengar setiap kata yang keluar dari mulut laki-laki itu.

“Ya, aku tahu itu. Aku juga penari yang hebat, bukan ?” ucap gadis itu tak mau kalah, pernyataan yang langsung di benarkan oleh laki-laki itu. “Aku bisa menari dengan iringan musik apapun, seperti katamu tadi, kau pandai memainkan semua alat musik, dan aku adalah pelaku dari setiap alat musik yang kau mainkan.”

Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya “Oleh karena itu, kita tidak boleh berpisah, apa jadinya aku, kalau harus kehilanganmu.” Kalimat itu meluncur dengan lancarnya dari mulut laki-laki itu, tapi lihatlah, apa yang terjadi dengan gadis itu ? ia menahan napas cukup lama.

Apa pentingnya sebuah komitmen dalam suatu hubungan ? Bukankah yang terpenting adalah, kau mencintainya, dan dia mencintaimu. Itu saja cukup, bukan ?

“Nanti, aku akan membuat sebuah pertunjukkan hebat, memainkan banyak alat musik, ah, tapi mana mungkin bisa dilakukan berbarengan, emm ..” laki-laki itu terlihat sedang memikirkan sesuatu, mengkhayalkan sesuatu yang besar “mungkin aku akan memilih satu alat musik saja, tidak perlu kau tebak, kau pasti sudah tahu alat musik apa yang akan aku pilih.”

“Dan aku harap, kau akan tetap menemaniku sampai pertunjukkan itu benar-benar terjadi. Kau tak akan menolak, bukan ?”

Kedua mata milik gadis itu berbinar, terlihat begitu indah dan meyakinkan. Setidaknya penilaian itu yang dapat laki-laki itu simpulkan.

“Berjanjilah, kau akan menemaniku berusaha untuk mewujudkan mimpi besar itu”

●●●

Remaja tanggung itu menyudahi dekapannya, malam telah menyelimuti kota besar itu. Sejak Rana memutuskan untuk berhenti melatih tari, remaja tanggung itu seolah kehilangan candu yang menjadi kebutuhan hidupnya. Dan kini, candu itu telah kembali. Nyata bukan ilusi.

“Vania sampai lupa menanyakan kabar kakak, bagaimana .. ?” kalimat itu menggantung di udara, ingin di lanjutkan, namun tak sanggup untuk di keluarkan. Ini kali pertama setelah pertemuan sebelumnya, pertemuan yang berlangsung beberapa tahun silam.

Syukurlah, sepertinya, suasana hati gadis itu sedang baik. Gadis yang memotong rambut lurusnya sebahu itu tersenyum, sejak tadi tak berkata apapun, namun  kali ini, ia mengizinkan mulutnya untuk berkata “Aku baik, aku baik-baik saja.” Setidaknya, ia sadar, kalau masih ada yang peduli dengan keadaannya. Bukannya masih ada, kalau saja ia mau menyadarinya, banyak orang yang memperdulikan dirinya, menanyakan keadaannya dan merindukan kehadirannya. Ya, kalau saja ia mau menyadari hal itu. Dan sepertinya, perlahan harapan itu akan terwujud. Gadis itu telah kembali.

●●●

“Kau bilang, apa jadinya kau tanpa diriku. Lalu, apa maksud semua ini ?” Gadis itu menaikkan nada bicaranya, menahan emosi yang telah membuncah beberapa menit lalu.
“Ini mimpi kita, Na.”
“Kau, ini mimpimu. Bukan kita.”
“Na, aku tidak lama, nanti sepulangnya dari Venesia, aku akan kembali, melanjutkan rencana kita.” Laki-laki itu mencoba menenangkan.
“Rencana ? pertunjukkan itu tinggal menghitung hari, dan bagaimana bisa kau mengatakan kalau hal itu masih rencana.” Gadis itu menarik tubuhnya, membanting kedua tangan yang mendarat di bahunya.
“Aku sudah membatalkan pertunjukkan itu, kau tak perlu cemas, ya, kita memang cukup rugi. Tapi percayalah, sepulangnya aku nanti, kita akan membuat pertunjukkan yang lebih dari apa yang kita rencanakan saat ini.”
“Kau tahu ? berapa banyak tetes keringat yang ku biarkan terjatuh hanya untuk mengumpulkan tabungan itu, tabungan untuk membuat satu pertunjukkan hebat, untuk kau, untukku. Aku mohon, jangan pergi.” Suara gadis itu terdengar lirih di akhir kalimat. Dadanya sesak menahan gejolak emosi bercampur kesedihan. Namun sepertinya, ambisi dalam benak laki-laki itu tak dapat lagi tergoyah. Mimpinya, mimpinya akan segera terwujud di Venesia. Tak ada lagi yang ia harapkan, selain impian yang terwujud. Lalu, bagaimana dengan gadis itu ? Entahlah. Laki-laki itu tak punya kalimat yang pas untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini.
“Pernah, kau tidak hanya sekali mengecewakanku. Bahkan aku pernah benar-benar tak lagi mempercayaimu, kau terus melakukan segala cara agar aku kembali percaya padamu” gadis itu menatap kosong ke ruas jalan, menerawang. “dan lihatlah, ketika kepercayaan itu telah kembali kau dapatkan, kau kembali menyia-nyiakannya. Sudahlah. Pergi.”

●●●

“Kakak akan menari lagi, kan ?” remaja tanggung itu bertanya hati-hati, kini keduanya duduk bersandar di dinding ruangan luas itu, ruangan dengan sisi-sisi kaca berukuran besar. Gadis itu menghela napas, ia tak boleh lagi egois. Hidupnya harus terus berlanjut, bukan ? Menari bukanlah impiannya, bukan juga ambisinya. Tapi menari adalah kebutuhannya, hidupnya. Beberapa tahun tak melakukan hal itu, ia seperti makhluk hidup yang tak bernyawa. Mayat yang bernapas. Gadis itu tertawa kecil mengingat tingkahnya beberapa tahun ini, menari diam-diam, ya, ia melakukannya. Bukan tariannya yang salah, bukan hidupnya yang menghancurkan hatinya. Lubang di dalam luka itu memang masih menganga, tapi setidaknya, kembali melakukan kebiasaannya, memenuhi kebutuhannya dan meneruskan hidupnya dapat sedikit mengurangi luka itu. Ya. Ia percaya akan hal itu.

“Vania pernah bertanya sama kak Nancy tentang kakak, tapi kak Nancy bilang, kalau kakak hanya butuh waktu untuk menyendiri. Kak Nancy bilang, kalau kakak tidak berhenti, kakak hanya sedang beristirahat. Kak Nancy juga bilang, kakak tidak akan pernah bisa berhenti menari, apapun alasannya.”

●●●

Siang tadi, sebelum akhirnya gadis itu memutuskan untuk kembali. Laki-laki yang pernah meninggalkannya datang kembali. Membawa banyak cerita hebat, jutaan rencana dan cinta, mungkin.
“Untuk apa kau kembali ?” Laki-laki itu paham, mengapa gadis itu bersikap dingin. Lima tahun lalu, ketika semua itu telah berlalu, ia berharap kalau gadis itu tetap menunggunya kembali.
“Aku ..”
“Aku tak pernah mengharapkanmu kembali, hidupku normal saja tanpa dirimu. Jadi ku rasa, tak ada gunanya kau kembali.” Bohong. Gadis itu sedang berbohong. Ia tidak cukup baik beberapa tahun terakhir.
“Ah sudahlah, aku tidak memiliki cukup banyak waktu untuk menemanimu. Aku harus melatih, kau tahu, jadwal mengajarku kini telah padat. Aku tak memiliki cukup banyak waktu untuk menemanimu.”

Dan dengarlah, isak tangis yang terjadi di balik kemudi itu. Gadis itu benar-benar mengutuk dirinya, bagaimana bisa, ia menjadikan hidupnya sebagi pelarian untuk menghindari laki-laki itu. Menutupi keterpurukkannya selama ditinggalkan. Sayang, selamanya waktu tak akan pernah kembali. Ia hanya ingin terlihat baik-baik saja di mata laki-laki itu. Hanya itu.

“Rana, murid-muridmu menunggu. Kau tahu, beberapa dari mereka bahkan tak mau melanjutkan latihan, kelasmu kosong. Tak ada lagi pertunjukkan. Elin dan Maya pun pernah mencoba mengisi kelasmu, tapi mereka menyerah. Aku pun pernah melakukannya. Tapi sama saja. Kapan pun kau ingin kembali, aku akan dengan senang hati menerimanya. Dan aku percaya, kau akan kembali. Apapun jalannya, karena menari adalah hidupmu”

Tak ada alasan lagi untuk menghindar. Apapun jalannya, gadis itu membenarkan kata-kata Nancy beberapa tahun lalu. Tapi, ah, berhenti berkata tapi. Gadis itu memutar kunci mobilnya, menginjak gas, dan mulai mengemudi.


Gambar diambil dari www.avpfan1102.devian.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar