“Jadi, kau memutuskan untuk
kembali menari, melatih menari ?” Rana masih diam di posisinya, bersandar pada
kaca besar yang menjadi penutup sisi gedung berlantai tiga itu. Tak ada
tanggapan apapun yang diberikannya sebagai jawaban. Raut wajahnya datar. Pertanyaan
itu melesat begitu saja tanpa ingin ia jawab. Sudahlah, orang yang bertanya pun
sepertinya sudah mengerti apa jawaban yang akan keluar dari mulutnya.
“Baiklah. Kembalilah melatih
mulai besok sore, murid-muridmu tentu akan dengan senang hati menerimamu
kembali.” Wanita yang mengenakan jaket tebal untuk menutupi lekuk tubuhnya yang
hanya terbalut tangtop ketat itu mulai mengemas beberapa barang yang berserakan
di meja, di dalam ruangan itu.
“Aku harap, Rana benar-benar
telah kembali.” Ucapnya sambil berlalu meninggalkan gadis yang masih diam sejak
satu jam lalu. Sejak kakinya kembali melangkah masuk ke dalam ruangan itu.
●●●
Rana benci sekaligus senang
dengan jati dirinya. Benci, karena ia sulit sekali mengontrol hasrat yang
berubah menjadi gesture tubuh yang
selalu bergerak mengikuti alunan musik yang di dengarnya. Senang, ia menyenangi
semua kebiasaan yang ada pada dirinya. Menari.
Rana masih ingin tetap berada di
ruangan itu, ruangan yang selalu di rindukannya beberapa tahun terakhir ini. Memasukan
botol minuman ke dalam tas ranselnya, memakai jaket tebal untuk menutupi lekuk
tubuhnya yang ideal, dan mengusap keringat yang masih tersisa di wajahnya.
Rambut panjangnya di ikat tinggi. Seketika, langkah kakinya terhenti. Langkah
ketika baru saja ia ingin meninggalkan ruangan itu. Suara itu bagai hipnotis
yang membuat Rana mendekatinya, mencari dimana sumber suara itu.
Musik itu terlalu berharga untuk
Rana abaikan. Gadis itu melangkah pelan-pelan menuruni anak tangga, memasang
telinganya dengan serius. Di sini. Di balik pintu ini. Gadis itu mendorong
hati-hati pintu yang tertutup rapat, menyelinap masuk dengan langkah kecil.
Perlahan.
Tidak ada orang disana, tapi
sebentar, suara musik itu terdengar begitu dekat. Dan, ah, ada sorot lampu yang
terpancar membentuk siluet. Seperti mempersilakan Rana untuk menari disana.
Pelan. Gadis itu menarik resleting jaketnya, melemparkannya ke sembarang arah,
dengan kaki telanjang, ia mulai menari. Mengikuti alunan musik klasik yang
bercerita tentang kerinduan. Alunan musik yang bersumber dari gesekkan biola.
Rana membungkukkan tubuhnya ke
depan, ke kanan, ke kiri dan ke belakang. Seolah, ia baru saja menyelesaikan
sebuah pertunjukkan hebat. Seperti yang sering ia lakukan. Dan suara riuh tepuk
tangan penonton seolah bergeming di ruangan kosong itu.
●●●
Gadis itu mendesah panjang, ada
apa dengan ingatannya. Bukankah ia telah berjanji untuk tidak lagi mengingat
semua itu.
“Kak Rana” Seseorang memanggil
namanya, semoga suara itu mampu melenyapkan pikiran lancang itu. “Ini benar kak
Rana, kan ?” tambah gadis yang jauh lebih muda darinya. Mungkin sejak tadi ia
bisa mengabaikan Nancy, teman sekaligus pemilik kelas menari di tempatnya
melatih. Tapi tidak untuk gadis yang kini tepat berdiri dihadapannya. “Kakak
..” tanpa izin, gadis itu mendekap penuh haru tubuh yang terlihat sedikit lebih
kurus dari pertemuan sebelumnya. Cukup lama Rana hanya membeku, membiarkan
remaja tanggung itu mendekapnya erat, namun akhirnya, ia menyerah, Rana tak
lagi mampu menahan kedua tangannya untuk tidak mengusap rambut panjang itu.
Bagaimana tidak, Vania, nama remaja tanggung itu, adalah murid pertamanya, saat
tak ada yang percaya dengan kemampuannya untuk melatih menari, remaja tanggung
itu yang mengajukan diri untuk menjadi murid pertamanya. Remaja tanggung yang
menumbuhkan kepercayaan dirinya. Ah, dulu remaja tanggung ini masih kecil.
“Vania enggak percaya, kalau kak
Rana kembali.” Lirih remaja tanggung itu dan kembali mendekapnya erat, tak
ingin lagi melepaskannya. Senyum yang baru mengembang di wajah teduh itu
kembali redup. Kedua matanya menangkap benda cokelat yang terbuat dari kayu
jati, benda itu tanpa malu menampakkan wajahnya dari lubang kecil ransel yang
di sampirkan di sisi bahu Vania.
●●●
“Sebenarnya aku menyukai semua
alat musik, apapun itu,” kata-katanya terhenti, laki-laki itu mengunyah
beberapa helai mie (pasta) yang baru
saja di suapnya “tapi entah mengapa, aku begitu mencintai biola, ya, aku memang
hebat, kau tak perlu mengatakannya, Na” laki-laki itu tertawa kecil, tawa yang
renyah “biola itu laksana pasangan hidup yang selalu ku peluk dan ku bawa
kemanapun aku pergi.” lanjutnya, kemudian kembali menikmati suapan pastanya.
Gadis yang duduk di hadapannya tersenyum, tulus, mendengar setiap kata yang
keluar dari mulut laki-laki itu.
“Ya, aku tahu itu. Aku juga
penari yang hebat, bukan ?” ucap gadis itu tak mau kalah, pernyataan yang
langsung di benarkan oleh laki-laki itu. “Aku bisa menari dengan iringan musik
apapun, seperti katamu tadi, kau pandai memainkan semua alat musik, dan aku
adalah pelaku dari setiap alat musik yang kau mainkan.”
Laki-laki itu
mengangguk-anggukkan kepalanya “Oleh karena itu, kita tidak boleh berpisah, apa
jadinya aku, kalau harus kehilanganmu.” Kalimat itu meluncur dengan lancarnya
dari mulut laki-laki itu, tapi lihatlah, apa yang terjadi dengan gadis itu ? ia
menahan napas cukup lama.
Apa pentingnya sebuah komitmen
dalam suatu hubungan ? Bukankah yang terpenting adalah, kau mencintainya, dan
dia mencintaimu. Itu saja cukup, bukan ?
“Nanti, aku akan membuat sebuah
pertunjukkan hebat, memainkan banyak alat musik, ah, tapi mana mungkin bisa
dilakukan berbarengan, emm ..” laki-laki itu terlihat sedang memikirkan
sesuatu, mengkhayalkan sesuatu yang besar “mungkin aku akan memilih satu alat
musik saja, tidak perlu kau tebak, kau pasti sudah tahu alat musik apa yang
akan aku pilih.”
“Dan aku harap, kau akan tetap
menemaniku sampai pertunjukkan itu benar-benar terjadi. Kau tak akan menolak,
bukan ?”
Kedua mata milik gadis itu
berbinar, terlihat begitu indah dan meyakinkan. Setidaknya penilaian itu yang
dapat laki-laki itu simpulkan.
“Berjanjilah, kau akan
menemaniku berusaha untuk mewujudkan mimpi besar itu”
●●●
Remaja tanggung itu menyudahi
dekapannya, malam telah menyelimuti kota besar itu. Sejak Rana memutuskan untuk
berhenti melatih tari, remaja tanggung itu seolah kehilangan candu yang menjadi
kebutuhan hidupnya. Dan kini, candu itu telah kembali. Nyata bukan ilusi.
“Vania sampai lupa menanyakan
kabar kakak, bagaimana .. ?” kalimat itu menggantung di udara, ingin di
lanjutkan, namun tak sanggup untuk di keluarkan. Ini kali pertama setelah
pertemuan sebelumnya, pertemuan yang berlangsung beberapa tahun silam.
Syukurlah, sepertinya, suasana
hati gadis itu sedang baik. Gadis yang memotong rambut lurusnya sebahu itu
tersenyum, sejak tadi tak berkata apapun, namun
kali ini, ia mengizinkan mulutnya untuk berkata “Aku baik, aku baik-baik
saja.” Setidaknya, ia sadar, kalau masih ada yang peduli dengan keadaannya.
Bukannya masih ada, kalau saja ia mau menyadarinya, banyak orang yang
memperdulikan dirinya, menanyakan keadaannya dan merindukan kehadirannya. Ya,
kalau saja ia mau menyadari hal itu. Dan sepertinya, perlahan harapan itu akan
terwujud. Gadis itu telah kembali.
●●●
“Kau bilang, apa jadinya kau
tanpa diriku. Lalu, apa maksud semua ini ?” Gadis itu menaikkan nada bicaranya,
menahan emosi yang telah membuncah beberapa menit lalu.
“Ini mimpi kita, Na.”
“Kau, ini mimpimu. Bukan kita.”
“Na, aku tidak lama, nanti
sepulangnya dari Venesia, aku akan kembali, melanjutkan rencana kita.”
Laki-laki itu mencoba menenangkan.
“Rencana ? pertunjukkan itu
tinggal menghitung hari, dan bagaimana bisa kau mengatakan kalau hal itu masih
rencana.” Gadis itu menarik tubuhnya, membanting kedua tangan yang mendarat di
bahunya.
“Aku sudah membatalkan
pertunjukkan itu, kau tak perlu cemas, ya, kita memang cukup rugi. Tapi
percayalah, sepulangnya aku nanti, kita akan membuat pertunjukkan yang lebih
dari apa yang kita rencanakan saat ini.”
“Kau tahu ? berapa banyak tetes
keringat yang ku biarkan terjatuh hanya untuk mengumpulkan tabungan itu,
tabungan untuk membuat satu pertunjukkan hebat, untuk kau, untukku. Aku mohon,
jangan pergi.” Suara gadis itu terdengar lirih di akhir kalimat. Dadanya sesak
menahan gejolak emosi bercampur kesedihan. Namun sepertinya, ambisi dalam benak
laki-laki itu tak dapat lagi tergoyah. Mimpinya, mimpinya akan segera terwujud
di Venesia. Tak ada lagi yang ia harapkan, selain impian yang terwujud. Lalu,
bagaimana dengan gadis itu ? Entahlah. Laki-laki itu tak punya kalimat yang pas
untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini.
“Pernah, kau tidak hanya sekali
mengecewakanku. Bahkan aku pernah benar-benar tak lagi mempercayaimu, kau terus
melakukan segala cara agar aku kembali percaya padamu” gadis itu menatap kosong
ke ruas jalan, menerawang. “dan lihatlah, ketika kepercayaan itu telah kembali
kau dapatkan, kau kembali menyia-nyiakannya. Sudahlah. Pergi.”
●●●
“Kakak akan menari lagi, kan ?”
remaja tanggung itu bertanya hati-hati, kini keduanya duduk bersandar di
dinding ruangan luas itu, ruangan dengan sisi-sisi kaca berukuran besar. Gadis
itu menghela napas, ia tak boleh lagi egois. Hidupnya harus terus berlanjut,
bukan ? Menari bukanlah impiannya, bukan juga ambisinya. Tapi menari adalah
kebutuhannya, hidupnya. Beberapa tahun tak melakukan hal itu, ia seperti
makhluk hidup yang tak bernyawa. Mayat yang bernapas. Gadis itu tertawa kecil
mengingat tingkahnya beberapa tahun ini, menari diam-diam, ya, ia melakukannya.
Bukan tariannya yang salah, bukan hidupnya yang menghancurkan hatinya. Lubang
di dalam luka itu memang masih menganga, tapi setidaknya, kembali melakukan
kebiasaannya, memenuhi kebutuhannya dan meneruskan hidupnya dapat sedikit
mengurangi luka itu. Ya. Ia percaya akan hal itu.
“Vania pernah bertanya sama kak
Nancy tentang kakak, tapi kak Nancy bilang, kalau kakak hanya butuh waktu untuk
menyendiri. Kak Nancy bilang, kalau kakak tidak berhenti, kakak hanya sedang
beristirahat. Kak Nancy juga bilang, kakak tidak akan pernah bisa berhenti
menari, apapun alasannya.”
●●●
Siang tadi, sebelum akhirnya
gadis itu memutuskan untuk kembali. Laki-laki yang pernah meninggalkannya datang
kembali. Membawa banyak cerita hebat, jutaan rencana dan cinta, mungkin.
“Untuk apa kau kembali ?”
Laki-laki itu paham, mengapa gadis itu bersikap dingin. Lima tahun lalu, ketika
semua itu telah berlalu, ia berharap kalau gadis itu tetap menunggunya kembali.
“Aku ..”
“Aku tak pernah mengharapkanmu
kembali, hidupku normal saja tanpa dirimu. Jadi ku rasa, tak ada gunanya kau
kembali.” Bohong. Gadis itu sedang berbohong. Ia tidak cukup baik beberapa
tahun terakhir.
“Ah sudahlah, aku tidak memiliki
cukup banyak waktu untuk menemanimu. Aku harus melatih, kau tahu, jadwal
mengajarku kini telah padat. Aku tak memiliki cukup banyak waktu untuk
menemanimu.”
Dan dengarlah, isak tangis yang
terjadi di balik kemudi itu. Gadis itu benar-benar mengutuk dirinya, bagaimana
bisa, ia menjadikan hidupnya sebagi pelarian untuk menghindari laki-laki itu.
Menutupi keterpurukkannya selama ditinggalkan. Sayang, selamanya waktu tak akan
pernah kembali. Ia hanya ingin terlihat baik-baik saja di mata laki-laki itu.
Hanya itu.
“Rana,
murid-muridmu menunggu. Kau tahu, beberapa dari mereka bahkan tak mau
melanjutkan latihan, kelasmu kosong. Tak ada lagi pertunjukkan. Elin dan Maya
pun pernah mencoba mengisi kelasmu, tapi mereka menyerah. Aku pun pernah
melakukannya. Tapi sama saja. Kapan pun kau ingin kembali, aku akan dengan
senang hati menerimanya. Dan aku percaya, kau akan kembali. Apapun jalannya,
karena menari adalah hidupmu”
Tak ada alasan lagi untuk
menghindar. Apapun jalannya, gadis
itu membenarkan kata-kata Nancy beberapa tahun lalu. Tapi, ah, berhenti berkata
tapi. Gadis itu memutar kunci mobilnya, menginjak gas, dan mulai mengemudi.
Gambar diambil dari www.avpfan1102.devian.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar