Kamis, 20 Februari 2014

Indah. Namanya Indah.

“Ini nasi, anggep aja mantannya, terus dimakan deh kayak gini.”
Ucapnya sambil memasukkan sesuap nasi dan mengunyahnya keras-keras. Kata-kata itu mengalir, ketika saya sedang tidak nafsu makan karena habis di selingkuhi oleh ‘pacar’ yang telah berganti ‘mantan’.

Indah, namanya Indah.


Waktu itu usia saya sudah delapan belas tahun, dan saya masih belum bisa berpikir dewasa. Maklum, baru lulus SMA. Dan ia selalu memanggil saya dengan sebutan ‘anak kecil’.

Saya mengenalnya, ketika pertama kali saya bekerja. Bekerja menjadi buruh Pabrik di PT. Sanyo Jaya Components Indonesia, Cibitung. Sekitar tahun 2009 lalu.

Hari itu, hari pertama saya mengenalnya. Sosoknya tidak tinggi, tubuhnya kecil, imut-imut, sungguh kamuflase dari usianya.

“Ndah, ini ada anak trainning. Belajar di line kamu, ya.”

Ia mengangguk, tersenyum, dan bergegas menghampiri saya.

“Belajar di sini ya, say. Sama Fitri.” Saya manut, dan mulai memperhatikan sebuah mesin berukuran besar yang sedang dijalankan oleh seorang ‘operator’ wanita.

Tak pernah terbesit dalam benak saya akan menjadi buruh pabrik. Sia-sia ilmu akuntansi yang saya pelajari selama tiga tahun di SMA. Toh, yang di butuhkan untuk menjadi seorang buruh pabrik, hanyalah mental baja dan tenaga besi. Tapi biarlah, di kemudian hari, mungkin ilmu akuntansi saya akan bermanfaat. Kalaupun tidak, mungkin ada banyak hal yang akan saya temui di dalam ruang lingkup ‘sebuah pabrik’.

Indah. Yang saya tahu, ia asli Subang. Lulus SMA tahun 2005, empat tahun diatas saya. Suka sekali dengan harry potter. Pembawaannya sedikit tomboy, atau malah emang tomboy. Biarlah yang mengenalnya lebih dekat yang menilai.

Awal saya masuk di dalam ‘ruang produksi’ yang penuh dengan berbagai macam mesin, lengkap dengan para operator yang menduduki pos masing-masing. Hanya ‘hebat’ yang terlintas di dalam pikiran saya. Bagaimana tidak, mayoritas yang duduk di depan mesin-mesin tersebut adalah kaum hawa, pemudi-pemudi perantau, yang meninggalkan keluarga dan kampung halamannya untuk mencari rupiah.

Dulu, saat saya masih mengenakan seragam putih abu-abu, saya sering kali usil mengambil gambar-gambar secara diam-diam di dalam angkotan umum K-50 jurusan Bekasi-Cikarang. Iya, tiga bulan saya menjalani praktik kerja lapangan di Cikarang. Wajah-wajah lelah itu sering menjadi bahan lelucon saya dan teman-teman saya. Tak henti-hentinya saya menertawakan mereka, para pekerja yang mungkin harus berangkat pagi dan pulang malam. Ada yang tidur dengan mulut menganga, ketika itu masker belum banyak di jual seperti saat ini. Ada juga yang enggak sengaja menjatuhkan kepalanya di bahu penumpang lainnya, atau ada juga yang saling tidak sengaja membenturkan kepala. Kepala-kepala itu bergoyang layaknya wayang, kanan, kiri, depan, belakang. Kemudian jatuh, membuat pemiliknya sadar. Dan ketika itu tawa saya akan terhenti. Ketika mereka telah kembali membuka mata lelahnya.

Pemandangan seperti itu selalu menimbulkan kerinduan bagi saya. Saya yang ketika itu masih belum mengerti.

Senjata makan tuan, mungkin itu tepat buat saya. Ketika saya sudah resmi menjadi seorang buruh pabrik. Saya pun sama seperti ‘mereka’ yang dulu sering saya ambil gambarnya diam-diam ataupun sering saya jadikan bahan lelucon. Kebablasan di dalam angkot karena ketiduran, nyaris jatuh di dalam angkot, pun gara-gara ketiduran. Saya lelah. Harus berangkat pagi dan pulang malam. Dan saat itulah, ingatan saya berputar, pertanyaan saya terjawab, pertanyaan akan wajah-wajah lelah tersebut.

Ah, itu adalah segilintir kisah yang sering membuat senyum ketika saya mengingatnya.

Indah. Mba In, banyak yang memanggilnya seperti itu. Ibarat buah, ia adalah apel, apel lembut yang mengenyangkan. Berbicara dengannya selalu ‘ada isinya’. Pemimpin yang berwibawa, dalam penilaian saya.

Pernah satu hari, ada operator atau anak buahnya yang melakukan kesalahan. Pernah juga, saya melihat di bagian lain, seorang operator atau bawahan sedang di marahi habis-habisan oleh leader atau atasannya, (bukan, ini bukan dia) karena melakukan kesalahan. Operator yang di marahi tersebut pun malu.

Sebenarnya bukan isi dari celoteh sang atasan yang membuat si operator itu merasa malu. Tapi adalah bagaimana si atasan mencecar dengan berbagai amarah di depan banyak orang. Itu yang membuat seseorang akan menjadi down.

Ia berbeda. Jika ada bawahannya yang melakukan kesalahan, ia sama sekali tidak membahasnya di jadwal meeting pagi bersama. Seolah tidak ada apa-apa, sekalipun ada permasalahan yang besar. Ia selalu terlihat tenang dan susah sekali untuk marah. Apa yang ia lakukan ? Ia akan memanggil bawahan atau operator tersebut, membicarakannya empat mata. Mencari solusi dan menutupi kesalahan tersebut. Saya belajar darinya, meski saya bukanlah seorang pemimpin. Tapi setidaknya, saya belajar bagaimana cara untuk menjaga perasaan seseorang.

Sungguh anugerah, karena untuk kali pertama saya bekerja, saya bertemu dengannya.

Pernah, saya membuatnya panik. Bodoh, tapi entahlah, saya hanya merasa lelah. Lelah karena harus berdiri ber jam-jam di sebelah mesin besar, memperhatikan seorang operator yang sedang mengoperasikan mesin tersebut. Kedua telapak kaki saya terasa panas, dan rasanya sepasang kaki saya tak mampu lagi untuk menopang tubuh saya. Saya lelah. Saya belum terbiasa berdiri dalam durasi yang lama. Sedang, lihat, di sana, tidak ada satu pun tempat untuk saya duduk. Sekalinya ada sebuah meja, meja itu di gunakan untuk meletakkan tumpukkan tray berisi material. Saya butuh duduk. Hanya itu saja.

“Mba, saya izin ke toilet, ya.” Ucap saya pada operator yang sedang sibuk bekerja. “Nanti, kalo mba Indah nanyain, tolong bilangin ya, mba” anggukan operator tersebut yang membuat kaki saya melangkah.

Akhirnya, saya bisa duduk juga. Saya duduk di dalam toilet, di sisi kecil ‘closet’. Duduk menyandarkan tubuh yang mulai terasa lemas, meluruskan kedua kaki yang begitu pegal, memanjakan kedua mata sejenak untuk terpejam. Peduli apa dengan aroma ruangan itu. Saya lelah, saya hanya butuh istirahat.

Satu jam berlalu. Saya buru-buru keluar dari ruangan sumpek itu.

Merapikan seragam ‘clean room’ dan langsung kembali ke line.

Apa yang terjadi ?

“Kamu dari mana ? Mba Indah nyari-nyari kamu.” Operator trainner saya menyadarkan saya, berapa lama saya pergi meninggalkan line.
“Saya dari toilet mba, mules banget.” Saya berbohong.

“Alhamdulillah. Kamu dari mana, Yani. Indah nyariin kesana sini enggak ada.” Suara itu miliknya, nada penuh khawatir. Yani, ia memanggil nama belakang saya.
“Saya dari toilet, mba. Perutnya sakit.” Oh ya ampun, saya sudah membuatnya cemas. Saya pun takut di marahi olehnya karena terlalu lama meninggalkan line.
Ia mengembuskan napas pelan “Syukur deh, bukan apa-apa, Indah takutnya kamu pingsan say, terus enggak ada yang tau. Dari tadi di cariin.” Tidak terdengar nada marah sedikit pun dari kata-katanya.
“Iya. Maaf, mba”
“Enggak apa-apa, belajar lagi ya.” Ucapnya sambil mengelus pundak saya.


Kemarin, ketika tidak sengaja saya membuka jejaring sosial, namanya muncul dalam news feed saya, dan tanpa saya bisa kendalikan, saya merindukan sosoknya.

Terimakasih. Hanya itu yang ingin saya ucapkan. Dan tetaplah menjadi Indah yang saya kenal.

Saya, si ‘anak kecil’.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar