Rabu, 19 Februari 2014

Lo kapan ? .. .. #kondangan



 

Udah 2014 nih, masih aja jomblo ..
Ini lagi, 2014 meeeeen .. masih aja kepoin mantan (tiga tanda seru) #mendadaktandaserudikeyboardilang
Nah, itu ngapain buka-buka foto masa lalu ? Belum bisa move on ? Hemmm ..

“Aya, eh lo kapan nyusul ?”

Saya yang lagi jilatin tulang ayam mendadak berhenti melakukan aktifitas tersebut. Beberapa detik, telapak tangan yang sedang menggenggam tulang ayam dan berada di depan mulut, kedua mata yang ‘eyeliner’ nya udah luntur, dan bibir yang basah karena minyak dari kerupuk udang. Beberapa detik saya terdiam, mencerna baik-baik pertanyaan tersebut.

“Lo kapan ?”


Ah, bisa aja “Lo kapan ke Papua ?” atau “Lo kapan berhenti napas ?” atau juga “Lo kapan jadi cantik ?”
Tapi bentar ! (tanda serunya udah kembali) Masalahnya, pertanyaan tersebut di lontarkan ketika saya sedang berada diacara resepsi pernikahan, yang disingkat, kondangan.  Tanpa perlu dijabarkan atau di lanjutkan dengan kata-kata apapun, pertanyaan itu berbunyi ‘lo kapan kawin ?’.

*Tiba-tiba terdengar lagu qasidah ‘pengantin baru’. Tiba-tiba semua jadi slow motion. Tiba-tiba bunga kamboja berguguran (Nah lho ?)*

Menyikapi pertanyaan tersebut sering membuat saya agak sensitif, lho ? lho ? Kenapa ?

Karena ..


1.       Kalo saya jawab “secepatnya, doain ya” kemudian tersenyum. Gimana secepatnya, calonnya aja belum keliatan. Jadi, saya enggak mau takabur dengan bilang secepatnya yang malah beberapa tahun lagi.
2.       Kalo saya jawab “enggak tau, masih lama kayaknya” kemudian nyengir. Ah, ucapan itu kan adalah doa. Kalo saya bilang masih lama. Siapa tahu, pas saat itu kata-kata saya menjadi nyata. Aduuuh, udah dua tiga nih.
3.       Kalo saya diam, dan kembali menjilati tulang ayam, saya akan di berikan kalung berlonceng lagi :D


“Lo kapan ?” pertanyaan yang pasti terlontar saat kondangan itu udah menjadi pertanyaan umum yang sering dijadikan bahan ceng-cengan kaula muda zaman sekarang. Ya, saya rasa, kalian pun pernah mendengar pertanyaan tersebut. Iya. Kalian yang pernah menghadiri acara resepsi pernikahan. Ya, masa anak TK ditanyain kayak gitu.

Ini saya bingung mau nulis apa lagi. Kesiksa batin rasanya kalau mau bahas soal beginian.

Heeeemmm .. pas !! Bruno mars mengalun merdu dengan ‘talking to the moon’ nya.

Gini aja deh. Jodoh itu pasti ketemu kan, ya ? Iya.

Setiap orang sudah memiliki jodohnya masing-masing kan, ya ? Iya.

Dan, tulang rusuk enggak bakalan ketuker kan, ya ? Iya.

                Minggu, 22 Desember tahun lalu, iya, 2013. Kan tahun lalu. Saya datang di sebuah pengajian di masjid Istiqlal, dengan guru yang begitu saya kagumi. Ustad Yusuf Mansur, yang biasa di kenal YM. Dalam pembahasannya, Beliau berkata “Ada seorang wanita yang sepanjang hidupnya berdoa meminta jodoh. Namun, sampai ia meninggal di usia tiga puluh Sembilan tahun, ia tetap tidak menikah. Lalu, apa ia merasa rugi karena doanya tidak terkabul ? Enggak boss .. enggak pernah ada kata rugi dalam doa. Enggak ada yang sia-sia dalam berdoa. Ketika wanita itu meninggal, disana, dialam yang baru, ia melihat tumpukkan piramida berkilau yang hampir sama dengan gunung-gunung. Kemudian ia bertanya “Apa itu ?” dan ia mendengar jawaban “Itu adalah tumpukkan doa-doamu selama di dunia”. Lihat boss ! bagaimana Allah membalas apa-apa yang ente kerjakan. Enggak ada satu pun yang terlewatkan.”

Sebenarnya simple ya, dalam agama mana pun, pasti mengajarkan tentang keyakinan kepada Tuhan. Dan ketika, saya, anda, atau kita semua bergantung hanya kepada-Nya, rasanya, tak perlu lagi ada yang harus di takutkan, enggak perlu malu, apalagi melakukan segala cara untuk menutupi hal yang emang enggak perlu di tutupin. Enggak gitu.

Pada dasarnya, menikah itu adalah pilihan. Mungkin. Kenapa saya berkata seperti itu ? Karena saya pun merasakan hal tersebut.

Ketika lo yakin akan sesuatu, dan berusaha untuk mendapatkannya. Maka lo akan mendapatkannya.

Tapi gini, beda soal cinta. Hal ironis yang sering kali saya alami adalah, ketika saya mencintai seseorang, seringnya, seseorang yang saya cintai tersebut tidak mencintai saya. Dan sebaliknya, ada orang-orang yang dengan tulus mencintai saya, mungkin, tapi saya tidak menginginkannya. Susah kan ? Cinta enggak bisa dipaksakan. Begitu semboyannya. Namun saya percaya, kalau cinta bisa hadir karena terbiasa.

Rasanya. Melepaskan seseorang yang tidak mungkin untuk kita miliki, jauh lebih baik. Daripada memaksakan seseorang untuk mencintai kita. Semakin bisa kita melepaskan, maka kita akan mendapatkan. Hukum itu berlaku. Ikhlas.

Aaah .. berat nih kata-katanya. #peace

Dan kalau saya pribadi sih, menyikapi persoalan satu ini, intinya yakin.

Saya menikmati hidup saya, saya menikmati setiap apa yang saya pilih, walau enggak sedikit penyesalan menghinggapi.

Dan untuk urusan hati, saya bukan menutupnya. Hanya saja, saya membiarkan ia untuk jatuh kepada siapa pun yang ia anggap dapat menangkap kejatuhannya. Saya tidak ingin memanfaatkan keadaan, dengan menjalani satu hubungan yang sejak awal saya tidak menemukan rasa nyaman. Saya tidak ingin menjalani hari-hari saya dengan kebohongan karena alasan ‘tidak enak’. Saya tidak ingin menyiksa diri saya sendiri. Walau, kadang, saya sempat terpengaruh dengan kondisi-kondisi yang mengharuskan saya memiliki pasangan, namun ketika saya sadar, saya akan menyesali tindakan bodoh tersebut.

Tapi, bukankah orang yang sedang merasakan cinta sering kali terlihat bodoh ?

Ya. Saya membenarkan hal tersebut, bagaimana tidak, kisah Laila majnun, kisah Romeo Juliet, kisah Sangkuriang, kisah-kisah tersebut jelas membenarkan pernyataan juga menjawab pertanyaan saya tadi.

Ah, saya adalah pengagum kisah cinta Fatimah az Zahra dan sayidina Ali bin abi thalib.

Dan jika boleh memilih, saya ingin meneladani kisah cinta mereka. Itu pun kalau saya mampu. Karena berat sekali rasanya.

Sempat beberapa kali saya merasa panik akan jodoh. Tapi, rasanya saya terlalu lancang jika harus mengkhawatirkan sesuatu yang sudah menjadi urusan Tuhan.

Jodoh. Hemmmm .. boleh ya, saya mengutip cerita ini. Cerita yang juga saya kagumi, satu kisah yang diceritakan oleh ustad YM, di acara wisata hati. Acara yang dulu tayang tiap pagi, saya masih jelas mengingatnya.


Allah dulu. Allah lagi. Allah terus.

Ada seorang wanita berusia empat puluh tahun. Di usianya yang sudah kepala empat, ia belum menikah. Wanita itu tinggal bersama ibunya, hanya bersama ibunya. Suatu hari, sebuah undangan reuni datang. Reuni alumni sekolah dasar di salah satu sekolah di daerah jawa. Wanita itu pun panik, ia tak memiliki cukup alasan untuk enggak datang karena tempat acara itu berlangsung, di daerah yang tidak terlalu jauh dari domisilinya sekarang. Ya. Semenjak lulus sekolah dasar, ia enggak pernah bertemu lagi dengan satu  pun teman SD nya.
“Mak, ini gimana ? Ada undangan reuni, datang enggak ya ?” Tanya wanita itu, ucapannya ragu penuh keputus asaan. Wanita tua yang dipanggil ‘emak’ itu terseyum, ah, senyuman itu menular, selalu mampu membuat tenang siapa pun yang melihatnya.
“Enggak usah nanya sama emak. Itu acara kapan ?”
“Bulan depan. Masih lama, sih. Tapi .. ..”
“Huuuussss .. jangan pake tapi. Mending kita sholat, tanya dah sama Allah. Tanya !”
Wanita itu pun menurut, mengerjakan dua rakaat sholat hajat. Lalu berdoa, meminta petunjuk akan apa yang harus dilakukannya.
“Punya simpenan apa ? Sedekahin, nak ! Kasih ke Allah semuanya.”
“Tapi mak .. ..”
“Enggak. Jangan pake tapi !”
Beberapa hari berlalu. Selembar undangan pun kembali datang, namun dengan isi yang berbeda. Undangan reuni alumni SMA, dan acaranya seminggu lagi. Lebih cepat dari waktu acara di undangan sebelumnya. Buru-buru wanita itu memberitahu ibunya.
“Mak, undangan lagi ?” mereka pun saling bertatapan, entah apa yang melintas di pikiran keduanya.
“Oke. Siapa tau ada jawabannya. Kita sholat !”
Lagi. Allah lagi.
Tiba di hari ‘H’, acara reuni SMA. Wanita itu sudah berhias diri, mematung di depan meja rias yang ada dikamarnya. Sebelumnya, ia telah mengerjakan dua rakaat, untuk memantapkan hatinya. Allah terus.
“Udah, sana berangkat !” ibunya memberi saran. Dengan sedikit keraguan, wanita itu pun menurut. Ia keluar rumah dan menyetop taksi yang kebetulan lewat di depan rumahnya.
“Mau kemana bu ?”
“Hotel ‘ini’.”
“Sendirian aja ? enggak ama suaminya ?”
Wanita itu terdiam cukup lama, sebelum akhirnya menjawab “saya belum menikah, pak.”
“Oh, maaf mbak. Saya doain, semoga ketemu sama jodohnya.”
“Aamiin.” Lirih wanita itu, namun mantap.
Simak ! dua doa sudah di dapat, pertama dari ibunya, dan kedua dari sopir taksi yang belum tentu manusia. Ingat. Allah punya ribuan penjuru langit untuk membantu hamba-Nya.
Sesampainya di tempat yang di tuliskan dalam undangan tersebut, wanita itu masuk, dan menikmati hidangan yang ada. Tapi ada yang aneh, enggak ada satu orang pun yang ia kenal. Satu pun. Padahal, acara reuni tersebut adalah reuni akbar yang mengundang sepuluh angkatan. Tapi bagaimana bisa, enggak ada satu pun yang ia kenal. Wanita itu pun mulai panik, menghubungi beberapa temannya. Namun, semua teman yang di hubungi, beralasan yang logis. Ada yang bilang lagi kerja, lagi di luar kota, dsb.
Dalam kebingungannya, datanglah seorang laki-laki yang terlihat sedikit lebih dewasa darinya. Laki-laki itu pun sama, terlihat bingung.
“Sendirian, mba ?” sapa laki-laki itu ketika sudah duduk di hadapan wanita itu. Wanita itu mengangguk dan berkata “Iya, mas alumni tahun berapa ?”
“1985. Mba ?”
Waaah, cakep. Jodoh gue kali nih ya, beda tiga tahunan. Ini nih jawaban Allah.
Wanita itu mulai merasakan tanda-tanda akan jawaban dari doa-doanya.
“Saya 1988.”
Di tengah perkenalan yang mulai akrab, tiba-tiba datanglah seorang anak kecil kurang lebih berusia sepuluh tahunan.
“Papa .. ..” panggilnya kepada laki-laki yang masih duduk berhadapan dengan wanita tadi.
Shock. Buyar semua angan-angan dia. Ternyata laki-laki ini sudah memiliki anak. Wanita itu pun mencoba tenang, dan Allah tak pernah sedikit pun terlupakan dalam benaknya.
“Anaknya, mas ?” Tanya wanita itu dengan perasaan tak menentu.
“Iya.” Satu kata itu terdengar sangat berat di telinga wanita itu.
“Ibunya mana ?” wanita itu mencoba terlihat biasa saja.
“Udah meninggal dua tahun lalu.”
Huuuh. Wanita itu menarik napas lega mendengar kalimat yang keluar dari laki-laki tersebut.
Gak apa-apa deh ya Allah. Duda pake paket, enggak apa-apa ya Allah. Ucap wanita itu dalam hati.
Sejak perkenalan itu, tak lama keduanya menikah. Menikah secara sederhana. Dan, wanita itu pun hadir dalam acara reuni alumni SD-nya bersama suami dan anaknya. Tanpa ada yang tahu kalau dirinya baru melangsungkan pernikahan. Yang teman-temannya tahu, ia telah menikah dan memiliki anak berusia sepuluh tahun.


Subhanallah

Betapa, Allah mencukupi kekurangannya.

Buat saya, yang selalu percaya akan keajaiban. Saya yakin akan hal tersebut, terlebih soal jodoh. Semua bisa terjadi.

Jadi, “Lo kapan ?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar