Minggu, 23 Februari 2014

Rendezvous pertama

Kebetulan. Awalnya aku berpikir hanya kebetulan. Namun bukankah sebelumnya aku mengatakan tak pernah ada yang benar-benar kebetulan di dunia ini. Semua telah terencana, begitu pula pertemuan kita. Kau dan aku.


Aku terdiam, memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan ketika seseorang menyebut namamu. Benarkah nama itu adalah nama yang sama seperti nama yang pernah di sebutkan temanku tempo lalu. Nama yang ku anggap pemiliknya adalah jodohku. Aku mencerna baik-baik namamu yang terdiri dari dua kata itu. Kepalaku spontan berputar, memastikan seperti apa sosok pemilik nama itu.

Jauh dari yang kubayangkan. Mungkin benar kata William shakespeare, apalah arti sebuah nama, kau sungguh berbeda dengan apa yang tercipta dalam benakku. Entah mengapa, jantungku berdetak dengan stabil, tak ada yang istimewa lagi. Tidak ada detak jantung seperti awal aku mendengar namamu dulu, awal ketika aku mendengarnya langsung dari temanku.

Dan kini, kau, si pemilik nama itu, berdiri tepat dibelakangku. Aneh, jantung ini tak merasakan sesuatu yang menggebu. Jauh dari penasaran. Tidak, aku tak kecewa apalagi menyesal telah menganggap bahwa kau adalah jodohku, sebelum aku melihatmu dulu. Tapi percayalah, kali ini aku tak sedikit pun tertarik akan anggapan tersebut. Hati kecil ku lagi-lagi menolak dan berkata, kau bukanlah jodohku. Konyol bukan ?

Beberapa menit berlalu, seseorang memanggil namaku untuk bergabung dengan beberapa orang yang ada di sana. Di sebuah muara tanpa dermaga.

Tapi apa-apaan ini, ketika aku menoleh, aku mendapati sosok asing yang hanya dengan melihatnya membuat dadaku terasa sesak. Aku lupa caranya bernapas. Karena cukup lama aku menahannya. Jantung ini pun terlalu konyol, ia pintar bermain-main. Entah apa yang terjadi.

Hei, ternyata aku salah orang. Kau, kaulah sebenarnya pemilik nama itu. Kaulah yang semula ku anggap jodohku. Kali ini aku harus mengakui, kalau mata tak pernah bisa menilai, meski ia selalu berkata jujur. Namun hati, lebih pandai merasa.

Itulah kali pertama aku melihatmu.

Pertemuan kita yang pertama.

Saat itulah, semua bermula, saat logika benar-benar tak berarti. Kita berada di satu perahu yang sama. Duduk searah jarum jam enam dan dua belas. Saling berhadapan. Kau tahu ? Tak henti-hentinya aku memastikan kalau aku masih bernapas, karena dadaku terasa benar-benar menyesakkan. Kau tahu ? Sejuta kali aku memalingkan pandangan dari tatapanmu, tatapan yang sulit untuk di artikan. Disana, di dalam perahu itu, bukan hanya aku yang duduk berhadapan denganmu, ada orang-orang lain yang bisa saja, mereka yang kau ajak senyum, bukan aku. Sesekali, aku memohon pada hati kecilku, bersikaplah dewasa. Bersikaplah setenang mungkin. Berpikirlah jernih. Apapun, aku terus bergulat dengan imajiku sendiri.

Bagaimana aku tidak menjadi seperti itu, kau, orang yang ku anggap adalah jodohku, saat itu tepat duduk berhadapan denganku. Coba bayangkan, seperti apa rasanya ketika kau bertemu dengan seseorang yang selama ini hanya ada dalam bayangan dan anganmu, dan sosok itu adalah nyata.

Aku tak dapat memastikan lirikan mata, atau senyuman yang sesekali kau lempar di hadapanku. Aku tak mau merasa senang kalau harus menerka-nerka, senyuman itu kau berikan untukku. Tapi coba dengar, seseorang yang duduk di sebelahku membenarkan pikiran lancangku. Membuatku semakin melayang dalam angan.

Kau tahu ? sejak pertemuan itu, aku telah kalah, kalah dengan semua angan. Aku berani menembus batasan-batasan yang sebelumnya tak pernah ku lewati. Aku merasa menjadi sosok lain, sosok yang bukan aku. Terlebih ketika aku mulai berani menghubungimu secara langsung lewat pesan singkat, dan membuatmu penasaran karena mendadak memiliki secret admirer. Ya. Itulah aku. Aku yang saat itu sedang terperosok ke dalam virus merah jambu.

Beberapa kali aku mengutuk diriku sendiri. Malu akan apa yang telah ku lakukan.

Lalu ketika aku sadar, kau tak pernah benar-benar mengenaliku. Aku pun ingin menyudahi kegilaan rasa ini. Ini kisahku, bukan kisah kita. Karena hanya aku tokoh utamanya. Kau hanyalah ilusi dari ambisi angan-anganku. Angan yang sepertinya jauh dari kenyataan. Walau masih ada secuil kemungkinan.

Aku mengasihani diriku sendiri. Diri yang lemah, kalah dengan sesuatu yang dinamakan perasaan.

Kau tahu ? Aku benar-benar tersiksa dengan perasaan ini. Entah cinta atau sekedar ambisi ingin memiliki. Hatiku kuat-kuat menahannya, namun lisanku tak sejalan. Lisanku dengan lancar menjelaskan perasaan ini kepada beberapa orang. Keputusan yang akhirnya ku sesali setelahnya. Untuk apa mengatakan hal yang tidak seharusnya dikatakan ? membuka aib sendiri. Lihat, tak ada satu pun dari mereka yang dapat mengubah keadaan. Hanya sejenak menjadi pelampiasan kelemahan hatiku. Aku benci, berkali-kali aku memaki diriku sendiri.

Tidak puas, aku pun mulai mengusik kehidupanmu. Mencari tahu apapun yang berhubungan denganmu. Rasa ini sungguh dahsyat, bahkan aku sama sekali tak di beri kesempatan untuk mengendalikannya. Ambisi itu tengah menguasaiku, aku harus memilikimu. Kau harus tahu akan apa yang kurasakan. Harus.

Namun seketika, malam itu, aku mematung, menatap lamat-lamat foto kau dan aku tersenyum. Dua orang yang tidak saling kenal. Tak sengaja bertemu. Aku menangis, menangis sejadi-jadinya. Memaki semua kebodohanku. Menyesali semua nafsu liar dalam benakku. Hasrat ingin memiliki.

Sejak malam itu, ku putuskan untuk berhenti memikirkanmu. Berhenti mengikuti alur keliaran perasaan ini. Rasanya susah sekali, kau harus tahu hal itu. Mencintai diam-diam memang indah, tapi juga menyakitkan. Terlebih, kau sama sekali tidak pernah tahu apa yang kurasa. Atau bahkan, kau sama sekali tak pernah mengenalku, karena kita belum pernah berbicara sungguh-sungguh.

Mungkin saat malam-malamku terisi dengan wajahmu, kau malah dapat terlelap dengan sejuta mimpi. Mungkin saat sekuat hati aku melupakanmu, kau malah sibuk mengingat-ingat wajah lain. Sungguh menyakitkan mencintai diam-diam itu. Layaknya pecundang yang tak dapat berbuat apapun, hanya mampu mengasihani diri sendiri.

Rasanya, aku ingin berteriak di hadapanmu, mengatakan kalau aku mencintaimu.

Namun tidak seperti itu, aku masih ingin membersihkan kekotoran hatiku. Memperbaiki tak kenal kata telat, bukan ? Setidaknya, menjadikan sedikit lebih mulia perasaan itu.

Perlahan, aku paham, cinta adalah tentang bagaimana aku dapat melepaskan. Semakin aku menginginkannya, aku tak akan pernah bisa mendapatkannya. Lihat saja, ketika otakku liar melakukan segala cara untuk mendapatkan perhatianmu, itu malah membuatku rendah dan hanya memalukan diri sendiri. Namun aku paham, ketika aku memilih untuk melepaskanmu, pada dasarnya, aku telah selangkah lebih maju untuk mendapatkanmu.

Sudahlah. Memilikimu tak lagi menjadi tujuan hatiku. Semakin aku mampu melepaskan, dan jika pun pada akhirnya kau tak akan pernah mengerti, setidaknya, aku tak perlu malu akan perasaanku yang sedikit lebih mulia karena tersembunyi. Setidaknya, aku akan baik-baik saja karena telah mampu mengendalikan. Setidaknya, aku telah mengerti seperti apa mencintai, mengharapkan, mengendalikan, dan melepaskan. Itu sudah lebih dari cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar