Rabu, 26 Februari 2014

Tak ingin sekedar menjadi ‘seonggok daging yang punya nama’

“BERMIMPILAH SETINGGI LANGIT .. JIKA ENGKAU JATUH. ENGKAU AKAN JATUH DIANTARA BINTANG-BINTANG.”

Kutipan itu sengaja ku pasang di sebelah cermin berukuran sedang yang ku tempelkan di tembok ruangan tempat tinggalku. Kontrakkan sepetak.

Kau tahu kenapa ? Agar setiap detik aku dapat melihatnya. Ya, aku senang sekali bercermin. Menurut beberapa wanita, aku adalah laki-laki yang tampan. Itu bukan karanganku, beberapa wanita pernah mengatakan hal itu secara langsung kepadaku.

Aku sarjana ekonomi lulusan dari Universitas Diponegoro, Semarang. Aku sering mengutuk diriku sendiri saat menyadari betapa buruknya nasib kehidupanku. Lulus kuliah, aku menjadi pengangguran yang gila akan dunia maya. Kerjaanku sehari-hari sekedar update status di berbagai jejaring sosial, atau yang lebih berkelas, aku sempatkan diri membaca kata-kata bijak dari orang-orang sukses dan menuliskan aamiin di kolom komentar.

Dua tahun ku lalui menjadi penggila dunia maya. Terjaga hingga larut, dan ketika orang-orang ‘dunia’ memulai aktifitas, barulah aku terpejam. Bangun kembali ketika matahari telah lurus di atas kepala. Menyedihkan. Hal pertama yang akan ku lakukan ketika kedua mataku terbuka adalah melirik gadget ‘lumayan’ canggih yang kupunya dan bersegera membuka akun-akun yang kumiliki. Membaca setiap postingan yang tertera di sana, dan kadang membuat kata-kata bak orang benar saja. Lalu tersenyum bangga akan komentar-komentar yang masuk. Menyedihkan, bukan ? Kau tak mengerti, mengapa ku katakan itu menyedihkan ? Aku sering kali membuat postingan penuh kebohongan di sana, seolah-olah aku adalah ‘orang benar’, sesekali pun pernah ku rangkai kata-kata indah mengenai agama. Jreng. Komentar-komentar kagum pun bertebaran di dalam status kebohongan itu. Dan aku tersenyum bangga. Lantas seketika, aku mengasihani diriku sendiri. Kadang, ketika otak warasku sedang jernih, aku terdiam, berpikir sejenak akan apa yang telah ku lakukan. Untuk apa ku lakukan hal seperti itu ? Berbohong tentang keadaanku, jati diriku, bahkan kepribadianku hanya untuk mengharapkan berbagai macam pujian orang-orang yang tak ku kenal. Lihat, apa yang ku dapat dari kebiasaan itu, hanya sekedar kepuasan sesaat, menyenangkan sekejap. Toh,akhirnya, kenyataan yang ada, aku pula yang mengetahuinya.

Dulu, aku pernah membaca sebuah buku berjudul ‘Sang pemimpi’ karya Andrea Hirata, di dalamnya ku jumpai kalimat sakti itu ‘bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu’. Aku menyukai kutipan itu. Kini, aku mengerti, untuk apa aku bermimpi.

Dua tahun sia-sia berlalu begitu cepat, sebenarnya, tak ada yang mempersalahkan atas kemalasanku. Aku tahu, kedua orang tuaku mati-matian membiayai pendidikkanku hingga aku mendapatkan gelar sarjana. Menjual sawah, beberapa ekor sapi, bahkan ibuku tak lagi memakai perhiasan satu pun di tubuhnya, semua mereka lakukan agar aku menjadi seorang yang berpendidikan dan bisa menjadi anak yang membanggakan. Aku bukanlah Arai ataupun Ikal dalam kisah ‘Sang pemimpi’, aku hanyalah seonggok daging yang hidup dan memiliki nama. Itu pikirku sebelum aku mengerti.

“Ati-ati ya nak, mugo-mugo gusti Allah ngiringi langkahmu. Ojolali sholat. Donyo mung ladang go akherat. Nek ono opo-opo kabarin ibu lan bapak. Kapan wae kowe arep bali, balio. Inget gusti Allah.”

Itu pesan ibu dua belas tahun lalu ketika pertama kali ku putuskan untuk merantau. Tentu, ibukota-lah tujuan utamaku. Kota yang menjanjikan berbagai macam masa depan.

Perlahan, aku mulai mengurangi kebiasaan di dua tahun itu, pecandu dunia maya. Aku mulai sibuk berlalu lalang ke beberapa gedung tinggi ibukota. Memakai kemeja panjang lengkap dengan dasi rapi, bawahan bahan berwarna hitam dan sepasang pantofel yang sesekali ku sempatkan diri menyemirnya.

Hei. Aku seorang sarjana tampan, tapi lihat, berbulan-bulan aku tinggal di ibukota. Tak satu pun perusahaan berlantai-lantai itu melirikku. Dan kau tahu ? Aku kembali frustasi dengan semua penolakkan itu.

Aku ingat, sang pelopor pernah berkata “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Aku merasakannya saat itu. Susah sekali mencari kerja di tanah air sendiri.

Hampir sepuluh bulan ku lalui dengan bekerja serabutan. Aku tak ingin lagi menggantungkan hidupku pada kedua orang tuaku. Lihatlah, betapa kota ini telah mengubahku sedikit lebih dewasa. Aku mulai hidup. Tak lagi mati seperti waktu itu. Duniaku nyata, tak lagi ilusi seperti dulu. Bertemu dengan berbagai macam orang membuatku banyak belajar, mengalami banyak peristiwa membuatku paham akan kehidupan. Dan kau tahu ? merasakan lapar, adalah yang terindah dari semua kisahku.

Aku menahannya, hanya meneguk bergelas-gelas air untuk sedikit menghilangkan rasa itu. Aku tak memiliki sepersen rupiah pun, tabunganku limit, semua yang ku punya telah habis ku jual untuk memenuhi kehidupanku beberapa bulan terakhir itu. Berkali-kali hati kecilku berteriak, memaki-maki nasib kehidupanku, mati sebagai pecundang. Lalu apa gunanya aku hidup selama dua puluh lima tahun ? benar-benarkah aku harus mati dan hanya meninggalkan nama yang terukir di batu nisan ? Apa yang harus ku katakan saat aku menghadap Tuhan nanti ?

Tuhan ?

Lama sekali aku tak mengingat-Nya. Aku melalaikan pesan ibu yang di ucapkannya ketika aku meninggalkan kampung dulu. Dan ketika aku berpikir aku akan mati konyol dalam keadaan lapar, pesan ibu terngiang bagai energi yang menguatkanku. Aku bangkit, melupakan semua rasa yang telah lengkap menyatu dalam tubuhku. Aku tak ingat, kapan kejadian itu, entah pagi, siang, sore ataupun malam. Semua sama saja bagiku yang terkurung tak berdaya di dalam kontrakkan satu petak di pinggiran Jakarta.

Syukurlah, aku masih ingat bagaimana cara berwudhu, ku basuh bagian-bagian yang ku tahu itu wajib untuk di bersihkan. Dan kau tahu ? itu kali pertama aku meneteskan air mata. Ya. Sekeras apapun hidup, aku tak pernah menangis. Bagi seorang laki-laki, pantang untuk mengeluarkan air mata. Tapi biarlah, aku ingin menangis saat itu. Aku yang semula tak kuat untuk bergerak, saat itu berdiri dengan tegap, rambut gondrongku ku ikat tak beraturan. Dengan menggunakan sarung yang masih terlipat rapi di dalam kardus lusuh, dan baju putih bersih satu-satunya yang ku simpan, aku menghadap-Nya.

Entah sholat apa yang ku kerjakan. Aku tak peduli. Aku hanya ingin mengingat-Nya. Lama sekali aku melupakan-Nya.

Tak ada lagi kekuatan yang tersisa ketika aku terpukur di hadapan-Nya. Kepalaku enggan untuk terangkat, kening dan hidungku masih menyentuh lantai, kurasakan kehangatan di sudut-sudut mata yang telah sembab. Aliran deras itu tak dapat ku hentikan, bahkan telah berubah menjadi isakkan yang terdengar memilukan di telingaku sendiri. Tak ada yang kusampaikan padan-Nya. Tidak. Aku pun tak sanggup mengaduh apapun, atau sekedar membagi keluh kesah atau rasa lapar yang sedang ku rasakan. Tidak. Aku tak sedikitpun berkata-kata.

Aku hanya merasakan kerinduan. Kerinduan yang entah seperti apa ukuran besarnya. Aku tak mengerti.

“Nak .. nak, Nak Kafka. Ada telpon.”

●●

Sejak hari itu, aku percaya akan keajaiban. Walau jujur, aku adalah orang yang pantang menyerah. Tapi bagiku, tak ada yang tak  mungkin ketika Tuhan telah campur tangan.

Telepon itu adalah panggilan kerja dari salah satu pabrik di daerah Cikarang. Ya. Aku pernah mengirimkan cv ke perusahaan tersebut. Seorang teman memberikan alamat perusahaan itu. Saat itu juga, Tuhan telah menggantikan rasa lapar menjadi sumber rezeki ku yang berkelangsungan.

Kau tahu ? Aku di kontrak oleh sebuah perusahaan industri yang bergerak di bidang otomotif sebagai operator produksi. Buruh pabrik.

“Kami sedang tidak membutuhkan karyawan apapun kecuali operator produksi. Maaf.” Ucap seorang yang mengurusi recruitment karyawan perusahaan tersebut.

“Baiklah. Saya bersedia menjadi operator produksi.” Aku tak punya pilihan lain. Aku harus bekerja. Apapun.

Bapak-bapak berkumis tebal itu terlihat kaget, lalu tersenyum, entah senyuman apa yang di maksudkan, aku tak memperdulikannya.

“Baiklah, urusan gaji, mungkin bisa nego. Kau tunggu hasilnya nanti.”

Sepakat. Aku tak peduli lagi dengan selembar ijazah berlabel ‘sarjana’. Persetan dengan kertas itu. Aku butuh makan, aku butuh hidup. Peduli apa dengan gengsi. Lihat lagi, kini aku telah keluar dari sosok ku yang dulu. Sosok yang selalu peduli dengan penilaian orang lain. Sosok yang selalu ingin terlihat baik di pandangan orang-orang. Setidaknya, aku tak lagi menjadi pecandu akan dunia maya.

●●

Ternyata, menjadi buruh pabrik, tak sehina yang kubayangkan. Bahkan aku sangat menikmati setiap detiknya. Memang, menjadi buruh pabrik sangat menyita waktu dengan lemburan-lemburan yang akan menjadi lembaran rupiah di waktu gajian. Tapi sudahlah, gengsiku telah padam. Aku mulai terbiasa dengan kehidupan monoton.

Kau tahu ? Setiap tahunnya, tepat di tanggal 1 Mei, aku bersama ribuan bahkan jutaan buruh pabrik mengadakan demo di ibukota. Menuntut apa yang seharusnya menjadi hak kami. Berteriak ‘Hidup buruh’ berkali-kali, berlomba-lomba mengeluarkan orasi, berharap dapat di dengar. Aku pernah bertanya pada seorang yang lebih paham, dan telah lama hidup menjadi buruh, aku pernah bertanya “Haruskah kita berdemo ? Kenapa harus demo ?”

Dan kau tahu apa jawabnya, ia menjawab dengan suara yang begitu pelan, tak lantang seperti ia berteriak-teriak di lapangan, ia berkata pelan “Hanya dengan seperti itu kita bisa di dengar.”

Benarkah ? Haruskah seperti itu ? Aku tak mau ambil pusing. Namun kau tahu ? Aku tidak menyukai kebiasaan satu itu.

Bebek berjalan berbondong-bondong. Akan tetapi burung elang terbang sendirian.

Satu kutipan, lagi-lagi milik Soekarno. Aku sangat menyukai sosoknya.

Tidak. Aku tak menyamai para buruh dengan ‘bebek’. Tidak, demi Tuhan tidak. Tapi aku ingin seperti elang, tak peduli meski sendiri, namun ia bisa bebas terbang tanpa perintah, tanpa kendali juga tanpa halangan.

Dua tahun bekerja di pabrik. Aku memilih keluar. Meninggalkan pekerjaan monoton tersebut.

●●

Aku memiliki cukup tabungan selama dua tahun bekerja di pabrik. Sungguh, menjadi buruh salah satu pengalaman menyenangkan. Hanya saja, aku adalah orang yang menyukai kebebasan.

Aku kembali menjadi pengangguran. Mencari pekerjaan yang sesuai dengan ijazahku tak pernah lagi ku lakukan. Aku mulai menyenangi dunia fotographer. Dan, ketika seorang teman menawariku untuk menjadi seorang pemandu wisata. Aku pun langsung mengiyakannya. Memang, rupiah yang kudapatkan tak sebesar ketika aku menjadi buruh. Tapi, lihat, aku dapat menjadi elang. Dengan kebebasan yang tak terhingga.

Seorang yang doyan ‘ngeker’ pastilah menyukai perjalanan. Aku begitu menyukai perjalanan, dengan melakukan perjalanan, aku menemui banyak ketidaktahuan. Pun, berjumpa dengan berbagai macam orang. Aku menyukainya.

Tapi, aku di hadapkan dengan satu kendala yang tak pernah ku bayangkan. Baiklah, kali ini, kau harus percaya kalau aku memiliki wajah yang tampan. Pesona ku kuat. Kau tak percaya ?

Setiap kali aku memandu wisata, beberapa wanita akan terpikat. Bahkan ada yang dengan terang-terangan menyatakan cinta padaku. Itu bukan karanganku, percayalah, aku pernah mengalaminya. Bahkan, travel yang menjadi naungan ku untuk tetap bertahan hidup pun mendadak ramai peminatnya. Kebanyakan pesertanya adalah kaum hawa, yang sesekali menggodaku dengan kalimat ‘Kafka ikut enggak ? Aku ikut deh, kalau Kafka yang mandu.’

Tidak. Aku sama sekali tak merasa bangga. Sudah ku katakan, aku telah berubah.

Dalam menilai wanita, aku pun mempunyai pandangan sendiri. Kau mau tahu ? Kenapa tidak ? ayolah, aku ingin menjelaskan padamu, seperti apa wanita yang akan dengan sukses membuatku terpesona. Dengarkan baik-baik !

Aku menyukai wanita sederhana. Wanita dengan keasliannya. Bukan, bukan wanita modern yang terlihat seksi dengan pakaian serba terbuka dan make up tebal di wajahnya. Bukan seperti itu. Kecantikkan seorang wanita akan terlihat dalam kesederhanaannya. Satu lagi, ah tidak, bukan satu tapi dua lagi. Aku menyukai wanita yang memiliki rasa malu dan wanita yang merasa bahagia jika memiliki banyak anak. Ya, aku menyukai anak-anak.

Apa ? Kau bilang apa ? Solehah ?

Kau lupa, rasa malu dan kesederhanaan adalah pribadi wanita solehah.

Aku pun tak lama menjadi tour guide. Hanya beberapa bulan saja. Aku enggan kalau-kalau harus mengurusi para makhluk indah itu. Aku tak ingin menyakitkan hati siapapun, lantas, aku pun takut akan godaan terindah berbentuk wanita tersebut. Maka ku putuskan untuk berhenti dari pekerjaan tersebut.

●●

Kini, aku telah benar-benar menjadi elang. Sepuluh bulan kerja serabutan. Lalu menjadi buruh pabrik selama dua tahun. Tujuh bulan menjadi tour guide. Lima bulan menjadi pengantar koran harian, juga mengisi beberapa artikel di media online. Lima tahun menggulati pekerjaan baru sebagai konsultan keuangan. Darimana ku belajar ? Tentu dari kehidupan. Aku sering di undang untuk mengisi beberapa seminar di berbagai kota, bahkan negara. Aku benar-benar telah berubah.

Kini aku bebas. Tak terikat akan apapun. Aku memiliki tiga, lima, ah aku lupa jumlahnya, travel yang melayani perjalanan antar kota. Tiga panti asuhan. Satu hotel di Denpasar. Dan sebuah kapal pesiar yang dengan ikhlas akan mengantarku kemanapun aku mau, tentu aku masih senang melakukan perjalanan sambil menggantungkan kamera di leherku, ‘ngeker’.

Semudah itu kah ? Tentu tidak. Tapi baiklah, menjadi konsultan keuangan membuatku dengan mudah mengumpulkan lembaran rupiah. Mungkin, jika dalam itungan karier, menjadi konsultan keuangan adalah puncaknya. Namun, jika di ukur dalam kepuasan batin, aku bersyukur dengan keadaanku saat ini. Bebas lepas, tak terikat akan apapun.

Kau paham bukan ? Tidak ada yang mudah, aku banyak memutuskan pilihan. Tidak ada waktu untuk berpikir, tetap berada di ruang lingkup yang kau jalani atau keluar dan mendapatkan banyak hal baru ?

Semua bisa dilakukan. Kau, aku, kita semua sama, memiliki waktu dua puluh empat jam dalam sehari, mempunyai kesempatan yang sama, yang membedakan hanyalah tentang bagaimana kau mempercayainya.

Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.

Cita-cita. Impian. Bahkan aku lupa, apa impianku dulu. Seorang yang hanya ingin terlihat baik di mata orang-orang. Pecandu dunia maya. Sebatas itu.

Namun apalah arti hidup jika kau tak memiliki impian, terasa kosong. Tak ada sesuatu yang kau kejar. Ya. Aku pernah mendengarnya, kalimat sakti yang sering keluar dari mereka “Jalanai saja hidup ini dengan apa adanya. Mengalir bagai air” tapi bukankah air selalu akan membentuk apa yang ia tempati, pertanyaannya, kau ingin menjadi air atau menjadi wadah yang kau bebas membentuknya ? kau tentukan sendiri jawabannya. Aku tak mau ambil pusing.

Salah. Aku selalu bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan. Namun, tak ada larangan kan yang menjelaskan kalau aku harus berhenti bermimpi dan berusaha ? Aku rasa, apa yang ku dapatkan adalah buah dari mimpi, usaha, keyakinan serta doa yang ku tanam bersamaan.

Sudahlah. Aku ingin berlayar, menyebrangi lautan. Lain waktu akan kubagikan cerita kembali padamu.

Tunggu ! Tunggu ! Aku ingin menyampaikan kalimat sakti yang pernah ku baca,

Sering melakukan perjalanan, bertemu banyak orang, membuka diri, haus akan pengetahuan, berani mengambil resiko, berani mencoba, omong kosong akan kegagalan. Dengan semangat seperti itu, kau akan mudah menguasai banyak hal tanpa perlu duduk membosankan di dalam kelas.

Kau pikirkan sendiri maksud kalimat itu, aku berharap celotehku mampu meresap kedalam hatimu. Kau pemuda bukan ? ingatlah kalimat Presiden pertama kita, tentu Bung Karno.

Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.

Sekali lagi ku ulangi, kau pemuda, bukan ?


Resource :
Beberapa kutipan bung Karno diambil dari www.akinini.com
Tentang perjalanan milik @windyariestanty 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar