Minggu, 23 Februari 2014

Rendezvous kedua

Banyak yang bilang kalau pertemuan pertama berkesan. Bahkan semua hal yang di labeli dengan kata ‘pertama’ pastilah berkesan. Aku membenarkan pernyataan itu.

Beberapa bulan berlalu setelah pertemuanku denganmu. Pertemuan yang sama sekali tak ku inginkan. Pertemuan tanpa rencana di luar kendaliku.

Jikalah ada kata ‘pertama’ secara tak langsung aku berharap akan ada ‘kedua’, ‘ketiga’ dan seterusnya.


Seharusnya waktu itu ku katakan, kalau pertemuan kita adalah pertemuan ‘tanpa rencana’ bukan pertemuan ‘pertama’ yang nantinya akan menagih janji untuk bilangan selanjutnya. Tapi sudah terlanjur ku katakan seperti itu.

Pertemuan pertama dengan seseorang yang awalnya hanya ilusi pastilah mengesankan. Pertemuan pertama dengan tega memperkenalkanku dengan sebuah kerinduan. Sebuah rasa yang jauh lebih menyiksa dari rasa sebelumnya.

Kau kembali hadir dalam harapan yang telah kuhentikan.

Lagi-lagi, pertemuan ini tak ku harapkan. Iya, aku tahu kau akan ada disana, kita akan bertemu. Aku tahu, dan seharusnya aku menghindar. Tapi lihat, betapa acuhnya dirimu. Kau benar-benar tak mengenali diriku. Atau, kau hanya ingin mematikan insting perasaanmu. Aku yakin, sangat yakin, kalau kau paham apa yang kurasakan. Bagaimana tidak ? seorang teman telah memberitahukan tentang hal ini kepadamu, bukan ? bahkan waktu itu, kau mendadak menghubungiku untuk sekedar menyapa. Bukan kebiasaanmu.

Kau tahu ? aku mengutuk diriku sendiri yang telah bodoh mengatakan apa yang kurasakan dengan orang yang kau kenal. Tapi sudahlah, saat itu tingkat rasa maluku sudah meluap, pecah tak tersisa. Aku pun menyesal, namun tidak meratap. Kedewasaanku mulai stabil, diriku yang dulu perlahan kembali.

Pertemuan kali ini, pertemuan yang ku pikir hanya akan berlalu tanpa kenangan malah justru terasa lebih.

Kau sempat menyapaku secara langsung, memanggil namaku dan sesekali tersenyum. Hal yang tidak terjadi di dalam pertemuan pertama tempo lalu. Tapi kenapa dengan diriku ? Aku malah enggan menggubrisnya, kau mau tahu ? Karena aku lelah dengan semua ilusi yang kuciptakan.

Aku bosan menerka-nerka, menyambungkan semua hal, yang pada akhirnya tak pernah sesuai dengan realita.

Aku tidak ingin lagi memanjakan perasaanku dengan angan-angan yang berisi harapan kosong. Meyenangkan memang, bagaimana tak menyenangkan, aku bermain dengan imajiku sendiri, menduga-duga semua sikap yang kau berikan. Sikap yang aku sendiri tak tahu apa artinya.

Beberapa kebetulan terjadi di pertemuan kita yang kedua, ah, sulit sekali ku katakan kalau semua bukanlah kebetulan. Kebetulan bagiku, namun tersusun rapi dalam rencana Tuhan.

Berhenti ! Aku tak mau lagi menerkanya.

Aku memperhatikanmu, berusaha semampu mungkin agar tak terlihat olehmu. Hanya dengan melihatmu dalam jarak pandang yang cukup jauh, aku sudah merasa tenang. Ada, ada sebersit perasaan yang sulit kujelaskan hinggap di hatiku. Aku mengagumi, mengagumi kepribadianmu.

Tidak. Aku memang sama sekali tak mengenalmu. Tapi dengan kau memperlihatkan suatu sikap yang menjelaskan kalau kau mengenal Tuhanmu, aku merasa telah mengenalmu.

Seperti yang pernah ku katakan, kau menyukai kebebasan. Begitu pun aku, melihatmu begitu bebas seperti berkaca di depan cermin.

Kau sedang tak terikat dalam satu hubungan dengan siapapun, darimana ku tahu ? tentu saja aku pernah menanyakan hal ini padamu, bahkan lebih dari tiga kali. Kau, benar-benar tidak ingat ? Apa kau memang orang yang tak mau peduli ? Mungkin karena ‘aku’ orang yang bertanya, orang asing yang sama sekali tak ingin kau kenali.

Oke, akan kujelaskan lagi satu hal, setelah itu kau simpulkan sendiri, apa masih boleh aku beranggapan kalau kau adalah jodohku. Tentu kau tak mau peduli, tapi biarlah.

Kau, entah berapa lama berdiri menatap kerumunan orang-orang berlalu lalang yang baru turun dari perbukitan tinggi. Aku ada disana, bersama kerumunan orang-orang itu. Namun aku tidak langsung turun. Aku menepi, masih di ambang bebatuan yang tak beraturan. Untuk apa aku diam disana ? Kau pasti tahu, aku memperhatikanmu. Tapi kau tidak peka.

Entah berapa lama aku mematung, menuruti perasaan ini, memanjakan kedua mata ini untuk terus melakukan kesalahan besar. Memperhatikanmu. Mencari-cari, apa, apa, yang membuatku begitu mengagumimu.

Dan ketika aku turun, menepi ke sebuah gubuk kecil yang ada di lapangan luas. Tanpa dosa, kau masuk ke gubuk itu. Lihat ! Siapa yang harus kusalahkan kalau pada akhirnya aku masih beranggapan kalau kita berjodoh. Baiklah, kau pasti sama sekali tak mengingatnya, aku maklum.

Sepersekian menit kau berdiri bersama beberapa orang yang ada disana. Berbicara banyak hal yang aku sama sekali tak peduli apa yang kau bicarakan. Dan, gubuk kecil itu, ada puluhan gubuk yang sama disana. Lalu kenapa kau masuk ke dalam gubuk yang aku ada di dalamnya. Ya, di dalam gubuk itu memang ada beberapa orang yang kau kenal, bukan hanya aku. Kau pun masuk untuk membicarakan beberapa hal dengan mereka, bukan aku. Tapi, kenapa kau baru masuk ke dalam gubuk itu, ketika aku ada di dalamnya ?

Cinta. Hal sekecil apapun selalu di kaitkan. Aku muak dengan semua kebetulan itu.

Dua orang yang tak saling kenal. Bertemu dalam ketidak sengajaan. Meninggalkan rasa di salah satu hati.

Mengapa tak keduanya ? Karena cinta tak semudah yang ku inginkan.

Andai, sejujurnya aku benci menggunakan kata ‘andai’, tapi biarlah. Andai rasa itu hadir di hatiku juga hatimu, lalu dengan mudah akan menjadi ‘kita’. Tentu, aku tak akan merasakan semua hal seperti saat ini, aku tak akan mengerti banyak hal dari cinta sepihak ini, aku tak akan memiliki kesempatan mengendalikan kekacauan pikiran ini. Kau tahu ? Dua kontradiksi, menyenangkan namun juga menyakitkan. Aku cukup menikmatinya.

Kemarin aku ingin berteriak ‘aku mencintaimu’ di hadapanmu, lalu ketika aku sadar, aku ingin melepaskanmu.

Tak peduli seperti apa perasaanmu, tak peduli kau mengenaliku ataupun tidak, tak peduli juga tentang perasaanku, ambisiku dan semua kebodohanku.

Aku masih beranggapan, aku masih percaya, kalau kita berjodoh. Sebatas itu. Tak lebih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar