Minggu, 16 Februari 2014

Hanya sedang merindukan masa masa itu ..

“Kak, masa katanya kalo gue PKL, di bayarnya paling tiga ratus ribu sebulan. Kecil banget yaaa ..”

Tiga ratus ribu per bulan selama PKL ? ah, ngedenger keluhan adek gue itu, kembali mengingatkan gue akan masa-masa itu.

Dahulu kala, sekitar tahun 2008, sebelum facebook terkenal seperti saat ini, sebelum gadget menjadi kebutuhan primer, sebelum kamera SLR suka di kalungin ke mall, sebelum terciptanya tongsis, sebelum adanya tim sukses di balik cewek-cewek cantik dan cowok-cowok ganteng (baca:Camera360), sebelum munculnya predikat cabe-cabean dan terong-terongan, sebelum semua orang bebas berkicau, dan sebelum malaikat Rokib punya asisten.


Gue PKL (Praktik Kerja Lapangan) di salah satu pabrik industri di daerah Cikarang. Scheneider electric. Di tempat itu, pertama kalinya gue ngerasain hasil keringet sendiri. Setelah melalui jalan panjang untuk menemukan pabrik tersebut, gue pun merasakan kesenengan yang .. .. ah, sulit di deskripsikannya.

Gue, nyari PKL itu kayak nyari setetes air di padang pasir. Susaaaaah banget. Nyaris semua teman gue udah pada mulai praktik tersebut, ada yang magang di pabrik, di rumah sakit (pura-pura jadi mayat, mungkin), di swalayan, ataupun di kantor-kantor pemerintah. Dan gue sama dua teman gue, masih aja diem di rumah. Itu tuh nyiksa .. setiap kali ada sms masuk ‘yaa, lo pkl dimana ?’ terus gue bales ‘belum’ dijawab lagi ‘ya ampuuun, gak ada tempat yang nerima lo.’ Gue pengin lari ke toilet, nangis di bawah shower sambil dengerin lagu india. Tapi buat apppaaah ?

Gue pun memutuskan untuk bangkit dari keterpurukkan, dengan komitmen, ‘kalo kita enggak dapet di pabrik-pabrik itu, kita PKL di mega buana aja ya’. Mega buana sejenis hotelnya para TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang ada di daerah Bekasi. Entah apa kerjaannya, ngerokin para TKW, bisa jadi. Entahlah. Tempat itu menjadi pilihan terakhir kalau gue enggak dapat tempat buat magang. Karena apa ? waktu gue terbatas. Temen gue udah mau seminggu magang, gue belum masuk-masuk.

Scheneider electric Indonesia, adalah pabrik yang dengan khilaf menerima gue dan ke empat teman gue, yang dua nyusul. Gue, yang waktu itu pergi bertiga bareng dua teman gue, menyusuri kawasan gersang dengan banyaknya gedung-gedung industri dalam satu wilayah, kawasan EJIP, Cikarang. Setelah tenggorokkan yang kering kerontang, kedua kaki yang gemetaran, perut yang ngedance dan kantong yang kempes, gue nyaris nyerah. Tapi kemudian, ketika gue bersama kedua teman gue tersebut mampir di salah satu pabrik yang ada disana untuk nanyain lowongan PKL sekalian minta minum tiga gelas, gue pun dapat pencerahan.

“Coba di scheneider neng, biasanya disana nerima PKL. Pabriknya di belakang PT ini, tepat banget di belakangnya” ucap satpam yang berbadan subur, kita bertiga pun kembali bersemangat.

“Pak, boleh tambah gak minumnya. Haus banget ..”

Hahahaaa. Masa lalu itu ..

Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih, gue dan dua teman gue itu pun menuju pabrik yang di rekomendasiin si bapak satpam.

Dan benar, di pabrik itu lagi butuh anak PKL. Kita bertiga pun langsung di terima dan di suruh datang lagi di hari senin pagi. Walaupun info tersebut kita peroleh setelah pulang, via telepon.

Percaya deh, jawaban akan semua pertanyaan atau doa-doa itu kadang terletak di ujung harapan. Bukan. Bukan ujung harapan, bekasi. Bukan. Maksudnya, di ujung usaha lo. Sabar. Dan tetap yakin, maka lo akan dapat apa yang lo kejar.

Itu sekilas cerita tentang pencarian tempat PKL gue zaman SMK.

Ngedenger keluhan adek gue itu, ironis banget sama gue di zaman itu. Gue PKL seminggu lima hari, per harinya dapat uang transport lima belas ribu dan di bayarkan di akhir bulan. Ya. Tiga ratus ribu rupiah gue terima cash, lembaran-lembaran rupiah dengan pecahan lima sampai dua puluh ribuan itu di steples jadi satu. Hah’ untuk ngebuka steplesnya aja rasanya enggak tega. Itu hasil keringat gue pertama kalinya. Dan, gue enggak mengeluarkan kalimat seperti adek gue tersebut, apa yang gue lakuin ?

Gue sama teman-teman gue (Sadiah, Desi, Putri, Mutia) lari-larian di sepanjang jalan, persis kayak di film India. Merencanakan, mau kita apakan uang ‘sebanyak’ ini ? Nonton, beli tas, beli baju, beli sepatu, makan ini, makan itu, anythings. Dan gue bahagia.

Ironis. Oke, fine. Kalo kemudian adek gue bilang ‘Ya, kan beda zaman kak. Kakak dulu apa-apa masih murah. Sekarang mah, tiga ratus ribu buat apaan ?’

Zaman. Kasihan, selalu di salahkan. Gue paham itu, gue sama adek gue emang beda generasi. Tapi, toh, dunia yang kita tinggalin tetap sama. Ya. Ya. Gue paham, semua udah berubah. Tapi sekali pun dunia berubah, kalo lo yang enggak berubah, ya enggak akan terjadi apa-apa toh ?

Lo yang berubah, maka dunia berubah.

Adek gue cuma satu dari banyaknya anak-anak remaja di masa sekarang, dan gue rasa, gue jauuuuh lebih beruntung karena di lahirkan lebih dulu. Gue mensyukurinya.

Gue selalu merindukan masa lalu, masa kecil, masa orde baru. Sudahlah, gue hanya sedang teringat masa-masa polos itu.

Percayalah, dunia enggak akan berubah selama bukan manusia sendiri-lah yang mengubahnya. Dunia kejam, dunia keras, semata untuk menguji, siapa yang paling bertahan. Tapi lihatlah dengan kaca mata yang baik, maka dunia tak sekejam yang lo kira, enggak sekeras yang lo bayangin.

Gue pernah baca salah satu kutipan milik Thoreau (Penulis Amerika), jika kita menyederhanakan hidup, hukum alam semesta akan menjadi lebih sederhana. Uang dan benda tidak bisa membeli kebahagiaan spiritual.

Jangan aneh, gue hanya sedang merasa rindu akan masa-masa itu. Lalu merasa miris dengan ucapan yang keluar dari mulut adek gue, zaman telah mengubahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar