Minggu, 02 Maret 2014

if it’s not madness, it’s not love (Jika tidak gila, itu bukan cinta)

“Du, Dana jatuh dari tebing. Tadi dia lagi latihan, mungkin telapak tangannya licin, pengikatnya juga enggak kekunci. Dana jatuh, dan sampai sekarang enggak sadarkan diri, Du”

Lembaran-lembaran kertas yang ada di dalam genggamanku jatuh seketika, tak ada kata yang melesat dari mulutku. Aku berlari, berlari sekencang mungkin ke lapangan, tempat Dana berlatih climber.

“Nyun, Nyun .. bangun Nyun. Nyun .. Nyun bangun !!”


“Ini kenapa pada diam semua ? Enggak ada yang manggil dokter, Van, Al, Jas .. lo semua pada ngapain ? Cengok kayak orang bego. Tolongin cowok gue !”

Emosiku memuncak, bagaimana tidak, kau bayangkan saja, seseorang yang kau kasihi sedang terbaring tak berdaya, dan disana banyak orang yang mengerubunginya bagai lalat, diam sama tak berdayanya.

“Gue, udah telpon dokter, Du ..” suara itu sama sekali tak membuatku lega, harus berapa lama lagi menunggu dokter, suster, ambulans atau apalah datang ? Apa tidak bisa kalian membawa kekasihku untuk segera di tangani. Dadaku sesak, semua berkecamuk, kesal bercampur panik.

“Nyun, Nyun ..” kembali ku goyangkan tubuh lemah itu, mengusap wajahnya yang tenang dalam pejaman, linangan darah segar terlihat di beberapa sudut wajahnya. Ada apa ini ? Semua mata disana hanya sibuk memperhatikanku yang bagai orang asing yang sedang meratapi kepergian kekasihnya. Aku bersumpah, kelak, aku pun tak akan peduli dengan apapun yang terjadi pada manusia-manusia itu. Aku mencoba mengingat, apa pernah aku ataupun kekasihku membuat satu kesalahan besar yang membuat kami terasingkan. Rasanya tidak, sama sekali tidak. Yang ku tahu, dan aku yakini, semua orang menyukaiku dan dirinya.

Aku menekan dada bidang itu berkali-kali, memastikan denyut nadi di dalam pergelangan tangannya. “Nyun .. Nyun bangun ..”

Aku tersentak, napasku nyaris tak tersisa. Aku terdiam kaku dengan .. aku sulit menjelaskannya.

“Happy birthday to you .. Happy birthday to you .. Happy birthday happy birthday .. happy birthday to Syahdu ..”

●●

“Ay, aku minta maaf udah buat kamu panik. Tapi ini kejutan, aku cuma mau ngasih sesuatu yang beda aja.” Aku tak menghiraukan kalimat itu, entah kalimat apa, aku tak mau menyimpulkannya. Aku menutup mulutku rapat-rapat, memasang wajah semarah mungkin. Duduk di bawah pohon beringin yang ada di taman kampus, tempat biasa kami bersama.

“Oke. Aku minta maaf. Benar-benar minta maaf. Tadi, kelewatan, ya ? Aku udah buat kamu takut banget ya, sampe nangis histeris, teriak-teriak kayak tadi,” kata-katanya terhenti, aku membiarkannya menggenggam telapak tanganku erat “aku merasa berharga banget tadi, merasa menjadi seseorang yang penting buat kamu” aku mengubah raut wajahku, mengangkat alisku tanda meminta penjelasan “Oke, oke, aku ralat. Selama ini aku memang selalu penting buat kamu, tapi kejadian tadi, ngebuat aku yakin, kalau aku mempunyai alasan untuk tetap hidup, alasan untuk seseorang yang begitu mencintaiku.”

Demi Tuhan, aku tak pernah bisa lama mendiamkannya. Sejak dulu, kemarin, hari ini, dan seterusnya, aku tak pernah tahan lama marah padanya. Satu jam, dua, ah bukan, bukan, lima, lima belas menit mungkin jeda waktu terlama aku mendiamkannya. Seperti saat ini.

Tuh kan, bibirku mulai tertarik untuk tersenyum. Merasakan belaian lembut telapak tangan yang mendarat di rambut panjangku.

“Kamu nyebelin.” Aku memukul bahunya pelan, lalu menyusup masuk ke dalam pelukkannya. Pelukkan yang selalu membuatku merasa damai.

“Tapi sayang, kan ?”

Kau tahu ? Jika seorang wanita sedang marah, nangis, atau apalah, kau, jika kau laki-laki, cukuplah saja kau tarik tubuhnya ke dalam pelukkanmu. Semua akan selesai. Lemah sekali hati wanita. Mudah luluh dan melupakan segalanya.

“Ay, selamat ulang tahun ya. Semoga apa yang di semoga-mogain sama kamu juga semua orang yang sayang sama kamu akan menjadi nyata. Semoga.” Ia mengecup keningku, penuh ketulusan.

“Selamat yang kedua, buat sidangnya yang lancar, dan udah dapet nilai A. Berhasil jadi kebanggan aku, ah, kamu selalu berhasil menjadi kebanggaanku sejak kita SMP dulu.” Kecupan itu berulang, di tambah dengan usapan penuh kasih di kepalaku.

Aku menarik napas pelan-pelan, tak mampu mengeluarkan kata apapun. Hal serupa dengan keadaan yang berbeda, satu jam yang lalu. Kali ini aku terdiam karena bahagia, bahagia yang memuncak.

“Kamu selalu bisa membuatku istimewa dengan segala kesederhanaanmu”

“Cinta enggak pernah sederhana, Ay” aku lagi-lagi terdiam, ia sosok yang selalu membuat lawan bicaranya terlena “kamu ingat enggak ? seorang penyair pernah berkata ‘if it’s not madness, it’s not love’ ?” kali ini ia yang terdiam, menatapku lekat-lekat, memerintahkanku untuk melanjutkan kalimatnya “Jika tidak gila, itu bukan cinta” aku meneruskan.

Tak ada hal yang lebih indah, ketika kau merasa benar-benar dicintai. Aku merasakannya.

●●

Hari ini, tepat seminggu setelah hari ulang tahunku. Seorang wanita, yang aku tak sama sekali mengenalnya, wanita itu datang menemuiku.

“Mba yang namanya Syahdu ?” Aku tak langsung mengangguk, beberapa detik aku terdiam baru akhirnya mengangguk sambil tersenyum entah di detik yang keberapa.

“Perkenalkan, nama saya Maya” Aku membalas uluran tangannya. Aku mencoba mengingat, apa pernah aku mengenalnya, sebelum aku menerka-nerka, ia seperti paham dengan apa yang sedang kupikirkan “Kita pernah bertemu, namun mba enggak pernah menyadarinya, ada hal yang ingin saya bicarakan sama mba”

“Tentang apa ya ?”

“Boleh saya masuk ?”

Ya Tuhan. Aku sampai lupa mempersilakannya masuk dan duduk, kami masih berdiri di ambang pintu. Entah apa yang kutakutkan, aku seperti akan segera menghadapkan satu masalah yang besar. Feeling ku amat kuat, beberapa orang terdekatku membenarkan hal tersebut.

Wanita itu kini duduk tepat berhadapan denganku, di sebuah kamar kos berukuran minim dengan puluhan foto yang terpajang di sisi-sisi ruangannya. Kedua matanya terus menjelajah, melihat seisi ruangan. Bukan. Bukan seisi ruangan kamar kosku yang sedang di perhatikannya, melainkan foto-foto itu. Foto-fotoku bersama Dana.

“Mau minum apa mba ?”

Aku menyadarkan kediamannya, buru-buru ia menarik pandangan dari beberapa objek di sekitarnya. Menatapku sekilas, tersenyum, senyum yang sulit ku artikan.

“Enggak usah repot-repot mba, saya enggak lama” ucapnya sopan, wajahnya tak setenang di awal tadi. Aku merasakan ada beban berat ketika menatap kedalam matanya. Aku kembali terdiam, memberinya celah untuk mengembalikan ketenangannya. Beberapa menit terasa hening.

Tiba-tiba, wanita itu menangis, bahkan ia belum mengatakan apapun. Wanita itu menyentuh telapak tanganku lembut, tangannya terasa dingin dan sedikit bergetar. Aku dapat merasakannya.

“Maya, tenang. Kenapa kamu nangis ?” Aku mencoba mengakrabkan diri dengan menyebut namanya, posisiku sedikit lebih dekat dari sebelumnya. Tangisan itu makin kencang, tak terkendali, terdengar begitu menyedihkan di telingaku. Membuatku ikut merasakannya, mataku pun tak dapat terkendali, meski masih berkaca-kaca.

“Maya, tenang, bicaralah, apa yang ingin kamu katakan ?” aku mendesaknya, tidak, tingkat penasaranku lebih kecil daripada rasa kepedulianku. Aku tak pernah bisa melihat siapapun menangis, aku tak pernah bisa melihat siapapun bersedih, aku tak mampu.

“Ini minum dulu, biar agak lega” Aku memberinya segelas air, aku selalu yakin, air akan mampu membuat keadaan apapun menjadi sedikit lebih baik. Ia menurut, meneguknya pelan. Tangisnya masih terdengar, meski tak sehisteris sebelumnya.

“Saya minta maaf, mba” ucapnya ketika telah mampu mengendalikan dirinya.

“Maaf ? Atas apa ?” Aku menatap penuh tanya, kedua tangannya erat menggenggam telapak tanganku. Maya kembali menangis. Membuatku lagi-lagi harus menunggu, aku membiarkannya, membiarkannya mengontrol emosisnya sendiri.

“Baiklah. Kamu tenang dulu, enggak usah bicara apapun, ka ..”

“Saya hamil mba, saya hamil sama Dana”

Genggaman erat kedua tanganku yang semula ingin menguatkan wanita yang sejak tadi menangis histeris dihadapanku seketika terlepas. Genggaman itu melemah, bahkan kupikir, aku yang membutuhkan genggaman untuk dikuatkan, bukan lagi menguatkan. Tenggorokkanku tercekik, tak mampu berkata apapun, bahkan menelan ludah pun terasa sulit. Sebulir air menetes tanpa perlu perintah. Apa yang baru saja kudengar ? Aku berharap kalau pendengaranku sedang terganggu.

“Saya wanita billiard di tempat biasa Dana main. Saya juga pernah sesekali melihat mba. Malam itu, enggak tahu kenapa, Dana tiba-tiba mengajak saya untuk bercumbu. Dan saya sulit sekali menolaknya, karena diam-diam, saya memang mengaggumi cinta kalian. Kemesraan kalian. Dan saya ingin merasakannya. Maafkan saya, mba”

Haruskah seperti itu saat kau mengagumi seseorang ? Tak bisakah, kau cukup mengaguminya tanpa berhasrat ingin memilikinya ? Apalagi membuat celah yang sebelumnya tidak pernah ada. Haruskah seperti itu ?

Aku menahan kata-kata itu di dalam hati. Tak sampai hati untuk mengeluarkannya, sudah kukatakan, aku adalah orang yang sulit sekali untuk menyakiti orang lain, entah itu kelebihan atau kekurangan. Aku tak mau memperdulikannya, aku selalu merasa tenang dengan kepribadianku.

“Apa Dana tahu kalau kamu hamil ?” aku memilih kalimat itu sebagai awal pertanyaanku untuk sebuah kejelasan. Wanita itu menggeleng, linangan deras masih mengalir di pipinya, membasahi seluruh wajahnya.

“Lalu mengapa kamu mengatakannya kepadaku lebih dulu ?”

“Saya akan menuruti apapun yang mba perintahkan, kalaupun saya harus mengugurkan janin ini, saya setuju. Saya akan mengikuti apapun keputusan mba”

Aku mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. Apa katanya ? Semua terserah padaku. Lalu untuk apa aku tahu ?

“Kamu tenang aja. Dana akan bertanggungjawab”

Wanita itu mengangkat wajahnya, terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulutku sendiri. Sejujurnya, aku pun tak percaya dengan apa yang ku katakan. Namun hati kecilku memerintahku untuk mengeluarkan kalimat itu.

Kau pernah mendengar kalau hakekatnya kebahagiaan itu sepaket dengan kesengsaraan, kesedihan dengan kesenangan ? Aku merasakannya.

Tahun itu adalah tahun terakhir ia memberikan kejutan di hari ulang tahunku. Tak pernah ada lagi kejutan-kejutan lainnya di tahun berikutnya.

●●

“Ay, kamu sadarkan sama apa yang barusan kamu bilang ?”

Aku mengangguk tegas. Aku tak memiliki waktu untuk memaki keadaan, mencari siapa yang salah, ataupun meratap menangisi kenyataan. Aku tak melakukan hal itu.

“Kamu ngertiin dong perasaan aku, Ay. Aku enggak mungkin nikah sama orang yang enggak aku cinta, kita bisa selesain semua ini dengan cara yang lebih baik, enggak gini”

Aku menahan diri untuk tak berkata apapun, sebanyak apapun aku menyusun kata, semua tak akan mengubah keadaan, bukan ?

“Aku enggak mau nikah sama siapapun, kecuali sama kamu.” Nada suara itu meningkat beberapa oktaf, nada yang tak pernah ku dengar selama sepuluh tahun.

“Anak dalam kandungan Maya butuh ayah” desisku setelah cukup lama hanya jadi pendengar, kalimat itu meluncur dengan tekanan membuat Dana terkatup. Ia tak lagi menggebu, hanya terdengar lirih di kalimat selanjutnya “Aku cuma mau nikah sama kamu. Kamu satu-satunya wanita yang aku cintai, sejak dulu, saat ini sampai kapanpun, Syahdu.”

Ini kali kedua aku melihat Dana menangis. Dulu, ketika ibuku meninggal. Aku menangis sejadi-jadinya, lalu terhenti ketika melihat air mata juga mengalir di wajah Dana.

“Kamu harus bertanggungjawab akan apa yang telah kamu perbuat, tak perlu meminta maaf, aku sudah memaafkanmu” pelan sekali kalimat itu keluar dari mulutku, bahkan nyaris tak terdengar di telingaku sendiri.

Aku berlalu, meninggalkannya mematung tak berdaya. Pohon beringin itu menjadi saksi setiap kejadian yang ku alami bersamanya.

●●

Rindu sekali aku dengan seseorang yang ada di dalam tumpukkan tanah ini. Aku mengusap kayu yang terukir nama seseorang yang begitu kusayangi.

“Ibu, Syahdu rindu sama ibu” aku berjongkok di sisi tumpukkan tanah yang kini telah datar itu. Menatap lamat-lamat tanah merah itu, selalu seperti ini, wajah teduh itu hadir dengan senyum menenangkan. Dadaku mulai sesak, kerinduanku akan sosoknya memuncak. Sosok yang selalu ingin aku menjadi seperti dirinya. Aku berdehem satu kali, memastikan kalau suaraku masih ada. Aku butuh pendengar, aku ingin bercerita.

“Ibu, Syahdu sedang sedih. Syahdu udah enggak sama Dana” aku menghentikan kata-kataku, mengatur napas dengan baik, satu tanganku masih ku letakkan di sisi ukiran kayu itu, “Dana akan menikah sama wanita lain” aku tersenyum simpul, menertawai keadaanku “Enggak bu, Dana tetap cinta sama Syahdu. Ah sudahlah bu, doakan Syahdu ya, agar dapat menjadi wanita yang tegar.”
Dimenit berikutnya hanya terdengar isak tangis yang begitu menyedihkan di telingaku. Tubuhku terguncang, bahuku naik turun. Aku merasakannya. Ketika tak ada lagi yang mampu untuk dikatakan, menangislah.

●●

Tak ada satu barangpun yang kubersihkan. Puluhan foto dalam berbagai bentuk frame kubiarkan di tempatnya. Gelas-gelas dengan lukisan wajah yang sama, ratusan pin dan pernak-pernik lainnya yang juga terlukis dua wajah yang sangat bahagia itu ku biarkan pada tempatnya.

Ternyata benar, kami, aku dan Dana adalah pasangan romantis, penuh cinta yang akan membuat siapa saja merasa iri akan kebersamaan kami.

Aku mengenalnya pertama kali ketika masih SMP. Dengan cinta yang setiap detiknya bertambah, aku merasa menjadi wanita paling bahagia karena memiliki dirinya. Seorang yang begitu menjadikanku istimewa.

Satu ransel berukuran sedang ku sampirkan di sebelah pundak. Aku mengikat rambut panjangku asal. Aku harus pergi, walau ku tahu, ke ujung dunia pun aku pergi tak akan pernah menyelesaikan masalah kalau bukan aku yang menghentikannya sendiri. Masalah kataku ? Ah Syahdu, sudahlah.

“Hati-hati ya, nak”

“Iya bu, Syahdu pamit ya. Syahdu udah minta tolong sama pak Amang buat ngebersihin kamar, Syahdu enggak sempat. Maaf, ya bu.”

Ibu kosan yang ramah itu menggeleng lemah, kedua matanya basah, ia sungguh sosok yang tak mampu menyembunyikan kesedihannya.

“Ibu akan nunggu kamu, kamar itu enggak akan pernah ibu kasihkan ke orang lain. Kembalilah kapanpun kamu mau” tangisnya pecah, membuatku tak tahan, selalu saja seperti ini. Tangan tuanya mengusap lembut anak rambutku, aku menunduk, menyejajarkan tubuhku ke arahnya. Bu Anti sudah ku anggap ibu sendiri, empat tahun aku menjadi penghuni kosannya. Aku mendekapnya, dalam pelukkan itu aku menangis. Namun buru-buru ku hapus air mata itu.

“Kapan-kapan Syahdu akan main kesini. Makasih buat semuanya, Syahdu sayang sama ibu. Makasih.” Aku masih mendekap tubuh renta itu.

Aku menelan ludah dengan susah payah, menarik diri, melepaskan pelukkan itu. “Kalau ada yang cari Syahdu, jawab saja apa adanya. Syahdu pamit ya bu, keretanya tiga puluh menit lagi.”

●●

Aku berdiri cukup lama di depan pintu kayu itu. Ragu untuk mengetuk, pastilah penghuninya sedang tertidur. Namun aku tak punya pilihan, tubuhku terasa lemas. Aku butuh istirahat, setidaknya aku butuh ruangan yang hangat.

Terdengar suara kunci di putar di ketukan ke empat, pintu itu terbuka “Syahdu”. Wajah itu selalu menenangkan, aku menghambur dalam pelukkanya, membuatnya terkejut. Ini yang aku suka darinya, tak satu pertanyaan pun keluar dari mulutnya. Ia selalu paham akan perasaanku, banyak bertanya hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia dalam kondisi saat ini.

Aku di tuntunnya masuk, duduk di bangku yang ada di dalam rumah sederhana itu.

Astaghfirullah al adzim, Syahdu” suara itu milik kakak iparku, mba Aisyah. Aku sama sekali tak menggubrisnya, aku masih tersedu dalam pelukkan itu.
Sepuluh menit berlalu, aku mulai terkendali. Namun tetap, tak satu pun diantara mereka yang bertanya apapun. Keduanya duduk menghimpitku, sesekali menepuk bahu dan membelai rambutku.

“Syahdu boleh tinggal disini ?” itu kalimat pertama yang aku keluarkan, kalimat yang disambut dengan sangat ramah oleh keduanya.

“Tentu boleh sayang, kapanpun” kakak iparku menahan tangis, ia tak sanggup melihatku tersedu. Aku menoleh ke arahnya, tersenyum.

“Antar Syahdu ke kamarnya, mi” kakak iparku menurut, membantuku untuk berdiri, mengantarku ke kamar biasa yang selalu ku tempati setiap kali berkunjung.

“Kamu istirahat ya, kalau ada apa-apa, panggil mba” baru saja kakak iparku ingin berlalu, aku menahannya, memintanya untuk tetap menemaniku. Ia menatapku, penuh pengertian, dari matanya terpancar kepedulian yang entah seberapa besar ukurannya. Telapak tangannya yang lembut singgah di pipiku, mengusap aliran yang kembali deras disana. Aku tak tahan untuk tidak mendekapnya.

“Syahdu udah enggak sama Dana, mba” ucapku akhirnya. Kakak iparku tak berkata apapun, ia terus membelai rambutku. “Dana berbuat satu kesalahan, dia menghamili wanita lain. Syahdu menyuruhnya untuk bertanggungjawab, anak dalam kandungan itu butuh ayah.”

Tak sedikit pun ku lihat raut terkejut di wajah itu ketika kami telah kembali berhadapan. Kakak iparku meraih telapak tanganku, menggenggamnya erat, dengan senyum ia berkata “Kamu sudah melakukan hal yang paling benar. Keputusan yang tepat. Mba bangga” hanya kalimat itu yang terucap. Ya. Menurutku, aku memang sudah melakukan hal yang benar dan keputusan yang tepat. Namun, mengapa sulit sekali untuk menerimanya, melaluinya dan menyelesaikannya.

Aku kembali mendekapnya, menangis di dalam pelukkannya. “Cinta adalah tentang bagaimana kau mampu untuk melepaskan, mencintai makhluk, siapapun, selalu berpeluang akan kehilangan. Hanya satu cinta abadi, hanya satu cinta yang tak pernah sepihak, hanya satu cinta yang tak akan pernah meninggalkanmu sekalipun kau pergi menjauhinya. Cinta yang hakiki, cinta Sang Pemilik cinta.”

Tangisanku semakin menjadi, harusnya aku tahu akan hal itu. Harusnya, aku paham akan resiko itu. Resiko yang kapanpun akan terjadi.

●●
*

Aku sesuai prasangka hamba-Ku terhadap-KuDan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat Ku.Apabila dia mengingat Ku dalam dirinya, maka Aku pun akan mengingatnya dalam diri Ku.Apabila dia mengingat Ku dalam suatu jemaah manusia, maka Aku pun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk yang lebih baik dari mereka.Apabila dia mendekati Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta.Apabila dia mendekati Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa.Dan apabila dia datang kepada Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.(HR. At – Tirmidzi)

Mba Aisyah memilihkan hal tepat untukku berhijrah. Hijrah dari cinta yang ku pertahankan selama sepuluh tahun.

Menjadi manusia baru yang kurasakan sendiri kebaikannya. Malam itu, tanpa ragu dan membuang waktu, mba Aisyah memberikanku sebuah buku yang ia yakini akan mampu menjadi pengobat kesakitanku.

“Di dalamnya akan kamu jumpai banyak hal, tentang cinta, kehidupan, dunia, semuanya. Apa yang enggak ada di buku manapun, kamu akan temukan disini. Karena melalui inilah kamu bisa mendengarkan-Nya berbicara” berat sekali rasanya menerima mushaf kecil itu. Lama aku tak membacanya, meski aku tak pernah lalai akan lima waktu dalam sehari, namun aku tak ingat kapan terakhir aku membuka penyejuk hati itu.

“Enggak perlu sekarang, Allah akan sabar menunggu kamu, ibarat rumah yang selalu terbuka kapanpun kamu datang. Percayalah, tak akan ada yang menutup pintunya, enggak akan pernah ada.”

●●

Aku tak pernah lagi mendengar apapun tentang Dana. Apapun. Sempat, beberapa orang menghubungiku, tidak, aku tidak menghindar. Ku hadapi semua yang datang, ku jelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada beberapa orang yang kuanggap pantas untuk kuberi tahu. Aku menghadapinya dengan penuh kekuatan, bukan emosi ataupun kekecewaan.

“Kok bisa, sih, Du. Sayang banget, padahal lo sama Dana adalah pasangan yang ngebuat siapa aja bakalan iri kalau ngeliat kebersamaan kalian” ucap Alan menyayangkan.

“Gue udah dengar masalahnya, untung kita udah pada lulus. Bukan jadi gossip kampus, tapi di tongkrongan, berita itu nyebar banget. Dana stress ngadepinnya. Tapi akhirnya dia tanggung jawab, enggak tau lagi deh lanjutannya. Gue enggak pernah ketemu dia lagi” jelas Mona. Aku tak tahu harus menanggapi semua pendapat itu dengan cara yang bagaimana, aku hanya bisa diam, tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

“Lo hebat, Du. Teman gue, dua tahun pacaran. Terus di selingkuhin, bedanya, cowoknya emang brengsek beda sama Dana. Dan lo tahu ? temen gue itu stress berat, enggak bisa-bisa buat move on, lari ke narkoba, pacaran sama sembarang orang. Itu baru dua tahun, nah elo, sepuluh tahun.” Mona mendecakkan lidahnya berkali-kali sambil terus menggelengkan kepalanya.

Aku tersenyum, “Syahdu .. masih bisa senyum setenang itu. Pantes Dana kelabakan kalo harus keilangan lo, gue paham. Gue siap kok gantiin posisi Dana.” Vandi yang sejak tadi diam angkat bicara. Kalimatnya membuat tiga teman lainnya menyorakinya.

“Gue enggak sekuat yang lo semua kira kok. Gue juga sama, sakit, sulit buat nerima” aku mengentikan kata-kataku, ku tatap mata-mata penuh harap yang memandangku serius “kalian kayak ngeliatin apaan sih ?” suasana kembali santai.

“Ya elo .. gue pengin tahu, apa caranya yang bisa ngebuat lo setenang ini ?” Gea penasaran, ia merangkul bahuku.

“Syahdu kan emang dari dulu pembawaannya tenang, dalam kondisi apapun. Enggak kayak lo berdua, pecicilian, lebay” lemparan kacang mendarat di wajah Alan.

“Cinta adalah tentang bagaimana kau mampu untuk melepaskan, mencintai makhluk, siapapun, selalu berpeluang akan kehilangan. Hanya satu cinta abadi, hanya satu cinta yang tak pernah sepihak, hanya satu cinta yang tak akan pernah meninggalkanmu sekalipun kau pergi menjauhinya. Cinta yang hakiki, cinta Sang Pemilik cinta” aku mengulangi kalimat yang di ucapkan mba Aisyah, kalimat yang juga membuat empat temanku terdiam takzim.

“Itu kata mba Aisyah. Dan gue memilih move on ke Allah. Ah, so muslimah ya gue, berasa jadi ukhti yang dulu pernah kita bahas di depan masjid pas abis nonton konser. Inget enggak ?” aku mengalihkan pembicaraan. Semua tertawa mengingat kejadian itu.

“Syahdu .. gue kangen banget sama lo. Sama ‘kita’, semua kebiasaan, semuanya. Syukurlah, lo baik-baik aja” mendadak Gea mendekapku penuh haru, di ikuti Mona yang juga duduk di sampingku.

Aku bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka. Peduli. Penuh pengertian dan akan selalu ada kapanpun aku membutuhkan mereka.

“Elo udah milih tempat move on yang tepat, Du. Move on ke jalan Tuhan. Indah banget ..”

“Mona lebay”

“Alan apaan sih ? Lo enggak ngerti, ini soal perasaan. Lo kan enggak punya perasaan”

Aku tertawa melihat tingkah teman-temanku, tawa renyah yang beberapa bulan ini tak pernah terdengar di telingaku. Aku berharap, disana, di tempat yang berbeda. Dana pun sedang tersenyum bahagia. Aku berharap.

●●

Pada dasarnya, hanya aku yang tahu seperti apa sulitnya perpalingan ini. Berhenti mencintai seseorang yang tak pernah terniatkan untuk menghentikannya.

Mengharapkan setiap dering handpone yang masuk adalah pesan yang dikirim darinya. Waktu-waktu yang selalu ku habiskan bersamanya. Kebiasaan yang mendadak harus di hentikan, semuanya. Sulit sekali sebenarnya.

Berkali-kali aku meyakinkan diriku kalau aku bisa, aku mampu melalui semua ini. Cinta, ini sekedar masalah kecil. Masalah yang pada dasarnya tak pernah memiliki jalan keluar jika hanya di rasakan. Tapi ada cinta lain, cinta abadi itu menyelamatkanku dari keterpurukkan. Setiap kali ingatan tentangnya melintas, aku buru-buru mengalihkannya dengan ingatan akan asma-Nya. Aku telah memilih tempat yang tepat untuk berpaling, berbicara dengan-Nya tak sedikitpun membuatku malu untuk menangis. Aku tak perlu berpura-pura ikhlas, tegar ataupun kuat. Karena sekalipun aku menutupinya, semua percuma, Dia tahu apa yang ku sembunyikan. Maka dari itu, aku merasakan ketenangan yang begitu besar. Mba Aisyah membimbingku dengan sabar, meyakinkanku akan semua takdir yang telah tertulis.

“Syahdu mau pakai jilbab, mba” aku berkata yakin, sambil memasangkan kain merah muda ke kepalaku. Mba Aisyah yang sedang sibuk menyuapi si kembar, Hasan dan Husein, keponakkanku, tak berkata apapun. Sebuah senyum mengembang di wajahnya, sebulir air menetes langsung  dari matanya.

Aku percaya, masalah adalah sekolah terbaik untuk meraih tingkat yang lebih tinggi. Dalam kondisiku beberapa bulan lalu, Allah memperkenalkan diri-Nya kepadaku. Meraih tubuhku yang lemah. Memberikanku kekuatan yang tak terhingga kisarannya. Aku paham, apa yang mba Aisyah katakan ibarat rumah yang selalu terbuka kapanpun kamu datang. Percayalah, tak akan ada yang menutup pintunya, enggak akan pernah ada. Aku paham. Ketenangan yang kurasakan tak lebih adalah kuasa-Nya. Ketenangan yang begitu indah, nikmat sekali rasanya. Mengingat-Nya membuat hatiku selalu bergetar, merasakan kerinduan yang sulit di perkirakan ukurannya. Tak peduli sejauh apapun diriku dulu, tak peduli setumpuk apapun kesalahanku, tak peduli, Dia tetap menerimaku. Cinta yang hakiki, cinta yang tak pernah sepihak, cinta yang tak pernah mati bagi siapa saja yang merasakannya. Cinta yang mutlak, ada pada setiap hati yang mengharapkannya.

Sepuluh tahun ku lalui bersama Dana. Menjadi sepasang kekasih penuh cinta. Memakai pakaian selalu sama. Membuat berbagai macam benda dengan label wajah keceriaan ‘kita’. Dana begitu mencintaiku, pun dengan diriku yang begitu mencintainya. Dunia indah sekali ketika aku bersamanya. Setiap detik ku lalui dengan senyum kebahagiaan, canda, tawa, kebersamaan telah ‘kita’ lalui. Semuanya. Hingga ‘kita’ tak ada lagi ada, hanya tersisa ‘aku’ dan ‘Dana’.

●●

“Syahdu ..”

Aku menoleh ketika mendengar seseorang memanggil namaku, tapi tak ku jumpai seseorang yang memandangku.

“Syahdu .. ayo ikut bunda. Kita pulang”

Ternyata, anak kecil berambut keriting itu bernama Syahdu. Dan panggilan itu di tujukan untuknya. Aku tersenyum simpul, senang sekali mendengar nama itu. Syahdu.

Tunggu !

Kedua mataku tak berkedip ketika mendapati sosok ‘bunda’ yang menggendong Syahdu kecil di pelukkannya. Maya.

Tidak. Aku tak perlu menghindar, semua sudah berlalu. Aku mencoba tenang, dan, benar, beberapa detik kemudian Maya telah melihatku. Mata kami bertemu. Ia sedikit ragu, tidak begitu mengenaliku. Namun aku tersenyum, menghilangkan keraguannya.

“Benar mba Syahdu ?” sapanya, aku tersenyum “Apa kabar, Maya ?”
Ia tak langsung menjawab, anak kecil di gendongannya memainkan rambut panjangnya.

“Anak kalian ? namanya Syahdu ?” aku masih tersenyum, mengusap lembut pipi anak kecil itu. Imut sekali, persis .. persis Dana.

“Iya, namanya Syahdu. Seperti nama mba, dan saya berharap enggak sekedar namanya aja yang sama seperti mba, semoga wajah dan akhlaknya pun akan sama seperti mba.” Aku menghentikan gerakkan tangan yang tertempel di pipi tembem itu, terharu akan apa yang baru saja ku dengar.

“Kamu berlebihan.”

Maya menggeleng, ah, matanya sudah berkaca-kaca. Mengapa selalu seperti ini.

“Bunda”sapa seorang laki-laki, suara itu di tujukan ke Maya, aku tidak siap kalau harus melihatnya. Tidak. Tapi bagaimana caranya aku menghindar, ini tidak mudah. Aku menundukkan kepala, mengatur napas baik-baik. Apa, apa yang harus ku katakan untuk menyapanya.

“Bun, ayo kita pulang” sebentar, suara itu, suara itu asing di telingaku. Bukan. Itu bukan suara miliknya. Sekuat hati aku mengangkat kepalaku, memastikan suara siapa yang menyapa Maya dengan sebutan ‘bunda’.

●●

“Saya memang menikah dengan Dana seminggu setelah saya menemui mba” Maya menghentikan kata-katanya, kubiarkan ia meraih telapak tanganku, ia menatapku dengan tatapan penyesalan “saya minta maaf sama mba, maaf yang sebesar-besarnya karena telah menjadi celah dalam hubungan mba dan Dana.” Aku menggeleng pelan, masih membiarkannya untuk melanjutkan cerita “Dana enggak pernah menyetuh saya, hanya sekali di café itu. Itupun dalam keadaan enggak sadar, dia menepati janjinya untuk bertanggung jawab akan perbuatannya, sampai Syahdu lahir. Syahdu lahir dengan kedua orang tua yang lengkap, namun itu tak mengubah keadaan. Dana tetap sama, kami memang telah menikah, tapi bagai orang asing yang tak saling kenal. Dan itu menyakitkan” dadaku sesak mendengar semua penjelasan itu, semua dugaanku melesat jauh, sangat jauh.

“Saya memilih berpisah dengannya. Membebaskannya dari kesalahan yang pernah dilakukannya. Tepat satu tahun usia Syahdu, saya bertemu dengan Dimas, laki-laki yang kini menjadi suami saya. Sekali pun, Dana enggak pernah membagi cintanya. Cuma mba satu-satunya wanita yang dicintainya. Bahkan saya pun memilih nama Syahdu, agar kelak, anak saya bisa menjadi sosok seperti mba. Memiliki hati yang indah, wajah yang cantik dan akan dicintai oleh laki-laki seperti Dana.” Kali ini aku merasa lemah, aku mengangkat satu tanganku untuk menutup mulut, nyaris suara isak tangisku terdengar.

“Dimana dia sekarang ?”

“Dia tinggal di satu pulau di Lombok. Keadaannya sungguh memprihatinkan, ia tak pernah lagi berbicara pada siapapun. Rambutnya gondrong tak terurus, badannya kurus seperti tulang berbalut kulit. Sudah lama saya mencari mba, tapi saya tak pernah berhasil. Orang tua Dana meminta saya untuk merahasikan keadaannya, mereka tak ingin melihat Dana makin tersiksa kalau banyak orang yang mengetahui keadaannya”

Aku tak bisa berkata apapun. Kenyataan yang kuterima jauh sekali dengan dugaanku selama ini.

“Cintanya kepada mba sangat besar, kehilangan mba membuatnya kehilangan dunia, kehidupannya. Pergilah untuk sekedar melihatnya, mungkin keajaiban akan terjadi. Apa mba sudah menikah ?”

Aku menggeleng, usiaku kini dua puluh tujuh tahun. Bulan depan aku berencana untuk melangsungkan ta'aruf, entahlah.

Cerita Maya dua jam lalu yang membuatku duduk di bangku pesawat saat ini. Tak ada hal lain yang ingin ku lakukan selain melihat keadaannya. Laki-laki itu, mengapa bodoh sekali.

Dua jam berlalu, aku sudah tiba di lombok. Buru-buru menuju alamat yang diberikan Maya. Tak sabar sekali ingin menemuinya. Lima tahun ia hidup bagai orang gila, gila karena cinta. Gila akan kesalahan yang pernah dibuatnya.

Satu setengah jam ku habiskan untuk mencari alamat tersebut. Kini, aku tepat berdiri di sebuah pulau kecil, tak begitu ramai, namun masih berpenghuni.

“Tuan Dana ?” seseorang yang entah siapa menatapku heran, aku mengangguk tegas.

“Ada keperluan apa ? Tuan Dana enggak boleh di temui orang asing. Dia sakit, mba. Enggak pernah bicara sama siapapun. Bahkan orang-orang yang melihatnya mengatakan kalau ia telah gila.”

Aku tak punya cukup waktu untuk panjang lebar bercerita “Sebentar saja, izinkan saya melihatnya. Saya janji enggak akan mengganggunya. Sebentar saja” aku memohon, dan sepertinya bapak tua yang menjadi lawan bicaraku adalah sosok yang tidak tegaan, iya mendesah sebentar lalu mempersilakanku untuk mengikutinya.

Aku memandangnya dari kejauhan, sosok yang dulu selalu menghabiskan detik kehidupannya bersamaku. Benar kata Maya, rambutnya kini gondrong tak beraturan, tubuhnya kurus seperti tulang berbalut kulit. Ada lingkaran hitam di kedua matanya, menandakan kalau ia kurang tidur. Rambut-rambut kecil tumbuh di atas dan bawah bibirnya. Ia terlihat lebih tua dari usianya. Benarkah itu Dana ?

Aku pikir, dulu aku telah kalah dengan cinta. Namun lihat, betapa cinta telah menjawab kekalahanku. Baiklah, tak penting siapa yang menang ataupun kalah dalam urusan ini. Sumpah demi Tuhan, aku tak pernah mengutuk Dana agar menjadi seperti ini. Tidak.

Cinta memang tak pernah sederhana, aku meyakini hal itu. Jika sederhana, tentulah bukan cinta. Cinta bukan perkara siapa yang menang ataupun kalah, juga bukan tentang bagaimana kau merasa sakit atau telah menyakiti. Cinta tak pernah memiliki rumusan tentang takaran yang sebenarnya, karena tak pernah ada yang mampu menghitung jumlahnya. Cinta juga bukan tentang bagaimana kau berharap ataupun sekedar memberi harapan. Juga bukan tentang berbalas ataupun tak terbalas. Mencintai, mencintai sajalah tanpa banyak berpikir. Namun kau akan gila, jika tak mampu mengenalinya. Lalu bagaimana kau dapat mengenalinya ? Cinta tak pernah mengulurkan tangannya saat ia datang menghampirimu. Mencintai, mencintai sajalah, karena cinta sendiri yang akan menjaminnya.

Aku melangkah, mendekat ke arahnya. Tak tahan sekali jika harus melihatnya dari kejauhan. Memandanginya penuh haru. Kini, aku tepat berdiri di hadapannya. Laki-laki kurus dengan rambut gondrong yang sedang menghisap sebatang rokok. Cukup lama ia tak menyadari keberadaanku, sibuk sendiri dengan dunianya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Aku tak tahu.

Seketika, kedua mata itu menatapku. Aku terkejut, namun sama sekali tak melangkah mundur. Aku percaya, Dana tidak akan melukaiku.

Lama ia memandangku, napasku kencang, meski jujur ada sedikit rasa takut menjalar. Hanya sedikit, mungkin karena aku masih kaget dengan tatapannya barusan. Sebatang rokok yang masih panjang dan terselip di antara bibirnya di tariknya, di buang, dan di injak dengan kaki telanjang. Ia kembali menatapku, melangkah mendekatiku. Dekat sekali jarak kami, sampai aku mampu mendengar desahan napasnya. Apa yang harus ku katakan, apa ia mengenaliku, apa ia masih mengingatku. Tak selangkah pun aku mundur, aku membiarkan ia untuk terus menatapku. Aku pun terus menatapnya, tak berkedip. Meski jujur, jantungku berdegup dengan amat kencang. Namun aku percaya, ia tidak akan melukaiku.

“Kamu enggak suka kan kalau ngeliat aku ngerokok, ay ?”


Subhanallah. Aku mengembuskan napas panjang, tersenyum, menangis, semuanya tak dapat kupisahkan.
Ingatanku berputar,

“Manyun, kapan sih kamu dengerin aku ? Ya, aku tahu kamu selalu menuruti kata-kataku, tapi lihat, apa yang Alan bilang benar. Kamu masih ngerokok. Aku enggak suka. Kamu tahu itu, kan ?”  


**


Gambar * diambil dari www.my.opera.com
Gambar ** diambil dari www.happynature.wordpress.com
Ide cerita terlintas setelah membaca http://aratiararismala.com/diskusi-kecil-tentang-cinta/ dan http://instagram.com/p/k_HPO3lXKs/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar