Selasa, 18 Maret 2014

Trekking ‘ban’ di lautan pasir

© salah satu guide
Ini adalah pelunasan hutang rasa bersalah saya kepada Desi, salah satu teman yang saya tidak ajak ke Dieng tempo lalu.

Januari lalu, saya menyebar racun ke nyaris semua teman yang ada di contact mobile saya. Begini isinya,

‘ke bromo yuuk. Tanggal 14-17 maret, 700ribuan-lah kurang lebih, udah bersih dari Jakarta. Ayok ah ..’

Beberapa menit kemudian, tak satu balasan pun masuk. Ini yang paling saya tidak suka, mencari teman perjalanan. Dan ini pula yang menyebabkan saya lebih senang pergi sendirian. Susah sekali mencari teman perjalanan itu.

Entah kapan saya lupa, beberapa menit selanjutnya, satu jam, sehari, seminggu entahlah. Beberapa balasan masuk ke inbox saya.

‘Berapa bayarnya, Ya ?’
‘Siapa aja yang ikut ?’
‘Gue nyari cuti dulu deh’
‘Emang Bromo aman ?’
‘Gue enggak mau naik gunung, gue enggak mau nyusahin lo. Ke Jogja aja yuuk’
‘Itu nge-trip atau gimana ?’

Saya pun menjelaskan semua pertanyaan tersebut. Tapi jleb, semua menghilang. Tak saya lihat sedikit pun tanda-tanda dari mereka yang ‘yakin’ ingin ikut. Siang itu, saya masih kerja. Saya ajak beberapa teman kerja saya, kebetulan perusahaan tempat saya bekerja mengalami masalah besar yang mengharuskan perusahaan untuk menghentikan kegiatan produksi. Ya, akhir Januari semua karyawan akan di berhentikan secara hormat.

‘Ih mba, jadi pengangguran kok malah jalan-jalan’
‘Maret ? Nanti kalau maret udah kerja lagi gimana ? nyari cuti dulu dong’

Oke. Lupakan ! saya tak berusaha lagi mengajak siapapun. Lupakan juga tentang Bromo.

‘Aya. Mau ke semeru enggak ? bulan Mei, sama aku sama Ndut’

Saya seperti mendapat pencerahan. Tanpa pikir panjang. Saya langsung mengiyakan ajakan tersebut. Semeru.

Ke Semeru cuma bayar 850ribu udah beres, lumayan banget. Oke, saya mulai menghubungi mas Riri, team Larva. Oke, fix daftar.

Tapi ..

‘Aya. Aku enggak jadi deh, Ndut juga. Kamu sama teman-teman kamu aja, ya’

Rasanya .. .. ah, susah sekali di jelaskan. Sudahlah. Tapi untuk ke Semeru, saya sama sekali tidak memiliki keberanian yang cukup untuk berangkat seorang diri. Walau, saya yakin, dalam perjalanan, saya tidak pernah merasakan kesendirian. Tapi sudahlah, Semeru pun di cancel.

Februari sudah di tengah. Saya mendapati satu foto keren di akun jejaring sosial saya, foto bromo yang di tag oleh travollution.

Iseng. Saya download foto tersebut, saya kirim ke Desi.

Sebentar. Silakan bilang saya jahat. Ketika itu Desi sudah mengambil cuti untuk ikut ke Bromo, tapi saya sudah tidak tertarik lagi ketika tawaran Semeru datang. Dan Desi ? Hadeuuuh .. saya tahu persis ‘janji’ dia. Susah buat fix-nya. Ketika dia bertanya, akhir Januari lalu.

‘Ya, Bromo jadi, enggak ?’ saya jawab ‘udah penuh quota-nya’. Desi pun merencanakan perjalanan lain bersama pacarnya. Kita lost contact, sampai pada pertengahan Februari.

Saya kirim foto gunung Bromo ke desi.
‘ah aya’
‘hhheee..’
‘ayoo haha’
‘ayoo’
‘kapan lagi’
‘ayo, seriusan nih’
‘lah, kata lu qoutanya penuh’
‘itu bisa di atur’ saya beralibi lantaran Semeru tidak jadi
‘Lah, kemaren katanya lu gak mau ikut, nyuruh gue aja. Kenapa sekarang lo mau ikut ?’
‘Kenapa gue mau ikut ? Karena gue tau, dengan memutuskan untuk enggak jadi. Itu adalah keputusan yang salah’ saya ‘ngeles’.

Oke. Fix. Bromo.

© desy

Perjalanan di mulai dari Bekasi, siang itu tanggal 14 Maret 2014, saya berangkat dari rumah sekitar jam sebelas siang. Menunggu Dwiki, pacar teman saya. Ini yang saya suka dari perjalanan, bertemu dengan orang asing, tanpa perlu mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan kita sudah menjadi teman.

Sebelumnya saya belum pernah bertemu pacar teman saya tersebut, tapi ia adalah orang yang menjadi teman bicara saya dalam perjalanan Bekasi-Jatinegara. Teman saya menunggu di stasiun Jatinegara. Dari stasiun Jatinegara, kami lanjut ke stasiun pasar senen. Dan Matarmaja sudah menunggu disana. Kami mengisi perut yang ngedance sejak tadi dengan nasi rawon di luar stasiun. Lalu bergegas untuk masuk ke gerbong matarmaja.

Kereta adalah kendaraan kekeluargaan #IMHO

Saya dan dua teman saya, _ya, pacar teman saya kini sudah saya sebut sebagai teman saya_ berada di gerbong 1 bangku 8a-c. Kami berhadapan dengan dua orang ibu-ibu dengan anak-anak yang lucu sekali. Sepanjang perjalanan kami bertukar cerita. Entah apapun yang dapat kami katakan, kami katakan disana. Matarmaja selalu menawarkan berbagai macam sensasi.

nayaka ibnu arsya, teman perjalanan di matarmaja
© aya

Hampir sembilan belas jam berlalu, matarmaja yang melintasi stasiun Pasar senen-Jatinegara-Bekasi-Cikampek-Terisi-Pegadenbaru-Jatibarang-Cirebon-Babakan-Tegal-Pekalongan-Semarang poncol-Solo-Madiun-Nganjuk-Kertosono-Kediri-Tulungagung-Ngunut-Blitar-Wlingi-Kesamben-Sumberpucung-Kepanjen-Malang kota lama-Malang kota baru.

Sebentar, dalam perjalanan menuju Malang tersebut, saya menerima kabar yang sukses membuat hati saya merasa tidak baik-baik saja. Jadi, maklum-kan kalau saya tidak akan menikmati perjalanan kali ini semaksimal mungkin.

Lagi-lagi bareng Travollution, trip yang kali pertama saya ikut masih menggunakan nama ‘sahabat jalan’.

Di stasiun Malang para peserta bertemu, kurang lebih dua puluh lima peserta. Kami mulai berkenalan satu sama lain. Ternyata banyak juga yang berangkat dari Jakarta. Saya baru tahu ketika sudah sampai di Malang. Baiklah, akan saya sebutkan nama pesertanya, mumpung ingatan saya masih menampung, saya berserta dua teman saya (Desi dan Dwiki), bang Martin, Ka Dian, Mustika, Anti, Hardian, bang Alam, Ibnu, Winda, Indra, Suci, Ka Kiki, Ranny, Manik, Putri, Devi, mas Toto, selanjutnya saya lupa. Mas Fathur dan mas Andi yang menjadi leader dari Travollution.

Sampai di Stasiun malang sekitar jam sembilan pagi, kami semua foto keluarga dulu di alun-alun kota malang. Alun-alun indah, dengan tugu yang berdiri tegak di tengah-tengah kolam, kolam yang di isi dengan bunga teratai. Tidak lama kami berkeliaran di alun-alun kota Malang, tiga mobil kecil sudah menunggu di sana. Perjalanan pun berlanjut ke Candi Jago, letaknya tak jauh dari alun-alun kota.

Alun-alun kota malanag
© travollution

Candi Jago adalah salah satu peninggalan kerajaan Singosari. Ya, kota Malang dulu adalah kota yang di kuasai oleh kerajaan Singosari. Candi yang digunakan untuk pendharmaan, semacam memuliakan.

candi jago
© travollution

Ukiran relief di candi jago
© aya
Sebentar menjelajah tumpukan batu dengan ukiran relief yang bernilai seni, perjalanan berlanjut dengan menggunakan andong. Bagian dari pelayanan ‘travollution’ mungkin.

Andong yang saya tahu nama pak kusirnya adalah pak Irfan, namanya muda yee .. berisi enam orang. Selalu, tamu dimanapun menjadi pusat perhatian. Sepanjang jalan banyak sekali pemakai jalan yang memperhatikan kami. Untungnya, saya tidak melambaikan tangan bak artis papan atas. Enggak. Saya tidak melakukan hal tersebut. Saya, Dwiki dan Mustika hanya sesekali tersenyum ramah kepada mereka yang berada di sekitar.
Pak Irfan sang kusir
© desy
Andong berhenti di depan Alfamart, kami di beri waktu membeli beberapa kebutuhan disana. Alamak ! Jauh-jauh ke Malang, masuknya ke alfamart-alfamart pula *tepok jidat*

Selepas dari alfamart, kami lanjut naik mobil kecil ke homestay, yang di selingi sarapan di warung kecil pinggir jalan. Warung yang menyediakan nasi pecel sebagai menu utamanya.

Sekitar jam dua belas siang kami tiba di homestay, homestay milik ki Rojak, kalau saya tidak salah ingat. Saya sedang tidak bergelora untuk mengambil beberapa gambar, kamera saku yang saya bawa pun kembali tanpa hasil apapun. Saya ingatkan, suasana hati saya sedang tidak baik-baik saja.

Kami di persilakan untuk bersih-bersih, dan perjalanan berlanjut ke coban pelangi. Air terjun pelangi. Ah, tapi alam berkehendak lain. Hujan turun deras, kami terjebak di parkiran area coban pelangi, masih di dalam mobil. Akhirnya, kami kembali ke homestay dan memutuskan untuk makan, lagi. Selesai makan, hujan mulai reda, kami menuju kebun apel milik salah satu warga disana.
© aya
Kota Malang terkenal dengan buah apelnya. Ya, saya sempat berjalan menelusuri rumah warga gubugklakah ketika acara bebas, dan saya membenarkan, hampir semua rumah warga disana di tumbuhi tanaman buah apel. Sejauh mata memandang, pohon apel terlihat disana. Pemandangan yang sungguh berbeda dengan tempat tinggal saya di Bekasi. Rumah-rumah penduduknya terlihat sama, identik dengan tiang, Mustika yang menyadarkan saya, hampir semua rumah penduduk disana di sanggah dengan tiang-tiang dari kayu yang di hias seindah mungkin. Perkampungan yang damai dengan penduduk yang murah senyum.
© aya
Suku Tengger, suku yang tinggal di sekitar gunung Bromo. Tengger berasal dari nama Roro Anteng dan Joko Seger, yang saya dengar adalah pemimpin mereka terdahulu. Kebanyakan dari mereka menganut agama hindu, tapi yang saya dengar lagi dari pak Suradi (kalau saya tidak salah), sudah banyak penduduk Tengger yang masuk Islam. Saya melihat jelas, masjid besar yang ada di dekat homestay rame ketika adzan maghrib di kumandangkan.

Pohon apel yang tumbuh di halaman salah satu warga
© aya

Setelah maghrib, makan malam di persilakan, sambil berkenalan dengan warga dan para peserta lain. Tapi sial, hati saya benar-benar tidak bisa memberi sedikitpun tolerir. Ditambah pula dengan teman sekamar saya yang merasa lelah dengan perjalanan Jakarta-Malang, dan hawa dingin yang menusuk, ya, ia memutuskan untuk tidur. Jadilah, saya berdiam di kamar itu. Tidak. Saya tidak tidur, tidak sedikit pun rasa kantuk menghampiri saya. Saya hanya ingin memberi ruang pada hati saya untuk bebas merasakan lebih banyak.

Awalnya, saya kira, Malang tak sedingin Wonosobo. Ya, itu di homestay, saya rasa, homestay waktu di Dieng lebih dingin dibanding homestay di gubug klakah ini.

Tapi saya keliru, Bromo berkali lipat lebih dingin dari Dieng. Mungkin karena penduduknya yang tidak begitu padat.

Jam dua belas malam saya terbangun. Memang, perjanjiannya, jam satu kita berangkat untuk melihat sunrise di bukit Bromo. Tapi saya sudah terbangun lebih dulu, bahkan saya lupa saya mulai tidur jam berapa.

Saya sudah berganti pakaian sejak setengah satu malam, membuka jendela yang kebetulan menghadap ke sebuah pelataran berisi berbagai macam tumbuhan. Diam dan memperhatikan. Merasakan lebih banyak.

Jam satu tepat, saya membangunkan Desi, lalu memberinya sebungkus roti karena kami tidak makan malam. Selama menunggu yang lainnya, saya tetap diam dan memperhatikan. Saya tidak sama sekali tertarik untuk mengambil gambar apapun. Beberapa gambar saya ambil menggunakan ponsel. Itupun bisa di hitung dengan jari.

Toh, perjalanan bukan sekedar foto ria, lalu memamerkannya sebagai tanda ‘gue pernah kesini lho’, bukan begitu, bukan ? saya tidak sedang beralibi.

Sekitar jam dua kami semua sudah siap, memburu sunrise.

Yes, it’s about the journey not the destination.

Saya melihat dua buah mobil jeep, yang kemudian saya tahu namanya adalah hard top. Ya, jeep dengan bagian atasnya terbuka. Penumpangnya berdiri, hanya penumpang yang di depan saja yang duduk. Tiga belas jumlah penumpangnya, sudah termasuk sopir. Sepuluh orang berdiri di belakang.

Beuuh. Saat itulah saya yakin, hati saya akan kalah dengan kondisi saat itu.

Perjalanan. Saya selalu memantapkan diri saya untuk tidak pernah memerlukan ‘tujuan’ dalam sebuah perjalanan. Tujuan yang saya maksudkan bukanlah sebuah tempat, melainkan ‘sesuatu hal’. Misal, ketika kamu pergi dengan tujuan untuk ‘mencari pasangan’, fine kamu akan senang ketika mendapatkannya, atau kecewa ketika tidak mendapatkannya. Atau juga, ketika kamu melakukan perjalanan dengan tujuan untuk sekedar ‘foto selfie’ dan di bagikan ke jejaring sosial buat di pamerin, saya percaya, kamu akan berhasil melakukannya. Tapi gini, ketika kamu pergi tanpa ‘tujuan’ apapun, percayalah kamu tidak akan pernah merasakan kekecewaan apapun, toh, tidak ada apapun yang ingin kamu dapatkan. Tapi dengan pergi tanpa ‘tujuan’ tersebut kamu akan mendapatkan lebih banyak. Unpreditacble. Semua hal yang tak pernah kamu duga.

Sekilas saya teringat beberapa kalimat yang sering mampir di ujung broadcast message yang dibagikan oleh travollution, begini ‘hidup adalah memilih, namun untuk memilih dengan baik, anda harus tahu siapa anda, dengan siapa anda pergi dan apa yang anda perjuangkan, kemana anda ingin pergi dan mengapa anda ingin sampai disana’

Bukan kalimat yang buruk.

Tapi, ketika saya memutuskan untuk pergi kemanapun dengan membawa tujuan yang harus di perjuangkan, saya akan membawa dua kemungkinan. Kekecewaan ketika apa yang saya perjuangkan tidak tercapai, atau kesenangan ketika tujuan saya terlaksana. Sejak saat itulah, saya tidak pernah pergi membawa tujuan, karena saya selalu yakin tanpa tujuan apapun, saya akan mendapatkan lebih banyak. Tujuan yang saya maksudkan bukanlah ‘tempat’, saya ulangi lagi.

Perjalanan tak melulu membutuhkan alasan, bukan ?

Sepuluh orang berdiri di dalam hard top, tengah malam bak penantang alam liar. Dingin yang menusuk tak lagi terasa dengan antusias sunrise yang akan kami jumpai. Saya merasakan embusan angin yang menyentuh wajah saya, damai, meski dinginnya begitu terasa. Benar, kali ini hati saya tak punya alasan kuat untuk mengubah suasana. Saya merasa lebih baik.

Maha karya Tuhan selalu menakjubkan. Sepanjang jalan, saya menengadahkan kepala ke langit yang penuh dengan bintang, tersenyum takzim merasakan kedamaian malam. Sembilan orang lainnya pun diam membisu, terpana dengan lukisan alam sang Maha karya. Atau semua kedinginan, entahlah.

Sampai celetukkan bang Martin terdengar,

‘Mantep si sopirnya, tapi kalo di bawa ke daerah Sudirman tahan enggak yee’

Kami semua tertawa. Ya, pak Sopir jeep yang saya tahu namanya pak Majid memang dahsyat, jalur yang terjal berhasil di taklukannya. Tapi apa bisa ia bertahan dengan kemacetan di ibukota ? Lupakanlah !

Seperti yang saya bilang, unpredictable.
Entah ya, karena ada saya, atau memang selalu seperti itu. Hard top yang kami tumpangi ‘nyasar’. Ough, Aya kah ? penyebabnya. Mungkin saya terlalu karib dengan kesasaran, sampai di belahan bumi manapun ia _kesasaran_engan meninggalkan saya.

Kalian tahu ? apa yang di gunakan para guide dan sopir jeep untuk mencari jalan. Bukan. Bukan gps atau google map. No. No.

Lintasan ban. Oh .. astaga !!!

Ketika Dwiki bilang, ‘waktu gue ke pulau seribu, gue nanya sama nakhoda kapal, ini untuk tahu jalurnya pake apa ya pak ? si Bapak bilang, pake feeling’

Enggak beda jauh, guide dan pak sopir menjadikan lintasan ban sebagai petunjuk jalan. Ya, kondisinya malam, gelap, di lautan pasir. Itu seruuuu ..

Sebut saya stress ! dalam hati saya berdoa, semoga sampai menjelang pagi, kami tetap berputar di jalan yang salah.
Saya terlalu menikmati keadaan tersebut, berada di atas hard top dengan tujuh orang yang belum sehari saya kenal. Dua lainnya, Desi dan Dwiki sudah saya kenal sebelumnya. Tengah malam, tak peduli sunrise telah menghilang, tak peduli dingin yang menusuk. Saya begitu menikmati berdiri di tengah alam terbuka, mengintip diam-diam bintang dan bulan yang masih bertugas.

Keadaan semakin dingin, karena nyaris pepohonan besar tak terlihat disana. Kosong. Menyebabkan hawa dingin begitu terasa. Brrrrrrr .. dingin sekali. Tapi Saya masih enggan menyudahi perjalanan dengan hard top ini. Konyol !

Diluar sana rame dengan suara-suara,
‘Yaa, gak dapet sunrisenya dong’
‘Dingin banget .. hadeuuuh’
‘muter-muter terus, balik ke homestay aja-lah’

Suara ricuh juga terdengar di hard top satu lagi, saya lihat beberapa kebingungan, mengeluarkan gadget untuk mencari signal. Juga beberapa bapak-bapak penduduk asli yang menjadi guide kami mengarahkan senter ke pasir untuk menelusuri lintasan ban yang ada di sana.

Ini menyenangkan !!
Awesome !!
Sekali lagi, sebut saya stress !!

Saya selalu punya cara untuk menikmati sebuah ‘kesasaran’. Untuk apa di buat ribet, bukan-kah itu suatu hadiah dalam sebuah perjalanan. Terlebih jumlah kami banyak, tidak sendirian. Urusan sunrise, alam tidak akan pernah mau kehilangan pengagumnya. Percayalah, kesempatan akan selalu ada.

Syukurnya, semua orang tidak berpikiran sama seperti saya. Kebanyakan mereka berpikir lebih rasional, ingin melakukan perjalanan sesuai itinerary, dan pulang membawa ceritanya masing-masing.

Saya pun menyerah, terlalu banyak wajah khawatir disana. Seperti mendengar doa saya, perjalanan mulai jelas. Kami bertemu dengan rombongan motor yang sepertinya juga tersesat, rombongan motor itu pun mengekor di belakang kami. Jelas, beberapa cahaya mulai terlihat. Kami sudah menemukan jalan yang benar.
Seperti yang saya bilang. Alam tidak pernah mau kehilangan pengagumnya. Sunrise masih sempat kami lihat, bahkan kami di minta oleh alam untuk menunggunya.

Dari bukit bromo
© desy

Hati kecil saya berbisik, terima kasih Tuhan.

© salah satu guide

Turun dari bukit, kami kembali naik hard top menuju kawah bromo. Saya suka sekali menumpangi kendaraan tersebut, nilai saya norak. Tapi saya memang sangat menyukainya.

Nanjak ! Lautan pasir di sana, ada juga tumpukkan tangga. Jadi, si penanjak bebas memilih jalur mana yang mau di pakai. Saya lebih memilih pijakan pasir bukan tumpukkan tangga.

Menuju kawah brono
© desy
Indah nian, kawah bromo. Lagi-lagi saya terhipnotis dengan keadaan sekitar. Tak peduli lelah, tak peduli embusan napas yang ‘ngos-ngosan’, saya merasa lebih baik. Sebenarnya, di lautan pasir tersebut ada jasa kuda, dengan merogoh kocek sebesar seratus ribu rupiah, bolak-balik, begitu info yang saya dapat dari seorang bapak-bapak yang saya ajak ngborol ketika sedang makan bakso. Area tersebut akan sepi sekitar pukul empat sore. Itu juga informasi dari Beliau.

Selain lautan pasir dan kawah dari gunung bromo, kita juga akan menjumpai beberapa pedagang yang menjajakan kaos, bunga edelweiss, berbagai macam minuman dan makanan. Ya. Seperti tempat wisata pada umumnya.

© desy

Beberapa jam disana, perjalanan berlanjut ke pasir berbisik. Masih menggunakan hard top. Masih lautan pasir, konon dinamakan pasir berbisik, karena ketika angin berembus, pasir-pasir disana menimbulkan suara seperti berbisik. Kalau tidak salah.
Perjalanan berlanjut ke bukit teletubies, pagi mulai pergi, tapi semangat tetap terjaga. Huaaaaah .. kami bersorak di atas hard top. Unforgettable !!


© mbah Mat
Tak lama di bukit teletubies, karena waktu terbatas, kami harus sampai di stasiun Malang jam tiga sore. Sedangkan, masih ada coban pelangi, hutang itinerary yang belum kami datangi.

Coban pelangi, air terjun pelangi. Sepanjang perjalanan ke air terjun tersebut, saya berjalan beriringan dengan mbah Mat, yang kalau saya tidak salah dengar mbah Ponimat nama aslinya.

Coban pelangi
Diambil dari www.sobatpetualang.com
Beliau bercerita kalau dirinya adalah guide yang paling tua, ada sekitar tujuh puluh orang guide, tapi yang aktif hanya empat puluh orang. Mbah Mat bilang, air di gubugklakah ini sangat murah, pernah PDAM ingin membeli apa ya .. saya lupa bahasanya, ya intinya PDAM ingin kerja samalah dengan penduduk gubugklakah untuk mengelola sumber airnya, tapi penduduk menolak, mereka takut nantinya akan memberatkan. Kurang lebih seperti itu.

‘Wah, bagus itu mbah, jangan mau di bodohi, mereka hanya memperalat saja untuk mencari keuntungan’ kata saya sok tahu. Tapi mbah Mat, menganggukkan kepalanya, lalu kembali bercerita kalau coban pelangi juga ingin di beli oleh ‘Bentul’, lagi-lagi kalau saya tidak salah, ‘mereka’ akan menjadikan coban pelangi menjadi tempat wisata yang akan banyak pengunjugnya, tapi, lagi-lagi penduduk tidak mengizinkan, mereka yakin nantinya, penduduk lokal yang ingin datang kesana, akan dikenai biaya masuk. Ya, mbah Mat bilang, penduduk gubugklakah gratis untuk memasuki coban pelangi. Biaya hanya dikenakan bagi para pelancong dari luar kota. Memang seperti itu, bukan ?

Kiri ke kanan : desy, dwiki, mbah mat, aya
© mustika

Saya sedikit kagum dengan penduduk gubugklakah yang tidak mudah terhasut, namun juga miris dengan para oknum yang ingin ‘memperalat’ keadaan alam satu bangsanya sendiri.

Coban pelangi, kata mbah Mat, kalau ada matahari, maka akan ada pelangi yang melingkari air terjun tersebut. Tapi sayang, ketika saya sampai disana, matahari sama sekali tidak ada tanda-tandanya untuk hadir. Saya pun tidak mendapati pelangi di air terjun tersebut.

‘Lho, semalem nda ikut kumpulan ya ?’ Tanya mbah Mat kemudian, saya mengangguk sambil senyum.

‘Pantes, mbah enggak kenal, siapa namanya ?’
‘Aya, mbah ..’

Suku Tengger memang begitu hangat. Saya merasakannya.

Hujan kembali turun, kami bergegas menuju parkiran untuk kembali ke homestay. Kembali ke parkiran berarti menanjak cukup lelah, dan mbah Mat, menjadi penguat yang setia menemani saya.

Tiba di homestay sekitar jam satu siang, kami bersih-bersih dan langsung makan siang. Meninggalkan homestay jam setengah dua siang, kembali ke stasiun.

Menuju stasiun malang, kami mampir sebentar untuk membeli oleh-oleh. Sejujurnya, saya paling males buat ribet. Membawa banyak barang atau apalah. tapi baiklah, enggak ada salahnya juga membeli beberapa makanan khas malang buat orang rumah.

Semua harganya murah sekali ..

© aya
Salah satu bagian terindah dalam sebuah perjalanan adalah harapan, harapan untuk kembali melakukan perjalanan.

‘See you next trip ya ..’

Disana, satu pertemanan baru tercipta. Saya ingat, kata-kata Dwiki ‘pacar Desi’, ‘ini buat cerita kita nanti, buat anak-anak kita’.

Itu benar, saya juga penah membaca di salah satu status pesbuknya mas Hafiz (admin Travollution), traveling adalah investasi masa depan.

Itu benar, investasi enggak melulu berbentuk uang. Suatu saat, ketika ingatan itu berputar, kita akan merasa beruntung pernah melakukan perjalanan. Mungkin itu pengertian saya tentang kutipan di statusnya mas Hafiz.

Ini tentang perjalanan, bukan tujuan. Begitu pesan mba Windy ariestanty. Dan, satu langkah, satu cerita, maka tuliskanlah ! Pesan yang di khususkan kepada saya. Maka saya melakukannya. Setidaknya, kelak, beberapa tahun dari sekarang, ketika saya membaca tulisan ini, ingatan saya akan kembali tepat di atas hard top.

Racun pun telah menyebar,

‘Aya, ajak gue lagi ya Ya ..’ ucap Desi.

Dan saya dengar, Desi ingin ke Dieng, entah kapan. Saya juga mendapatkan kabar, kalau Dhila teman yang saya ajak ke Dieng, akhir maret nanti akan pergi ke salah satu pulau di kepualan seribu.

Racun telah menyebar.

Hutang saya kepada Desi telah lebih dari lunas. Saya akan kembali berjalan, menemukan banyak ketidaktahuan.

Terkadang, kita perlu menjauh sebentar dari rumah, untuk dapat merasakan kerinduan akan pulang .. ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar