Sabtu, 08 Maret 2014

OUT OF THE COMFORT ZONE




Akhir-akhir ini saya senang sekali membaca sedikit tentang sosok Socrates1. Dalam pencarian saya yang mencoba mengenali sosoknya, saya menemukan satu pemikiran Plato2 tentang teori goa yang di tulis di dalam Republic, salah satu karya terkenalnya.

Jika saya simpulkan dalam pemahaman saya sendiri, begini, mereka (orang-orang yang berada di dalam goa) sudah merasa nyaman dengan kehidupannya, mereka hanya bisa melihat bayang-bayang keadaan di luar goa hanya dari pantulan tembok goa dengan cahaya api unggun yang ada disana. Tanpa pernah keluar, dan merasakannya sendiri. Mereka terlalu nyaman berada di dalam kebiasaannya. Sampai pada akhirnya, seorang dari mereka memutuskan untuk keluar dari zona nyaman tersebut. Dan apa yang ‘seseorang itu’ dapati di luar goa ? Sesuatu yang jauh dari pemikiran sebelumnya, pemikiran-pemikiran yang tercipta selama masih ada di dalam goa. Seseorang tersebut menemukan banyak kenyataan, bukan sekedar pemikiran. Dunia yang sebenarnya, nyata dengan keadaan alam semesta yang sesungguhnya. Lalu, seseorang itu kembali ke dalam goa, memberitahukan kepada para penghuni goa, bahwa di luar sana jauh dari apa yang hanya bisa di lihat di dinding goa itu. Seseorang itu mengajak para penghuni goa untuk keluar. Tapi tak seorang pun yang percaya, para penghuni itu malah membunuh seseorang itu.


Plato menganggap bahwa orang-orang yang ada di dalam goa itu adalah Athena dan seseorang yang berani keluar dari goa tersebut adalah Socrates.

Lalu mengapa saya mengutip pemikiran tersebut ?

Saya, inilah saya. Saya yang ingin keluar dari zona nyaman yang hakekatnya hanya membuat saya menjadi manusia kecil dengan impian besar yang hanya mampu bermimpi.

We are the future leaders. Kita adalah pemimpin masa depan. Saya, kamu, anda, ‘kita’, para pemuda yang di percayakan oleh pelopor Indonesia, Soekarno, bahwa satu orang pemuda bisa mengubah dunia.

Lalu, apa ? Apa yang dapat di lakukan oleh saya, misalnya. Saya yang saat ini notabennya adalah seorang pengangguran. Hanya berharap akan menjadi ini, itu ataupun bisa mendapatkan ini, itu dalam zona nyaman yang sejatinya sangat membosankan.

Ya. Akhir Januari lalu, pabrik tempat saya bekerja menghentikan produksinya, membuat ratusan pemuda resmi menjadi pengangguran.

Entah mengapa, saat itu, saat direktur utama tempat saya bekerja mengumumkan kalau pabrik tersebut akan berhenti produksi, saat itulah saya merasa bebas.

Bagi saya, seorang pemimpin sejati adalah ia yang mampu memimpin dirinya sendiri. Lalu, apa bisa, mereka yang terbiasa ongkang-ongkang kaki atau banting tulang seharian penuh dalam zona yang pada dasarnya diciptakan oleh orang lain, menjadi seorang pemimpin ? Tidak, bukan ? Untuk memimpin dirinya sendiri saja ia tak mampu.

You have to get out of your comfort zone. Seperti Socrates, ia selalu melakukan segalanya berdasarkan apa kata nuraninya.

Saya ingin, sangat ingin keluar dari zona macam karyawan yang memburu rupiah, berhenti melakukan rutinitas yang membosankan. Walau tak muna, saya membutuhkan rupiah untuk kelangsungan hidup.

Tapi simak kutipan ini ‘Kreativitas adalah mata uang universal’. Begitu kutipan yang pernah saya baca, kutipan yang keluar dari pikiran seorang Alitt Sutanto3. Saya membenarkannya.

Saya ingin, melangkah, keluar, berpindah, bertemu banyak orang, itu impian saya. Tidak terlalu tinggi, bukan ?


“Gue juga sama. Bosen kerja pabrik. Tapi, ya, mau gimana lagi ? Emang gini arusnya. Jalanin aja dulu.” Jawaban Ipul (salah seorang teman) dalam percakapan di BBM.


Saya membacanya berulang, tak langsung mengetik balasan untuknya, mencerna setiap kata yang tertulis disana. Mungkinkah semua orang merasakan hal yang sama seperti yang saya dan Ipul rasakan, bosan dengan rutinitas yang dijalanin, namun harus tetap melakukannya, mengikuti arusnya.

Saya setengah membenarkan pernyataan Ipul. Mau gimana lagi ? Pendidikan yang minim membuat saya stuck, walau sangat ingin saya menjebol ‘tembok’ yang membatasi banyaknya keinginan saya. Ipul benar, jalanin aja dulu. Tapi di lain sisi, setengah hati saya menolak. Mau sampai kapan terus mengikuti arus kehidupan ini ? Kita harus bergerak, bukan ? Tak melulu manut mengikuti arus yang sebenarnya bisa kita membelokkannya.

The slower we move, the faster we die.

Bergerak. Sekecil apapun gerakkan tersebut, setidaknya saya bergerak. Melangkah, menemukan berbagai macam ketidaktahuan. Bukankah pemimpin juga perlu wawasan yang luas ? Lalu kembali saya bertanya, setidaknya pada hati kecil saya sendiri, bagaimana bisa kau menjadi pemimpin, kalau kau hanya diam di satu tempat ?

Bebek berjalan berbondong-bondong. Akan tetapi burung elang terbang sendirian, bukan ?


'Apa yang paling kamu takutkan sebagai seorang pemimpin?' tanya seorang kawan pada suatu siang. 'Tidak memutuskan apa pun,' jawab saya tanpa ragu.4


Jujur. Saya sama sekali tak tertarik untuk menjadi seorang pemimpin. Tapi saya ‘harus’ menjadi pemimpin, setidaknya untuk diri saya sendiri.




1 Seorang filsafat Yunani
2Murid Socrates, juga seorang filsafat Yunani
3Penulis (Shitlicious, Skripshit)
4http://windy-ariestanty.tumblr.com/post/71622095246/memutuskan
Gambar diambil dari www.filetransferplanet.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar