Akhir-akhir ini saya senang
sekali membaca sedikit tentang sosok Socrates1.
Dalam pencarian saya yang mencoba mengenali sosoknya, saya menemukan satu
pemikiran Plato2 tentang
teori goa yang di tulis di dalam Republic,
salah satu karya terkenalnya.
Jika saya simpulkan dalam
pemahaman saya sendiri, begini, mereka (orang-orang yang berada di dalam goa)
sudah merasa nyaman dengan kehidupannya, mereka hanya bisa melihat
bayang-bayang keadaan di luar goa hanya dari pantulan tembok goa dengan cahaya
api unggun yang ada disana. Tanpa pernah keluar, dan merasakannya sendiri.
Mereka terlalu nyaman berada di dalam kebiasaannya. Sampai pada akhirnya,
seorang dari mereka memutuskan untuk keluar dari zona nyaman tersebut. Dan apa
yang ‘seseorang itu’ dapati di luar goa ? Sesuatu yang jauh dari pemikiran
sebelumnya, pemikiran-pemikiran yang tercipta selama masih ada di dalam goa.
Seseorang tersebut menemukan banyak kenyataan, bukan sekedar pemikiran. Dunia
yang sebenarnya, nyata dengan keadaan alam semesta yang sesungguhnya. Lalu,
seseorang itu kembali ke dalam goa, memberitahukan kepada para penghuni goa,
bahwa di luar sana jauh dari apa yang hanya bisa di lihat di dinding goa itu. Seseorang
itu mengajak para penghuni goa untuk keluar. Tapi tak seorang pun yang percaya,
para penghuni itu malah membunuh seseorang itu.
Plato menganggap bahwa orang-orang yang ada di dalam goa itu adalah
Athena dan seseorang yang berani
keluar dari goa tersebut adalah Socrates.
Lalu mengapa saya mengutip
pemikiran tersebut ?
Saya, inilah saya. Saya yang
ingin keluar dari zona nyaman yang hakekatnya hanya membuat saya menjadi
manusia kecil dengan impian besar yang hanya mampu bermimpi.
We are the future leaders. Kita adalah pemimpin masa depan. Saya,
kamu, anda, ‘kita’, para pemuda yang di percayakan oleh pelopor Indonesia,
Soekarno, bahwa satu orang pemuda bisa mengubah dunia.
Lalu, apa ? Apa yang dapat di
lakukan oleh saya, misalnya. Saya yang saat ini notabennya adalah seorang
pengangguran. Hanya berharap akan menjadi ini, itu ataupun bisa mendapatkan
ini, itu dalam zona nyaman yang sejatinya sangat membosankan.
Ya. Akhir Januari lalu, pabrik
tempat saya bekerja menghentikan produksinya, membuat ratusan pemuda resmi
menjadi pengangguran.
Entah mengapa, saat itu, saat direktur
utama tempat saya bekerja mengumumkan kalau pabrik tersebut akan berhenti
produksi, saat itulah saya merasa bebas.
Bagi saya, seorang pemimpin
sejati adalah ia yang mampu memimpin dirinya sendiri. Lalu, apa bisa, mereka
yang terbiasa ongkang-ongkang kaki atau banting tulang seharian penuh dalam
zona yang pada dasarnya diciptakan oleh orang lain, menjadi seorang pemimpin ?
Tidak, bukan ? Untuk memimpin dirinya sendiri saja ia tak mampu.
You have to get out of your comfort zone. Seperti Socrates, ia selalu melakukan segalanya
berdasarkan apa kata nuraninya.
Saya ingin, sangat ingin keluar
dari zona macam karyawan yang memburu rupiah, berhenti melakukan rutinitas yang
membosankan. Walau tak muna, saya membutuhkan rupiah untuk kelangsungan hidup.
Tapi simak kutipan ini ‘Kreativitas
adalah mata uang universal’. Begitu kutipan yang pernah saya baca, kutipan yang
keluar dari pikiran seorang Alitt Sutanto3.
Saya membenarkannya.
Saya ingin, melangkah, keluar,
berpindah, bertemu banyak orang, itu impian saya. Tidak terlalu tinggi, bukan ?
“Gue juga sama. Bosen kerja pabrik. Tapi, ya, mau gimana lagi ? Emang gini arusnya. Jalanin aja dulu.” Jawaban Ipul (salah seorang teman) dalam percakapan di BBM.
Saya membacanya berulang, tak
langsung mengetik balasan untuknya, mencerna setiap kata yang tertulis disana.
Mungkinkah semua orang merasakan hal yang sama seperti yang saya dan Ipul
rasakan, bosan dengan rutinitas yang dijalanin, namun harus tetap melakukannya,
mengikuti arusnya.
Saya setengah membenarkan
pernyataan Ipul. Mau gimana lagi ? Pendidikan yang minim membuat saya stuck, walau sangat ingin saya menjebol
‘tembok’ yang membatasi banyaknya keinginan saya. Ipul benar, jalanin aja dulu.
Tapi di lain sisi, setengah hati saya menolak. Mau sampai kapan terus mengikuti
arus kehidupan ini ? Kita harus bergerak, bukan ? Tak melulu manut mengikuti
arus yang sebenarnya bisa kita membelokkannya.
The slower we move, the faster we die.
Bergerak. Sekecil apapun gerakkan
tersebut, setidaknya saya bergerak. Melangkah, menemukan berbagai macam
ketidaktahuan. Bukankah pemimpin juga perlu wawasan yang luas ? Lalu kembali
saya bertanya, setidaknya pada hati kecil saya sendiri, bagaimana bisa kau
menjadi pemimpin, kalau kau hanya diam di satu tempat ?
Bebek berjalan berbondong-bondong. Akan tetapi burung elang terbang
sendirian, bukan ?
'Apa yang paling kamu takutkan sebagai seorang pemimpin?' tanya seorang kawan pada suatu siang. 'Tidak memutuskan apa pun,' jawab saya tanpa ragu.4
Jujur. Saya sama sekali tak tertarik
untuk menjadi seorang pemimpin. Tapi saya ‘harus’ menjadi pemimpin, setidaknya
untuk diri saya sendiri.
1 Seorang filsafat
Yunani
2Murid Socrates, juga
seorang filsafat Yunani
3Penulis (Shitlicious,
Skripshit)
4http://windy-ariestanty.tumblr.com/post/71622095246/memutuskan
Gambar diambil dari www.filetransferplanet.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar