Selasa, 24 September 2013.
“Gue bahagia hidup di dunia ini.”
Kalimat pembuka yang sangat
manis. Ya, begitulah cara gue berterima kasih kepada Tuhan, menikmati
kesempatan yang diberikan-Nya, hidup di dunia ini.
Malam ini, enggak tau kenapa, gue
ngerasain aliran rasa bangga sama diri gue sendiri. Enggak berlebihan, mungkin
hal itu terjadi karena gue bisa tersenyum ditengah amarah yang sedang menggebu
saat ini. Ya, suatu rasa yang benar jika dikatakan ‘perasaan paling enggak enak sedunia’, SESAL.
Winna Efendi menuliskan perasaan
menyakitkan itu dalam bukunya yang berjudul Melbourne,
baru tadi sore gue baca di perjalanan sepulang kerja.
Buat gue, perasaan enggak enak sedunia adalah sesal. Apapun yang lo
lakukan, lo enggak akan bisa menekan tombol rewind untuk kembali ke momen saat segalanya berubah. Lo enggak akan bisa naik
mesin waktu atau memutarbalikkan jarum jam untuk kembali ke masa itu, untuk
memperbaiki kesalahan yang lo perbuat, atau mengembalikan keadaan seperti
sebelumnya.
Dengan menerima kenyataan, kita akan lebih mudah bergerak maju,
mengecilkan ruang untuk rasa sesal.
Begitu kakak cantik satu ini
menggoreskan kalimat yang kayaknya ‘pas’ banget buat gue, yang emang lagi
bergulat dengan sebuah penyesalan.
True indeet. Sungguh-sungguh benar. Ya, gue suka semua kalimat
diatas, terlebih kalimat terakhir yang gue garisbawahi. Dengan menerima
kenyataan, gue rasa semua akan jauh lebih baik. Dan sore itu, ketika gue
membaca buku tersebut, sebuah ketenangan merayap pelan memasuki ruang hati gue.
sebuah pengalaman tentu lebih bermanfaat daripada rasa sesal yang hanya akan
menggerogoti waktu. Bukan begitu, bukan ?
Dan kali ini, sedikit banyak gue
mau bahas soal E-D-U-K-A-S-I. Enggak, gue enggak akan bahas matematika, bahasa
Inggris, bahasa Indonesia, kimia maupun fisika. Tapi, kehidupan. Pelajaran
dalam kehidupan.
Jujur, gue lebih bangga pada
mereka yang hanya lulusan SMA, lalu bekerja keras untuk membantu ekonomi
keluarga daripada mereka yang meneruskan ke bangku perkuliahan dengan jerih
payah orang tua.
Gue lebih senang melihat mereka
yang bekerja siang hari dan kuliah malam hari dengan uangnya sendiri daripada
mereka yang duduk-duduk di café pulang kuliah untuk menghabiskan uang pemberian
orang tuanya.
But, gue, akan lebih kagum lagi bila melihat mereka yang tidak
memiliki kesempatan untuk bersekolah akan tetapi selalu berusaha keras untuk
belajar dari alam, kehidupan dan pengalaman.
Itu hanya sekedar penilaian gue,
enggak memojokkan siapapun, toh kalian semua mempunyai hak untuk berpendapat.
Gue enggak kuliah, gue lulusan
SMK. Sometimes, gue benci sama diri
gue yang enggak bisa terima keadaan, gue benci sama diri gue yang penuh ambisi
untuk mengejar keinginan semata, gue benci sama diri gue yang egois dalam
menentukan sebuah keputusan, gue benci sama diri gue yang sulit untuk mengakui
sebuah kegagalan, gue benci sama diri gue yang masih haus akan pujian, gue
benci sama diri gue yang selalu ingin terlihat lebih dari yang lain, gue benci
sama diri gue yang gampang emosi dan susah mengendalikan amarah.
Gue benci semua pertanyaan ini,
rentetan pertanyaan yang sebenarnya enggak memerlukan jawaban apapun, rentetan
pertanyaan yang di berikan oleh letupan emosi ambisi gue kepada hati gue yang
cenderung lemah.
Kenapa gue enggak kuliah ?
Gue udah kerja bertahun-tahun,
kemana hasilnya ?
Apa yang udah gue dapet selama
gue kerja ?
Mau jadi apa gue nanti ? Cuma
lulusan SMA !
Harusnya tuh gue begini ..
Harusnya tuh gue punya ini ..
Harusnya .. harusnya .. harusnya
..
Gue benci ‘gue’ yang seperti itu.
Tapi gue suka ‘gue’ yang seperti
ini. Selalu sadar bahwa apa yang terjadi adalah kehendak-Nya. Enggak penah mau
berhenti untuk berlari. Memilih diam ketika marah, dan saat emosi memuncak
cukup air mata yang menetes tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Selalu
memaafkan kesalahan, keadaan dan kenyataan, karena sadar, dengan menerimanya
semua akan lebih meringankan. Enggak pernah berharap ada yang tau ketika sedang
melakukan suatu kebaikan.
At least, manusia selalu mempunyai dua sisi yang berbeda. Terkadang
baik, dan ada waktu tertentu juga menjadi buruk. Tapi percayalah, jika Tuhan
ada di sini *nunjuk dada*, lo akan selalu di ingatkan-Nya, lo akan selalu dapat
pengarahan dari-Nya. Percaya.
Dan gue suka semua pernyataan
ini, pernyataan yang dilihat oleh jiwa yang besar, lalu di terima dengan hati
yang lapang.
Suatu saat, gue pasti kuliah.
Lihat mereka, nyokap bokap lo,
adek lo, dan semua orang-orang di sekeliling lo yang tersenyum bahagia ketika
menikmati apa yang lo kerjakan. Rasanya, enggak ada hal yang lebih indah
dibandingkan dengan senyuman orang-orang yang lo sayang, dan mereka semua
tersenyum karena lo, karena keringat dan kerja keras lo. Pikir dan resapin itu
baik-baik !
Andai lulus SMA, lo langsung
kuliah dan memilih untuk melakukan runtinitas kampus setiap harinya. Bagaimana
bisa, lo ketemu para pekerja di usia lo yang cenderung labil, bagaimana bisa lo
ngerti caranya nyari uang dan menikmati hasilnya yang rasa puasnya bisa
benar-benar lo rasain. Dan bagaimana bisa lo belajar pengalaman dari mereka
yang satu nasib sama lo. Lo mau kuliah ? Yakin, Tuhan akan memberikan jalan
buat lo mengecap bangku pendidikan setinggi yang lo mau.
Ya. Lo emang cuma lulusan SMA,
tapi pantaskah lo mengeluhkan hal itu ketika lo melihat dengan mata kepala lo
sendiri, anak-anak yang jauh kurang beruntung dari lo. Masih mau mengecilkan
nikmat Tuhan yang besar ini kah ? Ketika lo lihat, mereka yang sejak lahir
enggak pernah mengenal bangku pendidikan. Ingat, semua manusia sama. Tapi,
urusan nasib bergantung pada diri lo sendiri. Seberapa besar efek lo buat
kehidupan lo. Seberapa besar usaha lo buat meraih impian lo. Seberapa besar
mental lo dalam melihat kegagalan-kegagalan dalam perjalanan hidup lo. Pahami
itu baik-baik !
Lo enggak harus menjadi seperti
ini, atau seperti itu. Tapi satu hal, semua manusia sama. Hanya saja, lo butuh
jiwa yang kuat untuk menjalani hidup yang keras ini. Tapi sekeras apapun hidup,
ketika lo memilih untuk berdamai dengannya, maka semua terasa lebih
menyenangkan.
Seperti yang gue tulis diatas,
manusia memiliki dua sisi yang berbeda. Hal baik maupun hal buruk.
Lo punya mimpi, gue punya mimpi,
dan mereka semua punya mimpi. Kita memiliki kesempatan yang sama, tapi seberapa
besar kita untuk meraih impian yang kita inginkan, itulah yang membedakannya.
Enggak ada lagi, kekecilan hati
karna lo hanya lulusan SMA, SMP, SD, atau bahkan enggak sekolah sama sekali.
Tapi lo harus bangga, jika kelak lo yang kecil bisa menjadi landasan senyum
kebahagiaan bagi orang-orang yang lo sayangi. Gue rasa, itu udah lebih dari
cukup. Karena pada dasarnya, pelajaran yang sesungguhnya enggak ada di dalam
sekolah maupun perguruan tinggi. Semua ada di dalam diri masing-masing, tentang
bagaimana kita menyatu dengan kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar