Kamis, 13 November 2014

Kalau gede nanti, gue mau jadi cantik.

Susan, susan, susan
Besok gede mau jadi apa
Aku kepingin pinter
Biar jadi dokter

Nah, Susan aja punya cita-cita. Ya, masa gue enggak. Zaman gue SD, gue selalu menulis ‘Presiden’ di kolom cita-cita (titik dua), karena di benak gue yang seorang anak kecil, Presiden adalah orang nomor satu di sebuah Negara. Kalau jadi Presiden, gue enggak punya lagi atasan. Semua terserah gue. Selesai.

Memasuki jembatan masa puber, waktu itu gue beruntung karena di terima di salah satu SMP Favorit di Bekasi. SMP N 2 Bekasi, yang kerrrrrrrren banget pada masa itu. Entah gue yang beruntung atau sekolahan itu yang khilaf karena menerima gue. Gue sang murid dari SDN kampung yang ada di pelosok Bekasi. SDN reot yang kalau mau cebok abis pipis, gue harus genjot pompa dulu. Satu hal yang bikin gue jatuh cinta sama SMP tersebut adalah batiknya yang menarik. Warna dasar hitam dengan bercak-bercak putih, entah kenapa setiap ngeliat batik itu, gue selalu jatuh cinta, jatuh cinta, dan jatuh cinta lagi (pada batik itu). Dan ya, Tuhan memberikan izin kepada gue untuk sekadar membanggakan diri, mematut di cermin sambil membenarkan kerah baju batik itu. Gue berbaur, melebur menjadi satu dengan anak-anak SD lainnya. Anak-anak yang beberapa level lebih gahol dari gue.

Mereka, teman-teman baru gue ngerti bagaimana caranya menghidupkan komputer pada saat itu. Karena benda itu enggak asing buat mereka, mereka udah di kenalin waktu masih putih merah. Gue ? Duduk diem sambil terus merhatiin benda putih dengan beberapa aksesoris (keyboard, CPU, mouse) di sekitarnya. Tangan gue beku, enggak ada yang bisa gue lakuin dengan nihilnya pengetahuan.

“Lho, kok, komputernya belum di nyalain ?” tanya seorang teman yang duduk di samping gue.
“Enggak bisa” gue lugu (baca:bego). Tanpa diminta, teman gue itu langsung membungkuk, menekan satu tombol besar yang ada di CPU, gue memperhatikan tanpa bertanya. Jemarinya kembali bergerak, meraba pinggir-pinggir monitor. Dan dalam sekejap, layar abu-abu itu menyala. Tapi apa ? Gue masih diam, merasa asing dengan benda bernama komputer itu. Dalam keraguan dan segala kekakuan diri gue akan benda asing yang ketika itu cuma bisa gue lihat di tivi-tivi dan di dalam rumah orang kaya, gue memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Kita enggak akan pernah tahu , bukan, kalau kita enggak pernah mencobanya ? Dan mulai detik itu, gue selalu menunggu  pelajaran yang cuma berdurasi seratus dua puluh menit dalam satu minggu. Candu itu menyusup, jari-jemari gue selalu ingin menari di atas kotak-kotak beralfabet. Enggak. Gue belum kepikiran buat pindah cita-cita ketika itu. Impian gue masih sama, gue mau jadi presiden.

Setahun berlalu, gue masih menjadi siswi yang enggak pernah terlihat di antara siswi lainnya. Kelas berganti, pun penghuninya. Pagi itu, gue datang agak siang, hal yang gue sesali di hari pertama, di kelas baru. Karena apa ? Semua bangku hampir penuh, hanya tersisa baris terakhir di paling pojok. Posisi yang sejatinya adalah yang terfavorit. Gue clingak-clinguk, beberapa muka enggak lagi asing, ada sebagian yang gue kenal lebih dulu. Tapi gue, siapa gue ? Gue duduk sendirian di baris paling belakang, pojok. Berharap, ada satu orang yang terlambat datang, lalu terpaksa duduk di sebelah gue. Menit berlalu, ‘Apa iya, jumlah murid di kelas ini ganjil ?’ gue membatin, karena emang enggak ada lagi yang bisa gue harapkan. Gue bersikap tenang, dan .. .. bidadari cantik itu datang. Siswi berwajah manis dengan lubang-lubang di pipinya ketika tersenyum. Rambutnya lurus sebahu. Badannya kurus dan tinggi. Dan ya, dia duduk sendirian di baris ketiga dari depan.

“Eh. Eh. Kosong, ya ? Gue duduk di situ, ya !” Dia diem beberapa menit, ngeliatin gue, dan dia ngangguk. Gue lega. Buru-buru gue pindah tempat duduk.

Namanya Evi damayanti. Kalau ada angka di atas seratus untuk menilai sosoknya, maka, angka tersebut akan gue kasih untuknya. Dia gadis yang cantik, manis, baik dan anak orang kaya. Gue emang bagaikan upik abu kalau lagi ada di sebelahnya. Evi cantik. Gue enggak. Evi tajir. Gue enggak. Rambutnya Evi tambah lurus abis di rebonding─2005, rebonding booming banget─. Rambut gue ikal, gue belah dua sama rata tanpa poni, setiap hari gue kuncir lemes pake karet bekas nasi uduk. Hapenya Evi nokia 6600. Hape gue nokia 3315. Seragam Evi─atasan ketat, bawahan rok di pinggul yang panjangnya pas selutut─. Seragam gue ─atasan selalu gue kancing sampe leher, bawahan yang gue pake, rok seperut di iket pake gesper yang sisanya masih banyak, iya, waktu itu gue kuruuuuus banget─. Sepatu Evi bermerk convers original. Sepatu gue NB, bajakan pula, belom, anak-anak di masa itu enggak kenal KW. Evi popular. Dan gue tak terlihat.

Tapi ajaib, di balik perbedaan kita yang begitu nyata, ada pertemanan yang tulus. Evi selalu bilang, ‘Cuman lo yang manggil gue ‘PEA’, cuman di depan lo gue bebas ngapain aja, dan lo satu-satunya orang yang tau kalau gue pernah pake tali kutang yang beda warna (dan sekarang semua orang tau, Vi. Hehehhe). Dan yang paling penting, lo, enggak pernah memaksa diri untuk berubah jadi orang lain di depan gue’. Gue nyengir haru ngedengar kalimat itu meluncur dari bibir tipis Evi.

‘Tapi sejujurnya, Vi. Gue tekanan batin temanan sama lo, jalan sama lo, semua mata tertuju, iya, mereka ngeliatin lo, bukan gue. Tapi, kan, bisik-bisik suka gue dengar ‘itu siapa sih yang selalu nemenin Evi kemana-mana’ aaah, gue terpojokkan’

Evi ketawa. Tawa renyah yang ngebuat siapapun yang mendengarnya akan terhipnotis. ‘Sabar. Lagian, buat gue, lo satu-satunya teman terbaik yang gue punya’

Naik ke kelas tiga. Gue sadar diri. Gue menarik diri dari pertemanan beda kasta itu. Gue dan Evi beda kelas, setiap istirahat Evi selalu ke kelas gue, tapi gue menghindar. Enggak. Serius, gue normal kok. Kita cuman temanan, sumpah ! Mungkin Evi lelah, bulan-bulan selanjutnya, Evi enggak pernah lagi nyamperin gue ke kelas. Gue lega. Seenggaknya, gue enggak lagi ada di bayang-bayang Evi yang sempurna. Gue takut, takut kalau kelak, sebuah penyakit hati berlabel ‘iri’ menyerang diri gue. Evi, gue yakin lo ngerti. #Lho ?

Teman sebangku gue di kelas yang baru bernama Siska. Siswi kalem berjilbab panjang. Dia enggak sepopular Evi, pun, enggak setajir Evi. Tapi, dia adalah jembatan yang menghubungkan gue menjadi lebih dekat kepada Tuhan. Gue di kelas tiga, berseragam ketat dan rok biru di atas lutut. Rambut gue berponi. Perlahan, gue tumbuh menjadi gadis remaja seperti kebanyakan. Namun, di saat gue ingin menjebol hal-hal yang sepertinya menarik untuk di lakukan pada usia remaja, Siska hadir seperti ‘bel’ yang selalu berbunyi saat gue melampaui batas, Siska bagai lampu merah yang mengingatkan gue bahwa segala sesuatunya enggak boleh kebablasan. Pernah satu hari, di jam kosong, gue gendang-gendang meja sambil nyanyi dangdut. Siska shalawatan. Gue cekikikan baca komik Doraemon. Siska takzim dengan kitab suci. Siska sholat Duha di jam istirahat. Gue ngerjain PR dapat nyontek. Siska selalu menjaga puasanya di bulan ramadhan. Gue diem-diem masuk kantin sambil nyedot es teh dingin, lalu ngelap bibir pake tissue. Siska enggak pernah bosan memberikan petuah yang dia pahami, petuah yang begitu membosankan buat gue dengar. Dunia Siska enggak menarik di mata gue.

Sampai akhirnya, semua berubah.

Hari itu, sepulang sekolah, Siska ngajak gue ke rumahnya. Di sepanjang jalan, enggak ada yang terlewatkan, nyaris semua orang yang berpapasan dengan gue dan Siska, selalu tersenyum dan menyapa Siska hangat. Belum lagi, satu per satu anak kecil yang setiap kali ngeliat Siska bakalan ngucapin salam sambil nyium punggung telapak tangan Siska. Ya, Siska guru ngaji. Begitu lembut dan penuh kasih sayang. Seketika, gue merasa, ini lebih dari sekadar menarik. Gue terenyuh, menjadi orang baik emang enggak akan pernah menjadi pilihan yang salah, bukan ?

Siska pernah nulis di binder gue, kesan dia kenal sama gue ‘Gue senang sama lo’. Deg. Gue horror. Tapi kemudian, Siska menjelaskan, bagian yang ngebuat dia nyaman temanan sama gue, gue lucu dan aneh. Begitu katanya.

Evi dan Siska adalah manusia-manusia yang sial karena bertemu dengan gue. Berbalik dengan gue yang begitu beruntung akan pertemuan tersebut. Keduanya menyadarkan gue, bahwa perbedaan itu mendekatkan. Dari keduanya gue paham, perbedaan pun adalah cara Tuhan memberi ruang kepada kita untuk belajar, belajar mengerti dalam pemahaman akan penerimaan yang ikhlas. Gue enggak pernah kepingin jadi sosok lain dari diri gue saat bertemu dengan manusia yang pasti jauh lebih baik dari gue, walau jujur, enggak munafik, terbesit rasa untuk menjadi sepertinya. Namun, sejatinya hanya diri sendiri yang mengerti, betapa, menjadi orang lain di depan orang lain adalah tindakan yang begitu menyiksa.

Gue masih kepingin jadi presiden, presiden bagi diri gue sendiri. Dimana, apa yang gue lakukan adalah mutlak apa yang gue inginkan. Kita enggak pernah tahu, kan, kalau kita enggak pernah berani mencobanya. Seperti saat menatap kobangan lumpur di sisi sawah yang becek, mungkin apa yang sebelumnya kita pikirkan akan berubah seratus delapan puluh derajat ketika kita tidak lagi hanya menatapnya, tetapi menjatuhkan diri, dan merasakan masuk ke dalam kobangan lumpur tersebut. Jadi, tunggu apalagi ? jika perbedaan mendekatkan dan menjadi ruang pembelajaran, kenapa harus takut berbeda dengan keinginan yang terendap sejak lama ? lakukan !

Bentar ! Terus, Aya. Apa hubungannya dengan judul postingan ini ? Kalau gede nanti, gue mau jadi cantik. Apa maksudnya coba ?

Ya, namanya juga beda. Kalau kebanyakan anak kecil pengin jadi dokter, polisi, insyinyur, ataupun dukun. Gue cuma pengin jadi cantik. Cantik dalam kemasan yang berbeda. Nah, bikin bingung lagi nih !

Udaaaah .. selamat malam jumat, ya. Jaga lilin yang benar ! Ingat, kalau lilinnya udah joget-joget, buruan tiup !











3 komentar:

  1. siska yg rmhnya didkt SMP 2 ya...di Bunga Harapan

    BalasHapus
    Balasan
    1. pertama, makasih sudah bertamu kemari :D

      iyaaah, kenal ya, nis ?
      eheheee

      Hapus