Minggu, 30 November 2014

9 di 23

“Kamu bawa CV ?” gue mengangguk ketika seseorang yang baru gue temui setelah dua jam mondar-mandir di salah satu rumah sakit swasta terbesar di daerah bekasi menyapa gue dengan tatapan heran. Beberapa orang yang ada di ruangan bertulis ‘ruang gizi’ di depan pintu itu spontan menatap ke arah gue.
“Iya. Saya di suruh nemuin ibu Mita (nama samaran) di bagian gizi” jelas gue santai.
“Kamu mau ngelamar kerja ?” gue ngangguk sekali lagi mendengar suara yang keluar dari sosok wanita setengah baya berseragam serba putih.
“Enggak ! Saya enggak mau ! Saya enggak mau nerima. Kamu, kalau mau ngelamar kerja yang sopan dong. Pakai kemeja putih, bawahan hitam. Pulang sana. Besok kesini lagi ! Pakai pakaian yang sopan. Masa ngelamar kerja pake beginian ? mau kemana kamu ?”

Deg.
Gue memandangi diri sendiri, sepatu selop hitam, celana jeans hitam panjang, kaos merah bata bergambar dua orang yang sedang duduk di atas vespa dengan tulisan IKADONGIR (ikatan doyan nyengir) di balut sweater hitam tebal berkupluk. Iya, gue paham, kenapa ibu-ibu itu begitu kesal menyapa gue !
“Oh. Gak mau nerima ? Makasih bu. Permisi” gue yang masih berdiri di ambang pintu ruangan tersebut langsung balik badan dan meninggalkan semua tatapan mata yang tak berkedip itu.
Kejadian itu terjadi beberapa bulan lalu dari tulisan ini di ketik. Waktu itu gue masih jadi pengangguran, memasrahkan diri untuk bekerja apapun selama hasilnya halal. Malam sebelum hari itu, seorang tetangga rumah yang kebetulan kerja di rumah sakit tersebut menawarkan gue pekerjaan. Angkuh, bukan, rasanya kalau gue menolak apa yang sejatinya gue butuhkan. Tetangga itu bilang kalau gue harus datang ke rumah sakit tersebut jam delapan pagi tanpa menjelaskan pakaian apa yang harus gue pakai. Dia cuma berpesan ke gue untuk bawa CV dan menemui ibu Mita. Hanya itu.
Bagi pengangguran, pagi selalu memberi harapan ketika melangkah untuk mencari. Usai salat subuh gue udah rapi, celana bahan hitam dengan atasan kemeja biru dongker. Gue menyantap sarapan yang tersedia di meja makan. Jarum jam masih duduk manis di angka enam, bergerak pelan mengiringi kunyahan sarapan gue.
Tepat jam tujuh kurang tiga puluh menit gue telah siap. Gue kembali mematut diri di kaca, menimbang-nimbang penampilan diri sendiri.
‘ish, rapi banget, kayak orang kantoran aja’ batin gue. Gue membuka lemari baju, kembali memilah, mengisi waktu yang tanpa di duga telah mengubah satu takdir.
Gue tersenyum puas ketika berganti pakaian ‘berangkat ya, ma’ pamit gue sambil menggendong ransel cokelat yang selalu menjadi teman perjalanan setia. Cuma satu pertanyaan yang keluar dari nyokap gue ‘Lho, ganti baju ?’ dan cukup satu anggukkan untuk menjawabnya. Gue berlalu.
Enggak ada gambaran dimana letak rumah sakit tersebut. Gue duduk tenang di dalam sebuah angkot. Membayangkan akan hari-hari mendatang, menjadi pekerja di sebuah rumah sakit. Seorang tetangga rumah cuma mengarahkan kalau gue harus naik angkot satu kali bernomor 25, lalu turun di depan sebuah mall, selanjutnya tinggal jalan kaki. Well, gue mengikuti sarannya.
Aspal yang basah karena gerimis itu ternyata enggak pendek. Gue udah melangkah cukup jauh, tapi belum juga menemukan rumah sakit yang di maksud. Gerimis selalu hadir sebagai pelengkap drama suatu cerita. Gue bertanya kepada beberapa orang dan mereka bilang ‘wah, dek. Masih jauh, jangan jalan. Adek naek mikrolet 26 yang mangkal di jembatan sana. Minta di turunin di rumah sakit itu. Jangan jalan’ begitu jawaban seorang satpam yang sedang berjaga di pos bercat biru. Gue kembali berjalan, jembatan belum kelihatan, sedang jarum jam terus berputar.
Gue mengembuskan napas lega ketika melihat jajaran angkot berwana biru telor asin, setelah memastikan, gue duduk dengan gelisah. Bagaimana tidak, angka delapan sudah di lewati jarum jam tersebut. Syukurnya, jarak gue naik angkot sampai rumah sakit tersebut enggak jauh. Gue berdiri ragu di sebrang rumah sakit besar itu. Membiarkan gerimis membasahi tubuh gue. Masuk ! Enggak ! Nyebrang ! Diem ! Masuk ajah ! Pulang ajah ! semua saran itu menjadi suara di pikiran gue. Gue diminta datang jam delapan tepat. Sedangkan jam sembilan tinggal beberapa menit lagi. Tapi gue adalah orang yang takut akan penyesalan, gue selalu menyukai kejutan, gue lebih puas melangkah gagal daripada mundur tanpa pernah tau hasilnya. Gue nyebrang, bertanya pada satpam, masuk ke lantai yang di tunjukkan dan duduk bingung di bangku-bangku yang menghadap langsung ke meja resepsionis. Gue disambut dengan aroma yang selamanya gue benci. Oke. Gue tau apa yang di mau hati gue, ‘gue enggak mau kerja dengan mencium aroma seperti ini setiap detiknya’. Gue menghembuskan napas, wajah orang tua gue melintas. Gue lemah. Setidaknya, gue harus mencoba, dan bekerja disni─mungkin─untuk membantu keuangan keluarga. Gue berdiri, mencari ruangan bertuliskan ruang gizi.
Enggak ada !
Gue kembali duduk, melihat jarum jam yang tak sedikit pun bisa di hentikan, sekali pun gue memohon. Seorang laki-laki muda berseragam cokelat, sepertinya pegawai rumah sakit yang bertugas bersih-bersih menjadi pilihan gue untuk bertanya. Voilaaa .. dia mengantar gue ke depan ruangan yang gue maksud. Dan setelahnya, cerita pembuka dari tulisan ini-lah yang terjadi.
***
Putih hitam. Kadang gue berpikir dengan kalimat retorik, kenapa melamar pekerjaan identik dengan warna-warna tersebut ? putih dan hitam. Kenapa enggak hitam dan orange ? atau biru dan merah ? atau pink dan putih ? at least, bukan dua warna saja. Apa mungkin itu bentuk penyesuaian dalam gambaran nasib, hitam dan putih, tak ceria. Gue mengartikan tak ceria dengan dua warna tersebut. Pagi yang tak pernah mengingkari janjinya untuk selalu menyapa dengan rentetan peristiwa, gue menerima kabar kalau sebuah perusahaan industri, PT LG Inotex yang ada di kawasan Hyundai, Cikarang selatan sedang membuka lowongan. Mendengar kata terakhir dari kalimat itu, bagai setetes air di sebuah gurun luas bagi telinga pengangguran. Gue duduk bersama seratus, seratus sepuluh, seratus dua dua, dua ratus, entah berapa jumlah putih hitam dalam ruangan luas itu. Gue enggak bisa memastikannya. Cuma bila di simpulkan, gue yakin kalau kita berada dalam dua warna yang sama, putih dan hitam. Satu jam lebih gue duduk, menjadi pendengar dan penutur cerita bagi manusia-manusia yang baru gue temui.
Dua orang laki-laki berseragam kerja dengan mengalungkan id card di lehernya membuat sunyi ruangan. Ratusan putih hitam itu di kelompokkan berdasarkan tahun kelahiran. Well, gue harus mengebalkan hati dengan permintaan maaf dari dua orang laki-laki tersebut. Perusahaan tersebut enggak menerima putih hitam berusia dua puluh satu tahun keatas.
***
Gue masih merasakan dinginnya yang menusuk, gelap malam yang terlihat putih dengan lebatnya kabut. Lupakan putih hitam (walaupun malam hitam dan kabut putih, sungguh hitam putih yang berbeda) ! Abaikan status sosial ! Karena perjalanan tak pernah memberi batasan mengenai apapun.
Mungkin tak salah bahwa seorang penulis perjalanan pernah mengatakan kalau Tuhan sedang tersenyum ketika menciptakan negeri ini, Indonesia.
Gue jatuh cinta sejak kali pertama melihat kendaraan roda empat dengan atap terbuka. Hard top. Jeep terbuka bermuatan sepuluh orang itu telah membuat gue kasmaran dan selalu merindu. Empat jam gue berdiri menikmati malam yang selalu menenangkan bersama sepuluh orang yang baru gue kenal. Sebuah bonus dalam perjalanan, bertemu dengan orang asing. Langit tergelar cantik dengan bintik bintang yang tak terhitung, angin malam menyusup pelan-pelan ke ruas-ruas tulang rusuk, di atas hard top gue merasa kedinginan dalam balutan rasa syukur yang menghangatkan. Jika bisa, alam selalu ingin mengucapkan terima kasih kepada siapa saja yang jatuh cinta kepadanya.
***
Waktu kecil, gue enggak pernah membayangkan ‘gunung itu seperti apa ?’. Di pikiran gue yang masih anak-anak, gunung berbentuk seperti bujur dengan ujung yang lancip, warnanya biru, di tengahnya ada matahari dengan warna orange yang enggak sempurna bulatnya. Sebatas itu.
Gue remaja, jalan-jalan adalah nonton bioskop, makan di mall dan nongkrong di warnet. Hari-hari berlalu dengan kegiatan tersebut bersama teman-teman terdekat, tentunya selalu di bumbui dengan cerita cinta dan sikap yang konyol. Selepas seragam, hari-hari gue berganti dengan kegiatan monoton sebagai buruh pabrik. Dan jalan-jalan, masih sama dengan masa-masa remaja.
Kalian percaya teori goa-nya Socrates ? Dimana yang di ungkap oleh Plato, bahwa seseorang sejatinya merasa nyaman dalam bayang-bayang kehidupan yang sebenarnya akan berbeda apabila di rasakan sendiri. Dan saat itulah, kau harus keluar dari zona tersebut, merasakannya sendiri, tak lagi melihat dari bayangan. Juga ungkapannya yang begitu menarik, bahwa hidup yang tidak pernah di pertanyakan, tak layak untuk dijalani. Enggak. Gue enggak secerdas itu buat menangkap apa yang dimaksudkan oleh Socrates. Perlu tumpukkan detik untuk memahaminya.
Gunung enggak lagi sekadar bujur dengan ujung lancip berwarna biru. Jika di pandang dari kejauhan, mungkin iya. Namun jika mengenalinya, gunung memiliki jutaan warna, tak hanya satu. Bukan hanya biru.
***
Kereta jurusan Jakarta-Bogor melaju stabil dengan penumpang yang bisa di bilang ‘tak seperti biasa’. Ya, ‘tak seperti biasa’, karena gue masih ngelihat bangku-bangku kosong di beberapa gerbong. Gue ada di dalam salah satu gerbong tersebut, gue yang bersemangat dengan mata berbinar saat bercerita tentang perjalanan kepada seorang teman. Pagi itu tas ransel cokelat gue berisi tumpukkan berkas yang bersembunyi di dalam amplop berwarna cokelat. Tidak salah, surat lamaran pekerjaan.
Terlalu banyak-kah pengangguran di ibu pertiwi ini ? Sampai-sampai gue enggak menemukan ruang untuk menjadi yang terpilih ?
Kereta itu berhenti di stasiun universitas Indonesia. Gue melangkah keluar dari gerbong. Menaiki bus kuning mahasiswa dan dengan lancang berbisik, ‘kelak, gue akan kembali kesini dengan tujuan yang berbeda, anythings’.
Iya. Jawaban untuk pertanyaan tadi. Pengangguran begitu banyak di negeri ini. Mungkin, keberuntungan memang sebuah takdir yang baik bagi manusia. Setuju-kah ? Gue enggak ! Karena tetap, usaha, kerja keras, dan doa-lah cara yang paling tepat untuk mengubah suatu keadaan. Bahkan belajar dari seekor burung yang pergi meninggalkan sarangnya dalam keadaan lapar dan kembali dengan perut yang kenyang. Begitulah hukum kehidupan.
Gue menjelajahi setiap stand yang ada di satu ruangan besar salah satu fakultas perguruan tinggi ternama itu. Sedang ada jobfair berlansung disana. Dan .. enggak ada yang menarik. Beuh, angkuhnya gue, lagi nganggur sok milah-milih pekerjaan. Lho ? Harus toh. Karena kita harus mencintai apa yang kita kerjakan, bukan ?
Gue mendaftar di stand trans tv, ya, stasiun tv tersebut lagi butuh karyawan banyak, begitu informasinya. Peduli apa untuk hasilnya, gue sekadar menjatuhkan diri untuk mencoba menyelami pengalaman, kalau enggak di coba, enggak tau, kan, hasilnya ? setelah lelah mengitari ruangan tersebut, gue duduk manis untuk mengikuti seminar yang emang di adakan oleh trans tv. Ini yang gue senang dalam perjalanan, menemukan lebih banyak. Apapun.
Oh ya, harapan gue terkabul, 8 November lalu, gue kembali ke UI buat menghadiri talkshow nulis bareng mba dewi lestari. Belum. Karena itu bukan ‘kelancangan’ dari bisikkan hati yang gue mau. Gue percaya, gue akan kesana lagi.
***
Jl. Kapten Tendean
Kav. 12-14A
Jakarta 12790
Itu alamat yang gue dapat dari google. Ya, langkah gue ke UI membuka pengalaman lain yang baru. Gue dapat pesan singkat yang berisi panggilan untuk mengikuti test kerja di stasiun tv tersebut. Hitam putih berbalut blezzer ungu muda yang gue pilih untuk menjadi kostum hari itu. Gue berangkat pagi dengan memilih APTB sebagai armada yang akan mengantar gue ke alamat tersebut. Sekitar dua sampai tiga jam perjalanan, dan gue turun di halte tegal parang lalu lanjut jalan kaki. Jalan kaki yang enggak terhitung langkahnya. Jauh gila, meen ..
Gue sampai di depan pintu masuk gedung tersebut. Berimajinasi kalau udah pake seragam berwarna hitam itu. Foto-foto, upload, terus banyak yang nanya deh ‘Aya, lo kerja di trans tv ?’. Kan, otak gue kadang begitu. Gue masuk. Diem. Shock karena jumlah peserta test itu enggak banyak, tapi buanyaak banget. Gue tau, gue pasti gagal. Tapi gue tetap mencoba.
Seperti yang gue yakinin, gue gagal dengan hadiah pengalaman. Dan gue masih jadi pengangguran.
***
Suara deru roda yang melintas di atas rel terdengar bising, bising yang enggak gue benci. Gue sendiri siang itu. Memilih pojok untuk posisi duduk dalam renungan. Pagi di hari yang sama gue berangkat dari rumah berlabel putih hitam, tapi berbeda dari biasanya. Putih hitam yang gue kenakan terdiri dari rok panjang lebar (hitam) dan atasan muslim panjang tanpa kerah (putih). Gue akan mendatangi pondok pesantren pagi itu.
Aya ? Lo ?
Entahlah. Gue dapat telpon dari pesantren darul qur’an buat interview sebagai staff di pesantren tersebut. Ah, otak gue lumpuh, gue hanya ingin terus melangkah, mencoba dan merasakan. Gue enggak tau dimana letak pesantren tersebut, yang gue tau tentang pesantren itu, pesantren yang di ketuai oleh ustad Yusuf Mansur, sebatas itu.  Setelah mengumpulkan informasi dari mbah google pastinya dan dari salah satu teman gue (si pengirim broadcast soal lowongan itu, Hardi) gue melangkah. Stasiun bekasi sampai stasiun Jatinegara, transit dari stasiun Jatinegara ke stasiun Duri, dari stasiun Duri lanjut naik kereta lagi dan turun di stasiun Kali deres.
Sampai di kali deres, gue nganyut, lho ? Abaikan !
Sampai stasiun kali deres gue clingak-clinguk, ini dimana ? itu pertanyaan yang sering kali terlontar dalam benak gue ketika gue berada di tempat yang asing, padahal jelas, gue tau kalau gue lagi ada di kali deres, aaaa .. paham enggak sih ? Gini, ketika lo ada di satu tempat yang baru lo datengin, lo tau nama tempatnya, tapi tetap ada pertanyaan yang melintas ‘ini dimana ?’, pernah enggak sih, begitu, kalian ? kalau gue selalu.
Ada dua jalur pastinya, kanan atau kiri. Dan gue enggak tau mau belok kemana. Keluar stasiun, rumah warga langsung terlihat. Gue menepi, memilih bertanya pada seorang polisi lalu lintas yang sedang bertugas.
“Oh, pesantren ustad Mansur ? sini neng” pak polisi itu menyetop angkot merah bernomor 05 kalau enggak salah, gue agak lupa.
“Naik ini neng” ucapnya ramah ke gue “Anter ke pesantren ustad Mansur, bawa mobilnya pelan-pelan, Jang” tambahnya kepada sopir angkot tersebut. Setelah mengucapkan terimakasih yang di bumbui senyum yang gue harapkan manis di lihat pak polisi baik hati itu, angkot berlalu. Pagi itu, gue senang bertemu dengan bapak setengah baya berseragam aparat tersebut. Gue sempat baca nama yang tertulis di atas kantong seragamnya, tapi maafkan, gue lupa. Gue sempat twit, tapi udah lama juga. Setidaknya, kebaikannya akan selalu gue ingat.
Sepanjang jalan yang gue liat dari balik kaca angkot itu ruas jalan yang enggak lebar dengan sisi jalanan yang berisi sawah dan rumah-rumah warga, juga sempat melewati beberapa sekolah, sepengetahuan gue, jalanan tersebut udah masuk Tangerang, tepatnya kampung ketapang kalau enggak salah. Aduuh gue lupa, maafkan, maafkan. Cukup panjang perjalanan menggunakan angkot itu, gue membayar lima ribu rupiah, dan turun tepat di depan pintu gerbang pesantren.
‘kawasan wajib berbusana muslim’
Kostum yang gue pake enggak salah pastinya. Gue masuk, bertanya pada satpam, lalu di tunjukkan kemana gue harus masuk, rumah pohon namanya. Bagunan yang terbuat dari kayu bertingkat. Gue di sambut dengan tawa renyah anak-anak yang sedang bermain sepak bola, juga lantunan ayat qur’an yang terdengar adem dari muratal yang entah dimana sumber suaranya.
“Oh, iya, iya. Tapi maaf mbak, ibu Lina (gue lupa, nama HRD-nya. Panggil saja ibu Lina ya) lagi enggak di tempat, ibu Linanya lagi di luar kota, mbak. Mbak bisa kesini lagi seminggu lagi. Maaf banget ya, mbak”
“Oh iya, enggak apa-apa, mbak. Kalau begitu saya permisi, Assalammualaikum” gue tersenyum, pamit, dan bergegas pulang.
Enggak. Gue enggak kecewa. Walau sakitnya tuh disini (nunjuk dompet), tapi semua kebayar sama sebuah pengalaman.
Duduk di pojok deret bangku panjang itu membuat gue merenung, menonton cuplikan-cuplikan langkah dalam cerita yang terukir, dan sebuah panggilan masuk membuyarkan lamunan gue.
‘selamat siang, saya Ayu dari Sunsilk. Dengan Aya Nurhayani ?’
Apalagi ini, Tuhan ?
***
Buat gue, mimpi adalah cambuk yang memaksa buat bangun dari nyenyak. Siang itu, di dalam gerbong kereta yang sepi, gue menerima kabar kalau artikel yang gue tulis telah terpilih menjadi dua puluh artikel terbaik dari seribu delapan ratus artikel yang masuk.
Gue diem. Diam untuk mengingat, artikel apaan ya ? Gubraaak ! Tapi itu real, gue lupa, saking sibuknya mencari pekerjaan, gue lupa kalau ada impian sebagai pemanis kehidupan. Impian yang bisa jadi membuat gue berhenti mencari pekerjaan.
Gue di undang untuk menginap di artotel hotel selama dua hari satu malam. Ngaco dong pikiran gue pastinya. Ya, entah di jual-lah. Di jadiin wanita malam-lah. Di mutilasi-lah. And others. Gue cari tau tentang kompetisi yang ‘iseng’ gue ikutin, enggak ada yang meyakinkan, ya, di website resminya emang ada beritanya, gue pun di kirimkan email pemberitahuan tentang terpilihnya gue. Tapi gue masih ragu. Mungkin karena keseringan gagal kali yah, jadi enggak tau ‘begini rasanya jadi yang terpilih’.
Beruntungnya gue karena memilih untuk menemukan, menemukan dalam sekumpulan keberanian untuk menerima undangan tersebut. Gue berangkat siang, naik APTB dari Bekasi dan turun di thamrin, langsung mengikuti rute yang udah gue kantongin informasinya. Dan, artotel hotel ada di sana.
Dua hari gue di manjain, dua hari gue ngerasain ‘hasil lain’ dari sebuah impian. Dinner bareng titi kamal, artis papan atas mameeen, workshop seharian bareng Dee, penulis terkenal braaaay. Nyalon di kerastase, plaza Indonesia. Dan tujuh belas orang teman baru, anak muda yang percaya pada mimpinya.
Gue enggak lagi mimpi, kan ?
***
Malam itu malam minggu, gue terbaring berbantal tangan, bukan, bukan tangan pacar gue, tangan gue sendiri. Celentang sambil menatap langit gelap bercahaya bintang. Gue merasakan hembusan angin yang terus menjalar ke seluruh tubuh gue. Telinga gue di manjakan dengan nyanyian ombak yang .. .. aah, gue enggak bisa menggambarkannya dengan tumpukkan kata. Damai, tenang, romantis, sunyi namun ramai.
November telah resmi menyapa malam itu.
Ribuan atau jutaan kilometer dari Jakarta dan jauh dari monotonnya hari-hari gue, langit malam itu begitu cantik. Pantai Kukup di pedalaman gunung kidul, Jogjakarta.
Perjalanan itu telah lama di rencanakan, bersama enam teman lainnya, kita berangkat dari stasiun pasar Senen, Jumat malam.
Gue shock. Asli benar-benar shock ketika antara dua sampai tiga jam sudah berada di dalam gerbong Progo. Ini kali kedua gue naik kereta luar kota yang lebih dari lima jam.
“Matarmaja enggak gini” bisik gue kepada teman perjalanan gue.
Bukan. Kereta progo kursinya tetap di bawah, enggak pindah ke atap. Tapi, gerbong yang di dalamnya ada gue, di isi sama orang-orang yang memblokir jalan. Ya, sepanjang gerbong, uuumm .. jalan yang gue maksud itu, celah antara kursi sebelah kanan dengan sebelah kiri, jalan setapak buat para penumpang. Ya, jalan itu di isi dengan mereka yang tertidur lelap. Mereka yang mayoritas bapak-bapak, gue, Desi, Putri, juga Hardi saling pandang, bingung dan heboh kemudian. Gini, misalnya di bangku tiga, harusnya di isi sama tiga orang, kan, ya ? tiga orang dalam posisi duduk. Tapi, tapi, karena posisinya enggak duduk, jadi, bangku tiga itu di isi sama satu orang, celentang dengan damai. Yang dua kemana ? yang satu bisa di kolong, yang satunya mungkin bisa di atas #eeh. Mereka membawa alas dan bantal masing-masing, ada yang pakai koran, sarung juga matras, mungkin nanti gue bisa coba dengan bawa spring bed biar lebih nyaman. Gue sempat bingung pas mau ke toilet, lewat mana ? setelah berdiri, lalu duduk lagi,  diri lagi, duduk lagi, clingak-clinguk. Seseorang menangkap keluguan gue *halaaaah*.
“Lewat atas aja, neng, injek kursinya” begitu sarannya, dan ya, gue menurut.
Gue melangkah menuju toilet dengan melewati orang-orang yang sedang terlelap, gue berjalan setengah lompat, dan ini .. deg-deg kan, karena pas balik, gue nyaris nginjek kepala orang. Tapi itu menyenangkan.
Kereta berhenti di stasiun Lempuyangan sekitar jam tujuh pagi. Syukurnya, gue punya beberapa teman yang stay di Jogja, dan mereka dengan senang hati mencarikan kita rental mobil+sopirnya. Setelah cari-carian sama sang sopir yang ternyata enggak tau jalanan Jogja, kita pun pasrah.
“Kita ke gunung kidul aja dulu, cari penginapan, besoknya baru ke Borobudur sama Malioboro” gue mengusulkan.
Lumayan lama muter-muter jalanan Jogja, kita, lima orang dewasa dan dua anak di bawah 17 tahun yang pasrah di bawa kemana pun oleh sopir yang enggak tau jalan. Oh Tuhan .. boleh bilang, makasih, kan ?
Arrrgh, gue enggak penah bisa bilang kalau gue kecewa dalam perjalanan, mau nyasar kek, salah jalan kek, jalan lain kek, buat gue selalu menyenangkan. Karena perjalanan enggak pernah mengecewakan.
Devry, nama sopir yang menemani kita akhirnya menemukan rute untuk sampai ke gunung kidul. Dan .. .. subhanallah, isi jalanan yang aspalnya masih hitam itu cuma grand livina silver dimana kita sebagai penumpangnya. Ya, enggak ada kendaraan lain yang beriringan dengan kita. Sesekali ada selingan kendaraan roda dua, ataupun roda empat, tapi bisa di hitung. Dan sepanjang jalan, Tuhan membuat kita tercengang dengan karyanya, tebing tak beraturan, lapisan tanah abstrak, dan warna hijau yang kadang ada, kadang tak terlihat. Gue suka perjalanan panjang itu.
Namanya Krakal beach, ini pantai pertama yang kita kunjungi di gunung kidul. Pantai yang menyambut gue dengan lekukan senyum yang enggak mau di akhiri.
***
Sebenarnya, ini adalah cara gue mengumpulkan taburan cerita yang berserak selama setahun belakangan. Keinginan besarnya, gue ingin membuat postingan 24 sebelum 24, apa itu ? 24 hari perjalanan sebelum usia gue 24 tahun. Atau, 24 di 23, itu apaan lagi, Aya ? 24 tempat di usia 23 tahun.
9 di 23. Sembilan cerita yang terjadi karena langkah yang enggak pernah berhenti. Kenapa sembilan ? Enggak ada alasan khusus. Ini udah pegel soalnya pundak. Jadi sembilan cerita saja.
Ketika kebanyakan manusia menyebutkan harapannya dalam pertambahan usia. Gue mencoba bersyukur, menonton mundur dalam pijakan langkah menuju pengurangan sisa hidup.
Semua orang punya cerita, karena semua orang adalah pejalan. Namun yang membedakan, ada yang mau menuliskannya dan ada yang tidak. Ada yang cukup menyimpannya sendiri atau malah di lupakannya. Gue memilih menuliskannya. Karena seperti yang dikatakan Pram (Pramoedya Ananta Toer), bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan terlupakan oleh sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dan gue enggak ingin terlupakan, seenggaknya oleh ingatan gue sendiri.
Terimakasih 23, dan mari mengukir cerita, hei, 24.

4 komentar:

  1. gua tunggu yang 24 di 24

    kalo kuat.
    kalo gak kuat lambaikan tangan ke kamera

    BalasHapus
    Balasan
    1. eeh, 24 nya lagi gue jalanin.

      mungkin, 25 di 25 nanti ;))

      Hapus
  2. Balasan
    1. terimakasih sudah berkunjung ke 'goresanaya' :))

      Hapus