Minggu, 07 Desember 2014

JUMAT

Ini jumat ke dua ratus empat puluh, jemariku menggenggam spidol merah, melingkari kalender yang ku buat sendiri di dalam sebuah note bersampul senja. Sebuah bunyi beep mengalihkan perhatianku dari tumpukkan lingkaran merah di dalam note itu. Aku meraih ponsel, mengetik beberapa kata. Mengirimnya ke deret angka tak bernama. Singkat saja. Pesan itu berisi satu kalimat empat kata.

Jangan lupa salat jumat.


Aku meletakkan kembali benda hitam bernama ponsel itu ke meja. Tidak. Tak lagi penting benda itu, karena aku tahu, pesan itu tak akan pernah terbalas. Kusandarkan tubuhku yang entah menyusut berapa banyak, orang-orang terdekatku bilang kalau aku semakin kurus. Padahal menurutku, tak ada perbedaan yang terjadi dalam bentuk tubuhku. Aku masih sama. Wanita dengan berat badan 60 kg dan tinggi badan 175 cm, fostur tubuh yang nyaris mendekati ideal, beberapa orang mengatakannya. Siang ini matahari tak bertugas, hujan deras yang menggantikan pekerjaannya.
Seorang pelayan yang memakai apron merah marun bertuliskan ‘kedai masa lalu’ yang di jahit dengan huruf hitam tebal itu menyajikan secangkir cappuccino. Laki-laki berkacamata itu tersenyum padaku. Aku membalasnya ramah. Sepertinya, ia tak lagi asing denganku. Bagaimana mungkin, kau tak mengenali orang yang seratus empat puluh empat kali datang ke tempatmu bekerja. Memesan menu yang sama dan duduk di tempat biasa. Begitu mungkin kalimat yang tepat untuk menggambarkan tentang aku dan pelayan itu. Bahkan, aku paham, pelayan bertubuh tinggi itu akan memperhatikanku beberapa menit di balik kaca bening besar yang berjarak cukup jauh dari tempat dudukku. Aku tak berani menyimpulkan, apa yang sedang dia pikirkan ketika memperhatikanku diam-diam.
Kedai masa lalu. Jika kebanyakan orang ingin mengubur masa lalunya demi menata masa depan yang masih abu-abu, kedai sederhana ini memilih menjadi gerbang yang membuka kembali cerita-cerita nyata yang pernah terjadi dalam hidup seseorang. Tak peduli manis, pahit, senang, sedih, kecewa atau pun bahagia. Masa lalu punya caranya sendiri dalam mengukir kisahnya. Tak jarang, mereka yang datang ke kedai ini adalah orang-orang yang sedang merindu. Merindukan masa lalunya. Aku termasuk di dalamnya.
Dalam sepekan jatah waktu yang di titipkan Tuhan padaku. Aku menyediakan seratus dua puluh menit untuk kembali ke masa lalu. Jumat siang dari jumat dua ratus empat puluh yang telah berlalu. Tubuhku bersandar rileks di bangku kayu klasik kedai ini. Ibu jari dan telunjukku sudah menyatu, mengangkat secangkir cappuccino yang masih mengepul. Aku memandang sesaat, tersenyum tanpa makna melihat buih-buih yang mengapung di atasnya. Merasakan aromanya yang langsung menghadirkan jutaan rasa. Aku siap.
~
Wajahnya yang terlihat begitu terang karena tersorot matahari menjadi pembuka cerita itu. Dia, seorang teman yang ku miliki sejak kecil.
“Sampai sekarang, si pengirim pesan tanpa nama itu masih sering sms gue. Sekali dalam sepekan” katanya membuka pembicaraan. Kita masih menjadi mahasiswa tingkat akhir pada saat itu. Kita. Aku dan dia.
“Gue telpon enggak pernah aktif, satu pesan gue pun enggak ada yang pernah di balas. Terkirim. Pernah, gue telpon pakai nomor lain” ucapannya terhenti, ia menatapku “gue pernah coba telpon pake nomor lo juga, kan ?” aku mengangguk “Nah, tetap enggak diangkat. Tapi lebih sering enggak aktif. Seolah, dua belas digit angka itu emang aktif seratus dua puluh menit dalam sepekan. Dari jam dua belas siang sampai jam dua siang. Selebihnya mati.” Dia melemahkan suaranya di akhir-akhir kalimat, seperti putus asa bercampur penasaran yang tak terukur. wajahnya berubah serius dengan dua alis tebal yang berkerut. dia menghela napas dengan mulut yang sedikit terbuka, aku dapat merasakan aroma mentol yang keluar dari embusan napasnya.
“Padahal, kalau gue tahu siapa dia, mungkin, gue akan mencintainya” sesuatu terasa berdesir dalam hatiku, sebuah perasaan yang terlihat di wajahku “Kenapa lo senyum ?” tatapannya yang menggergaji membuatku sesak.
“Enggak. Lo lucu aja, bagaimana bisa lo jatuh cinta sama orang yang enggak lo kenal. Orang yang setiap jumat siang ngirim pesan ke lo, pesan yang enggak pernah terbalas. Pesan yang ngebuat hari-hari lo di penuhi rasa penasaran” Demi Tuhan, aku benar-benar membenci diriku sendiri saat mengeluarkan kalimat tanpa dosa tersebut. Semunafik itukah diriku ? Aku memaki dalam hati. Dia menghela napas panjang, meneguk minuman kaleng yang di genggamnya.
“Tapi gue emang jatuh cinta sama dia” aku menelan ludah dengan susah payah, kedua mataku menangkap kejujuran di dalam matanya. Sebuah ucapan selamat terdengar di telingaku. Aku bahagia.
“Bagaimana bisa ?” aku bertanya hati-hati.
“Isi pesannya singkat. Entah siapa dia, tapi dia adalah orang yang gue pikirin di setiap detik yang gue punya. Satu-satunya orang yang ngebuat gue rindu hari jumat. Dan, begonya, dia adalah alasan yang ngebuat gue berjanji enggak akan ninggalin salat jumat. Gue takut dia marah kalau gue enggak salat jumat. Gue takut dia berhenti mengirim pesan itu kalau gue bilang, gue enggak salat. Dia emang enggak pernah balas pesan-pesan yang gue kirim, tapi gue yakin, dia ngebacanya. Gue kagum sama dia, dia bisa nahan diri selama setahun ini untuk enggak balas pesan gue, walau gue yakin, perlu pertahanan yang kuat untuk melakukan hal itu” dia mengembuskan napas panjang, satu tangannya terangkat untuk mengusap wajahnya yang terlihat lelah. Aku merasa sangat jahat detik itu.
“Mungkin, ini adalah jumat terakhir gue balas pesannya. Jumat-jumat selanjutnya, gue enggak akan lagi mengusiknya. Gue juga enggak akan ganti nomor, selamanya, mungkin. Gue akan menunggu jumat, berharap pesan itu masuk. Gue belajar darinya, belajar memberi tanpa menerima” ucapannya begitu tulus, hal yang membuatku begitu mencintainya, juga hal yang membuatku tidak ingin memilikinya.
“Skripsi lo udah sampe mana ?”
~
Sejak jumat itu, ia tak pernah lagi membahas pengirim pesan tak di kenal itu. Sampai detik ini. Dirinya telah menjadi seorang pelukis ternama, dan ia menetap di Bali. Jumat depan, aku akan menemuinya. Menjadi tamu istimewa dalam pernikahannya.
Ponselku bergetar di menit sembilan puluh dari seratus dua puluh menit yang ku sediakan. Napasku sesak. Tak ada satu orang pun di dunia ini yang ku hubungi dengan dua belas digit angka itu, selain dia. Lama, aku menatap benda mati itu. Lima belas pesan singkat masuk ke dalam ponselku.

(1)
Jumat depan, aku akan menikah. Seorang wanita dalam wujud yang nyata akan mengisi hari-hariku. Kau tetap tak tergantikan. Dalam hidupku, aku pernah berharap, kaulah yang akan terbaring di sebelahku, kita berhadapan dalam pejaman mata. Saat malam berlalu, kau yang pertama kali ku lihat di pagi hari. Kita tersenyum dan saling berkata ‘selamat hari jumat’. Dan kau menambahkan, ‘jangan lupa salat jumat’ bukan lagi dalam huruf-huruf yang tersimpan rapi di inbox ponselku, melainkan langsung meluncur dari suaramu yang entah seperti apa bunyinya.

(2)
Deretan nama wanita pernah ku curigai, menerka, mungkin salah satu dari merekalah wujudmu yang sebenarnya. Namun sial, aku tak begitu cerdik untuk menjadi detektif. Bahkan, aku pernah menebak, kau adalah sahabat terbaikku. Tapi mana mungkin ? Dia sudah menikah setahun lalu. Memiliki dua orang anak yang begitu menggemaskan. Padahal, kurang ajarnya aku berharap, kau adalah sosoknya. Aku tidak tahu harus bercerita ke siapa, namun aku ingat, aku memilikimu.

(3)
Kau jangan marah ya, kalau aku pernah begitu mencintai sahabat terbaikku. Entah mengapa, ia adalah satu-satunya kandidat yang tersedia. Semua nama wanita dalam list yang ku buat telah ku coret, namun tidak dengan namanya. Tanganku tertahan untuk menempelkan ujung spidol itu di lima huruf yang membentuk namanya. Kau memang benar-benar menyebalkan. Tak ada satu kode pun yang kau berikan untukku. Aku tidak punya sihir yang hanya dengan melihat isi pesan singkatmu, lalu paham siapa dirimu. Aku pun tak mengerti, mengapa aku merasa kau adalah sahabatku.

(4)
Bukan. Aku salah. Kau bukan sahabatku. Siapa dirimu ?

(5)
Dari dua ratus empat puluh jumat yang terlewati. Ada lima belas jumat yang ku tanggalkan. Ya, aku absen salat jumat. Maafkan aku.

(6)
Kau tahu ? Banyak sekali hal yang ingin ku bagi denganmu. Aku memilih menyendiri, menunggumu benar-benar datang menemuiku. Mungkin aku telah buta. Buta akan cinta tak bertuan ini. Setiap aku berusaha dekat dengan seorang wanita, entah mengapa, aku merasa telah mengkhianatimu. Aku takut melukai hatimu. Atau, aku takut melukai diriku sendiri. Entah. Aku tak dapat menyimpulkan.

(7)
Jika di uraikan satu per satu dari tumpukkan nama di hatiku, kau memang tidak ada disana. Karena kau tak bernama. Namun, dapat ku pastikan, kau akan menemukan ruang kosong di tumpukkan terbawah. Palung hatiku. Itulah tempatmu. Disanalah aku menyematkanmu.

(8)
Nothing. Tidak ada apapun yang mengingatkanku padamu, memang. Baik benda. Cuaca. Atau makanan dan minuman. Tapi aku lupa, ada jumat dalam tujuh hari yang tersedia. Kau berbeda. Jika kebanyakan rasa rindu hadir saat gerimis turun. Aku tidak perlu gerimis untuk merindukanmu. Jika bayangan seseorang mendadak hadir dalam sesapan kopi, aku pun tak perlu merasakan hal itu. Kau tak perlu itu semua untuk sekadar di ingat. Kau punya jumat. Jumat tak akan pernah enyah, bukan ? Jumat akan selalu datang sepekan sekali. Dan aku tak akan pernah bisa lari darimu.

(9)
Selamanya. Aku tak berniat mengganti dua belas digit angka milikku. Satu-satunya jembatan kau untuk menghubungiku. Zaman memang telah canggih. Aku bisa menemukanmu dengan melacak dua belas digit angka milikmu. Tapi untuk apa ? Aku malah takut. Takut kalau kau akan terusik, lalu menjauh dariku. Dan, jumat tak lagi ku rindukan.

(10)
Aku memang ingin tahu siapa dirimu sebenarnya, dulu. Karena semakin tinggi tumpukkan jumat, aku sadar, aku tak ingin lagi tahu seperti apa dirimu. Siapa sosokmu. Aku mencintaimu, hanya itu yang ku tahu.

(11)
Gadis itu belum lama ku kenal, kau masih yang terlama setelah sahabat baikku. Tujuh bulan aku mengenalnya. Dia begitu sederhana. Dan dia satu-satunya wanita yang tersenyum dengan kedua mata merona ketika aku memperkenalkanmu. Bahkan, senyum sahabat terbaikku pun kalah tulusnya dengan senyuman miliknya, saat aku bercerita tentangmu. Tidak seperti wanita-wanita sebelumnya, mereka akan menganggapku sinting, lalu memberiku banyak akal bulus untuk membunuhmu.

(12)
‘kamu beruntung, karena ada seseorang yang begitu dalam mencintaimu’ katanya pada satu malam. Saat ia menemaniku melukis di bibir pantai ‘bagaimana kamu tahu, kalau dia mencintaiku ?’ aku tertarik dengan kalimatnya yang meyakinkan. ‘bagaimana kamu tidak merasakannya ? lima tahun, tak ada jumat yang terlewatkan. Jumat siang, jumat untuk mengingatkanmu. Mengingatkanmu untuk meninggalkan dunia, menghadap Tuhan. Kau di minta olehnya untuk mengingat Sang pemilik cinta. Apa itu kurang dari cukup menjelaskan, kalau si pengirim pesan itu mencintaimu ?’ aku terdiam beberapa detik, lalu mengangkat bahu. Ia tersenyum, aku begitu menyukai senyuman itu ‘seseorang yang mencintai kita, akan selalu mengingatkan bahwa ada cinta yang lebih besar dari cintanya. Cinta Tuhan’. Begitu kalimatnya.

(13)
Kehadirannya, membuatmu tak lagi sepenuhnya memiliki dua puluh empat jam waktuku. Ia pun merindukan jumat. Merindukanku bercerita tentangmu. Tidak banyak memang. Hanya sebuah laporan, kau masih mengirimiku pesan. Sebatas itu.

(14)
Aku telah menemukannya. Seorang wanita yang menerimaku. Juga menerima keberadaanmu.

(15)
‘aku tak pernah merasa terkhianati, kau mencintaiku, itu yang ku rasakan. Dan tentang jumat, kau tak perlu membunuhnya, karena darinya aku paham, mencintai adalah tentang mengingatkan.’

Seratus dua puluh menit sudah ku pakai di hari jumat ini. Aku mengeluarkan simcard dari benda hitam itu. Menyimpannya baik-baik dan membukanya lagi jumat depan.
“Halo, nyonya. Nadira dan Daffa terus menangis sejak tadi” aku meneguk sisa cappucinno sampai habis. Mengusap sudut mata yang sempat basah, berdiri dan bergegas menemui anak-anakku.

7 komentar:

  1. tulisan lu yang muter2

    apa kepala gua yang muter-muter yaah.
    maklum kerja dari jam 8 pagi.
    dan baru kelar hampir jam 9 malem
    *curhat*

    BalasHapus
    Balasan
    1. baca ulang !

      gue pake alur maju-mundur-maju. (gak pake cantiiiik ya :D)

      kalo belum nyampe 'isi'nya, berarti ada yang salah sama tulisan gue.

      Hapus
  2. agak kurang ngerti nii ay, hehe
    kynya cwe yg setiap jumat sms dan mengingatkan dia untuk slt jumat
    itu sahabatnya sndri yg udh nikah dan punya 2 org anak.
    bner ga nii..hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. naaaah, tepat !

      aaaaah~ senangnya, bisa sampai ke pembaca isi ceritanya.

      dan senangnya .. .. di buka, berhenti sejenak buat baca, kemudian di komen.

      banyak terimakasih *hug*

      Hapus
    2. dibaca 2x ay baru gw ngerti. ahaha

      ditunggu tulisan berikutnya ^___^

      Hapus
    3. gituh yah ?
      hihihiii ..

      iyah, ini cerita tentang jatuh cinta diam diam.

      waaah .. jadi semangat nulis ;))))

      Hapus
  3. udah sekian jum'at

    belom nambah-nambah~

    BalasHapus