Jumat, 19 Desember 2014

MATARMAJA

Seseorang berkata kepadaku ‘jika kau mencintainya, lepaskanlah !’ ketika aku sedang merasa bahwa cinta yang selama ini ku pertahankan tak akan pernah menjadi nyata. Aku menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan, rasanya, baru saja aku merasakan hatiku di cabut. Bagaimana tidak, aku diminta untuk melepaskan apa yang selama ini ku pertahankan.

Laki-laki itu datang tanpa membiarkanku menunggu. Bagai halilintar yang menggemparkan bagian paling sensitif di dalam tubuhku. Hatiku telah terkena virus yang ku rasa tak akan pernah ada penawarnya. Lancang rasanya, hati ini memang tak sedang tercebur, namun ia lebih memilih untuk tenggelam, menenggelamkan diri untuk menikmati bawah sadar satu perasaan berlabel ‘cinta’.

“Gerbong 3, 9A ?” sapanya, dan untuk pertama kali aku mendengar suaranya. Aku mengangguk, lantas bergeser posisi. Ia melepaskan ransel yang ada di punggungnya, meletakkannya di tempat penyimpanan barang. Lalu duduk di sebelahku.
Beberapa jam kita sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku yang sedang membaca sastra dan ia yang sedang bersemangat menatap layar ponselnya. Bermain game.
“Aaaargh, sial !” gumamnya sambil membuka kupluk yang di pakainya. Aku spontan menoleh, dan kedua pasang mata kami bertemu, seulas senyum mengembang di wajahnya yang tak bersih, ya, ada bulu-bulu tipis di sekitar mulut dan dagunya. “Maaf, ganggu, ya ?” aku menggeleng sopan, mencoba tak peduli. Tapi, hey, ada apa dengan detak jantungku. Aku menelan ludah dengan susah payah, berusaha untuk tetap tenang. Lihatlah ! setelah senyum yang nyaris membuatku mati membeku, saat ini ia sedang terlelap dengan sepasang earphone di telinganya. Rasanya belum lima menit setelah ucapan maaf yang di lontarkannya, lalu, dengan cepatnya ia terlelap. Aku menutup buku karya Pramoedya yang sejak tadi ku baca. Sepasang lansia yang duduk berhadapan denganku pun tengah terlelap. Aku melirik arloji yang terpasang di pergelangan tanganku, ya, jam sebelas malam. Matarmaja terus melaju dengan bising mesin yang mengiringnya. Aku tak tahan jika tak menoleh ke sebelah kiriku, laki-laki itu tidur dengan kedua mata yang tak sempurna pejamannya. Wajahnya terlihat begitu lelah, ia memiliki hidung yang tinggi, alis yang tebal dan rambut yang lurus sedikit gondrong. Kedua tangannya terlipat dan di letakkanya tepat di atas dadanya yang bidang. Sweater biru dongker yang di kenakannya di biarkannya terbuka. Aku mendecakkan lidah satu kali, mengembuskan napas, lalu menarik tatapanku. Aku menyandarkan kepalaku ke penyangga kursi, menatap kosong langit-langit gerbong. Memejamkan mata adalah hal terbaik saat ini. Tapi, belum rapat pejaman kedua mataku, sesuatu yang jatuh di bahu kiriku membuat pejaman itu kembali terbuka. Ya Tuhan, kepala laki-laki itu mendarat tepat di atas bahuku. Tidak. Tidak. Aku tak akan membangunkannya, tidak akan mengubah posisinya, ataupun menggeser posisi dudukku. Akan kubiarkan ia terlelap di atas bahuku, entah mengapa aku menyukai posisi seperti ini.
Sayup-sayup pandanganku mulai jelas. Aku menegakkan tubuhku yang terasa lebih baik. Dan, kemana laki-laki itu ?
“udah sampe mana ya, nek ?” tanyaku kepada nenek yang sedang menikmat nasi pecal “Madiun, nak” aku mengangguk sambil mengucapkan terimakasih, ucapan yang disambut dengan tawaran hidangan yang sedang di makannya. Sekali lagi aku mengangguk, tersenyum dan kembali mengatakan terimakasih.
“Hey, udah bangun ?” syukurlah. Ada perasaan lega saat aku mendengar suara tersebut. Tunggu ! Tunggu ! Apa maksudnya ? Kenapa aku begitu senang melihatnya berdiri di hadapanku.
“Ini, buat kamu” ia menyodorkan teh hangat dalam gelas plastik “buat aku ?” ia mengangguk “ini punyaku, dan ini buat kamu” kalimatnya menegaskan, tanpa menunggu perintah, tanganku menerima pemberiannya.
“Mau kemana ?” tanyanya, ya, aku percaya, dalam perjalanan tak akan pernah ada kesendirian, akan selalu ada cerita bahkan dari obrolan-obrolan sederhana.
“Malang”
“Sama. Aku juga, mau ke Bromo” aku mengangguk “Kamu ?” tambahnya.
“Ke tempat teman. Ada urusan” ia mengangguk-angguk, rambut gondrongnya di ikat asal.
“Kamu sendirian ke Bromo ?” sejujurnya ingin ku sudahi obrolan tersebut, karena dengarlah, jantungku sedang berdendang begitu nyaring. Ia menatapku sebentar, lalu tertawa kecil “Dari Jakarta sendiri, tapi disana ada barengannya. Mau sekalian ke Semeru”
“Oh, pendaki” tebakku, namun ia menggeleng dengan senyum penuh makna “hanya seorang pejalan” jelasnya merendah. Aku terdiam mendengar jawabannya.
“Udah berapa gunung yang kamu taklukin ?” ia tertawa, aku senang melihatnya tertawa “bukan menaklukkannya, justeru ketika aku sedang mendaki, sejatinya, aku sedang berusaha untuk menakklukan diriku sendiri” aku benci dengan diriku, hey lidah, kenapa kau terus saja mengeluarkan kata-kata yang bodoh ! “saat kita ada di puncak tertinggi, hanya ada satu hal yang harus kita lakukan”
“Apa ?” aku tak sabar untuk tidak bertanya, karena ia menjeda kalimatnya, ia menoleh ke arahku, bola mata kami kembali bertemu “menunduk” jawabnya pasti. Jawaban yang membuatku tidak punya alasan untuk tidak tersenyum.
“Aku boleh jujur tentang satu hal ?” aku memiringkan kepala dengan kedua alis berkerut saat mendengar ucapannya “Apa ?” tanyaku penasaran.
“Aku senang melihatmu tersenyum”
Kita membicarakan banyak hal. Tapi satu yang ku lupakan, kita tak saling kenal. Bahkan, kita lupa berjabat tangan untuk sekadar menyebutkan nama masing-masing. Kita terlalu asyik melebur, menikmati setiap ucapan yang terlontar. Saat itulah aku yakin, rasa nyaman selalu bisa di dapati dimana dan dari siapapun. Bahkan orang asing yang baru beberapa jam di temui, di dalam gerbong matarmaja.

“Begitu senang bertemu denganmu, aku hanyalah seorang pejalan yang tak pernah memutuskan untuk berhenti. Aku tak ingin memintamu untuk menunggu akan sebuah pertemuan selanjutnya, tapi aku percaya, kalau Tuhan tak akan pernah merasa keberatan untuk menjadi perantara. Hati-hati”
Itu kalimat yang di ucapkannya di stasiun Malang. Aku tak merasa bahwa pertemuan itu telah berakhir, sebaliknya, aku beranggapan kalau kisah tersebut baru di mulai.

Tiga tahun telah berlalu dari gerbong 3, kursi bernomor 9 matarmaja. Kebodohan bagi logika masih ku pertahankan. Aku telah menjatuhkan hati kepada orang asing. Aku nyaris gila menahan jutaan rindu yang tak bertuan. Dia adalah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan. Sebuah bayangan yang selalu kuhidupkan.

“Zaman udah canggih, coba lo cari di google. Pesbuk. Twitter. Path. Instagram. Atau apalah” seorang teman menyarankan dengan nada suara yang menggebu. Aku menggeleng lemah, sadar, tidak ada satu hal pun yang dapat di jadikan kata kunci.
“Lo enggak tahu namanya ?” aku mengangguk “Oh my God .. .. terus alasan apa yang buat lo bertahan selama ini ? Tiga tahun ! Dan brengseknya, gue baru tahu” temanku menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti orang yang sedang frustasi.
“Dia bilang, Tuhan enggak pernah keberatan buat jadi perantara” temanku menatapku dengan mulut terganga saat mendengar kalimatku “Gila ! Lo sakit nih, jadi, Ya Tuhan .. selama ini, setiap minggu lo naik matarmaja cuma berharap untuk ketemu sama orang asing itu. Iya, kan ?”
“Saat lo jatuh cinta, lo enggak akan sadar berapa jumlahnya kebodohan yang lo lakuin. Saat lo benar-benar jatuh cinta, lo lupa apa itu malu, apa itu takut dan apa itu tidak mungkin” kalimat itu meluncur dengan lancar dari bibir tipisku.
“Tapi seenggaknya, gue, maksud gue lo, gue enggak tahu mau ngomong apa. Gue cuma, gue, maksudnya, gue enggak mau lo menunggu hal yang sia-sia” aku melihat ketulusan penuh pengertian di dalam mata temanku. “Enggak ada yang sia-sia, gue menunggu dengan cara terbaik yang gue lakuin, menunggu tanpa mengganggu segala kegiatan gue. Perasaan ini tercipta atas izin-Nya, hati gue atau hati dia ada di dalam genggaman-Nya. Dan saat gue angkat tangan nanti, biar Tuhan yang turun tangan” temanku menatapku dengan sudut-sudut mata yang basah, ia tak berkata apapun, untuk beberapa menit café yang sedang kami kunjungi terasa sunyi. Temanku mendekapku erat, aku dapat mendengar embusan napasnya “gue kagum sama lo” bisiknya setelah mampu mengendalikan dirinya.
Temanku menarik tubuhnya, gadis berambut lurus sebahu itu menatapku lamat-lamat, telapak tangannya mengenggam erat penggung telapak tanganku, sepenuh hati ia berkata “Tapi kalau boleh gue menyarankan, kalau lo benar-benar mencintainya, lepaskanlah ! Lepaskanlah !” seperti terhipnotis, aku membeku, telingaku hanya mampu mendengar degup jantung yang menggedor ingin keluar dari tempatnya, hatiku tersayat, tenggorokkanku tercekat. Ya, aku hanya sedang menunggu seseorang yang mengingatkanku bahwa hakekat cinta yang sebenarnya adalah tentang bagaimana kita mampu untuk melepaskan. “Kalau kalian jodoh, alam semesta ini akan di gerakkan oleh-Nya untuk menyatukan kalian. Dan gue akan jadi orang nomor satu yang memberikan ucapan selamat, lantas mengakui kalau tidak ada ketidakmungkinan dalam cinta. Sekarang, lo pakai apapun segala cara berharap kalian kembali bertemu, gue rasa itu bukan cinta, tapi ambisi. Lepaskanlah, maka lo akan ngerti. Gue enggak ragu sama cinta lo” aku menarik telapak tangan yang sedang di genggamnya, menjadikannya penutup untuk wajah yang telah mencairkan kebekuan. Kedua bahuku naik turun mengiringi isakkan yang terdengar begitu menyedihkan, bahkan di telingaku sendiri. Untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar lemah. Untuk pertama kalinya tampungan air yang selama tiga tahun ini tertahan di kelopak mataku mengalir dengan begitu derasnya. Aku merasakan lingkaran tangan yang menghangatkan mendarat di sisi-sisi bahuku. Aku mengangguk “Gue mengerti” lirihku.

Ya. Selama ini, aku hanya bersembunyi dalam bayang-bayang kekuatan berlabel cinta, karena sesungguhnya, aku hanya seorang wanita rapuh yang sedang jatuh cinta. Wanita rapuh, yang belajar untuk menjadi tegar dalam sebuah harapan.
Ini kali terakhir aku mencoba, sebelum memutuskan untuk angkat tangan. Aku telah memilih untuk melepaskan. Aku memperhatikan manusia-manusia yang berseliweran di stasiun pasar senen dari balik jendela matarmaja. Jumat sore stasiun besar ini selalu rame.

“Permisi, gerbong 3, 9A ?” aku menoleh dengan tatapan tak percaya, tubuhku membeku dengan gumpalan yang membuat tenggorokkanku tercekat.

4 komentar:

  1. “Enggak ada yang sia-sia, gue menunggu dengan cara terbaik yang gue lakuin, menunggu tanpa mengganggu segala kegiatan gue. Perasaan ini tercipta atas izin-Nya, hati gue atau hati dia ada di dalam genggaman-Nya. Dan saat gue angkat tangan nanti, biar Tuhan yang turun tangan”



    seeedeep beeneer iniihh

    BalasHapus
  2. Comment apa ya?
    Campur aduk gini sih hehehe

    BalasHapus
  3. mana yang baru.

    mana cerita yang baru

    mana tulisan yang baru

    BalasHapus