Selasa, 04 November 2014

Pernah ada

Bedanya, dulu kita begitu lepas untuk sekadar tertawa bersama, pun bercerita. Tapi sekarang untuk bertegur sapa saja seperti ada rasa sungkan.
Jujur, sebulir air menetes dari sudut mata saya ketika membaca personal messenger yang ada di dalam contact aplikasi android milik saya. Salah seorang teman menuliskan dua kalimat tersebut. Tak peduli kalimat itu di peruntukkan untuk saya ataupun tidak, saya tak memikirkan hal itu. Namun, sepercik kerinduan melesat tak terelakkan. Ingatan saya menyusup, memaksa untuk memutar mundur canda tawa ataupun duka lebay di masa lalu. Masa dimana semua selalu baik-baik saja, masa dimana kecanggungan tak perlu berperan sebagai pembatas, masa dimana waktu selalu tak pernah habis untuk di lewati bersama.

Dan semua terasa, saya sedang merindu.

Hal-hal ajaib yang tak pernah berlabel dosa dalam kenangan putih merah, putih biru ataupun putih abu-abu sudah berlalu. Ya, seperti yang di katakan teman saya tersebut, pada akhirnya kita akan sibuk sama dunia masing-masing. Waktu tak lagi berpihak pada kebersamaan beridentitas ‘sahabat’, ada potongan-potongan penting yang menjeda, seorang pendamping, tumpukkan pekerjaan, hobi, atau bahkan sebuah keegoisan yang bersembunyi di balik rasa gengsi. Lalu, siapa yang harus di salahkan ?

Sejenak, saya ingin menuruti ingatan saya, menonton cerita yang dulu tidak pernah saya pikirkan akan menjadi kenangan.

Di balut seragam putih abu-abu tawa itu membahana, membuat siapa saja yang mendengarnya akan merasa iri dengan kebahagiaan itu. Bernyanyi sambil di rekam, lalu di dengarkan bersama. Melakukan obrolan panjang dalam konteks satu rupiah sepuasnya di atas jam dua belas malam, membicarakan apa saja, ya, apa saja. Obrolan yang berdampak ngantuk berat ke esokkan harinya di kelas. Paling anti kembali ke rumah lepas bel pulang berbunyi, minimal dua sampai tiga jam nongkrong bareng, dimana ? Dimana saja. Hangout di mall dengan budget pas-pasan, nonton bareng di hari senin karena pada hari itu di zaman itu ada tiket nomat (nonton hemat). Memilih di jemur di lapangan pada senin pagi daripada harus mengikuti upacara dan mendengarkan amanat dari sang Pembina. Rame-rame bergenit ria menggoda lawan jenis yang sendirian di dalam angkot. Mengacak sembarang angka membentuk sebuah nomor telepon, lalu nyambung entah ke siapa, menjalin blindsms (smsbuta), ya, karena pada saat itu sosmed tak secanggih sekarang. Menjadi pencerita dan pendengar yang baik untuk mereka yang punya masalah dalam percintaannya, lalu berkata “Mana orangnya. Berani-beraninya bikin sahabat gue nangis. Awas aja, nanti gue bunuh” tapi akhirnya bukan di bunuh malah di pacarin #Eeeh. Menghabiskan malam bersama menonton dvd sambil berjejer di atas kasur. Menghalalkan batal puasa asalkan berjamaah ketika sekolah masuk.

Semua pernah ada. Karena masa itu begitu indah, terukir dalam kenangan.

Bertahun setelahnya, jangankan untuk melakukan rangkaian hal seperti pada saat itu, sekadar untuk menyapa pun hadir sebuah keengganan. Lalu siapa yang harus di salahkan ?










Sebentar saja, ambil ponselmu, ketik beberapa kata atau kalimat, lalu kirimkan ke mereka yang pernah ada dalam cerita-cerita indahmu. Setidaknya, di waktu bersamaan, ingatan kalian akan berputar mundur, memasuki mesin waktu masa lalu, walau kalian tidak sedang berada di satu tempat yang sama, tapi cerita itu pernah ada, cerita yang menjadi jembatan untuk saling menyadari, kalian sedang merindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar