Senin, 27 Oktober 2014

Malam minggu yang beruntung

Malam itu mereka memang sedang tidak ada di hotel berbintang lima, enam atau sepuluh. Dua anak manusia yang memisahkan diri dari rombongannya itu duduk di puncak gunung dengan kilauan bintang yang tak terhitung jumlahnya, lebih indah dari hotel berbintang yang berupiah tinggi.
“Gue selalu senang kalau nanjak sama lo” si laki-laki bertubuh kurus tiba-tiba mengeluarkan kalimat tersebut di sela obrolan mereka, kalimat yang membuat gadis berjilbab di sebelahnya terdiam dalam sesak.

“Kita di pertemukan dalam tumpukkan kerikil yang harus di lewati dengan hati-hati. Lalu tersenyum bersama di atas puncak ketika menyapa semburat orange dalam ucapan terima kasih. Gue pikir, pertemuan itu hanya akan terjadi satu kali” laki-laki itu menjeda kalimatnya, sementara gadis yang sudah menutup rapat kepalanya dengan kupluk jaket masih diam mendengarkan.
“Ternyata alam mendengarkan panggilan lembut hati gue, kita kembali di pertemukan dalam kondisi yang sama, menggendong cariel, memakai setelan celana parasit dan kemeja kotak-kotak, saat itu gue paham, ini yang dinamakan skenario Tuhan, bukan kebetulan. Dan kali ini, pertemuan ini adalah pertemuan ketiga yang memang kita rencanakan” hawa dingin tak bisa lagi bernego, dua anak manusia itu mengembuskan napas berkali-kali, embusan yang mengeluarkan asap. Laki-laki itu bangkit dari duduknya, melangkah beberapa centimeter dari kediamannya. Gadis itu masih di tempatnya, duduk dengan gejolak hati yang ingin membuncahkan tumpukkan pertanyaan. Laki-laki itu membalikkan tubuhnya dalam gerakkan cepat.
Will you marry me ?” ucap laki-laki itu dengan bibir yang tergetar karena kedinginan, ia menjatuhkan tubuhnya, berlutut sambil menyodorkan sebuah cincin yang di selipkannya di dalam kotak berbentuk bintang.  Tak ada jawaban yang terdengar di telinga laki-laki itu, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut gadis itu selain isak tangis yang mulai menyusup ke gendang telinganya sendiri.
*
Ya, gadis itu bukan gue, dan itu bukan kisah gue. Mungkin, entah di malam minggu yang mana, ada sepasang anak manusia yang sedang mengalami kisah tersebut. Entahlah !
Sabtu sore gue duduk di bangku tukang bakso malang, bersama dua teman gue, menikmati semangkok bakso dengan harga lima belas ribu rupiah. Menjelang maghrib, tiga gadis yang abis makan bakso malang itu berlalu menuju masjid. Bersiap milah milih sandal yang lumayan buat di jual. Gue masuk ke masjid (gue lupa nama masjidnya), pokoknya masjid yang kurang lebih 150 meter dari gate 10 GBK. Iya, GeloraBungKarno men .. gue malam mingguan di GBK, gahol banget gak tuh ?
Asli. Jamaah di masjid itu membludak, ya, bukan karena ada gue, melainkan ditengah lapangan GBK berdiri sebuah panggung yang akan di isi oleh beberapa orang 'hebat'. Bukan, mereka bukan artis papan atas, ataupun pejabat negara. Mereka manusia-manusia terpilih yang akan membuat banyak orang hanyut dalam kesyahduan. Ya, karena acara tersebut, masjid bercat kuning hijau disana terisi penuh. Berada disana, di barisan orang-orang yang mau mengambil air wudhu membuat gue dilema. Pertama, gue bahagia, kagum dengan remaja dan anak-anak yang ikut baris bareng gue, gadis-gadis berhijab dengan wajah bercahaya, subhanallah, betapa banyak yang mencintai-Mu ya Rabb. Saat itu gue merasa sangat kecil, Allah memang bukan milik gue seorang, tapi seenggaknya gue sadar, gue dan semuanya adalah milik Allah, milik-Nya yang tak pernah sedetik pun terabaikan. Dilema kedua gue, gue nyaris mati, insyaAllah syahid berada di dalam barisan itu. Gimana enggak, tempat wudhu bagi kaum hawa berada di petak yang enggak luas dengan keadaan tertutup, sama sekali enggak ada udara. Gue wudhu dengan napas terengah-engah, lalu keluar sambil berkata "gue enggak lagi di surga, kan ?".
Malam menyapa sepeninggal maghrib. Dua teman gue yang udah lebih dulu duduk kece di teras masjid menunggu dengan baskom aluminium penuh recehan.
"sumpah, gue masih hidup, kan ?" histeris gue sok dramatis yang langsung di sambit dengan sepatu selop yang gue titipkan ke mereka.
Kita bertiga melangkah sejajar, menuju acara yang setahun lalu sukses ngebuat gue ngabisin tissue orang. Kita baris di depan pintu masuk gedung yang penuh jiwa penyemangat itu, satu teman gue memisahkan diri, dia menunggu dua temannya yang lagi salat. Oke. Gue masuk bersama teman gue yang tersisa. memilih sektor 17 dan langsung mencari tempat duduk yang kosong. Dapet !
Acara di mulai. Pembukaan dengan salam, lalu di lanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia raya dalam kondisi seluruh orang yang ada disana berdiri. Enggak. Gue belum nemu 'feel' nya nih acara. Selepas menyanyikan lagu kebangsaan, gue kembali duduk. Duduk di tengah-tengah rombongan anak-anak kecil berpakaian muslim kuning kunyit, mereka unyu, tapi momentnya enggak pas. Lagi ada yang sambutan di atas panggung, para bocah unyu itu nyanyi dangdut sakitnya tuh disini. Kan, pas pembacaan Alfatihah, gue jadi ngaco .. bukannya aamiin malah sakiiiiit.
"Ya, kayaknya kita harus pindah, deh" usul Putri (temen senasib gue)
"mau kemana ? males, ah"
"Gue enggak bisa dengar apa-apa, Ya" ucapnya dengan nada menyedihkan sambil melirik ke kanan, ke sekumpulan anak yang sedang nyanyi 'akulah srigala .. ..' itu soundtraknya GGS. Gue nyengir geli, wajah Putri memelas minta tolong, kesal bercampur geli.
"Sebentar lagi juga sepi, itu anak-anak juga pada tidur nanti"
Putri diam.
Bocah-bocah itu masih konser, malah lebih heboh pas lagi-lagi nyanyi 'sakitnya tuh disini'. Gue dan Putri saling pandang, lalu tawa kami meledak.
"Oke. Oke. Kita keluar, pindah" gue ngeri kalau Putri ikutan konser bareng bocah-bocah itu. Lagi pula, acara sudah setengah berlangsung, dan yang bisa gue cerna dengan baik cuma suara takbir yang di kumandangkan bersama ketika seseorang memerintahkan.
Kita berdua terbebas dari konser anak-anak di bawah umur itu. Melangkah turun menuju toilet, lalu kembali naik, memilih sektor yang kita lihat dari kejauhan terlihat kosong dan tepat menghadap panggung.
"Sektor 20, Ya"
"22"
"Dimana ajalah, yang penting terbebas dari anak-anak tadi"
"Gue pengin duduk yang di jajaran atas, tapi lewat mana, Put ?"
"Coba tanya petugas"
"Tadi gue udah nanya toilet, lo, sekarang yang nanya"
Lazimnya, lempar-lemparan untuk mencari informasi sering terjadi di anatara gue dan Putri.
Adil. Untuk posisi duduk tersebut, Putri yang bertanya "Mba keluar dulu, terus masuk lagi lewat pinggir. Disana ada tangga" setelah mengucapkan terimakasih pada petugas yang menjelaskan, kita berdua melangkah penuh semangat. Yes. Bakalan dapat posisi yang 'pas'.
Jreeeeeeng.
"tangganya banyak banget, Ya"
"Lah iya .. ada lagi, ada lagi"
"Gua paham, kenapa di sektor jejeran atas kosong. Capek banget gue, Ya"
"Sama"
kita berdua ngos-ngosan naik anak tangga yang entah berapa banyak jumlahnya. Meeeeen, kita pake gamis dan hijab tertutup, naik tangga sebanyak itu di dalam gedung yang panas. Silakan bayangkan.
"Sampe, Put"
"Iya, Aya"
"Mau duduk dimana ?"
"Terserah lo"
Oke. Kita memilih barisan ke lima dari atas kalau enggak salah, pokoknya yang gue ingat, di barisan belakang gue hanya terisi beberapa orang. Sepi. Gue mengatur napas baik-baik. Mengusap keringat dingin yang bercucuran. Meneguk sebotol air mineral.
"Selalu begini, Put. Dalam perjalanan gue, gue itu enggak diperbolehkan, berangkat dari rumah dengan cantik, lalu sampai di tempat tujuan, dan pulang dengan kece. Enggak pernah. Ada aja, ceritanya. Tapi well, kalo kita bertahan di tempat tadi, pertama kita akan tetap nahan kencing, kedua pasti kita gak dapat 'feel' acara ini, ketiga gue bakalan split di lapangan."
"Iya, Ya. Kita dapat posisi yang pas banget" Kalimat bahagia Putri yang terbebas.
Di sisi lapangan hijau itu rombongan pawai anak-anak penghapal qur'an dari berbagai penjuru kota terlihat bersemangat, mereka membawa spanduk-spanduk bertuliskan macam-macam kalimat. Ya, ini acara #wisudaakbar5 yang di adakan oleh PPPA Darul Quran, acara yang dipelopori oleh ustad Yusuf Mansur. Acara yang menjadi candu buat hati gue.
Rombongan anak-anak itu berlalu, bergantikan senandung lembut yang membuat hati terenyuh.
"Ada Opick, Ya"
"Asli. Gue enggak tau kalau bintang tamunya Opick"
"Tahun lalu siapa ?"
"Enggak ada"
Suara merdu itu mengalunkan lagu Astagfirullah, Bila waktu, dan Alhamdulillah. Semua yang ada di sana hanyut dengan linangan air mata ketika nada Bila waktu terdengar menggelegar.
Malam semakin larut, jam 10, beberapa barisan yang gue dan Putri mengendap di dalamnya telah kosong, rombongan yang gue tau dari Pelabuhan ratu, Sukabumi berlalu selepas Opick tampil. Tinggalah gue dan Putri di bangku kayu panjang itu.
"Eh, Ya. Liat ke sektor 17 deh, kosong. anak-anak tadi pasti udah pada pulang"
"Masih aja. Kangen tuuuh"

Acara berlanjut dengan berdirinya manusia-manusia 'hebat' yang gue jelaskan di atas. Beliau membacakan ayat-ayat suci yang gue yakin, siapapun yang mendengarnya akan merasakan rindu dalam hati, juga getar dalam jiwa.
Gue beruntung berada disana, malam minggu itu.
Lampu-lampu itu selalu menarik buat gue
"Udah enggak ada angkot, Ya"
"Iya. Kita tunggu sampe jam 12, kalo enggak ada kita naik taksi aja"
"Lo bawa duit banyak, kan ?"
"Hellooo, ini tanggal tua. Itu, duit gue tinggal empat puluh lima ribu, gocapan yang barusan buat beli minum"
Tik. Tok. Tik.Tok.
Sedan putih bertuliskan taksi di atas bodynya melesat pelan menyisir ibukota, di dalamnya terlihat dua gadis yang duduk di bangku penumpang, dua gadis yang sesekali menatap kedepan (ngeliatin argo) lalu melirik saling pandang.

2 komentar:

  1. Balasan
    1. kurang dari cepe diatas sembilan puluh (udah termasuk tol) nyesss di tanggal yang masih seminggu lagi gajian .. *nyeruput kuah indomie*

      Hapus