Minggu, 28 Juli 2013

Don’t see people just by cover !


20 Juli 2013,

Yes. Tag line yang cukup familiar. Jangan melihat seseorang dari luarnya saja.
Gue punya beberapa pengalaman dari ‘pepatah, penyataan, atau ungkapan, whatever-lah masuk kemana kalimat tersebut’.

Dulu, waktu gue masih kerja di Sanyo Jaya Components Indonesia, yang sering disebut dengan Sanyo Gobel, gue ada dibagian spare, nama lain dari asisten leader. Pembantu-lah pengertian sebenarnya. Gimana enggak, gue adalah orang yang harus manut ketika disuruh ini-itu oleh mbak-mbak operator yang duduk manis di hadapan mesinnya masing-masing.

“Gantiin gue dong ! Gue mau kencing nih.” Gue manut, langsung duduk diposisi orang yang berkata seperti itu.

“Marker aku udah enggak nyata nih, abis kayaknya.” Gue akan dengan cepat mengganti marker lama itu dengan yang baru, enggak langsung gue tuker gitu ajah. Gue harus ke ruangan material, mengisi form permintaan barang lalu mengambil barang yang diinginkan, baru gue kasih ke si pemintanya.

Dua kejadian diatas cuma contoh simplenya dari gambaran seorang asisten leader di PT Sanyo Gobel, tempat awal gue kerja. Gue enggak akan bahas panjang lebar karna gue enggak lagi bahas soal pekerjaan.

Gue yang seorang spare juga punya tanggung jawab untuk mengajari anak baru. Waktu itu ada Ari, seorang cewek kampung yang baru lulus dan masuk ke pabrik tersebut. Ari training di line gue, di posisi skew untuk menggantikan Ely, operator yang habis kontrak. Ari ini cukup dekat sama gue, kepribadian yang polos banget dan rada ‘oon’ sering kali bikin gue dan mbak-mbak lainnya tertawa.

Suatu ketika, Ari sudah menempati posisinya, menjadi operator skew dibagian adjusting. Nah, selain Ely ada juga salah satu mbak-mbak yang habis kontrak, mbak Jayanti namanya. Kita, karyawan lama yang tersisa mau ngadain acara kumpul bareng, biasa kebiasaan mbak-mbak pabrik kalo habis gajian itu, merapat dikontrakkan salah satu dari mereka untuk ngerujak atau sekedar makan mie ayam bakso. Ya, hal yang sederhana tapi cukup menyenangkan. Gue pun hadir ditengah-tengah mereka.

Ketika kita semuasatu line sekitar lima belasan orang sudah berkumpul dirumah mbak Jayanti, ngerujak. Tiba-tiba Ari bertanya dengan tampang polosnya “Eh .. Mba Nur mana ? Enggak datang apah ?”
Jleb.
Semua terdiam. Gue, yang duduk persis disebelah dia pun terdiam. Nur itu nama panggilan dia buat gue.
“Lah itu Nur di sebelah lo.” Mbak Jayanti menyadarkan keterdiaman kita.

Ari pun menoleh ke arah gue yang duduk tepat di sebelahnya, gue tersenyum dan berharap dengan senyuman ini dia bisa ingat gue. Ari dengan tampang polosnya memandangi gue yang mengenakan kaos ketat bertuliskan ILOVEU dengan bawahan jeans hitam. Rambut sepundak gue, gue biarkan tergerai.

“Mbak Nur ?” ah syukurlah, dia inget gue. Gue pun mengangguk.
“Ohwalah .. Ta’ kira tuh mbak Nur ora kayak kuwe. Ta’ kira tuh mbak Nur kalo di luar pake bajunya panjang, pake rok panjang sama kerudung yang gede. Ternyata enggak.” Ari pun tertawa, entah apa yang ditertawakannya. Namun tertawa itu menular ke semuanya, semua pun tertawa.

Sampai saat ini, gue enggak pernah bertanya atas dasar apa dia bisa memberi gambaran seperti itu terhadap gue. Entahlah.

Ya. Selama kerja di Sanyo Gobel, gue emang mengenakan seragam berjilbab, tapi jilbab kerja biasa, gue pun hanya wanita biasa dengan kadar keimanan yang biasa saja. Mungkin.

Lupakan Sanyo Gobel. Keluar dari Sanyo Gobel, gue masuk ke PT Sanyo Electronik Indonesia. Disana ada Okta, enggak beda jauh sama Ari, dia juga cewek desa yang usianya lebih muda dari gue. Waktu itu, gue dan dia sama-sama dipindahkan ke line lama untuk menggantikan operator-operator yang habis kontrak.

Posisi kerja gue dan Okta bersebelahan. Jujur, gue enggak ingat kalo pernah bersikap sedingin itu. tapi Okta bercerita ketika kami sudah dekat. Begini ceritanya.

“Mbak Aya  inget gak waktu awal kenal. Aku tuh benci banget sama mbak.” Kata dia mengingat, kita ngobrol di sela-sela pekerjaan. Yes, everyday life.
“Emang kenapa ?” Gue enggak tau. Bener-bener enggak tau.
“Waktu kita dipindahin kesini, aku kan nanya nama mbak siapa. Terus mbak jawab, ituh baca aja di foto, mukanya ngeselin banget.” Gue ketawa, mencoba mengingat, tapi sial, enggak ada yang bisa gue ingat. Gue pun tetap diam, menyimak setiap kata yang keluar dari bibir tipis Okta.
“Udah gitu pas aku baca namanya, aku nanya lagi, panggilnya apa nih ? mbak apa nih .. ? eh mbak malah bilang, terserah. Mukanya jutek banget sumpah.”
What ? Are you sure ? Gue secuek, dingin dan jutek kayak gitu ?
“Terus aku diem ajah. Dan ternyata pas udah kenal … orangnya begini.” Okta pun tertawa tanpa menjelaskan apa arti dari kata ‘begini’ yang menggambarkan tentang gue. Ya, selama di line itu, Okta adalah teman terdekat gue.

Setahun di Sanyo Electronik Indonesia gue habis kontrak, tapi dua bulan kemudian PT tersebut memanggil gue kembali. Difficult moment, ya, ketika lo udah dibuang saat lo masih butuh, dan saat ini, lo kembali di panggil karena lo dibutuhkan. Di PHP-in sama PT, begitulah gue. Tapi gimana ? Gue butuh duit, dan kerja disana pun gue merasa senang. Gue pun balik ke PT tersebut di pertengahan tahun 2012.

Dan, don’t see people just by cover kali ini terjadi di saat ramadhan. Saat itu. line gue yang berjumlah kurang lebih tiga puluh orang ngadain acara buber (buka bersama). Kebiasaan yang sering terjadi di bulan suci ramadhan, bukan ? Ya. Acaranya di selenggarakan sepulang kerja di rumah pak Ridwan, atasan leader gue.

What’s on your mind about this ?

Gue diminta buat ngisi tausiyah. My God. Gue ? Ngisi tausiyah ? sedangkan di sisi lain ada mbak-mbak yang jauuuuuuuh lebih pantas untuk dimintai hal tersebut. Mbak Nurjanah, wanita anggun yang ada di gambaran awal Ari tentang gue. Yes, berpakaian serba tertutup. Gue agak berat, masalahnya gue sendiri enggak yakin kalo gue bisa dan gue ngeri apa yang gue sampaikan malah enggak bermanfaat. So, gue pun menolak. Tapi, pak Ridwan mencoba meyakinkan. Dan cocoknya, gue adalah orang yang selalu ingin mencoba. Sip. Gue pun meng-iya-kan tawaran tersebut.

Di tempat kerja, sebelum pulang. Mbak Tari, salah satu mbak-mbak yang satu line sama gue, nyamperin gue.
“Aya nanti ngisi tausiyah ya ?” Tanya dia yang tiba-tiba nyamperin gue. Tanggepan gue ketika mendengar pertanyaan itu adalah tawa yang meledak. Lalu dia kembali berkata “Nanti ganti baju di loker ?”
Hah ? Ganti baju ?
“Enggak mba, enggak bawa baju ganti. Pake ini ajah.” Kata gue sambil membentagkan kedua tangan, memperlihatkan baju kalong selutut yang di dalamnya gue selipkan kaos mainseat hitam dan di bungkus dengan semi jaket kerja gue. Bawahannya gue pake jeans hitam panjang.
“Pake baju ini ?” mbak Tari menegaskan. Gue kembali mengangguk.

Why ? what’s wrong with my clothes ?

Entahlah. Percakapan itu berakhir begitu saja.

Dan, don’t see people just by cover dua terakhir yang ingin gue ceritakan adalah, pertama tentang tulisan gue yang menang kompetisi #SuratUntukBung. Beberapa teman kerja gue enggak percaya. Ya, sekarang, apa salah seorang buruh pabrik bermimpi kepengin jadi penulis buku ? Hal wajar, bukan ?
Tapi mungkin, sebagian banyak dari mereka (para buruh pabrik) berpikir sempit tentang waktu. Kenapa gue bilang seperti ini ? Karena enggak sedikit dari mereka yang bertanya ke gue ‘kapan’ waktu yang lo gunain buat nulis ? 

It’s simple ya. Waktu luang selalu ada kalo kita menempatkannya, bukan sekedar menunggunya. Karena waktu luang enggak akan ada kalo sekedar di tunggu. Gue emang kuli pabrik yang kerja dua shift, shift pagi berangkat jam setengah enam pagi dan sampai di rumah jam lima sore tanpa over time (lembur) maupun macet. Kalau ditambah over time, gue sampai di rumah sekitar jam depalan malam. Begitu seterusnya. Sedangkan shift malam pun sama, berangkat setengah enam sore dan pulang sekitar jam delapan pagi sampai di rumah. Rentan waktu yang tersisa cukup untuk istirahat. Sebagian banyak mbak-mbak teman kerja gue berpikir seperti itu. But, not with me.

Selalu ada waktu buat sebuah impian. 

“Ini tulisan kamu ?” Tanya beberapa mbak-mbak ketika membaca naskah gue yang gue ikut sertakan kompetisi.
Gue hanya tersenyum sambil mengangguk pelan.

Ada hal yang membuat hati gue terasa agak nyentil tentang impian ini. Sebagian banyak dari orang-orang disekeliling gue emang meragukan mimpi gue, tapi gue enggak peduli.
Pernah, satu ketika gue lagi shift dua. Berada di dalam mobil avanza bersama buruh pabrik lainnya. Tujuh orang, delapan dengan sopir. Ada mbak Ulfa, Priska, Adit, Akim, mas Sumsang, mas Irman, gue dan sopir. Waktu itu, gue lagi minta rekaman video pendapat mereka tentang buruh, dan ketika mereka bertanya, ‘buat apa ?’ gue jawab, ‘buat koleksi, dan .. bahan penunjuang mungkin, aku nulis sebuah novel yang berisi tentang buruh pabrik. Nah, andai novel itu tembus dan goal, setidaknya ada satu dokumenter tentang buruh.’ Jelas gue. Semua yang ada di dalam mobil tidak menanggapi apapun. Dan, seperti ingin meyakinkan kepada mereka semua kalau gue adalah ‘seorang penulis’ gue pun berkata “Aku menang kompetisi menulis lho. Ngebuat surat untung bung Karno, dan di publish di website Film Soekarno” Enggak ada niat untuk membanggakan diri, hanya saja, gue ingin mereka percaya, kalau gue seorang penulis. Tapi, mas Irman malah membuat hantaman tajam yang terasa di hati gue. “Kamu menang ? Dapat apah ?” pertanyaan sederhana, yang sulit buat gue jawab. Di satu sisi, gue mau jawab ‘cuma dapet buku doang sih’ No. itu adalah sebuah kalimat pelecehan terhadap sebuah karya, tapi kalau gue jawab ‘dapet buku’ gue yakin akan ada yang bersuara, ‘dapet buku doang ?’ dengan nada bertanya yang lagi-lagi membutuhkan jawaban. Cukup lama gue terdiam, dan akhirnya “Yang penting dalam sebuah karya kan bukan hasilnya, tapi bagaimana karya kita bisa di hargai” kata-kata itu meluncur dengan lancar dari mulut gue, dan di tanggapi dengan satu kalimat “Betullll” dari Adit. Lalu selanjutnya, gue memilih diam. Tidak lagi ingin membahas tentang impian dengan orang-orang yang tidak percaya pada mimpi.

Buat gue pribadi, enggak munafik untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Dalam bentuk materi, mungkin. Tapi, balik lagi, hal terpenting bagi seorang penulis adalah memiliki pembaca. Enough ! Karena pembaca adalah nyawa bagi seorang penulis.

Dan mimpi buat gue adalah cara gue menjalani hidup dengan penuh semangat berlipat-lipat. Juga cara gue berharap pada hidup yang sering kali enggak pernah bisa ditebak. Karena enggak pernah ada yang pasti di dunia ini, maka semua akan terasa mungkin. Begitu kata pak Mario teguh.

Dan cerita terakhir dari tulisan ini sama kayak penilain Ari dan mbak Tari. Ada satu mbak-mbak juga yang sering baca al-qur’an di mushola PT, memanfaatkan waktu sebelum bel masuk berbunyi. Mbak Umi namanya. Gue emang doyan baca Al-qur’an, entah sejak kapan. Dan jujur, awal gue membawa dan membaca kitab suci itu di PT di karenakan senggang waktu dari gue datang di PT sampai bel berbunyi itu terlalu lama, bayangin aja, gue sampai PT jam enam lewat lima belas menit pagi, sedangkan bel masuk berbunyi setengah delapan tepat. Emang sebagian besar menggunakan waktu tersebut untuk sarapan pagi dan berbincang-bincang dengan teman. Tapi, enggak buat gue.
Sarapan selalu gue lakukan di rumah, sehabis sholat subuh. Dan untuk berbincang-bincang dengan teman, gue sempat melakukannya di awal kerja di PT tersebut, duduk-duduk bareng di rest area sambil menunggu bel bunyi. Tapi apah yang gue dapat ? Obrolan itu hanya seputar gosip-gosip yang ada di PT, tentang mbak anu, ibu anu, bapak anu, semua tentang orang. Dan gue enggak suka, enggak ngerasa bener. Tapi gue emang bukan tipe orang yang suka mencampuri ataupun ingin tahu urusan orang lain . Enggak. Gue enggak suka hal tersebut. Walau terkadang ada satu dua hal yang pengin gue tau, tapi kadang gue akan mencari tau sendiri tanpa perlu nimbrung dan berlama-lama membahasnya.

Dan sholat duha ataupun mengaji adalah pelarian gue untuk mengisi waktu menunggu bel berbunyi. Nah, disanalah gue bertemu dengan mbak Umi.

Baru kemarin dia bertanya ke gue, “Udah juz berapa mbak ?”
“Juz, dua puluh depalan mbak ..” “Ah, aku nerusin, bukannya ngulang dari awal pas ramadhan.” Buru-buru gue jelaskan sebelum dia takjub dan menilai gue lebih, karena dari raut wajahnya yang kaget pas ngedenger angka yang gue sebutkan, gue bisa mengartikan. Jelas, baru sepuluh hari puasa, dan dengan jam kerja yang padat, gimana caranya gue bisa sampai di juz dua puluh delapan, mungkin begitu yang ada dibenaknya. Who knows ? Hhehehee.

Dan di hari selanjutnya, sehabis sholat dzuhur. Ada pengajian mas-mas di balik pembatas sholat di mushola PT tersebut. Mbak Umi yang shafnya di belakang gue bertanya “Mbak ikut pengajian ya mbak ?” gue enggak dengar jelas, gue pun menjawab “Iya. Lagi ada pengajian.” Jawab gue yang lagi sibuk melipat mukena. “Enggak, aku tanya mbak ..”
“Kenapa mbak ?” gue belum paham.
“Mbak ikut pengajian ya di luar ?” kalimat tanya dia seperti kalimat pernyataan yang minta pembenaran. Gue pun tertawa kecil, lalu menggeleng. “Enggak mba, saya enggak ngaji dimana-mana.”
“Oh …” mulutnya membentuk bulatan, panjang. Lalu gue pergi meninggalkannya.

Gue hanya wanita biasa, dengan kadar keimanan yang sangat biasa pula. Gue punya cara bagaimana gue mencintai Tuhan gue, tapi gue tetap berusaha untuk enggak keluar dari jalan-jalan yang ditetapkan oleh Al-qur’an. Gue senang menjadi diri gue sendiri, dengan segala banyaknya kekurangan dan beberapa kelebihan yang gue punya.

Dan untuk penilaian beberapa orang tentang gue, terima kasih. Tapi mungkin, gue terlalu sederhana untuk dinilai lebih.

Dan tentang impian, ketika semua memandang penuh keraguan. Gue akan terus berusaha membuktikan kepada mereka bahwa bermimpi adalah hal yang sangat menyenangkan.

Dan gue pun, seorang pemimpi yang selalu yakin tentang impian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar