20 Juli 2013,
Yes. Tag line yang cukup familiar. Jangan melihat seseorang dari
luarnya saja.
Gue
punya beberapa pengalaman dari ‘pepatah, penyataan, atau ungkapan, whatever-lah masuk kemana kalimat
tersebut’.
Dulu,
waktu gue masih kerja di Sanyo Jaya Components Indonesia, yang sering disebut
dengan Sanyo Gobel, gue ada dibagian spare,
nama lain dari asisten leader.
Pembantu-lah pengertian sebenarnya. Gimana enggak, gue adalah orang yang harus
manut ketika disuruh ini-itu oleh mbak-mbak operator yang duduk manis di
hadapan mesinnya masing-masing.
“Gantiin
gue dong ! Gue mau kencing nih.” Gue manut, langsung duduk diposisi orang yang
berkata seperti itu.
“Marker
aku udah enggak nyata nih, abis kayaknya.” Gue akan dengan cepat mengganti
marker lama itu dengan yang baru, enggak langsung gue tuker gitu ajah. Gue
harus ke ruangan material, mengisi form permintaan barang lalu mengambil barang
yang diinginkan, baru gue kasih ke si pemintanya.
Dua
kejadian diatas cuma contoh simplenya dari gambaran seorang asisten leader di PT Sanyo Gobel, tempat awal
gue kerja. Gue enggak akan bahas panjang lebar karna gue enggak lagi bahas soal
pekerjaan.
Gue
yang seorang spare juga punya
tanggung jawab untuk mengajari anak baru. Waktu itu ada Ari, seorang cewek
kampung yang baru lulus dan masuk ke pabrik tersebut. Ari training di line gue,
di posisi skew untuk menggantikan
Ely, operator yang habis kontrak. Ari ini cukup dekat sama gue, kepribadian
yang polos banget dan rada ‘oon’ sering kali bikin gue dan mbak-mbak lainnya
tertawa.
Suatu
ketika, Ari sudah menempati posisinya, menjadi operator skew dibagian adjusting.
Nah, selain Ely ada juga salah satu mbak-mbak yang habis kontrak, mbak Jayanti
namanya. Kita, karyawan lama yang tersisa mau ngadain acara kumpul bareng,
biasa kebiasaan mbak-mbak pabrik kalo habis gajian itu, merapat dikontrakkan
salah satu dari mereka untuk ngerujak atau sekedar makan mie ayam bakso. Ya,
hal yang sederhana tapi cukup menyenangkan. Gue pun hadir ditengah-tengah
mereka.
Ketika
kita semua─satu line─ sekitar lima belasan
orang sudah berkumpul dirumah mbak Jayanti, ngerujak. Tiba-tiba Ari bertanya
dengan tampang polosnya “Eh .. Mba Nur mana ? Enggak datang apah ?”
Jleb.
Semua
terdiam. Gue, yang duduk persis disebelah dia pun terdiam. Nur itu nama
panggilan dia buat gue.
“Lah
itu Nur di sebelah lo.” Mbak Jayanti menyadarkan keterdiaman kita.
Ari
pun menoleh ke arah gue yang duduk tepat di sebelahnya, gue tersenyum dan
berharap dengan senyuman ini dia bisa ingat gue. Ari dengan tampang polosnya
memandangi gue yang mengenakan kaos ketat bertuliskan ILOVEU dengan bawahan
jeans hitam. Rambut sepundak gue, gue biarkan tergerai.
“Mbak
Nur ?” ah syukurlah, dia inget gue. Gue pun mengangguk.
“Ohwalah
.. Ta’ kira tuh mbak Nur ora kayak kuwe. Ta’ kira tuh mbak Nur kalo di luar
pake bajunya panjang, pake rok panjang sama kerudung yang gede. Ternyata
enggak.” Ari pun tertawa, entah apa yang ditertawakannya. Namun tertawa itu
menular ke semuanya, semua pun tertawa.
Sampai
saat ini, gue enggak pernah bertanya atas dasar apa dia bisa memberi gambaran
seperti itu terhadap gue. Entahlah.
Ya.
Selama kerja di Sanyo Gobel, gue emang mengenakan seragam berjilbab, tapi
jilbab kerja biasa, gue pun hanya wanita biasa dengan kadar keimanan yang biasa
saja. Mungkin.
Lupakan
Sanyo Gobel. Keluar dari Sanyo Gobel, gue masuk ke PT Sanyo Electronik
Indonesia. Disana ada Okta, enggak beda jauh sama Ari, dia juga cewek desa yang
usianya lebih muda dari gue. Waktu itu, gue dan dia sama-sama dipindahkan ke
line lama untuk menggantikan operator-operator yang habis kontrak.
Posisi
kerja gue dan Okta bersebelahan. Jujur, gue enggak ingat kalo pernah bersikap
sedingin itu. tapi Okta bercerita ketika kami sudah dekat. Begini ceritanya.
“Mbak
Aya inget gak waktu awal kenal. Aku tuh
benci banget sama mbak.” Kata dia mengingat, kita ngobrol di sela-sela
pekerjaan. Yes, everyday life.
“Emang
kenapa ?” Gue enggak tau. Bener-bener enggak tau.
“Waktu
kita dipindahin kesini, aku kan nanya nama mbak siapa. Terus mbak jawab, ituh
baca aja di foto, mukanya ngeselin banget.” Gue ketawa, mencoba mengingat, tapi
sial, enggak ada yang bisa gue ingat. Gue pun tetap diam, menyimak setiap kata
yang keluar dari bibir tipis Okta.
“Udah
gitu pas aku baca namanya, aku nanya lagi, panggilnya apa nih ? mbak apa nih ..
? eh mbak malah bilang, terserah. Mukanya jutek banget sumpah.”
What ? Are you sure ? Gue secuek, dingin dan
jutek kayak gitu ?
“Terus
aku diem ajah. Dan ternyata pas udah kenal … orangnya begini.” Okta pun tertawa
tanpa menjelaskan apa arti dari kata ‘begini’ yang menggambarkan tentang gue.
Ya, selama di line itu, Okta adalah teman terdekat gue.
Setahun
di Sanyo Electronik Indonesia gue habis kontrak, tapi dua bulan kemudian PT
tersebut memanggil gue kembali. Difficult
moment, ya, ketika lo udah dibuang saat lo masih butuh, dan saat ini, lo
kembali di panggil karena lo dibutuhkan. Di PHP-in sama PT, begitulah gue. Tapi
gimana ? Gue butuh duit, dan kerja disana pun gue merasa senang. Gue pun balik
ke PT tersebut di pertengahan tahun 2012.
Dan,
don’t see people just by cover kali
ini terjadi di saat ramadhan. Saat itu. line gue yang berjumlah kurang lebih
tiga puluh orang ngadain acara buber (buka bersama). Kebiasaan yang sering
terjadi di bulan suci ramadhan, bukan ? Ya. Acaranya di selenggarakan sepulang
kerja di rumah pak Ridwan, atasan leader
gue.
What’s on your mind about
this ?
Gue
diminta buat ngisi tausiyah. My God.
Gue ? Ngisi tausiyah ? sedangkan di sisi lain ada mbak-mbak yang jauuuuuuuh
lebih pantas untuk dimintai hal tersebut. Mbak Nurjanah, wanita anggun yang ada
di gambaran awal Ari tentang gue. Yes, berpakaian serba tertutup. Gue agak
berat, masalahnya gue sendiri enggak yakin kalo gue bisa dan gue ngeri apa yang
gue sampaikan malah enggak bermanfaat. So, gue pun menolak. Tapi, pak Ridwan
mencoba meyakinkan. Dan cocoknya, gue adalah orang yang selalu ingin mencoba.
Sip. Gue pun meng-iya-kan tawaran tersebut.
Di
tempat kerja, sebelum pulang. Mbak Tari, salah satu mbak-mbak yang satu line
sama gue, nyamperin gue.
“Aya
nanti ngisi tausiyah ya ?” Tanya dia yang tiba-tiba nyamperin gue. Tanggepan
gue ketika mendengar pertanyaan itu adalah tawa yang meledak. Lalu dia kembali
berkata “Nanti ganti baju di loker ?”
Hah
? Ganti baju ?
“Enggak
mba, enggak bawa baju ganti. Pake ini ajah.” Kata gue sambil membentagkan kedua
tangan, memperlihatkan baju kalong selutut yang di dalamnya gue selipkan kaos
mainseat hitam dan di bungkus dengan semi jaket kerja gue. Bawahannya gue pake
jeans hitam panjang.
“Pake
baju ini ?” mbak Tari menegaskan. Gue kembali mengangguk.
Why ? what’s wrong with
my clothes ?
Entahlah.
Percakapan itu berakhir begitu saja.
Dan,
don’t see people just by cover dua
terakhir yang ingin gue ceritakan adalah, pertama tentang tulisan gue yang
menang kompetisi #SuratUntukBung. Beberapa teman kerja gue enggak percaya. Ya,
sekarang, apa salah seorang buruh pabrik bermimpi kepengin jadi penulis buku ?
Hal wajar, bukan ?
Tapi
mungkin, sebagian banyak dari mereka (para buruh pabrik) berpikir sempit
tentang waktu. Kenapa gue bilang seperti ini ? Karena enggak sedikit dari
mereka yang bertanya ke gue ‘kapan’ waktu yang lo gunain buat nulis ?
It’s simple ya. Waktu luang selalu
ada kalo kita menempatkannya, bukan sekedar menunggunya. Karena waktu luang
enggak akan ada kalo sekedar di tunggu. Gue emang kuli pabrik yang kerja dua
shift, shift pagi berangkat jam setengah enam pagi dan sampai di rumah jam lima
sore tanpa over time (lembur) maupun
macet. Kalau ditambah over time, gue
sampai di rumah sekitar jam depalan malam. Begitu seterusnya. Sedangkan shift
malam pun sama, berangkat setengah enam sore dan pulang sekitar jam delapan
pagi sampai di rumah. Rentan waktu yang tersisa cukup untuk istirahat. Sebagian
banyak mbak-mbak teman kerja gue berpikir seperti itu. But, not with me.
Selalu
ada waktu buat sebuah impian.
“Ini
tulisan kamu ?” Tanya beberapa mbak-mbak ketika membaca naskah gue yang gue
ikut sertakan kompetisi.
Gue
hanya tersenyum sambil mengangguk pelan.
Ada
hal yang membuat hati gue terasa agak nyentil tentang impian ini. Sebagian
banyak dari orang-orang disekeliling gue emang meragukan mimpi gue, tapi gue
enggak peduli.
Pernah,
satu ketika gue lagi shift dua. Berada di dalam mobil avanza bersama buruh
pabrik lainnya. Tujuh orang, delapan dengan sopir. Ada mbak Ulfa, Priska, Adit,
Akim, mas Sumsang, mas Irman, gue dan sopir. Waktu itu, gue lagi minta rekaman
video pendapat mereka tentang buruh, dan ketika mereka bertanya, ‘buat apa ?’
gue jawab, ‘buat koleksi, dan .. bahan penunjuang mungkin, aku nulis sebuah
novel yang berisi tentang buruh pabrik. Nah, andai novel itu tembus dan goal,
setidaknya ada satu dokumenter tentang buruh.’ Jelas gue. Semua yang ada di
dalam mobil tidak menanggapi apapun. Dan, seperti ingin meyakinkan kepada
mereka semua kalau gue adalah ‘seorang penulis’ gue pun berkata “Aku menang
kompetisi menulis lho. Ngebuat surat untung bung Karno, dan di publish di
website Film Soekarno” Enggak ada niat untuk membanggakan diri, hanya saja, gue
ingin mereka percaya, kalau gue seorang penulis. Tapi, mas Irman malah membuat
hantaman tajam yang terasa di hati gue. “Kamu menang ? Dapat apah ?” pertanyaan
sederhana, yang sulit buat gue jawab. Di satu sisi, gue mau jawab ‘cuma dapet
buku doang sih’ No. itu adalah sebuah kalimat pelecehan terhadap sebuah karya,
tapi kalau gue jawab ‘dapet buku’ gue yakin akan ada yang bersuara, ‘dapet buku
doang ?’ dengan nada bertanya yang lagi-lagi membutuhkan jawaban. Cukup lama gue
terdiam, dan akhirnya “Yang penting dalam sebuah karya kan bukan hasilnya, tapi
bagaimana karya kita bisa di hargai” kata-kata itu meluncur dengan lancar dari
mulut gue, dan di tanggapi dengan satu kalimat “Betullll” dari Adit. Lalu
selanjutnya, gue memilih diam. Tidak lagi ingin membahas tentang impian dengan
orang-orang yang tidak percaya pada mimpi.
Buat
gue pribadi, enggak munafik untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Dalam
bentuk materi, mungkin. Tapi, balik lagi, hal terpenting bagi seorang penulis
adalah memiliki pembaca. Enough !
Karena pembaca adalah nyawa bagi seorang penulis.
Dan
mimpi buat gue adalah cara gue menjalani hidup dengan penuh semangat
berlipat-lipat. Juga cara gue berharap pada hidup yang sering kali enggak
pernah bisa ditebak. Karena enggak pernah ada yang pasti di dunia ini, maka
semua akan terasa mungkin. Begitu kata pak Mario teguh.
Dan
cerita terakhir dari tulisan ini sama kayak penilain Ari dan mbak Tari. Ada
satu mbak-mbak juga yang sering baca al-qur’an di mushola PT, memanfaatkan
waktu sebelum bel masuk berbunyi. Mbak Umi namanya. Gue emang doyan baca
Al-qur’an, entah sejak kapan. Dan jujur, awal gue membawa dan membaca kitab
suci itu di PT di karenakan senggang waktu dari gue datang di PT sampai bel
berbunyi itu terlalu lama, bayangin aja, gue sampai PT jam enam lewat lima
belas menit pagi, sedangkan bel masuk berbunyi setengah delapan tepat. Emang
sebagian besar menggunakan waktu tersebut untuk sarapan pagi dan
berbincang-bincang dengan teman. Tapi, enggak buat gue.
Sarapan
selalu gue lakukan di rumah, sehabis sholat subuh. Dan untuk berbincang-bincang
dengan teman, gue sempat melakukannya di awal kerja di PT tersebut, duduk-duduk
bareng di rest area sambil menunggu bel bunyi. Tapi apah yang gue dapat ? Obrolan
itu hanya seputar gosip-gosip yang ada di PT, tentang mbak anu, ibu anu, bapak
anu, semua tentang orang. Dan gue enggak suka, enggak ngerasa bener. Tapi gue
emang bukan tipe orang yang suka mencampuri ataupun ingin tahu urusan orang
lain . Enggak. Gue enggak suka hal tersebut. Walau terkadang ada satu dua hal
yang pengin gue tau, tapi kadang gue akan mencari tau sendiri tanpa perlu
nimbrung dan berlama-lama membahasnya.
Dan
sholat duha ataupun mengaji adalah pelarian gue untuk mengisi waktu menunggu
bel berbunyi. Nah, disanalah gue bertemu dengan mbak Umi.
Baru
kemarin dia bertanya ke gue, “Udah juz berapa mbak ?”
“Juz,
dua puluh depalan mbak ..” “Ah, aku nerusin, bukannya ngulang dari awal pas
ramadhan.” Buru-buru gue jelaskan sebelum dia takjub dan menilai gue lebih,
karena dari raut wajahnya yang kaget pas ngedenger angka yang gue sebutkan, gue
bisa mengartikan. Jelas, baru sepuluh hari puasa, dan dengan jam kerja yang
padat, gimana caranya gue bisa sampai di juz dua puluh delapan, mungkin begitu
yang ada dibenaknya. Who knows ?
Hhehehee.
Dan
di hari selanjutnya, sehabis sholat dzuhur. Ada pengajian mas-mas di balik
pembatas sholat di mushola PT tersebut. Mbak Umi yang shafnya di belakang gue
bertanya “Mbak ikut pengajian ya mbak ?” gue enggak dengar jelas, gue pun
menjawab “Iya. Lagi ada pengajian.” Jawab gue yang lagi sibuk melipat mukena.
“Enggak, aku tanya mbak ..”
“Kenapa
mbak ?” gue belum paham.
“Mbak
ikut pengajian ya di luar ?” kalimat tanya dia seperti kalimat pernyataan yang
minta pembenaran. Gue pun tertawa kecil, lalu menggeleng. “Enggak mba, saya
enggak ngaji dimana-mana.”
“Oh
…” mulutnya membentuk bulatan, panjang. Lalu gue pergi meninggalkannya.
Gue
hanya wanita biasa, dengan kadar keimanan yang sangat biasa pula. Gue punya
cara bagaimana gue mencintai Tuhan gue, tapi gue tetap berusaha untuk enggak
keluar dari jalan-jalan yang ditetapkan oleh Al-qur’an. Gue senang menjadi diri
gue sendiri, dengan segala banyaknya kekurangan dan beberapa kelebihan yang gue
punya.
Dan
untuk penilaian beberapa orang tentang gue, terima kasih. Tapi mungkin, gue
terlalu sederhana untuk dinilai lebih.
Dan
tentang impian, ketika semua memandang penuh keraguan. Gue akan terus berusaha
membuktikan kepada mereka bahwa bermimpi adalah hal yang sangat menyenangkan.
Dan
gue pun, seorang pemimpi yang selalu yakin tentang impian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar