Sabtu, 13 Juli 2013

saya kecil. di bulan ramadhan ..

Selasa, 9 Juli 2013

Saya kecil, di bulan Ramadhan …

Baru kali ini saya ingin cepat-cepat selesai lalu pulang saat mengerjakan sholat teraweh. Bukan. Bukan karena saya jenuh berlama-lama di dalam masjid. Bukan. Bukan pula karena saya ada urusan lain. Hanya satu alasan saya, saya enggak mau melihat mama saya kedinginan. Iya. Malam pertama teraweh di Bekasi, hujan. Saya, mama, dan adek sepupu saya kebagian tempat di halaman masjid. Awalnya emang enggak terlalu menganggu, tapi lama-kelamaan, mukena sampai baju yang mama saya pakai basah kuyup. Saya sudah menawarkan kepadanya untuk bertukar tempat. Iya, shaf saya enggak kena hujan. Tapi apah ? mama malah bilang “Udah terlanjur ! Kamu masih kering, udah biarin ajah.” Saya diam, sedikit berpikir untuk mengeluarkan gagasan lain, akhirnya, saya pun berkata “Yaudah, mending mama pulang ajah !” hanya itu kata-kata yang melesat dari mulut saya. Tapi, lagi-lagi mama mengacuhkan saran saya. Sepanjang sholat saya enggak khusyu, bukan dengan keadaan yang sana sini basah. Tapi, saya memikirkan kondisi mama saya yang sholat dalam keadaan basah kuyup. Berkali-kali saya meminta bertukar tempat dengannya, pokoknya, saya bawel. Tapi,  mama cuma bilang “Ini barokah dari Allah.” Saya pun diam. Dan kami tetap melanjutkan sholat sampai benar-benar selesai yang di tutup dengan niat berpuasa untuk esok hari. Alhamdulillah, teraweh pertama selesai kami kerjakan. Dan saya, selalu yakin, kalau orang tua mana pun selalu ingin menjadi pelindung bagi anaknya.

Ah puasa, ramadhan. Bulan yang selalu saya rindukan. Malam ini, saya teraweh di masjid Abdul latief Asoigh. Masjid pertama yang memperkenalkan saya kepada Allah. Saya ingat betul, betapa kerasnya usaha mama menyuruh saya mengaji. Berbagai alasan saya lontarkan, mulai dari pura-pura tidur, sampai pura-pura sakit, bahkan pernah mengurung diri di kamar mandi. Semua cara saya lakukan agar saya enggak jadi mengaji. Tapi mama pun mempunyai banyak cara untuk membunuh semua alasan saya.


Sore itu, saya lupa kapan tepatnya. Saya cuma ingat, saya masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Sekitar tahun 1998-an. Beberapa teman menyamper saya untuk mengaji. Saya panik, dengan cepat saya melesat ke kamar mandi. Untuk mengumpat, entah kenapa, kamar mandi selalu menjadi tempat persembunyian yang aman. Saya duduk di atas ember yang saya balikkan atasnya, sembunyi di balik pintu kamar mandi. Saya dengar mama membuka pintu kamar mandi. Mama celingak-celinguk, seperti tau kalau anaknya ada di sana. Dengan cepat, mama pun mendapati saya yang sedang duduk mematung di balik pintu.

“Hayo ! Ketemu !” Mama senang, dan perlahan menarik tangan saya untuk keluar dari balik pintu. “Ma, Nung enggak mau ngaji !” Nung, adalah nama panggilan saya waktu kecil. “Itu banyak temannya yang nyamper. Di tungguin, udah cepetan pake mukenanya.” Mama dengan telaten membantu saya untuk memakai mukena. Saya mengintip dari balik jendela. Benar. Beberapa teman saya sedang duduk di teras, menunggu saya untuk mengaji. Tidak ada cara lain, tiba-tiba saya menangis. Kencang. Sampai-sampai mama bingung. Tapi kayaknya, mama paham taktik bulus saya. Mama pun tetap memaksa saya untuk pergi mengaji. Dan hari itulah, hari pertama saya menginjakkan kaki di masjid Asoigh. Atau biasa di sebut dengan nama ‘mushola wa aji Gaper’.

Pertama kali saya masuk ke dalam masjid tersebut. Saya deg-deg kan enggak karuan. Saya pemalu, dan saya enggak pandai bergaul, waktu kecil. Saya cuma diam, duduk di tengah-tengah beberapa teman saya. Tapi ada yang aneh ketika saya mulai berkenalan dengan lingkungan baru tersebut. Saya merasa damai. Sangat damai.

Beberapa bulan selanjutnya, saya adalah murid terajin di pengajian tersebut. Ah, apa kabar guru-guru saya itu ? saya merindukan mereka. Mba Rohina, kak Anan, mba Tety, mba Mul, kak Jamal, kak Ikhsan. Mereka semua kini sudah memiliki anak. Jelas. Saya mengenal mereka sejak lima belas tahun yang lalu.
Dan malam ini, saya kembali menginjakkan kaki di masjid ini. Abdul Latief Asoigh. Tapi semua sudah berbeda. Sekilas, semua masa lalu saya berputar bagai rol film yang sedang di mainkan.

Saya kecil. Pergi teraweh dengan segambreng bawaan. Mulai dari mukena sampai bermacam-macam makanan. Dengan sabar menunggu ceramah selesai dan selalu pulang terakhir. Cuma untuk minta tanda tangan sang ustad, di buku Ramadhan yang selalu menjadi kewajiban anak sekolah di masa itu. Lima waktu pun saya kerjakan karena buku itu, ceklis-ceklis yang ada di buku itu menjadi sebuah tuntutan yang memaksa saya untuk mengerjakannya. Tapi saat ini, saya ingin berterima kasih kepada penerbit buku tersebut. Karena buku ‘menyebalkan’ itu saya susah terlepas dari lima waktu. Dan sepertinya pun, saya enggak akan berusaha untuk melepaskan diri dari kewajiban tersebut.

Mimi dan Tia adalah teman terbaik saya di pengajian tersebut. Ah, sekarang Tia sudah punya anak. Dan Mimi ? Entahlah. Saya tidak mendengar kabar apa pun tentang dia. Mereka berdua kakak kelas saya, setahun diatas saya tepatnya. Banyak hal konyol yang kita lewati bersama. Hahaha. Kenapa saya jadi tertawa seperti ini ? Tapi tunggu dulu. Biarkan saya bercerita, saya lupa tahun berapa cerita ini. Tapi saya ingat, peristiwa konyol itu terjadi di bulan ramadhan. Ya. Siang itu, saya dan Tia sedang bermain di belakang masjid Asoigh. Entah karena matahari terlalu terasa panasnya atau memang iman kami yang belum ‘ngena’ yang membuat saya dan Tia membatalkan puasa. Saya lupa siapa yang memulai. Tapi saya ingat, saya yang membeli makanan tersebut. Dua buah gorengan dan se-plastik es orson rasa jeruk.

“Ma Edi, beli bala-bala (bakwan) dua ya. Sama es orson gopek.” Kata saya tanpa dosa di depan warung yang tanpa dosa juga tetap buka dengan banyak makanan.

“Lho ! Nung, enggak puasa ?” Heran wanita setengah baya dengan tubuh agak berisi tersebut, Emak Edi sibuk mengangkat berbagai macam gorengan dari kuali (penggorengan).

“Puasa lah ! Ini buat Ana, bu.” Alasan saya. Ana itu adik saya yang masih kecil, belum lima tahun usianya. Emak Edi mengangguk-angguk sambil mulai melayani pesanan saya.

“Yang anget apa yang dingin bala-balanya ?”

“Yang anget bu.” Jawab saya mantap.

Begitu dua buah gorengan ‘anget’ udah ada di telapak tangan saya, dengan santai saya menuangkan saos diatas bala-bala tersebut.

“Ana doyan pedas ?” Emak Edi bingung. Saya diam bersamaan dengan gerakkan tangan saya yang terhenti ketika sedang mengoyok-oyok saos botol di tangan kanan saya. “Oh, iya lupa. Yaudah enggak apa-apa. Nanti yang ada saosnya di buang.” Akhirnya, kata-kata itu pun meluncur dengan lancar.

“Inih orsonnya.” Emak Edi memberikan se-palstik orson orange dengan es batu penuh. Betapa setan-setan di diri saya sedang bersorak-sorak kegirangan. Saya pun berlalu setelah membayar jajanan saya tersebut. Kembali ke belakang masjid. Ada pohon rambutan dan pohon seri besar di sana. Tia sedang menunggu saya di sana. Dan ya, kita berdua menyantap dua gorengan ‘anget’ itu dengan lahap. Enggak lupa untuk membaca niat berbuka puasa. Ah, sangat konyol rasanya. Dan parahnya, enggak cuma sampai disitu. Saya dan Tia merasa kurang kenyang. Kami pun nambah. Dan taktik selanjutnya, Tia yang membeli dan saya yang menunggu di bawah pohon seri yang rindang.

Selesai. Kita pulang ke rumah masing-masing, dengan perjanjian jangan ada yang membuka rahasia tersebut. Saya pulang dengan keadaan lemas dan bibir kering. Sorenya, saya ikut buka puasa bersama di masjid tersebut.  Astaghfirullah al adzim. Ampuni saya ya Allah.

Saya dan Tia memang intim. Sangat dekat, dari zaman SD sampai SMP. Kompak dalam mengaji. Kompak pula dalam melakukan hal ‘bejat’.

Ah lagi-lagi saya ingat. Otak saya masih merekam kejadian tersebut. Peristiwa di kebon Alm. Ust. Kodir. Tunggu. Peristiwa kali ini enggak terjadi di bulan puasa. Jadi, dosanya enggak terlalu gede. Eeeeeh. Hhheeeheee.

Masih di siang hari. Saya, Tia dan Mimi (tiga bocah kampung) lagi ngumpul di kebon rambutan belakang rumah saya. Bisa dibilang basecamp. Tapi kali ini kita bertiga bukan ada di halaman kebonnya, melainkan kita bertiga sedang duduk santai di atas batang-batang pohon rambutan yang kekar. Iya. Saya senang bersandar di atas pohon.

“Eh, minta rambutan yuk sama ustad Kodir.” Tiba-tiba Tia mengusulkan. Saya dan Mimi pun bersemangat. “Ayo ! Ayo !” respon saya dan Mimi. “Ustad Kodir kan masih sodaraan sama gue, jadi kita petikkin aja rambutannya.” Kata Tia meyakinkan. Saya dan Mimi manggut-manggut.
“Lo berdua tunggu sini ya, gue mau ambil plastik dulu.” Tia turun dari pohon dan pulang untuk mengambil kantong kresek item. Pasti Tia punya banyak, mamanya Tia kan jualan nasi uduk. Jadi, punya banyak stock-an plastik.

Enggak lama kemudian Tia kembali dengan membawa tiga kantong kresek item. “Eh, turun ! Ayo !” ajak Tia. Saya dan Mimi pun manut. Dan kita bertiga meluncur ke TKP.

Sepi.

Oh, ya Allah. Bagai di surga, mungkin. Buah rambutannya sampai ngandut (bergelayut) ke tanah. Saya takjub. Bahkan saya bingung harus memetik yang mana. Kebonnya enggak dipagar. Dan pohonnya bukan cuma satu, tapi banyak, banyak banget. Saya, Tia dan Mimi pun mulai memetik satu per satu buah rambutan tersebut. Indahnya.

“Hei ! Siapa itu ?”

Kaget. Gerakkan kita bertiga terhenti. Saya dan Mimi melempar pandangan ke Tia, yang udah lari lebih dulu. Suara tadi milik ustad Kodir. Saya masih jelas mengingatnya, laki-laki itu berdiri di ambang pintu dengan menggunakan sarung dan kaos putih polos. Ustad, maafkan saya.

Tia. Mungkin dia gugup atau entah kenapa. Begitu mendengar suara itu, dia langsung lari kocar-kacir. Saya dan Mimi pun mengekor di belakangnya. Sayang, plastik yang Tia kasih bolong. Ketiganya. Iya. Tiga kresek item itu bolong. Oh, apes sekali kita bertiga siang itu. Kita bertiga kembali ke basecamp dengan membawa hasil ‘curian’ yang tersisa. Menghabiskan buah rambutan tersebut diatas pohon rambutan yang enggak berbuah. Sambil cekikikan mengingat kejadian di kebon ustad Kodir.

Masa lalu. Masa kecil. Selalu menghadirkan banyak perasaan di hati saya.

Malam ini, ketika saya sholat di masjid ‘masa kecil’ saya. Saya sempat kesal dengan suara berisik yang di hadirkan oleh anak-anak. Saya pun sekuat hati menahan emosi saya yang melihat sajadah saya di injak-injak oleh kaki-kaki kecil mereka. Ah, dulu saya juga seperti itu.

Ramadhan selalu membahagiakan. Pagi hari, setelah sahur, saya berbondong-bondong dengan bocah-bocah seusia saya pergi ke masjid untuk sholat subuh berjamaah. Selesai sholat, kita semua jalan-jalan ke kompleks perumahan mewah di daerah kami. Bekasi Asri. Bermain petasan, dan membuat bando-bando dari bunga yang ada di taman kompleks tersebut. Semua senang. Semua tertawa tanpa beban. Semua bergembira. Pulang jalan-jalan, kita ngumpul di kebon, yang sekarang sudah menjadi kontrakkan berpintu-pintu. Di bawah pohon-pohon rindang. Bermain congklak yang kita buat sendiri dengan tanah ‘dikeruk’ dan biji-biji congklaknya dari batu. Enggak. Kita enggak pakai congklak yang sudah jadi. Cuma beberapa yang punya congklak tersebut. Menjelang dzuhur, saya dan semua teman-teman saya (bocah kampung) merapat ke masjid. Sholat dzuhur berjamaah. Setelah sholat dzuhur, kita bermain bola bekel dan monopoli. Kadang-kadang karambol,  sampai menunggu adzan ashar. Adzan ashar berkumadang, kita kembali sholat berjamaah. Dan setelahnya, pulang ke rumah masing-masing. Ketemu kembali menjelang maghrib untuk buka puasa bersama di masjid. Malam harinya teraweh, pulang akhir untuk meminta tanda tangan ustad. Sesekali tadarus al-quran bersama sampai jam sepuluh malam. Bahkan dalam seminggu, kita semua bisa mengkhatamkan Al-quran. Iya. Bersama bukan perorangan. Saya beruntung ‘pernah’ ada di masa itu. Dimana, saat ini jarang sekali saya temui masa kecil ramadhan saya.

Petasan ceklik, korek, kentut, Apollo, ular dan lainnya. Bola bekel, monopoli, congklak, karambol, ular tangga. Kini semua telah berganti menjadi satu. Internet.

Buka puasa bersama di masjid mulai jarang. Yang ada jalan-jalan ketempat ramai bersama kekasih dan buka di jalan. Atau di pusat-pusat perbelanjaan.

Tadarus Al-quran pun sepi. Tapi warnet selalu ramai. Sulit di temui lagi, mereka yang duduk melingkar di dalam masjid sambil menunggu giliran untuk membaca Qur’an. Menyimaknya bersama-sama. Enggak ada lagi pertanyaan “Mama, tadi dengar suara aku enggak ? yang baca surat ‘An-Nur’  ?” seusai tadarusan di masjid.

Tapi apapun itu, ramadhan tetap menjadi bulan yang selalu saya rindukan. Untuk yang satu ini, tidak akan pernah berubah.

2 komentar:

  1. kayaknya pernah dengar tu cerita,, he heh he

    BalasHapus
  2. biasa. orang-orang terdekat saya, pasti udah tau lebih dulu :D

    BalasHapus