Minggu, 24 Agustus 2014

SELAMAT ULANG TAHUN INDONESIA (Ketika mengerti untuk menghargai alam dari baduy dalam)

Kenali zamannya, alami suasananya dan kenang pengamalannya. Kau akan mendapati lebih dari yang kau temukan.

Kalimat itu saya temukan sabtu pagi di dalam gerbong kereta commuter line. Kata-kata yang mengendap dalam ingatan saya, kata-kata itu tertulis di dalam sebuah buku yang saya dapati dari sebuah acara yang di adakan oleh traveler kaskus pada bulan puasa lalu. Saya baru membacanya di sabtu pagi, sabtu dimana saya akan mengintip Jakarta.
Bagi seorang pejalan, adalah sebuah dosa besar untuk menolak ajakan perjalanan. Seminggu sebelum tanggal 17 agustus 2014, seorang teman menghubungi saya, begini isi pesan yang di kirim olehnya.

Gue tanggal 16 mau ke merbabu insyaAllah.

Lalu terjadilah percakapan selanjutnya, tentang saya yang ingin ikut dengannya, juga bagaimana caranya agar saya tetap masuk kerja. Tanggal 17 agustus 2014, jatuh di hari minggu. Perjalanan ke merbabu tidak cukup 1-2 hari. Ia mengatakan pada saya akan berangkat sabtu pagi, 16 agustus 2014 dan kembali ke Jakarta, senin, 18 agustus 2014. Saya tidak bisa. Saya masih terikat dengan sebuah pekerjaan, pekerjaan yang menuntut saya untuk masuk lima hari dalam seminggu. Enam hari sebelum ajakan ke merbabu, seorang teman juga menghubungi saya, mengajak saya untuk mengikuti upacara 17an di gunung Prau, Wonosobo. Sayangnya, ajakan tersebut langsung saya tolak, karena apa ? karena perjalanan itu di mulai kamis, 14 agustus 2014. Itu lebih menyulitkan saya dalam mengatur waktu. Fix. Saya akan di rumah saja, menonton perlombaan yang di adakan untuk warga sekitar.

Bagai tetesan air di tengah gurun pasir. Ada sebuh pesan yang masuk tepat di tanggal 10 agustus 2014. Pesan yang berisikan, lagi-lagi info perjalanan. Sharecost ke baduy dalam.

Baduy ?

Saya ingat, tengah malam setelah merampungkan sebuah acara di bulan ramadhan, saya mengajak teman-teman saya yang kebetulan ada di malam itu. Saya berkata ‘ke baduy yuk abis lebaran, itu indah banget. Gue pengin ke sana’. Tapi tak di indahkan oleh mereka, namun diam-diam, saya berjanji, saya pasti akan kesana.

Tanpa pikir panjang, tanpa banyak tanya, dan tanpa mengajak siapa pun. Saya putuskan, saya akan ikut perjalanan tersebut. Seorang diri.

Namun kemudian, setelah fix saya akan ikut perjalanan tersebut. Ibu saya bertanya, ‘berangkat sama siapa kamu ?’ ini adalah pertanyaan yang saya artikan ‘kalau enggak ada temannya, mama enggak ngizinin’. Tapi, sudahlah, saya sudah terlalu sering bermain kata dengan ibu saya, mengatur cerita agar selalu di berikan izin, biar bagaimana pun, saya begitu percaya kalau izin orang tua adalah pembuka pintu yang paling utama. Saya terdiam sejenak, lalu menjawab ‘sama teman-teman SD, nanti berangkat bareng’. Sebuah jawaban spontan yang akhirnya menjadi kenyataan.

Ya. Saya mengajak empat teman saya dalam perjalanan tersebut. Empat teman dari masa kecil saya. Sebenarnya, ada tambahan satu orang, seorang kekasih dari salah satu teman saya. Jumlah kita enam orang. Seketika, saya teringat komentar salah satu dari mereka, komentar yang di tuliskannya ketika saya mengupload sebuah foto, begini isinya ‘biasaan tanpa jejak langkah dan bayangannya udah nyampe sono aje’ saya lebih mengartikan ‘lo, kalau pergi ajak-ajak gue kek’

***

16 Agustus 2014, stasiun Tanah abang

Enam orang yang baru saja keluar dari gerbong commuterline, berdiri di tengah peron dengan tampang-tampang kebingungan. Saya mengeluarkan ponsel, mencari tahu dimana rombongan sharecost lainnya. Jumlah kami empat puluh orang yang dibagi menjadi dua team. Sialnya, ponsel tersebut tidak cukup membantu. Saya tidak dapat menemukan wajah-wajah asing yang dalam hitungan menit akan menjadi karib.

‘Eh, Halim. Itu kayaknya Halim deh’ saya menangkap wajah yang terpasang di display picture contact applikasi android saya, salah satu ketua perjalanan ini.
‘Halim, Halim. Mana ? Panggil !’
‘Iya itu Halim. Dia mau kemana ya ? yang lainnya mana, ya ?’ saya bingung, tidak dapat berpikir dengan baik.
‘Coba telpon !’ Ipul memerintahkan.
‘hallo, mas Ilham. Ini Aya, kita udah sampai di tanah abang. Ini gimana ? kumpul dimana, ya ?’
‘Iya ay, di depan atm BNI ay. Gue masih di manggarai’
‘Oke, makasih ya, mas’
Lima wajah lainnya menunggu dengan pikiran yang sama ‘dimana ?’
‘ngumpul di depan atm BNI katanya. Atm BNI dimana ?’
‘itu di atas, di pintu masuk’ jawab Bagus, nama kekasih dari teman saya.
Spontan, kami semua menatap tumpukkan anak tangga, lalu tanpa aba-aba, melangkah menaikinya satu per satu.
Saya sempat bertindak bodoh dengan mengucapkan kata ‘Baduy’ sebagai kode untuk mencari rombongan lainnya. Tapi tak membuahkan hasil selain tawa dari teman-teman saya.
‘Lho, ini kan pintu masuk. Terus mereka dimana ?’ saya yang emang notabennya tidak tahu apa pun tentang stasiun itu hanya bisa bertanya-tanya.
‘Kita keluar dulu’
‘Keluar dulu ? Terus ? Kan, nanti mau naek kereta lagi’
‘Coba lo telpon Ilham lagi !’
‘Emang pintu keluarnya dimana ?’
‘Disana, turun lagi’
‘Yaudah, turun dulu lah’

Gubrak !

Baru sampai tanah abang saja sudah seperti ini. Kami semua kembali turun, dan melangkah menuju pintu keluar.
Di pintu keluar, kami ngerem mendadak. Enam orang yang sama-sama ‘lumpuh otaknya’ membentuk lingkaran, mengadakan perundingan. Tak peduli dengan tatapan tiga petugas yang sedang berjaga di pintu keluar stasiun tersebut.
‘Kok kita keluar ? Nanti, kan, mau naik kereta lagi’
‘Iya, di tempelin aja dulu ini kartunya. Abis itu kita masuk lagi’
‘Terus nukerinnya kapan ?’
‘Nanti, pas balik ke bekasi’
‘Ih, enggak bisa Een. Lo ingat enggak, waktu kita ke istiqlal, kartu lo enggak bisa di tuker’
‘Ya, itu enggak gue tempelin pas keluar. Makanya enggak bisa’
‘Terus sekarang gimana ?’
‘Tanya petugas deh’
Oke.
Saya dan Een yang maju untuk bertanya.
‘Pak. Kita, kan, mau keluar. Tapi mau naik kereta lagi. Kartunya gimana ?’
‘Ya, keluar dulu, nanti masuk lagi’
‘Lho. Tapi, kita enggak mau nuker kartunya, kartu ini mau kita pakai lagi ke bekasi’
‘Iya. Keluar dulu’
‘Oh gitu. Makasih, ya, pak’
Saya dan Een kembali ke rombongan, empat orang yang masih berdiri di tempat semula.
‘Gimana ?’ Ipul mewakili pertanyaan yang tertahan di benak tiga orang lainnya.
‘Kita keluar dulu. Nanti masuk lagi’
‘Iya, tadi gue ngeliat Halim jalan ke arah sini. Berarti dia keluar dulu’
‘Tapi nanti kita masuknya gimana ? kan, tiket kereta ke rangkas udah di beliin’
‘Telpon Ilham lagi deh’
‘Nunggu mas Ilham aja, ya. Nanti biar bareng-bareng ke sananya’
Oke. Semua setuju. Kami kembali masuk ke peron awal kami turun dari gerbong commuterline. Dengan ke-enggak tahuan tingkat dewa, kami diam sebentar. Memutuskan untuk menunggu Ilham, ketua team kami.
‘Emang atm BNI dimana sih ?’
‘Di atas, pintu masuk’
‘Di luar ?’
‘Ya, kita keluar dulu’
Tiba-tiba, seorang petugas lewat di hadapan kami.
‘Pak mau nanya, pak. Ini kalau mau keluar kartunya di temepelin dulu, terus mau masuk lagi gimana ?’ kali ini Lendra yang maju untuk bertanya.
‘Ya, keluarin dulu. Nanti beli lagi pas masuk.’
‘Oh gitu, makasih, pak’
‘Nah, keluar dulu’
‘Yaudah, mending lo tempelin sana kartunya. Tap-tapin, kita nunggu disini. Entar, kan, kita masuk lagi. Kita enggak usah keluar, di tap aja kartunya.’
‘Nah, iya, gitu’
Perdebatan yang tidak singkat. Hasil akhir kami putuskan. Lendra dan Een yang akan menempelkan kartu putih itu, yang lainnya menunggu. Masih berdiri di tempat semula.
‘Emang atm BNI dimana, mas Bagus ?’ lagi-lagi saya bertanya seperti itu.
‘Di luar. Kita keluar dulu.’
‘Telpon Ilham lagi deh’
Saya kembali menghubungi Ilham.
‘Halo, mas Ilham. Ini ngumpul dimana ? Tadi aku kayaknya liat Halim, dia pake carriel warna ijo, kan ?’
‘Iya, Ay. Iya itu si Halim. Nunggu di depan atm BNI, yang lainnya udah disana’
‘Oh gitu, oke, makasih.’
Klik.
‘Gimana ?’
‘atm BNI’
‘Berarti keluar’ kalimat tersebut terucap ketika Lendra dan Een kembali bergabung.
‘Kita keluar, Jon’
‘Keluar ?’
‘Iya, ngumpul di depan atm BNI’
‘Lah’
‘Eh, ini udah lo tap-tapin ya kartunya ?’
‘Udah !’
‘Kita keluarnya gimana dong ?’
Kami semua diam.
‘Udah ayo jalan, tanya sama petugasnya’
Kami berenam kembali melangkah, lagi-lagi diam sebentar. Dengan wajah yang menahan sabar, seorang petugas melambaikan tangannya ke arah kami. Persis anak PAUD, kami berenam melangkah nurut menghampiri lambaian petugas.
‘Ini kita mau keluar, pak. Cuma, kartunya udah di tap-tapin. Gimana ?’ entah apa arti mimik wajah yang di perlihatkan sang petugas itu. Tanpa berkata apapun, ia langsung mengeluarkan sebuah kartu, lalu di tempelkannya pada scanner yang ada di pintu keluar. Dengan tertunduk, satu per satu dari kami keluar. Ya Tuhan .. seabsurd itu-kah, kami berenam. Tawa meledak setelahnya. Menertawakan kebodohan yang kelewat batas.

Tak ada habisnya jika harus menceritakan tiap detail apa yang kami lewati, di dalam gerbong kereta. Apalagi jika harus mengulas tentang kekonyolan-kekonyolan persahabatan kami selama kurang lebih tujuh belas tahun. Mungkin akan saya ceritakan di lain waktu.

Garis besarnya, di dalam kereta Rangkas Jaya menuju Rangkas Bitung, kami tak hentinya tertawa. Dari gerbong yang terpisah, lalu buru-buru pindah ketika kereta berjalan. Menyatu di gerbong empat, duduk secara acak. Syukurnya, gerbong kereta itu kosong. Berfoto alay ala cabe dan terong menggunakan tongsis, sampai joget-joget enggak jelas mengikuti irama musik yang di putar dari celah sound system yang ada di kereta tersebut.


At least, adakalanya segala sesuatu yang kadang kita anggap ‘norak senorak-noraknya’ menjadi begitu menyenangkan ketika kita melakukannya bersama mereka yang selalu memberi warna dalam hari-hari kita.


***

16 Agutus 2014, stasiun Rangkas Bitung

Kurang lebih sekitar jam sembilan pagi kami sampai di stasiun Rangkas Bitung, setelah saling berkenalan dengan para pejalan lainnyaIlham dan Halim sudah lebih dulu kami kenal saat di gerbong kereta perjalanan berlanjut dengan sebuah mobil elf berisikan dua puluh orang.
Rangkas Bitung bukan daerah yang sepi. Satu hal yang saya temui di daerah ini adalah, tentang bagaimana mereka menghargai hari kemerdekaan. Sepanjang perjalanan saya melihat, entah berapa pasti jumlahnya, para pelajar yang sedang berlatih gerak jalan. Saya tak mendengar jelas apa yang mereka serukan, kata-kata apa yang mereka teriakkan. Tapi saya dapat merasakan kobaran semangat yang begitu menggebu dari para pelopor muda tersebut.
© haris
pelopor muda di sepanjang jalan Rangkas Bitung
Jalanan menuju desa Cibolegerdesa yang di dalamnya di diami oleh suku baduy cukup bagus, walau ada beberapa jalanan rusak yang membuat sedikit tulang-tulang saya terasa nyeri. Sekitar jam dua belas siang kami sampai di desa Ciboleger. Desa dengan simbol sebuah patung suku baduy.
© aan
desa ciboleger
Saat sampai di desa tersebut, saya di sambut dengan beberapa anak kecil yang menjajakan tongkat atau kayu untuk para pendatang mendaki. Tidak mahal, tiga ribu rupiah untuk satu tongkat/kayu.
© aan
seorang anak kecil yang menjual kayu atau tongkat
‘tongkat, kayu ? buat apaan ?’ saya membatin. Ya, saya sama sekali buta tentag Baduy, tentag trek menuju kediaman suku yang tak pernah beralaskan kaki tersebut. Padahal seorang teman berkata kalau trek Baduy lima kali Bromo. Tapi entah mengapa, saya tak tertarik untuk mencari tahu, saya lebih ingin merasakannya sendiri. Bahkan, ketika malam sebelum perjalanan tersebut, Ipul, Een, dan Lendra menemui saya, ‘jalan-jalan biasa, kan ? enggak kayak naik gunung ?’
‘Enggak. Desa doang’ jawab saya meyakinkan.
© aan
© aan
suku baduy dalam di tandakan dengan ikat kepala berwarna putih
Tapi kemudian, perkiraan saya salah. Memang tidak ada gunung Baduy di Indonesia, yang ada ‘baduy luar’ dan ‘baduy dalam’. Namun demi Tuhan, bagi saya, untuk menuju baduy luar maupun baduy dalam tak sedikit pun berbeda seperti mendaki gunung. Treknya sangat luar biasa. Tidak. Saya tak ingin membandingkan dengan pejalan pemula ataupun senior. Semua sama. Orang yang suka berjalan. Saya tak suka mengkotak-kotakkannya.

Dari desa Ciboleger menuju baduy luar, jalanan yang di lewati adalah tanjakkan, terus dan terus. Tak akan di jumpai jalanan landai. Kalaupun ada bonus tersebut, masih bisa di hitung berapa kalinya. Jalanannya pun tidak setapak, masih bisa di isi dengan dua atau tiga orang dengan sejajar. Tapi ada juga jalan setapaknya, yang hanya bisa di lalui satu orang saja. Di setiap langkahnya, saya di suguhkan dengan berbagai macam pepohonan rindang sampai kering, juga tumpukkan tanah dan batu yang tak beraturan. Sampai di baduy luar, kedua mata saya menatap dengan damai rumah-rumah yang terbuat asli dari bilik bambu tanpa campuran bahan apapun, rumah-rumah beratapkan daun kering yang di sebut sulah nyanda. Nyanda berarti sikap bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agak merebah ke belakang. Bilik rumah dan pintunya terbuat dari anyaman bambu yang dianyam secara vertikal. Dan untuk mengunci rumah tersebut, mereka menggunakan dua buah kayu yang dipalangkan, yang di dorong atau di tarik dari bagian luar rumah.
© aan
leuit dalam bahasa Indonesia (lumbung padi)
take a picture of pondokparahyangancarita.com
rumah suku baduy
Di Baduy Luar, masih saya temui kehidupan sehari-hari pada umumnya. Para wanita kebanyakan berprofesi sebagai penenun, menenun dengan alat yang masih sangat sederhana. Mereka menenun di depan rumah masing-masing, hasil tenunannya pun di pajang tepat di dekat mereka menenun untuk di jual. Harganya bervariasi, tergantung bahan dan ukurannya. Sedangkan para lelakinya, bermata pencaharian sebagai petani.
© aan
Ah iya, ikan asin. Saya sempat dengar dari beberapa teman, kalau mau ke Baduy harus bawa ikan asin. Saya pun tak mau mengabaikan rasa penasaran tersebut, mengapa harus ikan asin ? mang Idong, salah satu suku Baduy yang menjadi guide kami menjelaskan.
‘soalnya disini enggak ada kulkas, jadi, kalau bawa ikan basah enggak awet. Kalau ikan asin, kan, bisa bertahan empat sampai lima hari’
Hah ? Saya tercengang dengan jawaban tersebut. Sesederhana itu-kah ? Hanya karena mereka tidak memiliki kulkas. Ya, ya, saya mengangguk paham.
Perjalanan yang banyak tertunda dengan beberapa kali istirahat juga foto bersama itu menghasilkan kenikmatan yang tak ternilai bagi diri saya. Saya selalu menyukai berada di tengah alam, merasakan keindahan karya Tuhan yang tidak pernah sederhana.
Walau sejatinya, perjalanan hanya perlu dinikmati agar bisa terekam dalam memori, memori terbaik pada manusia. Ingatan. Bukan pada gambar yang kapan saja bisa hilang.

Sekitar jam lima sore, kami sampai di Baduy Dalam kampung Cibeo. Ada jembatan perbatasan antara Baduy Luar dengan Baduy Dalam, dan setelah melewati sebuah jembatan gantung tersebut, tidak boleh ada lagi pengambilan gambar, juga tidak di perkenankan mengeluarkan telepon genggam. Hidup dengan bergantung hanya pada alam.
© aan
© aan

© aan
Seluruh bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke

utara-selatan dan saling berhadapan. Tidak di perkenankan menghadap barat dan timur berdasarkan adat. Di kampung Cibeo ada 80 rumah dengan 100 kepala keluarga. *)

Suku Baduy masih hidup dengan kepercayaan, yang saya dengar dari Halim, mereka percaya akan adanya Tuhan, toh, mereka begitu menghargai alam. Hanya saja, mereka mengikuti ajaran nabi Adam a.s., yang pada saat itu belum datang perintah sholat. Seperti yang dikatakan juga oleh mas Lukman, bahwa mereka percaya akan adanya Tuhan, bagaimana mungkin mereka enggak percaya, kalau mereka pada dasarnya paham, alam ini ada yang menciptakan, tidak terjadi dengan sendirinya.
© aan

© aan

Saya tidak berani mengomentari tentang kepercayaan apa yang mereka anut, jika saya mengatakan mereka atheis, itu salah, karena mereka percaya pada Tuhan. Namun, jika saya menebak apa kepercayaan mereka, saya tidak punya wewenang sedikit pun. Mungkin, jika saya simpulkan dengan menerka-nerka, mereka hidup dengan kepercayaan hasil keturunan. Ya, mungkin saja.

***

Malam menyapa, jangan heran jika tak ada cahaya apapun di kampung itu. Baduy tak mengenal listrik, tidak ada PLN disana. Mungkin bukan tidak mengenal, tapi mereka memilih tidak mencari tahu. Rombongan kami dibagi menjadi dua, kami menginap di dua rumah yang berbeda. Saya bermalam di kediaman mang Idong, laki-laki yang mempunyai satu isteri dan dua anak, ah, dua atau berapa saya lupa menanyakannya. Rumah sangat sederhana yang pernah saya datangi. Tidak ada kasur sebagai alas tidur, selimut, lampu atau apapun. Polos. Kosong. Hanya ada lantai yang terbuat dari anyaman bambu, lantai yang di tutup dengan tikar.

Menjelang malam, sharing diantara kami pun tercipta, sambil menikmati makan malamnasi+ayam goreng yang di pesan dari Baduy Luar, saya mendengarkan cerita yang di bagikan oleh bang Sony, cerita horornya ketika mendaki Rinjani. Sialnya, cerita itu hadir ketika suara angklung terdengar nyaring di luar sana. Ya, malam itu, anak-anak Baduy memainkan alat music tradisional, angklung. Mungkin itu hiburan mereka, bukan handphone dengan tumpukkan jejaring sosial. Kenapa ya Tuhan .. pada saat horror seperti itu, rasa kebelet pipis itu hadir. Saya berhenti menjadi pendengar bang Sony, saya bersama Ratna menghampiri rumah satunya lagi, menemui teman-teman ‘konyol’ saya pastinya.

‘Len, Ipul, een. Anterin gue yuk, gue mau kencing’ rengek saya kepada mereka yang sedang duduk entah mengobrolkan apa.
‘Yaelah, masih sore juga. Takut banget’
‘Eh sumpah, gelap banget. Ke sungai. Enggak-enggak. Gue enggak berani’
‘Lagian, beser banget sih’
‘Botol ada enggak botol ?’
‘Dih, jorok. Udah ayo’
saya menyengir bahagia. Lendra dan Ipul berdiri, membawa senter. Bagus dan Ratna mengekor keluar.
‘Bukannya gue enggak setiakawan nih, tapi gue enggak berani. Gelap banget’ ucap Ratna yang berhenti di tengah jalan. Saya sempat berpikir, tahan enggak ya, sampai pagi, tapi sepertinya itu bukan pilihan yang tepat. Lagi pula, dimana bintang ? kenapa langit malam itu sepi ?
‘Udah ayo’ Ipul melangkah lebih dulu. Saya dan Lendra mengekor.
‘Jangan nyenter kemana-mana, ke bawah aja’ Ipul mengingatkan.
Bagaimana bisa, mereka bertahan dengan kehidupan seperti ini. Tanpa cahaya. Hidup dalam kegelapan alam.
‘Udah nongkrong !’
‘Senter aja-lah enggak apa-apa, sama lo berdua ini’
‘Dih, udah cepetan sana’
‘Eh, gue enggak berani. Sumpah !’ saya masih berdiri di sebelah Ipul. Lendra dan Ipul menatap saya menyerah.
‘Udah nongkrong !’
‘Enggak cebok, ya ? pake tissue aja’
‘Enggak bersih’
Oke. Saya menyerah, saya membungkukkan badan perlahan, menongkrong sambil terus mendekap satu kaki Ipul. Ya, untuk pertama kalinya saya buang air kecil sambil memeluk satu kaki seorang laki-laki, teman terbaik saya.
‘Udah ?’
‘Udah sih, tapi masih pengin lagi’ ucap saya yang sudah berdiri dengan bawahan yang sudah tertutup.
‘Ya Allah, kencing aja bersambung, dua sesi’ celetuk Lendra. Pada saat itu, ada dua orang ibu-ibu yang datang untuk mencuci piring.
‘Itu tuh, sana minta temenin ibu-ibu’
Alhamdulillah, akhirnya tuntas juga masalah buang air kecil.
Saya tak dapat membayangkan, apa jadinya saya kalau harus tinggal lebih lama di tempat itu. Baduy Dalam kampung Cibeo.

But, happiness is a habit. Saya paham, mereka bahagia. Sebenarnya mereka bisa keluar dari kampung mereka, menemukan kehidupan yang lebih ‘layak’ lagi, mendapatkan hal-hal lain yang tidak monoton, tapi sepertinya, mereka terlalu nyaman menyatu dengan alam. Sehingga mereka lupa, banyak hal lain di luar sana yang tidak mereka ketahui. Karena mereka sudah mendapatkan semuanya disini. Di tanah kelahiran mereka.

***

Saya dengar dari mang Idong, pernikahan antar warga yang berbeda pernah ada. Hanya saja, mayoritas, mereka menikah dengan satu suku. Kalaupun ada yang menikah dengan ‘orang luar’, si warga Baduy Dalam yang harus keluar dari kampung mereka. Bukan si pendatangnya yang masuk menjadi warga Baduy Dalam. Namun persaudaraan tidak pernah putus, kapan pun ingin menemui keluarganya, mereka akan tetap menerima.
Dalam suku Baduy, di silsilah keluarganya ada hal yang menarik. Saya mendengarnya dari Lia, saat perjalanan pulang, kembali ke Jakarta. Suku Baduy menggunakan nama anak pertama sebagai nama belakang sang Bapak. Berkebalikan dengan kebiasaan orang-orang kota yang melabeli namanya di belakang nama sang anak. Jadi, misal, mang Idong punya anak namanya Saka (maafkan saya, saya tidak tahu nama anak mang Idong), nah, saat Saka lahir, nama mang Idong berubah menjadi Idong Saka. Begitu seterusnya, ketika Saka menikah, lalu punya anak, namanya akan bertambah satu kata. Belakang nama tersebut hanya berlaku dari anak pertama.
Tentang menghargai alam, tak perlu di pertanyakan. Suku Baduy Dalam tidak akan pernah merusak alam. Bahkan, untuk sekadar menggunakan sabun atau pasta gigi saja, mereka tidak melakukannya. Ya, mereka tidak ingin mencemari air sungai yang notabennya ‘toilet’ juga kebutuhan harian mereka. Mas Wildan juga bercerita kepada saya, suku Baduy menggunakan bambu sebagai wadah menyimpan air. Ini bukan hal yang tak membuat saya menarik. Jadi, ada dua bambu. Bambu pertama, mereka bentuk menyerupai gelas, ya, bambu yang di gunakan untuk minum. Bambu kedua, bambu dengan ukuran lebih besar, tidak di lubangi besar seperti gelas, melainkan di beri dua lubang kecil di sisinya. Bambu yang di gunakan untuk menyimpan air. Mungkin, botol kalau terjemahan kita. Mas Wildan juga mengatakan, suku Baduy tidak mementingkan siapa Presiden atau apapun urusan Negara, mereka ikut saja. Namun, sejengkal saja, tanah mereka di usik, mereka akan langsung bertindak. Ya. Mereka sudah tenang dengan kehidupan mereka.

***

17 Agustus 2014, satu bukit di Baduy Luar
© aan
Kami, empat puluh orang berdiri dengan posisi tangan kanan terangkat menyentuh alis. Menatap dengan takzim dua warna yang terpadu penuh makna.

Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya
Untuk Indonesia raya

Indonesia raya, merdeka-merdeka
Tanahku negeriku yang ku cinta

Indonesia raya merdeka-merdeka
Hiduplah Indonesia raya

Di bait terakhir, sangsaka merah putih berkibar cantik sekali, membuat darah saya mengalir lebih cepat. Saya bergetar. Bangga.

Selamat ulang tahun Indonesia. Kau patut bangga karena memiliki pemuda-pemudi yang selalu mengagumi setiap bulir tanah yang ada di dalam riwayatmu.Jangan khawatir Indonesia. Disni, di setiap langkah para pemuda-pemudi, keindahanmu akan selalu di perkenalkan pada dunia.Jangan pernah ragu Indonesia. Di pundak ini, akan selalu bertengger ransel untuk menjelajahi penjurumu.
Saya beruntung ada di tengah-tengah empat puluh orang tersebut. Ini tentang perjalanan, dan, kamu, yang masih ragu untuk melangkah, mau sampai kapan hanya menjadi pendengar dan pembaca cerita-cerita. Melangkahlah ! Rasakan ! Lalu ceritakan ! Jangan tunggu orang lain mengajak, tapi putuskan untuk berani memulai, memulai untuk melangkah.
© haris

© aan

© aan

© aan
© aan
© aan
© aan


Ketika kebanyakan orang berbicara tentang keindahan negeri diatas awan, kami hanya mensyukuri indahnya keramah-tamahan budaya Indonesia
-Halim-

Baduy, 17 Agutus 2014


*) www.kebudayaanindonesia.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar