Minggu, 14 September 2014

KAU di PRAU

‘jangan pernah sekali-kali naik gunung, karena setelahnya akan menagih untuk kembali’
Bukan kalimat yang salah, sebagian orang yang melabeli dirinya sebagai pendaki pasti membenarkan pernyataan tersebut.

Prau, diambil dari kata Prahu. Gunung yang terletak di dataran tinggi Dieng tepat di perbatasan Kabupaten Kendal dengan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Gunung dengan ketinggian 2.565 mdpl.
Ini kali kedua saya akan mendaki, mendaki yang sesungguhnya setelah gunung Papandayan di daerah Garut. Saya sudah sejak lama jatuh cinta dengan segala sesuatunya yang berada di Dieng. Semuanya. Saya merindukan hawa dinginnya yang meski menusuk ke ruas-ruas tulang rusuk saya, keindahan alamnya yang tak pernah habis untuk di deskripsikan dengan kata, jenis makanan yang selalu membuat lidah saya ingin terus menikmatinya, dan keramah tamahan para penduduknya. Saya selalu ingin kembali kesana, lagi, dan lagi.

Percayakah pada kemauan ? Saya sangat mempercayainya. Dimana ada kemauan, selalu ada celah untuk memberi jalan. Tanggal 5 September 2014, sudah saya lingkari untuk rencana perjalanan saya ke Prau, dengan ataupun tanpa banyak orang. Ini kaki saya, ini kemauan saya, jadi suka-suka saya, saya selalu mendoktrin diri saya untuk  melakukan hal-hal yang sejatinya saya sukai, terlepas dari banyaknya tanggapan orang lain. Tapi sungguh, ada batas yang kadang membuat saya berpikir untuk melakukan beberapa hal, batas yang di buat oleh orang tua saya. Batas yang kadang ingin saya lintasi, namun saya tahu, saya akan menyesal bila melewatinya. Bukankah memang pepatah lama, bahwa restu orang tua adalah segalanya. Dan saya memakai pepatah tersebut. Bersyukurlah saya karena hidup dalam cetakan dua manusia yang tak pernah memberi batas akan apapun yang ingin saya lakukan, selama itu tidak merugikan orang lain. Orang tua yang menjejali saya untuk terus bersyukur akan kesempatan hidup.

Jumat malam, 5 September 2014 hujan deras mengguyur Bekasi, tempat tinggal saya. Malam dimana saya akan kembali melakukan perjalanan, menemukan ketidak tahuan, menjalin sebuah pertemanan dan mengukir tumpukkan cerita. Saya berangkat dari tempat tinggal saya sekitar jam sepuluh malam, menembus hujan bersama seorang teman terbaik saya, teman yang selalu ada. Jumlah kami sembilan belas orang, sembilan belas orang yang tak saling kenal dengan latar belakang yang berbeda.

Elf yang saya tunggu datang, elf yang di dalamnya sudah bermuatan. Lucunya, ketika mini bus itu datang, beberapa orang yang sedang duduk di halte bersama saya segera bangkit. Mereka semua merapat ke elf itu, berniat naik. Ya, mereka mengira kalau elf tersebut adalah omprengan menuju Cawang.

“Ini bukan mau ke Cawang, mau naik gunung, mau ikut ?” kata salah seorang dari kami ketika ada mas-mas yang ingin masuk ke dalam elf. Saya geli dalam diam.

Baiklah. Saya sudah duduk di barisan paling belakang di dalam elf itu. Duduk di tengah tiga orang laki-laki asing. Dua orang lainnya sudah saya temui beberapa menit lebih awal, karena mereka berdua sama-sama berasal dari Bekasi. Jadi, kami menunggu elf di halte yang sama untuk beberapa menit. Ari dan bang Ari. Satu orang lain yang duduk tepat di sebelah saya bernama Rangga. Saya suka awal pertemuan, kaku, dan serba enggak enak untuk berkata-kata, tapi saya yakin, itu hanya untuk beberapa saat saja. Setelahnya, kami akan seperti sahabat lama.

November 2013 untuk pertama kalinya saya mengenal Dieng. Sebuah dataran tinggi yang menumbuhkan rindu dalam kehidupan saya. Dieng sama sekali tak pernah masuk dalam benak saya, perjalanan kesana pun tidak di sengaja, dan kali ini, saya akan ke Prau. Salah satu gunung yang ada disana.

Menurut beberapa informasi, saya akan melewati trek yang santai karena landai. Tidak berat seperti kebanyakan gunung lainnya. Namun ternyata, dugaan saya salah.

Perjalanan Bekasi-Dieng memakan waktu kurang lebih 13 jam. Kami mampir di beberapa pom bensin dan rumah makan untuk meluruskan pinggang beberapa menit. Adalah kawasan candi Arjuna yang menjadi step awal perjalanan tersebut. Sekitar jam dua siang kami masuk ke dalam kawasan candi yang berdiri di tengah-tengah rumput itu. Sama. Keadaan yang sama dengan beberapa bulan lalu. Perlahan, rindu itu terobati, memori akan kedatangan awal saya pun berputar. Mungkin, selalu seperti itu ketika kita menngunjugi tempat yang sama di waktu berbeda dengan orang yang berbeda. Ada buih-buih kenangan yang tidak mau absen untuk mengisi. Ya, ini perjalanan, bukan soal tempat. Perjalanan yang salah jika harus sekali saja di kunjungi, karena sejatinya tak pernah ada kata rugi bagi pejalan untuk mendatangi tempat yang sama berkali-kali. Saya berdiri di pelataran agak tinggi, tepat di depan sebuah mushola, bediri menatap ke tumpukkan anak tangga, bayangan-bayangan kecil hadir disana. Gelak tawa terngiang di telinga saya. Wajah-wajah penuh senyum pun bermunculan. ‘aku kembali’ bisik hati kecil saya.


Siang menjelang sore itu tidak sama sekali sepi. Setelah seminggu sebelumnya ada acara Dieng Culture Festival, kali ini ada satu acara yang di usung oleh sebuah kelompok motor. Tapi sudahlah, alam tak pernah protes bukan untuk di nikmati oleh siapapun ?
Candi Arjuna dengan jejeran bunga kuning berbentuk trompet selalu menarik untuk di pandang. Angin sore yang menyapa bagian hangat dari sebuah ucapan ‘selamat datang’. Dan untuk melengkapi kerinduan itu, saya memakan satu cup carica dengan rasa yang tentu saja sama. Carica adalah sejenis buah, persis papaya, buah khas Dieng.

“Ya, kayaknya kesorean deh kalau kita ke telaga warna sama kawah sikidangnya sekarang. Besok aja gimana ?” Hanif, seorang teman yang telah menjadikan nyata rencana perjalanan saya kali ini menyarankan.
“Bebas gue sih”
“Iya. Soalnya, gue takutnya nanjak udah gelap. Jadi, besok kita turun pagi-pagi, langsung eksplore deh”
“Oke. Cakep”

Deal.

Sekitar jam tiga sore, kami kembali masuk ke dalam elf dan meninggalkan kawasan candi Arjuna. Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan dari kawasan candi Arjuna menuju basecamp penanjakan gunung Prau di desa Patak Banteng. Hanif, Angga dan saya lupa siapa lagi yang merapat untuk mengurus Simaksi, sedangkan yang lainnya bersiap untuk memilah apa saja yang harus di bawa dan apa yang mau di tinggal di elf. Sayangnya, hampir semua harus di bawa, tidak ada apapun yang ingin di tinggal di elf, tapi saya menitipkan sesuatu, celana jeans yang lumayan meringankan beban carriel. Setelah Simaksi beres, para pejalan sudah siap dengan beban-beban di pundaknya, kaki kami pun siap untuk melangkah, mengukir jejak demi jejak perjalanan.
© aya
© Uzi
Patak Banteng tidak sepi, entah mengapa akhir-akhir ini kesepian sulit sekali saya dapati. Manusia-manusia berhamburan dimana-mana, tak ada lagi kesunyian yang saya temui. Kesunyian tersebut hanya mampu saya ciptakan, tak lagi mudah di temukan.

Trek pertama yang kami lewati adalah jalanan aspal menanjak. Ya, bebatuan dengan sisi-sisi yang tak membosankan untuk di pandang. Ah, saya lupa menyebutkannya, kalau di Dieng, lapisan tanahnya indah sekali. Untuk sampai di pos I, trek yang di lalui terus seperti itu, bebatuan menanjak. Ada tiga pos yang harus di lalui, dan pos terakhir adalah puncak. Tidak ada Summit di gunung Prau, para pendaki nenda di puncak.
© aya
© indah

Saya tak menghitung detik, berapa lama untuk sampai di pos I. Pemandangan yang begitu menghipnotis telah mengalihkan segalanya. Setelah melewati pos I, trek selanjutnya tak lagi bebatuan beraspal, melainkan tanah kuat dengan beberapa bebatuan di celah-celahnya. Ada juga akar yang menjadi pegangan para pendaki. Aneh, rasa lelah sama sekali tidak menghampiri saya. Saya begitu menikmatinya, menikmati setiap pijakan dalam langkah saya. Mungkin saya terlalu berbahagia akan perjalanan ini, saya seperti ingin menemui apa yang sudah lama ingin saya temui. Sampai di pos II, kami berhenti sejenak, Rangga memasak air dan membuat teh hangat, ah, pendakian yang sangat menyenangkan. Beberapa menit kami habiskan di pos II, saling tegur sapa dengan rombongan lain, tertawa dengan lelucon yang layak untuk di tertawakan, dan menikmati saling bergantian teh manis hangat yang di buat Rangga. Betapa, naik gunung itu bukan sesuatu yang keras, bukan pula di khususkan untuk mereka yang berjiwa baja. Justru kehangatan dan berbagai kekonyolan itu saya temui dalam pendakian. Saya mensyukurinya.

© indah



Sore telah pergi, gelap menyapa. Pendakian dari pos II menuju pos III tak lagi mudah dan santai seperti awal. Treknya pun tak bisa di katakan landai, karena beberapa kali cukup membuat saya sangat berhati-hati, fokus dan tak ingin lepas dari konsentrasi. Namun, apa-apaan ini, hah, Tuhan, terima kasih.
© ulian
© aya
© goro

Dalam pendakian menuju pos III dengan hadiah trek yang tak lagi santai, saya di hadiahi sebuah petang yang luar biasa indah. Petang yang tak akan pernah saya lupakan. Meski lelah, meski dingin telah benar-benar sukses menyelinap ke ruas-ruas tulang rusuk saya, semua tertutup dengan kendahan primadona yang ingin berpamitan.

Sungguh. Cantik sekali.

© aya
gambar ini diambil ketika turun
Pos III terlewati. Pos, yang setelahnya akan saya jumpai kejutan dalam pendakian kali ini. Sederhananya masih sama, tanah, bebatuan dan akar, namun yang mengejutkan saya, tanah yang menjadi pijakan adalah tanah PHP, kenapa saya katakan PHP ? karena ketika tanah itu saya jadikan pijakan, ia akan gembur, hancur. Seolah memberi harapan namun kemudian menghancurkannya, menghancurkan kepercayaan yang telah saya berikan. Tidak salah bukan kalau saya menyebutnya tanah PHP. Ini menegangkan, saya harus mengakuinya.
© mikel
Di kolong langit yang gelap, bintang-bintang tersenyum cantik menerangi. Alam menyaksikan beberapa barisan manusia yang ingin menyatu dengannya. Saya yakin, jagad semesta selalu ingin mengucapkan terima kasih pada manusia-manusia yang menikmati keberadaannya. Trek tanah PHP ini benar-benar membuat saya tersadar, kalau kematian itu terasa begitu dekat. Saya menarik napas panjang sekali, memejamkan mata di waktu menunggu giliran untuk menanjak. Ya, di trek tersebut, harus satu persatu yang melaluinya, tidak bisa berbarengan, jadi, kami bergantung pada sebuah tali yang kokoh, seperti flying fox, atau climbing tanpa tebing, ah, apa-lah, saya tidak mampu memilih gambaran yang tepat untuk mendeskripsikannya. Jadi begini, di trek tersebut tidak ada sama sekali pegangan apapun kecuali tali tersebut. Tidak. Tidak ada akar, pohon, kayu, batu atau apapun yang bisa menjadi pegangan untuk bertahan melewati tanah gembur tersebut. Bayangkan, tanah yang di injak itu, ketika kita menginjaknya, ia akan menjatuhkan kita, rontok, sedangkan tak ada sesuatu pun untuk menjadi pegangan kita. Apa yang akan terjadi ? Oleh karenanya, tali kokoh berwarna hijau army itu ada. Menyelamatkan para pendaki, menjadikan dirinya sebagai pegangan kuat untuk menopang barisan manusia yang menggantungkan dirinya padanya.

“Kak Aya” lirih mba Yuli, seorang teman perjalanan saya.
“Ingat Allah mba, baca bismillah” dalam embusan napas yang sama sekali membawa jauh pikiran saya, tak ada lagi yang mampu saya ingat kecuali Tuhan.
“Ari, baca bismillah” ucap saya juga pada Ari, pun teman perjalanan saya yang masih duduk di bangku SMA. Laki-laki remaja yang ingin saya lindungi layaknya adik.

Saya tidak sendiri. Tidak akan pernah merasa sendiri. Saya menoleh kebelakang, wajah-wajah yang menyimpan berbagai macam perasaan itu ada disana, menemani saya. Saya menarik napas panjang sekali lagi, sudah waktunya, giliran saya untuk mencoba bergantung pada tali kokoh tersebut.

Dan .. .. amazing, saya melalui trek tersebut dengan telapak tangan telanjang. Saya hanya mensugesti diri saya, ‘kalau lo lepas, lo akan jatuh. Kalau lo jatuh, lo pasti bangkit lagi, kok. Tenang. Yakin’. Ketika saya mampu melalui trek tersebut, seulas senyum terima kasih tergambar di wajah saya. Juga ucapan itu terlontar untuk beberapa orang yang menjadi relawan untuk memberikan uluran tangan bagi mereka yang telah bergantung pada tali tersebut. Ya, terima kasih.

Tanah PHP itu terlewati, tali hijau army itu telah sempurna menyelesaikan tugasnya kepada saya. Trek selanjutnya, masih cukup membuat saya merasa kematian begitu dekat. Tanah menanjak yang licin. Saya harus pintar-pintar memilih pijakan dengan lenggang kaki zigzag, karena keadaan celah yang cukup luas.

Sampai.

Angin malam dengan semilir yang menyejukkan menyapa dalam balutan kehangatan.

“Assalammualaikum, Prau” ucap saya dengan mata terpejam. Saya mengembuskan napas pelan, mempersilakan deru angin itu masuk melalui celah ruas-ruas tulang saya. Menerimanya dengan damai, seperti Prau yang menyambut saya dengan begitu ramah.

Seseorang dari rombongan saya yang sudah sampai lebih dulu menghampiri, menunjukkan dimana letak tenda yang sudah jadi.

“Indah sama yang lainnya masih di bawah, Ro. Kamu tunggu sini, Ya”
“Iya mba” Goro, laki-laki yang beberapa tahun lebih muda dari saya menunjukkan dimana letak tenda yang bisa langsung saya masuki.

Sekitar jam tujuh malam, mungkin, saya sampai di puncak gunung Prau. Saya tidak sempat melihat jarum jam berhenti di angka berapa, saya terlalu tidak percaya, kalau detik itu saya sudah berada di puncak gunung Prau. Gunung yang beberapa bulan lalu ingin sekali saya kunjungi. Gunung yang seolah memanggil saya untuk memenuhi undangannya. Saya masuk tenda, dan sama sekali tak mau keluar lagi.

Setelah mengganti pakaian dan menumpuknya beberapa lapis di tubuh saya, sambil menunggu rombongan yang lain datang. Saya, mba Fitri, mba Na, dan mba Yuli masih terdiam kedinginan.

“Ayaa”
“Iya mba, masuk”

Mba Titin, salah seorang dari rombongan pun masuk bersama Indah. Kami semua berkumpul di satu-satunya tenda yang sudah jadi, rombongan berakhir dengan kedatangan Sinta. Setelah istirahat sejenak, dan beberapa orang laki-laki sudah mendirikan tenda, Sinta, mba Yuli, mba Titin dan Indah berlalu. Mereka memasuki tenda-tenda yang di atur sesuai kelompok. Tinggallah saya, mba Fitri, mba Na, Goro dan bang Ari. Kami memutuskan untuk masak di dalam tenda. Selain karena memang lebih simple, masak di dalam tenda juga cukup memberikan kehangatan.

Air panas sudah matang. Aroma pop mie mulai tercium, kami pun merebus bakso dan mencampurnya dalam indomie. Obrolan hangat pun tercipta disana.

Entah jam berapa, kami memutuskan untuk tidur. Sebelumnya, Goro mengecek tenda yang lainnya, tapi ternyata mereka pun memilih berdiam di dalam. Ya, angin Prau begitu mengigil, kabut pun cukup tebal malam itu.

“Ini, minum ini dulu sebelum tidur” ucap bang Ari sambil memberikan satu tablet obat yang di jelaskannya adalah obat untuk kaki supaya besok pagi ketika bangun mengurangi rasa pegal. Beruntung sekali saya, satu tenda dengan bang Ari yang seorang dokter.

Saya tidak tahu, Goro dan bang Ari tidur atau tidak. Tapi satu hal yang saya yakini, setelah meminum satu tablet antimo dan satu tablet obat yang diberikan bang Ari, saya langsung terlelap. Tidur dalam kantong sleeping bag yang masih belum cukup menghangatkan.

***

“Ayo mba bangun ! ini bintangnya bagus banget. Di luar enggak begitu dingin, kok” suara Goro membangunkan saya. Saya mengembuskan napas kedinginan.
“Aya mau pipis, enggak ?” mba Fit dan mba Na juga bangun.
“Enggak, mba, aku lagi datang bulan, takut ah”
“Kalau mau pipis, pipis aja, jangan di tahan, gak baik. Nanti di bersihin”
“Enggak mba, aku enggak mau pipis”
“Beneran nih ?”
Saya mengangguk. Mba Fitri dan mba Na pun keluar, saya mengekor.
“Mba, aku ikut deh”
Ya. Saya memang ingin buang air kecil. Tapi, keadaan saya yang sedang datang bulan membuat saya tidak nyaman. Tapi baiklah, kesehatan saya jauh lebih penting. Lagi pula, saya tidak akan mengotori sedikit pun alam ini. Saya hanya ingin buang air kecil, dan saya akan membersihkannya.

Kami bertiga menemukan toilet yang ‘pas’. Tidak perlu di jelaskan, di gunung, setiap sudut di semak-semak adalah toilet. Hehehhe.

Saat kembali ke tenda, saya tidak langsung tidur. Saya duduk dengan gigi yang menyatu. Rasanya dingin sekali.
“Mba keluar mba, ini indah banget” panggil Goro yang terus-terusan membuat saya tak tahan untuk tidak keluar.
“Mba Fit sama mba Na mau keluar enggak ?”
“Enggak, ah. Gue mau tidur” mba Na langsung memutuskan. Mba Fitri pun memutuskan untuk terlelap. Jadilah, saya, Goro dan bang Ari yang melawan dingin malam itu.

Subhanallah ! amazing ! speechless.

Lupakan dingin ! Lenyapkan rasa kantuk ! Bunuh rasa lelah !

Asap yang keluar dari mulut saya perlahan hilang. Saya menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, lalu memasukkannya ke dalam saku jaket.
“maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?” Goro mengucapkan kalimat itu, saya mengangguk, lalu membacakan ayat yang di ulang sebanyak tiga puluh satu kali dalam kitab saya itu dengan lirih.


© bang Ari
Langit gelap keunguan dengan bintang yang bertugas menerangi membuat saya kaku, membeku, bukan hanya karena kedinginan, namun karena lukisan alam nyata yang sedang saya nikmati.  Hamparan luas rumput yang tak lagi terlihat karena gelap, masih mampu saya rasakan untuk berpijak. Saya menengadahkan kepala, dengan mata terpejam, angin kencang membuat wajah saya begitu beku. Ini romantis.
© bang Ari
Prau memberikan saya kedamaian dalam kerinduan yang membuat saya tak henti berucap syukur. Layaknya alam terbuka yang selalu membuat saya merasa lebih dekat dengan sang Pencipta. Dingin dalam balutan kehangatan ucapan terima kasih, terima kasih atas kesempatan hidup dengan jutaan kejutan yang tercipta.

Apa yang Goro bilang benar, “Sekarang, atau enggak sama sekali” begitu ucapnya pada diri sendiri untuk melawan tumpukkan alasan yang membuatnya harus terlelap dalam tenda. Tapi ia memutuskan untuk keluar, berdiri menikmati alam yang bergitu cantik.

Begitu juga dengan saya, saya selalu membisikkan pada diri saya sendiri, dalam perjalanan tidak layak di gunakan untuk terlelap. Tidur ada tempatnya. Bukan pada waktu melakukan perjalanan.

Tapi belakangan, entah mengapa, tidur menjadi kebutuhan begitu besar dalam hidup saya. Dua puluh empat jam yang saya miliki, bahkan setengahnya saya gunakan untuk tidur. Ya, akhir-akhir ini, impian yang saya kejar membuat saya tak lagi bersemangat. Tidak. Saya tidak mengatakan kalau saya akan berhenti, saya hanya sedang beristirahat, sebentar saja.

Ah, beruntung sekali saya satu tenda dengan dua laki-laki tersebut. Goro dan bang Ari. Goro begitu bersemangat, walau agak lebay dengan cerita cintanya yang kayak FTV, ya, dia beralibi ‘mengapa saya bercerita soal kisah cinta saya malam itu, karena saya lagi kedinginan mba, jadi saya cerita sama mba Aya deh’. Sedangkan bang Ari, selain doi seorang dokter, dia juga seorang penyelam dan photographer. Bahagia sekali saya bertemu dengan dua manusia itu. Menjadi model bang Ari semalaman. Itu juga salah satu hadiah terindah.

“Aya, Aya coba sama Goro berdiri di sebelah sana, nah, cakep, gilaaaa” ucapnya sambil mengarahkan kamera yang terpasang di ujung tripod miliknya.
“Ro, kita mah nurut aja ya, jadi modelnya”
“Iya, mba, lumayan”
Kurang lebih dua jam saya bertahan, suhu tubuh saya benar-benar tak lagi mampu menahan dingin yang menusuk. Belum lagi, jam empat dini hari saya harus terbangun lagi untuk menyambut sang primadona.

“Aya tidur aja sana” ucap bang Ari, tanpa penolakkan, saya langsung masuk ke tenda, menyelinap ke dalam sleeping bag, terlelap.

***

“Waaaah .. udah pagi, udah pagi” Goro terkejut ketika alarm dari ponselnya berbunyi. Saya pun langsung bangun dan bergegas keluar. Bang Ari masih terlelap, di bangunkan Goro dengan beberapa kali tepukkan. Mba Fitri dan mba Na pun terbangun. Ah, mba Na ini pulas sekali. Entahlah apa yang terjadi setelahnya, yang pasti, saya langsung keluar bersama Goro, lalu di susul mba Fitri. Barisan manusia sudah terlihat disana, apalagi yang mereka tunggu selain sang primadona pagi itu.

“Kak Aya” ada suara yang meneriaki nama saya, rombongan perjalanan saya. Kami semua berkumpul, menatap arah datangnya matahari. Pagi itu, kabut begitu tebal, persis awan yang bergumul indah sekali. Langitnya masih gelap, namun cerah, paduan warna yang menawan, abu-abu, orange, dan putih. Aaaaah .. saya tidak bisa menjelaskannya, sangat indah, indaaaaah sekali.

Saya berdiri tepat, dekat dengan datangnya sang primadona. Tidak sekali pun saya mengalihkan pandangan saya. Tidak. Saya tidak ingin melewatinya, bahkan sekadar untuk mengabadikannya dengan kamera ataupun ponsel. Saya lebih ingin menikmatinya, merekamnnya dalam ingatan, mengabadikannya dalam gambar yang tak akan pernah terhapus di memori otak saya.

“Itu .. itu dia muncul” histeris seseorang yang berdiri tak jauh dari saya.
“Waaaaaaah” suara kekaguman itu pun keluar dari mereka yang menyaksikan keindahan pagi itu. Tidak ada yang dapat saya lakukan, tidak ada sama sekali, detak jantung saya begitu beraturan, damai dengan segala ketenangan. Bibir saya bergetar, napas saya sesak, perlahan, wajah saya yang begitu dingin terasa hangat dengan sudut-sudut mata yang basah. Saya merasa, semburat primadona orange itu tersenyum kepada saya, senyum dengan bisikkan terima kasih. Terima kasih atas perjuangan yang telah saya berikan, terima kasih atas kesabaran saya dalam menantinya. Saya pun tersenyum menyambutnya, senyum yang tak berganti sampai ia kembali pergi. Pagi yang begitu romantis. Romantisme yang saya dapatkan di prau. Kau di Prau.
© aya

© indah

Dari puncak Prau, saya dapat melihat Merbabu, Sindoro dan Shumbing berdiri dengan gagah.

***

Sebelum turun dan bergegas kembali pada rutinitas yang menanti, kami semua berkumpul untuk membuat menu sarapan.
Ini yang saya suka dalam pendakian. Makan besar dengan segala menu yang tidak biasa.
Mungkin bisa di pikirkan jawabannya, ‘kenapa ya, kalau lagi di gunung, yang suka masak itu cowok ?’
Ya, saya juga heran, setiap naik gunung, yang menjadi chef adalah para kaum adam. Dari masak air, nasi sampai ke lauk pauknya, kami para wanita hanya menonton lalu menikmatinya dengan berbagai komentar. Saya tidak tahu mengapa.
© mba yuli
Menu pagi itu, nasi putih di campur dengan telur orak-arik, bakso dan sosis goreng, tumis tempe dan buncis, abon sapi, sambal kacang (ketoprak), bihun, lontong, tahu goreng. Semuanya jadi satu di atas kertas nasi yang di tumpahkan di atas trash bag. Nikmatnya menu pagi itu.

Selesai sarapan dan intermezzo penuh kehangatan, kami semua mengumpulkan sampah, packing masing-masing, dan menggulung tenda.

Prau. Terima kasih *senyum termanis*

Saya turun lebih dulu bersama mba Fitri, mba Na, Ari, Goro dan bang Ari. Kembali melewati jalur yang sama, sebenarnya ada jalur yang lebih landai, melewati padang savanna, tanpa tanah PHP dan tali hijau army itu, tapi butuh waktu yang lebih lama jika lewat trek tersebut. Oleh karenanya, kami memilih jalur yang sama. Dan, turun selalu tak lebih mengejutkan daripada naik.


Sekitar tiga jam saya sudah berada di bawah, membersihkan tubuh dan mengisi perut sambil menunggu rombongan lainnya.

Perjalanan berlanjut dengan bertamu ke telaga warna kawasan Dieng. Telaga pengilon, telaga berwana cokelat dan hijau tosca, masih sama, tak pernah bosan untuk di nikmati.
© ari
© ari

Perjalanan selalu menyenangkan, memberikan saya banyak hal lebih, ya, sejatinya setiap orang adalah traveler, dalam bentuk apapun. Oleh karenanya, saya tidak akan pernah berhenti untuk berjalan. Melakukan perjalanan, karena semua manusia akan mengalami titik pemberhentian tersebut ketika tiba giliran mereka berhenti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar