Senin, 15 September 2014

HELM HELLO KITTY

“ini ngapain beli gosokan, Pak ?” tanya Maa ketika membuka kresek hitam yang Paa bawa sepulang kerja.
“tadi ada orang yang nawarin, dua puluh ribu, kasian dia enggak punya ongkos” jawab Paa sambil membuka satu persatu kancing kemeja kerjanya.
Maa terdiam. Lalu beberapa menit kemudian masuk ke dalam kamar saya, menghampiri saya “Lihat, Bapakmu, walaupun lagi susah-susahnya nyari duit, ada orang yang nawarin setrikaan bekas, di beli. Jadi ada tiga setrikaan, buat apaan ?” jelasnya, tidak, tidak ada nada kesal sama sekali dari kata yang terucap dari mulut Maa. Saya tahu, Maa bangga memiliki suami seperti Paa. Seperti saya yang selalu merasa beruntung lahir di tengah keduanya.

Paa adalah laki-laki terbaik dalam hidup saya, laki-laki berusia lebih dari lima puluh tahun itu mengajarkan banyak hal dalam setiap detik embusan napas saya. Wajahnya yang kasar sungguh jauh berbeda dengan pembawaannya yang penyayang. Lagi-lagi saya beruntung karena di besarkan dengan kasih sayang yang utuh.

Ya. Bapak saya memang bukan seorang yang ‘besar’, bukan juga orang ‘penting’ yang bekerja dengan berkas-berkas yang membutuhkan tanda tangan. Kesehariannya diisi dengan kebisingan jalan raya, sejak remaja Paa memutuskan untuk merantau ke ibu kota, meninggalkan kampung halamannya di Sumatera (Padang) setelah kakek saya meninggal. Paa bukan seorang yang berpendidikan, ijazah SMP pun tak di kantonginya. Ia hanya laki-laki biasa yang menjadi sangat luar biasa dalam kehidupan saya.

Saya akan selalu menitikkan air mata jika mengingat beberapa hal ‘hebat’ yang di lakukannya secara tidak sengaja, hal-hal yang di anggapnya sangat sederhana, namun tidak buat saya.

Suatu sore, ketika saya dan adik saya main ke tempat kerja Paa di daerah Jati Negara. Bukan, Bapak saya tak berkantor disana, ia adalah bagian tak nyata dengan seragam dishub (dinas perhubungan) yang bertugas di lapangan, menjaga kendaraan, ya, Bapak saya adalah penjaga parkir resmi di salah satu wilayah besar ibu kota. Hanya seorang tukang parkir.

Saya dan adik saya duduk di bangku panjang sambil menikmati sepiring ketoprak di hadapan kami masing-masing. Tak lama, Paa yang baru saja mengarahkan mobil yang ingin keluar parkiran duduk bersama kami.
“Abisin, abisin, makannya” ucapnya, selalu kalimat itu yang di keluarkannya ketika melihat anak-anaknya sedang makan. Tak lama, seorang laki-laki setengah baya yang menyeret sebuah kotak sedang yang di sanggah kayu panjang menghampiri kami.
“Yung, risole, Yung” lirihnya kepada Bapak saya, ya, ia menawarkan dagangannya kepada Paa. Saya melirik ke tumpukkan risole yang masih banyak itu, tak berselera.
“Gue beli semuanya” saya tersedak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Paa. ‘isssh, ngapain sih bapak beli banyak-banyak, buat apaan ?’ batin saya.
Laki-laki setengah baya itu dengan cepat memasukkan makanan yang di jualnya ke dalam kresek putih, lalu menyerahkannya kepada Paa dengan bayaran lima belas ribu rupiah.
“Makasih, Yung” ucapnya sambil berlalu dengan senyum dan langkah cepat menyeret kayu dengan kotak dagangannya yang sudah habis.
“Ih, Bapak beli banyak banget, buat apaan, kita udah pada kenyang” saya tak tahan untuk tidak mengeluarkan kalimat itu. “Tau, buat apaan ? Ana sama kakak gak doyan, lagian, gede-gede banget risolenya.” Bapak saya tidak berkata apapun, suami ibu saya itu hanya menyengir.
“Ayo pulang” Ajaknya kemudian sambil menenteng kresek putih berisi tujuh belas potong risole, ya, malam telah menyapa.

Dari jati negara, tepatnya  daerah matraman, kami bertiga berjalan menuju stasiun. Hal yang sangat saya senangi sejak kecil ketika ikut Paa bekerja adalah mengukur jalan matraman-stasiun jati negara. Kenapa ? Karena banyak tukang dagang di sana, Paa tidak pernah sekali pun tidak membelikan apa yang saya minta, sejak kecil.

Sampai di depan stasiun jati negara, saya dan adik saya terdiam dengan pikiran masing-masing. Dua anak yang sedang melihat Bapaknya membagikan risole ke beberapa anak jalanan dan pengemis. Risole yang saya dan adik saya tak berselera untuk memakannya, di santap dengan lahap oleh mereka. Ketika itu saya paham, bagaimana Paa mengajarkan kami untuk berbagi dalam hening.

***

Usia saya dua puluh tiga tahun lebih detik ini, adik saya tujuh belas tahun kurang. Namun bagi Paa, saya dan adik saya tetaplah anak-anak yang mungkin di bawah lima tahun. Ia menjaga kami layaknya balita, penuh kasih sayang dan kehati-hatian. Dalam dua puluh tiga tahun lebih kehidupan saya, kurang dari lima kali saya mendengar Paa marah kepada anak-anaknya.  Tak pernah terbayangkan, Paa tidak pernah menggunakan tangannya untuk memberikan kami pelajaran (pukulan), pun kepada Maa ketika mereka bertengkar. Suara Paa memang sangat mengerikan ketika marah, mungkin memang seperti itu kebanyakan orang seberang, sangar. Namun di balik ke sangarannya, ada kelembutan yang tak pernah bisa di ukur. Dalam keadaan apapun, Paa akan selalu ada untuk anak-anaknya. Laki-laki yang darahnya mengalir dalam diri saya itu akan memilih mengantar anak-anaknya walau hujan deras, walau keadaan tubuhnya sedang tak sehat, walau sedang pulas-pulasnya tertidur, ia tidak akan pernah menolak untuk mengantarkan kemanapun anak-anaknya pergi. Tidak. Bapak saya tidak pernah merasa keberatan kapan pun saya memintanya untuk mengantarkan saya.

Saya tidak akan pernah melupakannya, pagi dimana saya bangun kesiangan. Ya, saya seorang buruh yang terikat akan jam kerja. Pagi itu saya bangun kesiangan, kesiangan yang tak pernah saya sesali, karena malamnya memang saya gunakan untuk hidup bersama impian.
“Jam enam lewat, Ma. Jemputan udah ketinggalan ini, harus naik di tol” panik saya yang bingung harus melakukan apa. Mandi dulu-kah ? sarapan dulu-kah ? atau sadarkan diri dulu. Saya kembali tidur selepas subuh, dan akhirnya bangun kembali di waktu yang tidak tepat.
“Udah tenang dulu. Mandi aja sana, mama beli sarapan” ya Tuhan, terima kasih untuk dua orang sempurna yang Kau percayakan untuk menjadi bagian dalam kehidupan saya.
“Enggak usah. Beli sarapan di PT aja” ucap saya yang entah sudah sadar apa belum. Beberapa menit setelahnya, saya sudah rapi dengan seragam kerja.
“Naik ojek aja-lah, enggak ada helm soalnya” usul saya yang sudah berdiri di depan pintu.
“Sama bapak aja” Paa sudah duduk di atas motornya. Saya dan Maa saling lempar pandangan, bingung.
“Enggak ada helmnya, Pak. Kalau ke pintu tol, kan, harus pake helm”
“Itu, itu ada helm” ucapnya dengan memonyongkan bibirnya ke arah benda putih bermotif hello kitty ungu. Lagi-lagi saya dan Maa saling pandang.
“Itu helm cewek, enggak muat sama Bapak”
“Udah sini”
Saya pun mengambil helm milik saya, helm berwarna dasar putih dengan motif hello kitty ungu ukuran M. Paa memakainya, dan .. .. enggak muat. Pagi itu saya dan Maa terbahak melihat Paa memakainya. Laki-laki berwajah sangar yang memakai helm hello kity kekecilan. Ya, kepala Paa tak sepenuhnya masuk. Tapi akhirnya, Paa yang mengantarkan saya berangkat kerja pagi itu, mengejar jemputan di pintu tol. Selama ia bisa, ia ingin melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya, tidak ada malu selagi itu demi anak-anaknya. Mungkin, semua orang tua akan melakukan hal yang sama seperti yang Bapak saya lakukan. Sebenarnya tak sulit mencari tukang ojek, atau bersantai berangkat kerja dengan naik angkotan umum. Tapi kepedulian Paa dengan ketulusannya yang sederhana menyadarkan saya, kalau ia ingin selalu ada untuk anak-anaknya.

Paa. laki-laki itu memang bukan seorang yang berpendidikan, namun ia adalah guru terbaik saya. Laki-laki itu memang tak memberikan saya banyak harta, namun kasih sayangnya yang utuh melebihi apapun yang ada di dunia ini. Kepercayaannya akan kebebasan yang di berikan kepada saya, membuat saya merasa, hidup ini begitu sempurna.

Kadang, saya, atau mungkin kau lupa, kalau ada dua manusia yang tak pernah secuil pun pura-pura mengasihimu. Lalu ketika sadar akan kenyataan tersebut, masih pantas-kah kita tidak berbahagia ?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar