Sabtu, 27 September 2014

KOSONG

gambar ini diambil di lantai dua artotel hotel
Seperti tekanan tombol pause, beberapa saat aku merasakan semua terhenti
Pertanyaan-pertanyaan retorik menumpuk, berlomba untuk minta di dengar
Suara tenang yang menggelegar dari dalam mikrofon masjid selalu membawa rindu yang tak tau seberapa dalam
Ingatanku mengambil alih situasi, semua rasa berkecamuk dalam batin yang ku rasa mati
Aku kembali merindu, kerinduan yang tercipta karena langkah yang membentangkan jarak. Aku memang tidak pernah memilih mundur, menjauh, namun hal yang tak pernah ku pilih itu ku rasakan dalam nyata. Sekuat apa aku mengelak dalam ucap, hati kecil tidak pernah setuju untuk di ajak berdusta. Aku tak paham dengan kalimat panjang yang terdengar jelas di tengah tumpukkan kalimat lain, entah pertanyaan, pernyataan atau sebuah pengakuan, aku menyimaknya dalam hening ‘Tuhan, dunia-Mu terasa begitu indah, mewah dan menjanjikan. Aku terus mengunci rapat kedua bibirku untuk mengakuinya, mengakui sebuah kenyataan kalau nafsu dunia telah menggoda jiwaku. Entah dalam bagian yang mana, aku tak mungkin bisa munafik di hadapan-Mu, bahkan tanpa ku jelaskan, Kau akan lebih dulu paham.  Boleh aku kembali ? boleh aku berhenti ? berhenti mengejar dunia-Mu, karena seperti yang aku mengerti, ada kehidupan sesungguhnya setelah kehidupan ini. Tapi aku tak mengerti darimana memulainya’.

Lantunan ayat yang entah siapa pemiliknya, suara itu menelan penuh makna tumpukkan kalimat dalam benakku. Aku mematut diri, apa yang sedang ku kejar ? aku telah berlari sejauh tanpa batas, meninggalkan yang sejatinya harus ku kejar.

Ya, aku tidak mengelaknya, Kau akan selalu hidup dalam hatiku sejauh apapun aku menghindar. Bahkan dalam hati yang mati, Kau tetap bercahaya, memberi ruang dalam kesempatan, menunggu kembali hati itu hidup. Kau tak pernah benar-benar pergi, karena Kau paham, hati kecil-hati kecil itu hanya sedang terlena. Layaknya seorang pejalan yang mengukir tumpukkan langkah dalam jelajah, sejauh apapun, sejauh manapun, dan bagaimanapun caranya, ia akan tetap pulang, bukan ?

Rapuh. Aku sedang merasa rapuh, seperti sepotong kayu yang telah terbakar. Tersentuh sedikit saja akan melebur menjadi abu. Hilang terbawa angin.

Gelak tawa yang terbahak memang terdengar renyah di telinga siapapun, aku rindu air mata. Belakangan, telinga ini lebih sering mendengar tawa sia-sia daripada isakkan penuh arti. Sebuah kesenangan dalam canda batin yang hampa, tertawa tanpa henti. Air mata membuat hati ini lebih peka, hidup dalam tetesan berbagai pesan. Untuk apa tawa dalam detik namun seonggok daging berlabel nama ini terasa mati. Sekali lagi ku ulangi, aku rindu air mata. Aliran yang mengalir beriringan dengan lirih rintih dalam kerendahan diri.

Tak ada yang salah dengan dunia-Mu, Tuhan, Kau menciptakannya tanpa cacat. Aku saja yang tak memiliki cukup pertahanan akan godaan beragam keindahan janji-janji yang ada di dalamnya.

Suara kerinduan itu berakhir, seseorang yang membaca potongan ayat-ayat dalam kitab suci telah berhenti. Berhenti, dan tombol play kembali berputar. Hati yang mati perlahan hidup dengan sepotong harapan. Aku tak lebih baik, namun memilih menjadi baik bukan pilihan yang salah, bukan ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar