Jumat, 23 Januari 2015

Jangan dengar kata orang ! ‘Ini tentang 4 hari 3 malam di gunung ceremei’

“Kamu yakin jadi nanjak gunung ceremei ?” gerakkan tangan saya terhenti, menyisakan sendok berisi kuah soto yang mengudara. Tidak lama, buru-buru saya melanjutkan gerakkan yang sempat terhenti, membiarkan ujung sendok itu sempurna mendarat di mulut saya. Saya menelan kuah yang masih hangat itu, kemudian melepaskan gagang sendok. Saya menatap wajah yang selalu menenangkan bila di lihat, bahkan di bayangkan saja, selalu menenangkan.
“Iya ma, yakin, insyaAllah enggak ada apa-apa” jawab saya pasti, mama mengembuskan napas pelan, hening mengisi celah diantara saya dan mama.

Ini bukan kali pertama saya akan melangkahkan kaki untuk menemukan, saya pernah menuliskan ‘jangan sekali-kali mendaki gunung, karena resiko terbesarnya adalah tentang ‘menagih’. Saya memang kecanduan.
Gunung ceremei terletak di perbatasan kota Cirebon dan Kuningan. Ada tiga jalur yang bisa di lalui, jalur Linggajati dan Palutungan di kuningan, serta jalur Apuy dari Majelengka. Tidak ada satu pun gambaran yang saya tahu tentang ketiga jalur tersebut. Pun tentang gunung ceremei. Belakangan, sebelum hari perjalanan itu, beberapa orang di sekitar saya memberikan banyak komentar,
“Ini musim hujan Ay, gunung enggak kemana-mana, kok, jangan ikutin nafsu yang bakalan nimbulin bahaya”
“Seumur hidup gue, gue enggak mau balik lagi ke gunung ceremei. Lo tau enggak, sebelas jam gue muncak lewat Linggajati”
“Lo mau ke ceremei ? Itu ! baru gunung beneran ! Tapi, yakin ? Mendingan enggak usah ikut deh, Ya !”
“Aya, mau ke ceremei ? Itu gunung angker banget, Ay. Horror”
“Heh, elo yakin berangkat ? Itu gunung banyak mistisnya”
“Mama, kok, agak berat ya ngelepas kamu kali ini. Beda kayak biasanya, yakin mau tetap jalan ?”
Tumpukkan pemikiran lahir di benak saya. Ada apa dengan mereka ? kenapa dengan gunung ceremei ? atau, apa saya tidak akan kembali lagi ?
Tiga hari sebelum tanggal 24 desember 2014, saya masih menimbang-nimbang untuk ikut atau tidak. Jujur, kematian membayangi saya. Saya akui, ini agak berlebihan, tapi itulah yang saya rasakan.  Bukankah resiko itu masih bisa di ubah, jika kita mau ? Tapi saya takut, saya takut menyesal karena tidak berani melangkah. Bukankah satu-satunya senjata untuk membunuh ketakutan adalah mengkaribkan ketakutan itu sendiri ? dan saya tidak mau menyesal.
***

Rabu, 24 Desember 2014

Saya berangkat dari Bekasi menggunakan jasa travel bersama enam orang lainnya. Kenapa travel ? Karena saya baru bisa berangkat malam hari, sedangkan bus tujuan Kuningan paling sore berangkat sekitar jam tujuh malam. Begitu yang saya dengar.
Saya menyukai malam, karena malam memperlihatkan banyak keindahan.

Kamis, 25 Desember 2014

Perjalanan Bekasi-Kuningan, pos Palutungan di tempuh dengan waktu kurang lebih delapan jam. Pendakian di mulai sekitar pukul sembilan pagi. Saya beserta rombongan dari Bekasi sampai di basecamp Palutungan sekitar pukul enam dini hari, setelah bertemu dengan rombongan lainnya, dan sarapan bersama, kami bersiap untuk mengumpulkan potongan cerita.
Jumlah kami tujuh belas orang. Jumlah yang di bagi menjadi dua kelompok, tidak, tidak berbeda jumlahnya. Kelompok satu berjumlah delapan orang, kelompok dua pun berjumlah sama. Karena satu orangnya berperan sebagai panitia. Panitia ? Ya, pendakian ini bukan sekadar mendaki gunung pada umumnya. Pendakian tersebut di selenggarakan oleh sebuah komunitas bernama IGT (Indonesia Green Traveler) dengan tema ‘Plantrekking’. Ini menyenangkan.
picture by kang Suga
Kami, tujuh belas orang yang melangkah dengan cariel besar di balik pundak, masing-masing membawa satu sampai dua bibit tanaman. Awalnya saya bingung, nanam apaan di gunung ? Lagian ngapain juga ribet-ribet bawa bibit dari bawah buat di tanam di atas ? Tapi baiklah, usir pertanyaan itu, kunci mulut rapat-rapat, biarkan langkah kaki yang menjelaskan. Memasuki jalan setapak gunung Ceremei, kedua mata saya di sapa dengan nuansa hijau yang penuh. Ini hutan. Benar-benar hutan. Langit terlihat cantik siang itu, ada gumpalan awan putih yang menghiasinya. Gabungan warna yang penuh kedamaian.
“Oke. Kita berhenti disini, di sisi-sisi jalan setapak ini udah ada lobang yang di gali buat bibit yang kita bawa. Tanam dengan ketulusan, supaya nanti, kalau kita balik kesini lagi, bibit-bibit ini udah tumbuh dan menjadi bagian dari hutan ini”
Lebih dari tiga jam kami melangkah untuk sampai di tempat penanaman bibit. Ada dua orang laki-laki setengah baya yang menunggu disana. Mereka adalah warga pribumi yang dengan senang hati mendukung apa yang akan kami lakukan. Saya mengangguk geli sambil melirik bibit yang saya pegang, tanamannya sudah layu. Dengan rasa enggan dan malas-malasan saya jongkok di depan beberapa lobang. Mendadak, ada sebuah harapan yang terlontar ketika kedua telapak tangan saya mulai sibuk menguruk tanah untuk menutupi bibit yang baru saja saya tanam.







“Semoga kamu tumbuh subur, ya, nanti, kalau aku sama suamiku, atau anak-anakku kesini, kamu udah jadi pohon yang kekar. Memberikan kesejukkan” entah ada apa dengan isi kepala saya, saya baru saja berbicara dengan sebuah bibit tanaman. Sungguh, itu mengesankan. Rasa ‘enggan’ telah berlalu, senyum mengembang di wajah saya dan teman-teman lainnya. Saya yakin, mereka semua mempunyai harapan yang sama dengan saya. Berharap kalau bibit yang di tanam menggunakan telapak tangannya akan tumbuh subur menjadi pohon yang kekar.  Bukankah tumbuhan itu juga makhluk hidup ?
Beberapa bibit mahoni yang ada telah tertanam rapat di lobang-lobang sisi jalan setapak, saya dan yang lainnya rehat sejenak sebelum melanjutkan pendakian. Sebuah kepuasan terpancar dari wajah-wajah lelah itu. Setidaknya, sekecil apapun kemungkinan bibit yang kami tanam akan tumbuh subur, kami sudah melakukannya.
Perjalanan berlanjut, butuh dua jam dengan langkah continue untuk sampai di pos I. Cigowong. Petakan luas itu sudah hampir padat dengan beberapa tenda yang didirikan oleh pendaki. Saya beserta rombongan pun bersiap untuk mendirikan tenda, rehat dan memejamkan mata di dalam sleeping bag. Jika ditanya, apa yang saya rindukan dari pendakian ? tidur di dalam sleeping bag adalah salah satu jawabannya.
Senja menyapa, angin malam berhembus menusuk tulang rusuk. Mungkin, tidur di dalam sleeping bag bagian yang saya sukai, namun selain itu, menghadap Tuhan di tengah hutan bersama orang-orang asing dari penjuru manapun jauh lebih tak terlupakan. Bukankah kelak, tidak akan ada pertanyaan berapa gunung yang sudah didaki ? atau, berapa langkah yang telah terlalui ? melainkan, dalam setiap pijakan, pernah kah kau melupakan Tuhan ?

Jumat, 26 Desember 2014

Menginap di ketinggian memang harus tahan banting dengan udara dingin. Saya terbangun dan memang harus memaksakan bangun sekitar pukul lima pagi. Kesejukkan menyapa dengan begitu eloknya. Pendengaran saya di manjakan dengan berbagai macam suara. Ya, ini hutan !
Dalam kelompok yang saya ada di dalamnya, ada tiga orang wanita termasuk saya. Kami bersiap untuk membuat sarapan. Tapi jujur, tiga orang wanita tak berarti apa-apa dibanding satu orang laki-laki. Di gunung, entah mengapa, kebanyakan para kaum adam yang pandai memasak. Dan saya bersyukur, ada kang Suga di dalam kelompok saya, seorang single parent asal Bandung ini begitu lihai memasak nasi dan lauk pauk.
Nasi yang dimasaknya tidak gagal. Telor dan bakso yang di gorengnya menjadi lauk yang mengenyangkan. Kertas nasi di jajarkan, diatasnya berisi nasi putih yang baru matang, telor dadar tak berbentuk, bakso goreng bundar-bundar, sosis yang juga di goreng, dan orek tempe kering. Delapan telapak tangan bersiap mengeruknya. Yummy ..
Percayalah, dengan melakukan perjalanan, entah itu mendaki gunung, menyelam ke dasar laut, atau overland di sebuah pedesaan, kita akan menemukan banyak hal. Cerita, salah satunya.
Sarapan besar yang berdurasi kurang dari dua puluh menit itu telah selesai. Alat-alat masak segera di bereskan karena kami akan melanjutkan pendakian.
persiapan kembali mendaki
picture by kang Suga
“Malam ini kita nenda di Pasanggrahan, kurang lebih sembilan jam jalan santai tanpa istirahat. Kalau ada yang capek jangan gengsi, capek, bilang capek. Berhenti. Jalan hati-hati, fokus sama langkahnya. Oke. Sebelum kita lanjut ngelangkah, berdoa akan lebih baik. Semoga kita tetap utuh. Berdoa, di persilakan” Hanafi, panitia pendakian mengambil alih perhatian. Kami semua menunduk takzim.
Langkah kaki kembali di gerakkan, saya berjalan bersama tiga orang laki-laki yang katanya newbie dalam pendakian. Ketiganya brondong bagi saya, dua diantaranya asli Jawa, dan sungguh-sungguh menghibur bagi saya. Wahyono dan Bowo nama mereka, laki-laki satunya seorang yang selalu bilang “Maaf ya mba, maklum, saya, kan, mahasiswa” Ya, dia memang seorang mahasiswa berusia dua puluh satu tahun, Adi namanya. Tidak. Saya bukan satu-satunya wanita di tengah mereka. Ada teh Rita yang melangkah dengan interval tak jauh dari kami, ibu guru TK ini begitu penuh semangat. Kami berjarak cukup jauh dari yang lainnya. Demi Tuhan, teman perjalanan itu berperan penting dalam ukiran langkah yang kita lalui.
Kami melewati jalan setapak yang terus menanjak, jalan yang terhalang batang-batang pohon berukuran besar sampai akar-akar gantung yang menyeramkan bila di pandang terus-menerus. Sisi-sisi jalanan full tumbuhan hijau, entah pohon apa saja yang tumbuh disana. Spontan, ada perasaan tidak enak mengganggu pikiran saya. Komentar-komentar yang terlontar sebelum saya pergi terngiang begitu saya memasuki jalanan setapak yang memang sungguh menegangkan. Saya menarik napas panjang, mengembuskannya pelan. Berpikir positif. Saya akan baik-baik saja.
Sampai di tengah jalan setapak yang entah di ketinggian berapa, saya dan Wahyono berhenti menunggu yang lain. Hanya ada saya dan Wahyono. Kami berdiri dengan raut muka yang sama-sama ketakutan.
“Yang lainnya mana, mbak ?” tanyanya dengan intonasi yang terdengar medok.
“Masih belum keliatan. Tunggu aja disini, kita enggak usah jalan dulu” Wahyono mengangguk. Kami berdua masih berdiri, diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Jarak kami sekitar lima sampai tujuh langkah kaki, tiba-tiba terdengar suara dari semak-semak. Spontan kami berdua panik, Wahyono yang memilih jalan lanjut dan saya yang memutuskan untuk kembali turun. Dan, ya, kami bertabrakan.
“Ih, Yono. Kamu bikin kaget aku !!” teriak saya dengan degup jantung yang begitu kencang, takut, sungguh saya takut kalau tiba-tiba ada binatang buas atau makhluk apapun yang loncat keluar dari semak-semak jalan setapak itu.
“Iya, mbak. Terus ini gimana ini mbak Aya ? Mau naik, apa turun ?” wajah laki-laki Jawa itu terlihat begitu menegangkan, tubuhnya bergerak lenggak-lenggok ketika mengeluarkan pertanyaan itu. Kami berdua masih diam dengan jarak yang tidak begitu jauh. Jujur, saya geli melihat tampangnya, bahkan saya tidak dapat menahan tawa, saya menyerah, tawa saya keluar.
“Udah, udah, tenang. Kita tunggu disini” tawa saya pecah, ketakutan saya berlalu, sudahlah, saya tak memikirkan lagi akan siapa yang menciptakan suara di dalam semak-semak itu. Wajah tegang Wahyono telah membayarnya. Tak lama, Bowo, Adi dan teh Rita terlihat. Kami melanjutkan langkah.
Trek yang kemudian menyapa kami adalah tanjakan asoy. Se-asoy namanya, jalan setapak itu benar-benar tanjakkan, tanjakkan, dan tanjakkan. Di hamparan tanah yang di salah satu pohonya menempel plang bertuliskan ‘tanjakan asoy’ kami beristirahat sejenak. Terlihat dua teman kami, mba Syifa dan Bang Jihad yang langsung bergabung. Setelah beberapa menit duduk-duduk, bertegur sapa dengan rombongan lain, dan mengisi perut dengan beberapa cemilan, kami bersiap mencicipi tanjakkan asoy.
picture by Jihad
Well ! Asoy ...

Dari yang tanjakkan tanah biasa, tanjakkan batu besar-besar sampai tanjakkan dengan langkah yang benar-benar harus penuh hati-hati. Saya nyaris kehilangan tenaga, kedua kaki saya lemas. Keringat dingin mulai keluar dari tubuh saya. Jangan ! Saya tidak boleh sakit. Saya berhenti, duduk di atas batang kayu yang melintang.
“Kenapa mba Aya ?” Bowo peduli.
“Aya kuat ? Sini tukaran cariel ?” teh Rita menawarkan. Saya setuju dengan tawaran teh Rita, bertukar cariel. Tapi saya lebih setuju lagi dengan tawaran Bowo “Aku aja yang bawa carielnya, kamu bawa tas kamera aku aja” dengan senang hati dan tidak tahu diri, saya hanya menyelempang tas kamera milik Bowo. Ketika sudah merasa baikan, kami lanjut. Tak jauh, di pelataran luas kami melihat teh Endah (salah satu rombongan kami) yang sedang duduk bersama para pendaki lainnya. Kami pun bergabung untuk sekadar menyapa, dan selalu, ada canda tawa yang tercipta. Ini pula yang saya rindukan, jika boleh di garis bawahi, saya percaya, 90% para pendaki mempunyai selera humor yang tinggi. IMHO, hanya menurut saya pribadi.
Rintik gerimis mulai jatuh, perjalanan untuk sampai di Pasanggrahan tidak jauh lagi, katanya. Kami memilih untuk melanjutkan karena takut kemalaman. Ditemani rintik gerimis, kami melangkah.
Syukurlah, kami tiba di Pasanggrahan sekitar pukul lima sore. Jika di hitung dari pos Cigowong sampai Pasanggrahan, kami memakan waktu delapan jam dengan beberapa kali istirahat. Gerimis telah berganti hujan deras, kang Suga membuat atap dari fly sheet, sementara kami menumpang di bawah fly sheet yang sudah ada. Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, rombongan kami utuh. Namun sayang, di Pasanggrahan tidak cukup luas untuk menampung banyak tenda. Dan kami, kelompok satu memutuskan untuk kembali menanjak, mencari lapak untuk mendirikan tenda. Hanafi yang lebih dulu mengeceknya, kurang dari lima belas menit, ia kembali dan mengabarkan kalau ada cukup lapak tidak jauh dari Pasanggrahan. Hujan masih deras, dan kami harus tetap melangkah.
Bowo, Wahyono, mba Syifa dan teh Rita sudah jalan lebih dulu. Kali ini saya tertinggal bersama Adi. Hanafi dan kang Suga masih di Pasanggrahan. Saya tidak tahu saat itu pukul berapa, yang saya ingat, langit sore sedang pelan-pelan pamit untuk bergantian tugas dengan sang malam. Kalau orang Jawa bilang ‘senda kala’, sekitar sebelum sampai sesudah maghrib. Dan, saat itu saya hanya berdua dengan Adi di tengah hutan.
“Mba Aya, ini jalanan, kayaknya yang tadi kita lewatin deh” panik Adi ketika melihat batang pohon besar yang menutup jalan. Saya menelan ludah, lagi, degup jantung saya berdetak begitu cepat. Hujan hanya menyisakan gerimis yang saya yakini akan awet.
“Adi, serius ?” kami berdua saling pandang, sama-sama panik.
Saya gelisah, saya takut kalau-kalau kami dibawa ‘setan nyasar’. Sungguh, saat seperti itu membuat pikiran saya liar. Saya berteriak “Yonoooo ! Bowoooo ! mba Syifaaaaaa ! Halooooooo ! ADA ORANG ENGGAK ???” Adi mencoba menenangkan “Ayo mbak, kita jalan terus” saya sudah pasrah, sekujur tubuh yang meski tertutup jas hujan, namun tetap basah menembus kulit tak lagi saya hiraukan. Dalam setiap detak jantung hanya kalimat-kalimat Allah yang saya ucapkan. Karena tidak ada yang dapat saya percaya lagi, selain diri saya, dan Tuhan.
Saya bernapas lega, ketika dari tumpukkan langkah terlihat sebuah tenda yang berdiri. Setidaknya, ada manusia lain selain saya dan Adi. Dan ya, kami tidak salah jalan. Setelah menanjak sekitar lima menit, saya mendapatkan rombongan saya sedang sibuk mendirikan tenda. Saya tersenyum penuh rasa syukur. Tetesan gerimis menyembunyikan bulir-bulir air yang diam-diam keluar dari sudut-sudut mata saya.
Ini malam kedua saya menginap di gunung ceremei, malam itu, saya satu tenda dengan empat orang lainnya. Mba Syifa, teh Rita, Hanafi dan Wahyono. Sedangkan tiga lainnya, kang Suga, Bowo dan Adi tidur di tenda berbeda.
“Ini pakenya gimana, mbak ?” Wahyono memandang sleeping bag yang masih baru, ya, kemarin malam ia tidur berselimut sarung.
“Sini ! kamu masuk ! celentang ! celentang !” pemuda yang waktu SMA menjadi ketua PMR itu mengikuti aba-aba yang saya berikan, dan saat ia celentang, saya menutup reseleting sleeping bagnya hingga habis.
“Bis napas, enggak, Yon ?”
“Biiiisa, mbak” ucapnya kurang jelas. Saya pun menjatuhkan tubuh yang sudah bersembunyi di dalam sb, lalu berbaring di sebelah Wahyono.

Sabtu, 27 Desember 2014

Sekitar pukul tiga dini hari, saya mendengar suara-suara mereka yang ingin memburu sunrise. Summit. Entah mengapa, saya masih ingin menenggelamkan seluruh tubuh saya di dalam sleeping bag, belum lagi, cuaca sungguh mendukung.
“Mbak Aya mau muncak enggak ?”
“Muncak, yah ?” saya mengintip, terlihat teh Rita dan Wahyono sedang bersiap.
“Aya mau muncak ?” itu suara Hanafi.
“Enggak ah, gue di tenda aja” saya memutuskan untuk kembali terlelap. Menenggelamkan kembali kepala saya. Malam itu tidak terlalu dingin, meski hujan seharian. Teh Rita dan Wahyono keluar tenda, bergabung dengan kang Suga, Bowo serta Adi. Sedangkan saya, mba Syifa dan Hanafi masih betah di dalam tenda. Sudahlah, tidak ada yang rugi Aya. Perjalanan ini sudah menciptakan beragam cerita. Saya mensugesti.
Pagi harinya, saya, mba Syifa dan Hanafi muncak. Summit kesiangan. Tapi tak mengapa, kabut tebal pagi itu. Bahkan beberapa dari mereka yang bersimpangan dengan kami berkata “Enggak usah naik, enggak ada apa-apa di atas. Kabut” tapi tentu tidak, pasti ada apa-apa di atas sana. Kami melanjutkan. Treknya lumayan buat adrenalin, lumayan buat napas ‘engos-engosan’ dan semakin tinggi, dingin menguasai tubuh.
Tepat di gua walet dengan ketinggian 2.950 mdpl kedua telapak tangan saya mati rasa. Kabut membuat jarak pandang samar-samar. 0,3 km lagi untuk sampai puncak.
picture by kang Engkus
“Gimana, lanjut, enggak ?” Tanya Hanafi.
“Huuuuuuh, Enggak, ah Fi. Gue sampe sini aja” yakin saya yang sedang merasakan kebekuan telapak tangan. Saya merapatkan jaket. Ini dingin banget.
“Gue juga enggak. Sampe sini aja-lah” tambah mba Syifa. Beberapa menit dari kedinginan itu, suhu tubuh saya kembali normal. Kabut perlahan-lahan menipis. Jarak pandang mulai jelas. Dan .. .. ah, subhanallah, langit pagi itu cantik sekali. Hamparan biru bercampur putih yang menggumpal. Terasa begitu dekat. Tuhan, satu kesempatan lagi yang aku di persilakan untuk menyaksikannya, sungguh, ini luar biasa.
Tidak lama, karena mengingat waktu, kami bergegas turun. Kurang lebih tiga jam, kami sampai di tenda. Teman yang lainnya sudah memasak dan packing. Ya, mereka sungguh pengertian. Kami pun bergantian untuk mengisi perut dan packing untuk kemudian bersiap turun.
Pukul satu siang kami semua siap untuk kembali, kembali meninggalkan keliaran dan kebebasan. Langkah kami di temani dengan hujan deras. Jalan setapak yang licin menyapa kami, beberapa kali saya terjatuh, tapi tenang, selalu ada telapak tangan yang terulur. Ketika memasuki jalan setapak yang penuh dengan bebatuan, saya seperti melihat air bah, atau apa namanya, arusnya begitu kencang, sedikit saja saya lengah, mungkin saya akan hanyut terbawa air. Saya menelan ludah berkali-kali, mengembuskan napas berat, saya tahu, kondisi tubuh saya sedang tidak fit pada saat turun. Tapi saya harus tetap baik-baik saja.
“Kepala gue sakit banget, Fi” saya berhenti melangkah, pusing menyerang keseluruhan kepala saya.
“Istirahat dulu, Ay. Minum obat” Hanafi yang menggendong cariel dan memikul trash bag penuh sampah memberikan obat sakit kepala kepada saya.
“Masalahnya gue lagi datang bulan, tadi pagi. Lemes deh gue”
“Iya, darah lo pasti keluar terus. Jadinya daya tahan tubuh lo enggak stabil. Sebentar lagi, kok, sampe” saya mengangguk pelan, kemudian kembali melangkah. Rombongan yang lain sudah lebih dulu. Hujan masih menemani, tak lama, saya kembali terhenti, mengeluarkan apa yang ada di perut.
“Keluarin, Ay. Keluarin semua !” Hanafi membantu dengan memijat leher saya sesekali.
“Gue baik-baik, aja, kok” demi Tuhan, saya lemas.
“Fi, kayaknya gue enggak kuat lagi deh”
Hening
“Lo duluan aja !”
“Ay, santai aja. Itu udah keliatan, kok, Cigowong. Nanti di pos satu istirahat” Oke. Saya kembali berdiri, kembali melangkah, tinggal beberapa langkah lagi, keramaian sudah terlihat. Saya langsung menjatuhkan pantat saya di sebuah pos yang ada di sana. Mengatur napas baik-baik dengan mata terpejam.
“Ini minum teh, teh angat” seorang pemuda menyodorkan gelas plastik berisi teh yang masih hangat, dengan telapak tangan yang lemah saya menerimanya, dan menyesapnya pelan. Saya sama sekali tidak punya cukup energi. Padahal, perjalanan masih panjang.
“Sekarang jam lima sore, yang mau lanjut duluan deh, gue nunggu Aya” Hanafi memberi komando
“Gue enggak apa-apa, kok. Sepuluh menit lagi, ya” semua mengangguk, hanya Adi yang sudah siap menyusul rombongan kelompok dua, dia harus buru-buru untuk mengejar satu temannya.
“Gue duluan ya”
“Oke. Di, ati-ati”
“Kuat, Ay ?”
Saya menegakkan tubuh, merapatkan jas hujan, membenarkan cariel dan siap meneruskan perjalanan.
“Oke. Bowo, di depan, ya”
Kami mengatur barisan, Bowo dan teh Rita di depan, lalu Wahyono, saya, mba Syifa dan Hanafi paling belakang, kang Suga sudah lebih dulu karena ingin mengejar bus yang mau di tumpanginya. Sekitar dua jam perjalanan, kami bertemu dengan rombongan. Ternyata ada dua orang dari kelompok dua yang kakinya cedera. Tante Intan dan Rifa. Dalam hati, saya bersyukur karena saya masih lebih beruntung dari mereka.
“Jalannya pelan-pelan aja ya, ada yang sakit soalnya” teriak salah seorang dari kelompok dua, kami menurut.
“Masih kuat jalan, enggak ? Gue rescue deh ke bawah, minta bantuan” Hanafi mengusulkan. Usulan yang langsung di setujui oleh semuanya. Hanafi menggendong dua cariel sekaligus, tidak, trash bag yang di bawanya dari atas masih terpikul di pundaknya. Baginya, tidak boleh meninggalkan sampah apapun, harus di bawa kembali. Saya salut dengan pemuda seperti dirinya, laki-laki berusia dua puluh tahun itu membuat saya kagum, andai semua pemuda seperti dirinya, penuh kepedulian terhadap sesama dan alam semesta, pastilah negara ini akan merasa lebih beruntung. Sepeninggal Hanafi yang turun lebih dulu, Adi yang tadi duluan, kini di amanati untuk berada di barisan paling belakang. Saya tetap di tengah-tengah. Kami terus melangkah pelan-pelan, menyeimbangkan dua orang yang sedang cedera kakinya.
“Tante, carielnya biar Bowo yang bawa” teh Rita menawarkan bantuan kepada tante Intan, dan ya, Bowo menggendong cariel tante Intan. Lagi-lagi saya tercengang dengan pemuda-pemuda milik bangsa ini, saya bangga bisa mengenal mereka. Sebentar ! Kenapa dengan team mereka ? kemana para pemudanya ? Kenapa tidak ada yang berpikiran seperti Bowo atau Hanafi ? Saya sedikit kecewa, tapi sudahlah. Mereka punya alasan tersendiri mengapa tidak melakukan apa yang dilakukan Bowo dan Hanafi. Kami terus melangkah, sesekali berhenti untuk menunggu tante Intan dan Rifa. Kasihan sekali melihatnya meringis kesakitan. Entah pukul berapa, dua motor trill datang menjemput tante Intan dan Rifa. Keduanya langsung di evakuasi. Semua merasa tenang.
Tapi. Apa-apaan ini ? para lelaki yang tadi meminta kami untuk berjalan pelan-pelan tiba-tiba meninggalkan kami.
“Heeeeey, jalannya pelan-pelan !” saya berteriak penuh emosi, tapi tidak di dengar. Sialnya, Bowo juga ikut untuk melangkah buru-buru. Ada apa dengan mereka ? Jika lelah alasan utamanya, kami pun lelah.
“Udah, Ay, tenang !” mba Syifa mengingatkan
“Bukan apa-apa mbak, segini doang ? mereka minta kita buat jalan pelan-pelan, nyeimbangin kondisi yang sakit, kita nurut, kalau kita tega, kita bisa aja duluan ninggalin mereka. Soal cariel, enggak ada yang mikir apa buat bawa cariel tante Intan sama Rifa, di rombongan itu ada laki-lakinya. Paham, mereka juga bawa beban masing-masing, tapi apa enggak ngeliat Nafi, dia bawa cariel juga, trash bag, tapi masih bisa gendong cariel-nya Rifa. Bowo, dia newbie, tapi kuat gendong cariel tante Intan. Karena apa ? Karena mereka niat. Tulus” entah mengapa, emosi saya menggebu sampai dada saya terasa sesak.
“Huuuuus, Aya. Jangan gitu, kita nolong harus ikhlas, dong” teh Rita mengingatkan. Saya mengembuskan napas sambil mengangguk. Kami terus berjalan. Tapi, ya Tuhan .. .. kondisi saya melemah, sangat-sangat lemah. Kedua kaki saya terasa begitu lemas. Bergetar, tidak kuat untuk menopang tubuh.
“Istirahat ya” pinta saya, kemudian isi perut saya kembali terkuras
“Muntahin, Ay. Keluarin semuanya !” mba Syifa memijat leher saya. Kami hanya berlima di tengah hutan malam hari itu. Dan diantara kami tidak ada yang tahu jalan, tidak ada yang bisa dijadikan topangan, kami hanya bisa yakin pada diri masing-masing. Wahyono, dia baru pertama kali naik gunung. Adi, mahasiswa itu juga sama, teh Rita dan mba Syifa serta saya, kami semua pasrah. Malam semakin larut, saya dengar jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
“Udah kuat ?” saya mengangguk, berdiri dan kembali berjalan. Pandangan saya fokus ke pijakan, saya menggenggam senter erat-erat, sebisa mungkin saya tidak ingin mengedarkan pandangan kemana pun, saya tidak cukup tahan banting kalau harus melihat hal-hal yang tidak ingin saya lihat. Jejeran pohon pisang berbaris rapi, bahkan ada beberapa yang tumbang. Pikiran saya horror. Saya terus berdzikir dalam hati. Pikiran saya harus terus terisi.
“Mbak, kok, enggak nyampe-nyampe, ya ? Jalannya bener, apa ?” kalimat Wahyono membuat kepanikan saya meningkat berlipat-lipat.
“Bismillah, Yon. Bismillah. Ada Allah” lirih saya dengan isakkan yang mulai pecah, emosi yang memuncak namun mencoba untuk di tahan berubah menjadi sesak.
“Ay, jangan nangis !”
“Enggak mba Syifa, aku enggak nangis” jawab saya dengan bahu terguncang, tidak ada lagi yang dapat saya cerna saat itu, wajah ibu saya melintas tak bercelah, tiba-tiba saya begitu merindukannya. Ketakutan, kepanikan, kemarahan, kelemahan kondisi tubuh, semuanya melebur. Saya ingin pulang, bertemu mama, bertemu Bapak, bertemu adik saya. Sedang apa mereka semua ?
“Aya. Lihat ! Kita enggak salah jalan, itu city light udah keliatan. Sabar, Ay. Kita pasti sampai”
Saya mengangguk tak bersuara. Kami masih terus melangkah.
“Mbak, sini carielnya ku bawain” kali ini saya harus jujur akan kondisi tubuh yang benar-benar kehabisan energi, saya menyerahkan cariel kepada Wahyono.
“mas Yono, kamu jalan depanan aja, mba Aya biar saya yang pegangin” Adi bersuara sambil melangkah mendekati saya. Formasi berubah. Wahyono tetap memimpin barisan, Adi di belakangnya menopang saya yang sudah kehabisan energi. Mba syifa dan teh Rita setia berada di belakang saya.
“Mba Ay, nanti saya gendong ya, di jalan yang udah aspal”
“Gue enggak apa-apa, Di, gue masih kuat”
“Ah, mba Ay. Saya kuat, kok. Ya, mba Ay”
“Udah Ay, kalo Adi bilang dia kuat, dia pasti kuat. Udah gendong aja, lo udah enggak ada daya gitu, muntah sepanjang jalan, masuk angin keujanan lo”
Saya menurut. Beberapa langkah kemudian, jalan aspal datar menyapa. Sesuai janjinya, Adi membungkukkan badannya.
“Ayo mba Ay, naik ya !”
Saya masih berdiri, enggan rasanya.
“Mbak Aya, ayo saya gendong. Naik ya !” oke, saya menjatuhkan tubuh saya di punggung Adi, Adi mencoba berdiri menggendong saya, tapi kemudian “Mba Ay, berat banget, ya. Saya enggak bisa diri nih” kami semua tertawa. Ya Tuhan, terimakasih untuk manusia-manusia luar biasa ini. Saya kembali melangkah sendiri dengan topangan Adi. Ada motor trill yang menghampiri.
“Katanya ada yang sakit, neng ?”
“Enggak, Pak. Masih kuat jalan” jawab saya, ya, buat apa ? basecamp udah dekat. Saya masih bisa berjalan.
“Oh gituh, beneran ? Bapak balik lagi kalau begitu”
“Iya, pak, silakan !”
Tapi, dari kejauhan, Hanafi menyusul kami.
“Ay, gendong yuk”
“Enggak usah Fi, gue kuat”
“Enggak apa-apa, anggap aja gue si itu tuh, bayangin aja dia” saya tersenyum mendengar gurauan pemuda itu.
“Tadi si Adi udah ngegendong, Fi. Tapi dia enggak kuat” mba Syifa menjelaskan, kami semua kembali tertawa.
“Nafi kuat, kok, ayo naik ya, Ay” Hanafi membungkuk, dan, saya di gendongnya sampai basecamp. Kami berlima sampai basecamp sekitar pukul dua belas malam. Ini perjalanan yang sungguh tidak mudah. Jika boleh, saya berjanji, saya tidak ingin lagi mendaki dengan para pendaki yang tidak memiliki jiwa pendaki. Manusia-manusia yang hanya mementingkan dirinya sendiri, manusia-manusia yang pilah-pilih untuk membantu orang lain, manusia-manusia yang tidak mengerti bagaimana jati diri seorang pendaki. Dan saya berjanji, saya akan dengan senang hati mendaki bersama manusia-manusia yang tidak melabeli dirinya sebagai pendaki, namun mereka memiliki jati diri seorang pendaki. Kali ini saya membenarkan, ‘kalau lo mau tau seperti apa sifat asli seseorang, ajak dia naik gunung’.

Ceremei, terima kasih untuk potongan ceritanya.

5 komentar:

  1. gegara ngampus sudah bacanya.
    pengen baca padahal 😭😭😭😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. hardiiiiiii .. sumpah !
      ini tulisan baru banget gue post, belom gue share kemanapun, dan, dan lo udah baca~~

      ini bukti, kalo lo emang pembaca setia blog gue, kalo lo mantengin ini blog. gue terharu ..

      sudah ! sudah !
      kuliah yang benar ^^

      Hapus
  2. kuliaah yaak

    okeeee
    *nginep di kampus*

    BalasHapus
  3. Aku juga terharu loh mba.. huuhuhuuhuhu, makasih loh tulisannya

    BalasHapus
  4. Aku juga terharu loh mba.. huuhuhuuhuhu, makasih loh tulisannya

    BalasHapus