Sabtu, 14 Februari 2015

CINTA SEPIHAK

“Jangan mbak Aya, mbak Aya enggak usah pacaran. Aku yakin tahun ini kalau mbak Aya enggak nikah, pasti mbak Aya udah tunangan. Percaya deh sama aku. Mbak Aya belum dua puluh lima tahun, kan ?” ucap seorang teman pada satu kesempatan, seorang teman yang usianya berjarak lebih muda empat  tahun dari gue. Gue menoleh kearahnya, menatapnya sebentar dengan kedua alis berkerut, lalu mengangguk, membenarkan kalau usia gue belum dua puluh lima tahun.
“Masih muda mbak Aya” begitu kalimat terakhirnya. Dan di malam hari, ia mengirimkan gue gambar ini.
Sebenarnya agak aneh, ya, gue enggak paham secara garis besar dia menilai gue seperti apa. Kita belum lama kenal, kurang lebih tiga bulan. Yang gue senang dari dia, dia adalah pendengar yang baik, selalu menyimak apa-apa yang gue ucapkan. Setiap ngobrol bareng dia, gue selalu ngeliat bola mata yang mengembang, menandakan bahwa ia tertarik dengan apa yang sedang gue ceritakan. Lucunya, gadis ini punya pacar. Ya, gadis yang menyarankan gue untuk enggak pacaran, berpacaran. Tapi gue senang, dia tahu kalau sepertinya pacaran bukan alternative yang baik buat gue. Dan gue pun enggak dengan egois marah-marah ke dia, lalu nyuruh dia buat mutusin pacarnya. Enggak.

Aaah, gue enggak akan berlanjut bercerita tentang teman gue tersebut. Gue hanya enggak bisa lupa sama kata-kata yang keluar begitu meyakinkan dari mulutnya. Buat gue, selama itu kata-kata yang enak di dengar, kenapa tidak diabadikan ?

Cinta sepihak.

Apa yang kalian pikirkan mendengar dua kata satu kalimat itu ?

Menyakitkan-kah ?

Pecundang yang enggak berani mengungkapkan-kah ?

Atau sebuah rasa yang sia-sia ?

Gue pernah begitu sangat mencintai seseorang, merasakan rindu yang nyaris bikin gue mati, juga tangis yang gue enggak ngerti kenapa. Padahal, mungkin, seorang yang bikin gue kayak gitu, enggak pernah tahu kalau gue seperti itu karenanya. Enggak. Dia enggak salah.

Kadang, cinta sepihak itu mampu membuat diri seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Kenapa ? Gue pribadi belajar banyak, diam-diam hati gue terbiasa menjadi penyimpan rahasia yang baik, pelan-pelan gue mengerti apa pengertian dari rasa ikhlas. Dan sedikit demi sedikit, gue sadar kalau dewasa bukanlah perkara usia.

Pada satu malam, seorang sahabat terbaik gue membuat sebuah hipotesa tentang cinta sepihak, begini ungkapnya “Gue kasih contoh. Misalnya, lo setiap minggu ke Bandung. Lama-lama bosan, enggak ?” dengan cepat gue menggeleng.
“Lo enggak bosan ?” Tanya dia terkejut.
“Enggak. Bandung, kan, luas. Kalo cuma seminggu sekali, ya mana gue bosan, senang iya” teman gue mangangkat wajahnya dengan kedua mata menatap jengkel ke arah gue, dia mendecakkan lidahnya, gue memperhatikannya, aneh.
“Gini nih, maksud gue. Misalnya, setiap hari minggu lo ke Bandung terus, minggu ini ke Bandung, minggu besok ke Bandung, minggu depan ke Bandung, pokoknya lo ke Bandung terus. Tapi Bandung enggak pernah ke Jakarta ?”

Dia diam. Gue pun diam dengan mulut menganga. Dia hopeless, laki-laki itu garuk-garuk kepala, gue berusaha untuk mencerna maksud dari kalimatnya. Ya, malam telah larut saat itu.

“Lo tuh mau ngomong apa sih ?” Akhirnya gue kesal, dia ngangguk-ngangguk. Kita adalah dua orang yang sedang berusaha menjadi ‘orang cerdas’ dengan sok-sok-an untuk mendapatkan kalimat ‘cantik’ biar kelihatan keren dalam penjabarannya.
“Gini. Lo bilang lo suka, kan, sama si ‘anu’. Tapi, lo enggak tau, kan, si ‘anu’ suka apa enggak sama lo ?” Gue ngangguk, mulai mencerna, “Nah, misalnya Bandung” Dia terkekeh, gue pun geli “Kok, Bandung lagi sih ?” tawa pecah diantara kami.
“Lo dengarin gue dulu !”

Gue ngangguk, tak lagi berusara. Suasana mulai serius. Malam itu, gue abis berbagi cerita tentang cinta sepihak.

“Nih, misalnya, si ‘anu’ orang Bandung. Nah, lo ke Bandung mulu, nyamperin dia mulu, tapi dia enggak pernah ke Jakarta buat nyamperin lo. Lo doang yang usaha buat nemuin dia, terus begitu seterusnya. Bosan, enggak ?”

Gue terdiam cukup lama. Teman gue menunggu jawaban gue dengan kepala di miringkan.

“Tapi dia bukan orang Bandung” jawab gue kemudian.
“Sueeeeee banget lo. Capek gue ngomong sama lo ! Bikinin gue kopi lagi !”

Enggak. Enggak. Gue paham, kok, maksud teman gue itu. Ya, menurut dia, nanti juga gue akan bosan ngejaga cinta sepihak itu. Mungkin, kalau mau minjam kata-katanya Mario teguh, cinta itu ya di usahakan oleh dua orang, kalau cuma satu yang usaha, itu bukan cinta.

Tapi sebentar, gue emang lagi enggak bahas soal cinta macam itu. Ini cinta sepihak. Cinta yang menurut gue adalah gerbang dalam memahami pengertian cinta yang sesungguhnya.

Toh, dikatakan atau tidak, cinta tetap cinta, bukan ?
Toh, sepihak atau tidak, tetap indah, kan, kalau di jaga ?
Enggak usah gegabah, kan, sabar itu indah.

Ini tulisan tentang apasih ?

Oke. Oke. Buat kalian yang lagi cinta diam-diam sama seseorang, kalau emang belum mantap, enggak usah di ungkapin. Tapi, kalau udah yakin, ya masa enggak di ungkapin.

Aya, apasih, bikin bingung  -_-

Ya, begitu, maksudnya, cinta sepihak itu kebanyakan menyenangkan, kok. Kalau menyakitkan, itu karena hati kamu yang enggak mampu di kendaliin. Lagian nih, kalau suka, cinta, sayang sama lawan jenis, udah mantap kepengin duduk di pelaminan sama doi, ya deketin yang punya hati, deketin yang enggak pernah keberatan buat nyampein perasaan kamu, siapa lagi kalau bukan Tuhan, tuh Aya, dengerin !!!

Sebenarnya tadi gue mau nulis pembahasan yang lebih serius, tapi, kok, jadi gini ya. Maafkan :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar