Jumat, 13 Maret 2015

INSPIRATOR YANG TERINSPIRASI

picture by Dhenny

‘Apakah saya mengispirasi ?’

Tiga minggu saya di pusingkan dengan pertanyaan itu.

Jumat, 6 Februari lalu saya mendelik heran, sebuah email membuat saya mengerutkan kening, membaca isinya menghadirkan tumpukkan pertanyaan di benak. Email yang masuk sejak empat hari sebelumnya itu saya baca hati-hati, sebuah undangan kehormatan yang menyatakan kalau saya terpilih menjadi relawan mengajar. Mengajar di kelas inspirasi Bandung.

Mengajar ?
Inspirasi ?
Saya ?

Beberapa jam saya mengabaikan isi email tersebut. Tak tertarik untuk melanjutkan, tak ada alasan lain, sungguh, saya hanya merasa tidak pantas. Akan tetapi sisi lain dalam diri saya menolak, ada dorongan dalam lingkup ‘penasaran’, sebuah pertanyaan membuat saya dilema ‘kenapa enggak di coba dulu ?’. Tak mau menyesal, saya kembali membuka email itu, membacanya, berhenti beberapa detik, lalu mengkonfirmasi kehadiran. Baiklah, saya tidak akan pernah tahu kalau saya tidak mencobanya, bukan ?

Adalah Dian Anggraeni, seorang teman perjalanan ketika saya ke Bromo yang menyuruh saya untuk mendaftar di kegiatan tersebut. Wanita berambut sebahu itu memberikan alamat link di kotak komentar salah satu postingan saya dalam path.

Tapi, aku kan bukan siapa-siapa kak. Bisa ?

Begitu jawaban saya ketika di akhir komentar yang terlampir alamat link di dalamnya ada kalimat daftar sekarang menjadi relawan pengajar & dokumentasi.

Ayok dicoba daftar dulu.

Tulisnya di bawah komentar selanjutnya.

Tidak. Saya tidak langsung membuka link tersebut. Namun di lain waktu, Kak Dian (panggilan saya untuknya) kembali menanyakan ‘Udah daftar ?’ saya menjawab jujur kalau saya belum membuka link tersebut.
Seperti punya hutang, saya merasa harus membayarnya, demi punya jawaban yang tidak lagi ditagih, pada tengah malam saya membuka link tersebut, membacanya, lalu mengisi form yang tersedia. Batin saya semakin yakin, saya tidak layak mengikuti kegiatan tersebut. Aneh, kenapa kak Dian menginginkan saya ada dalam kegiatan itu. Pikir saya kemudian.

Dan, email berisi undangan kehormatan itu mengubah segalanya. Saya tidak punya gambaran apapun tentang Kelas Inspirasi. Pun tidak berniat untuk mencari tahu. Tak ada yang saya lakukan setelah mengkonfirmasi kehadiran, saya segera menghubungi orang yang percaya kalau saya bisa berada di dalam kegiatan tersebut. Peduli apa dengan siapa saya, saya hanya ingin menemukan ketidaktahuan. Menemukan potongan cerita. Oleh karena itu saya tidak berniat untuk tidak memenuhi undangan tersebut.

***

Minggu, 8 Februari 2015. Sebuah pertemuan luar biasa terjadi di gedung sate, Bandung. Luar biasa, bagi saya. Saya yang baru sampai sekitar pukul sebelas siang bingung harus berbuat apa, ada entah berapa jumlah manusia-manusia ‘hebat’ di dalam gedung itu. Mereka datang dari penjuru kota dengan latar belakang yang berbeda-beda. Kak Dian mengarahkan saya untuk registrasi ke panitia, dan saya mendapatkan kelompok mengajar. Kelompok 32, SDN Lengkong Besar. Begitu yang tertulis di layar laptop ketika nama saya ditemukan. Apapun itu, sungguh saya tak mengerti apa-apa. Saya diarahkan untuk merapat kedalam kelompok yang ditentukan, beruntungnya, saya satu kelompok dengan kak Dian. Sebuah kebetulan.
Pertemuan singkat itu berisi perkenalan dalam satu team. Masing-masing team mempunyai satu pendamping yang bisa memberikan berbagai informasi. Setelah pertemuan itu obrolan berlanjut dalam grup whatsapp yang dibuat pendamping, karena kesibukkan, kami hanya bertemu satu kali sebelum hari inspirasi.

***
picture by Dhenny

Semua jawaban tentang pertanyaan ‘apakah saya menginspirasi ?’ lenyap, ketika saya berdiri seorang diri di depan sekitar tiga puluhan pemilik wajah lugu. Saya tidak memiliki pengalaman mengajar siapapun dan dimanapun. Ah, ada, mengajar anak-anak kecil mengaji ketika saya masih SMP dulu. Dan ini berbeda. Lupakanlah, hari itu saya tidak mungkin menyia-nyiakan waktu satu hari yang dipercayakan oleh sekolah kepada saya, kami para relawan.
Saya tidak datang untuk menginspirasi, tetapi saya datang untuk bermain-main yang bermanfaat. Karena bagi saya, anak-anak selalu suka diajak bermain.
Di tanda pengenal yang saya kalungkan tertulis sebuah profesi yang sebenarnya bukan profesi, melainkan sebuah impian bagi saya. Saya seorang karyawati di sebuah perusahaan industri elektronik. Tidak ada yang ingin saya ceritakan kepada mereka, anak-anak negeri ini tentang pekerjaan itu. Karena buat saya, rutinitas tersebut tak pernah menarik untuk diceritakan.

“Kakak, kakak nulis buku apa ?” tanya seorang anak di kelas empat, pertanyaan yang langsung membuat saya bertanya pada diri sendiri ‘Nah, kan ? Buku apa ?’.

“Naskah kakak keseringan ditolak sama penerbit, kakak keseringan nulis di blog ..” materi pun mulai mengalir, saya menceritakan tentang mimpi-mimpi dalam hidup saya. Saya mengajak mereka untuk sama-sama berjuang dalam meraih impian masing-masing.

“Adakah yang ingin jadi penulis ?”

Kepala saya clingak-clinguk, tak ada satu tanganpun yang terangkat.

“Jadi, enggak ada yang kepengin jadi penulis ?” beberapa anak menggelengkan kepalanya, beberapa anak lainnya hanya diam mendengarkan.
“Soalnya tulisan saya jelek, kak”

Deg

Sebuah jawaban terlontar dan langsung membuat kepala saya migrain. Saya tertawa mendengar jawaban polos anak tersebut. Saya tidak dapat menyimpulkan seperti apa pengertian ‘seorang penulis’ di dalam benak-benak mereka. Jika boleh saya menebak-nebak, ‘seorang penulis’ dalam pandangan mereka adalah seseorang yang suka menulis. Menulis. Hal dasar yang selalu diajarkan sejak kecil. Me-nu-lis. Pemahaman yang kemudian saya cerna dengan sungguh-sungguh.

“Kakak, yang tadi pakai baju kotak-kotak itu namanya siapa ?” seorang anak perempuan bertanya ketika saya sudah mengakhiri kelas.
“Baju kotak-kotak ?” saya menjeda kalimat untuk mengingat “Oh, kak Mirza. Kenapa ?”
“Itu kak, dia titip salam buat kak Mirza ya, kak”
“Bukan aku, kak. Ini dia, nih yang titip salam”
“Kak, nanti kakak itu suruh masuk ke kelas kita ya, kak”
“Kak, aku mau ibu bidan dong”
“Pak polisi dong, kak”
Kalimat-kalimat itu tumpang tindih di pendengaran saya. Saya tidak menjawabnya satu persatu karena mereka mengerubungi saya. Seperti sebutir gula yang sedang di nikmati sekelompok semut.
“Iya, nanti kakak sampaikan ya, sekarang kakak harus pindah kelas” saya berdiri, dan, terdiam karena seisi kelas menghampiri saya, menciumi punggung telapak tangan saya, dan, ough .. ada pelukkan hangat dari beberapa tangan yang melingkar di pinggang saya.

Saat itu, saya beruntung karena sedang merasakan sentuhan penuh sayang yang tidak pernah pura-pura.

Dari tiga kelas yang saya masuki, berdiri di depan anak-anak yang lebih tinggi tingkat kelasnya terasa lebih mudah. Mudah dalam mentransfer materi tentang apa yang ingin saya bagikan. Tapi sekali lagi, anak-anak selalu suka diajak bermain.

Di kelas enam, saya menjumpai mata-mata berbinar ketika saya sedang menceritakan impian yang tumbuh sejak saya duduk di bangku SMP. Bola mata saya menyaksikan dengan jelas, wajah-wajah penuh semangat yang sedang menyimak. Sesekali mereka menganggukkan kepala, sesekali mereka tertawa kecil dan sesekali mereka menjawab apa kalimat yang saya lontarkan.

“Disini ada yang suka menulis buku diary ?” akhirnya, banyak tangan yang terangkat di kelas jam terakhir saya.
“Kenapa ?” saya berkeliling meja dan bangku-bangku, mendekati anak-anak yang akan memberikan jawaban.
“Curhat”
“Soalnya kalau abis nulis suka lega rasanya”
“Nulis kalau sedih”
“Suka nulis kalau lagi galau, kak”
Senyum mengembang di wajah saya ketika mendengar satu persatu jawaban itu. Saya berdehem satu kali dengan langkah pelan-pelan menuju depan kelas. Dan saat tepat berdiri di depan, tepat menjadi pusat perhatian seisi kelas, saya berkata dengan hati “Buat kakak, menulis adalah mesin waktu yang tidak akan pernah hilang. Ketika kalian menulis, apapun, pada saat ini. Kemudian kalian baca beberapa tahun kedepan, akan hadir perasaan-perasaan yang dulu pernah kalian rasakan ..” saya sengaja memberi jeda, membiarkan mereka memahami kalimat yang saya ucapkan, saya kembali mendapati mata berbinar serta anggukkan yang saya artikan sebuah respon terbaik dari seroang anak berusia sebelas sampai dua belas tahunan “Kakak menulis karena kakak gelisah. Kakak menulis agar kakak tidak terlupakan, seenggaknya sama ingatan kakak sendiri”.

Hening.

“Ada yang mau jadi penulis ?”

Beberapa anak mengangguk. Saya pun mengangguk dengan senyum yang pecah.

Mungkin benar, saya datang sebagai inspirator. Mungkin benar, kegiatan yang dinamakan kelas inpirasi ini menginspirasi. Tapi hilangkan kata ‘mungkin’, karena benar, ini tentang saya, seorang yang melabeli dirinya sebagai ‘inspirator’ telah terinspirasi.

***
kelompok 32, SDN Lengkong Besar

Mendengar cerita-cerita teman lainnya di sekolah-sekolah SDN yang ada di Bandung, saya merasa beruntung lahir lebih dulu dari anak-anak kekinian. Di sesi evaluasi yang dilangsungkan di hari yang sama di gedung Asia Afrika, membuat saya miris dengan pendidikan masa kini.

“Saya mengajarkan mereka cara menyikat gigi, ketika saya memberikan instruksi ‘maju .. mundur .. maju ..’ sambil meragakan bagaimana cara menyikat gigi yang benar, anak-anak malah menjawab ‘maju mundur cantik. Maju mundur’. Karena apa, ketika mereka melihat tivi, panutan mereka public figur yang ada di dalamnya” curhat seorang laki-laki yang berprofesi sebagai dokter gigi.

Saya rasa tidak salah, entah bagaimana perasaan dokter gigi tersebut ketika sedang meragakan cara menyikat gigi yang benar, tiba-tiba seluruh murid di kelas bergumam ‘maju mundur cantik, maju mundur’. Anak-anak di masa kini telah dewasa sebelum usia sewajarnya. Entah siapa yang harus disalahkan, tapi rasanya tidak perlu saling tunjuk untuk mencari pelaku. Karena alangkah lebih baiknya, kalau ‘kita’ sama-sama peduli dengan pendidikan Negara ini.

Terlepas dari mirisnya pendidikan di zaman serba canggih ini, saya mengerti makna kalimat yang diucapkan kak Dian ketika kami berada di dalam bus Primajasa jurusan Bekasi-Bandung ‘Gue enggak tau lho, ya, kalau nanti ujungnya nagih’.

Saya pulang, kembali ke rumah dengan membawa lembaran-lembaran kertas berisi tulisan anak-anak SDN Lengkong Besar yang setengah hari menamani saya bermain. Saya tidak tahu kebanyakan mereka memiliki cita-cita untuk menjadi apa dan siapa, tapi satu hal yang saya tahu, mereka menulis. Menuliskan sebuah cerita dari imajinasi yang mereka buat sendiri tentang gunung dan pantai.

tulisan mereka
bercerita ingin melakukan apa jika berada di pantai ataupun gunung
tulisan tulisan yang menghadirkan berbagai macam perasaan di hati saya ;))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar