Kamis, 05 Maret 2015

MENGERTI TIDAK TAHU

Seseorang memasukkan saya dalam kategori ‘wanita petualang’. Jika boleh saya garisbawahi, petualang yang mungkin ‘saya banget’ adalah tentang sok tahu.

Belum lama, Dhila salah satu teman saya dari SMA mengirimi saya pesan, dia bertanya bagaimana caranya agar ia bisa sampai di masjid kubah mas, Depok. Saya menjawab jujur ‘enggak tau, gue belum pernah’ dan dia kembali bertanya yang berujung membuat saya berpikir, kok, kenapa dia nanya ke gue, padahal jelas, gue adalah pejalan yang sering kali tidak sengaja menemukan jalan lain (baca:nyasar). Lalu hari ini, pagi tadi, seorang teman lagi-lagi bertanya sebuah alamat. Saya mengembuskan napas panjang, bertanya dalam benak, ‘apa yang menjadi pertimbangan mereka ketika memilih saya untuk dijadikan orang yang di perkirakan mampu memberikan jawaban akan pertanyaan mereka’

Pertengahan Februari lalu saya mengikuti kelas inspirasi di Bandung sebagai relawan pengajar di salah satu SDN yang ada di daerah Buah batu, Bandung. Saya asing, sangat asing dengan alamat sekolah dasar yang akan saya jadikan tempat bermain bersama anak-anak itu. Dalam kelompok yang berjumlah lima belas relawan pengajar dan lima relawan dokumentator, mayoritas mereka berasal dari Bandung. Saya sengaja berangkat sepulang kerja dan akan bermalam di salah satu tempat kos teman sesama pengajar. Karena kami semua harus berkumpul sekitar pukul enam pagi, saya tidak mungkin berangkat dari Bekasi di hari inspirasi tersebut, karenanya saya memutuskan berangkat selepas kerja di hari sebelumnya.

Saya keluar rumah setelah sholat maghrib. Dalam bayangan saya, saya akan duduk seorang diri di dalam bus primajasa AC, pada waktu itu saya sudah menyiapkan cara yang tepat untuk mengisi waktu di dalam bus itu. Menulis atau membaca semisal, karena tepat, saya sedang mengikuti #30HariMenulisSuratCinta, dan saya berniat menulis surat untuk mengisi kesendrian saya di dalam bus nantinya.
“Kamu yakin enggak naik dari terminal aja ?” maa menegaskan ketika saya masih berdiri diambang pintu rumah, menimbang-nimbang ingin naik bus darimana. Kemudian saya menggeleng “Naik dari pintu tol aja-lah, biar langsung jalan. Soalnya kalau naik dari terminal nanti lama, kan, nunggu penuh dulu” jawab saya sekenanya. “Kalau begitu, hati-hati. Naik bus yang duluan datang, ekonomi ataupun AC, yang paling dulu datang, langsung naik, takut kemalaman soalnya” pesan maa yang akan saya patuhi, saya mencium punggung telapak tangannya, berlalu dengan perasaan tidak tenang.

Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanan saya sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Gerimis menambah kecemasan saya malam itu. Banyak orang memang yang berdiri bersama saya, namun saya tidak yakin kalau mereka akan satu jurusan dengan saya. Menuju Bandung di hari kerja ? Untuk apa ? Pikir saya. Kurang dari setengah jam setibanya saya di pintu tol Cikampek, sebuah bus primajasa terlihat dari kejauhan. Saya menelan ludah, mengubur dalam-dalam semua kecemasan. Saya tidak mungkin memutar balik langkah yang sudah saya ambil, bukan ? Walau ada, ada sebuah option tersebut melintas dibenak. Saya mendekat pelan-pelan ketika mobil berwarna dasar putih itu sudah memasuki pintu tol, tapi, hey, ada apa ini ? saya terombang-ambing, satu per satu orang-orang yang sejak tadi berdiri bersama saya menyerbu bus bergaris merah hitam tersebut. Saya nyaris mundur, memilih keluar dari keramaian, tapi tidak, mau sampai Bandung jam berapa kalau saya harus menunggu bus selanjutnya. Tapi bagaimana mungkin kalau saya harus berdiri di dalam bus jurusan Bekasi-Bandung ini ? Saya menggelengkan kepala, saat itu, tidak ada keputusan yang bisa saya ambil dalam hitungan menit, detik menjadi penting. Dalam desak-desak manusia-manusia yang ingin masuk ke dalam bus tersebut, saya melangkah mantap. Dan, saya mendapatkan tempat duduk di kursi tiga. Sungguh, seratus delapan puluh derajat berbeda dengan apa yang saya perkirakan. Mayoritas isi penumpang bus tersebut kaum adam, yang jika saya tebak, mereka adalah para pekerja, entah dimana dan dimana, saya tak memiliki gambaran apapun, saya hanya dapat menyimpulkan, kalau mereka adalah pekerja yang menghabiskan kurang lebih tiga jam dalam perjalanan di kesehariannya. Saya tertawa kecil, geli dengan imaji sendiri, lucu rasanya, saya yang sudah mempersiapkan mata untuk terpejam beberapa menit atau sekadar membaca dan menulis untuk mengisi sepi di dalam bus, ternyata harus duduk dengan posisi tidak sempurna, duduk berdesakkan dengan orang-orang asing. Hal yang sungguh tidak terduga. Sebut saya norak, karena itu kali pertama sama ke Bandung seorang diri di malam hari dengan angkotan antar kota.

Satu per satu orang-orang yang naik bus primajasa bersama saya turun bergantian. Bus yang tadinya begitu padat menjadi lenggang, sangat lenggang. Saya memilih kursi dua yang kosong, lalu duduk dengan menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Amboi rasanya. Setelah seharian kerja, lalu duduk dengan tidak nyaman hampir satu jam, akhirnya saya dapat melemaskan tubuh di kursi kosong. Jarum jam sudah mendarat di angka delapan mendekati sembilan. Saya menoleh keluar jendela mobil, ‘Sadang’ hanya tulisan itu yang terbaca. Saya terdiam cukup lama, sesuatu baru saya sadari.

Gue turun dimana nanti ?

Terminal Leuwih panjang ?

Dari Leuwih Panjang naik angkotan apa ?

Damri ? Tapi, sebentar ! Bukannya Damri cuma sampe jam enam sore ? dan ini, ah, jam delapan sudah lewat.

Angkotan kecil ? Nomor berapa dan jurusan apa ?

Dan ini sudah sampai mana ?

Saya mengusap wajah, mencoba menenangkan diri sendiri itu adalah hal yang kadang tidak gampang. Beberapa pesan masuk ke dalam ponsel saya. Ada percakapan di group yang sengaja dibuat untuk kelompok kelas inspirasi, ada beberapa yang bertanya ‘Aya udah dimana ?’. Saya bingung menjawabnya, saya kembali membuka pesan sebelumnya, pesan dari beberapa teman yang saya tanyai tentang alamat yang akan saya datangi. Saya membacanya berulang, mengembuskan napas panjang, kembali tenang.

“Teh, maaf, mau nanya, kalau mau ke rumah sakit Hasan Sadikin saya turun dimana, ya ?” tanya saya kepada satu-satunya wanita di bus itu selain saya “Hasan Sadikin ?” ulangnya dengan penegasan, saya mengangguk “Sukajadi” tambah saya, wanita itu berkata “Oh, Sukajadi ? Turun aja di terminal Leuwih Panjang, nanti naik angkot kecil jurusan cimahi. Tapi ini udah malam, Leuwih panjang agak rawan, ya, gambaran kampung rambutan atau pulogadung kalau terminal di Jakarta mah” jelasnya, sebuah penjelasan yang membuat saya menelan ludah.

“Oh gitu teh, makasih ya. Oh ya, sekarang udah dimana ? Leuwih Panjang masih jauh ?” wanita berjilbab itu mengangguk “masih, sekarang baru sampai purwakarta, udah pernah ke Leuwih Panjang belum ?” saya mengangguk sambil berkata “Udah teh” jawab saya singkat, lalu mengucapkan terima kasih, walau jujur, saya masih tidak tahu harus bagaimana setelah turun dari bus ini. Bandung memang bukan kota asing bagi saya, bahkan sejak SMP saya sudah pernah berkunjung ke kota yang di kenal kota kembang ini, dan pernah sesekali mengunjungi beberapa tempat wisata yang ada disana. Tapi perjalanan ini berbeda, saya belum pernah ke Bandung menaiki primasajasa sebelumnya, pernah, dua minggu sebelumnya ketika mengikuti briefing untuk acara yang sama, itu pun berangkat bersama dua orang teman, dan pagi hari.

Saya mengerti, saya tidak tahu. Tidak tahu alamat yang akan saya tuju, tidak tahu harus turun dimana dan menaiki angkotan apa setelah turun dari bus primajasa ini. Dan tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Saya paham sejak awal berangkat, karena menurut informasi yang saya dapat, angkotan Damri jurusan Ledeng hanya beroperasi sampai jam enam sore. Saya mencoret alternative tersebut. Informasi lainnya, saya harus naik angkot kecil dua kali dari terminal Leuwih Panjang, angkot jurusan ciroyom (kalau tidak salah ingat) lalu lanjut naik angkot jurusan cimahi dan turun di depan rumah sakit Hasan Sadikin. Seorang teman juga menyarankan, lebih baik saya turun di pintu keluar tol Moh. Toha lalu naik angkot caringin dago, kemudian turun di BIP, darisana lanjut naik angkot ke sukajadi.  Terlalu banyak pilihan yang sama sekali tak terbayang dalam pikiran saya. Saya memasukkan ponsel ke dalam kantong celana ketika sebelumnya meghubungi teman yang akan saya tumpangi kosannya. Ia seorang bidan yang tidak begitu paham trayek ke tempat kosnya. Tidak. Ia tidak punya motor, tapi tempat kosnya dekat dengan puskesmas tempatnya bekerja, dan ia hanya berpesan kepada saya untuk naik angkot jurusan cimahi, lalu turun di depan rumah sakit Hasan Sadikin. Gang tempat kosnya tepat berada di depan rumah sakit tersebut.

“Teh duluan ya, hati-hati si tetehnya” pamit wanita berjilbab itu kepada saya, ia turun entah dimana, saya tak dapat mengingatnya, saya hanya mengangguk dengan senyum. Penumpang dalam primajasa tersebut sudah bisa di hitung dengan jari, saya berpindah tempat duduk, duduk di barisan depan dekat sopir, ‘okay, ini yang terakhir’ desis saya dalam hati.

“Pak, saya mau tanya, saya, kan, mau ke rumah sakit Hasan Sadikin, kalau turun di terminal Leuwih Panjang masih ada angkot, enggak yah jam segini ?”
“Enggak usah ke Leuwih Panjang, dek, turun di pasir koja aja. Kalau ke Leuwih Panjang kejauhan, adek muter lagi. Turun di pasir koja, naik angkot sekali langsung turun di depan rumah sakitnya” itu jawaban seorang lelaki tua yang duduk tepat di belakang saya, ya, lelaki tua itu lebih dulu menjawab sebelum pak sopir menjelaskan.
“Pasir koja ?” lelaki tua itu mengangguk “Masih jauh ?” tanya saya lagi. “Masih satu jam lagi, nanti minta turun di pasir koja” jawabnya dengan suara ramah, saya tersenyum lega “terima kasih, pak”

Saya kembali menyandarkan tubuh saya ke sandaran kursi penumpang, kelelahan lenyap dengan sebuah keingintahuan. Saya melirik jam tangan, jam setengah sepuluh malam.

“Neng, ini pasir koja” suara pak sopir membuyarkan lamunan saya kemudian, saya menegakkan tubuh, bersiap turun dari bus yang hampir tiga jam saya tumpangi.
“Ini pasir koja ?” ulang saya, pak sopir mengangguk “Iya, neng naik angkot jurusan sukajadi”.
“Iya, pak. Makasih”
“Hati-hati ya, neng” pesan pak sopir. Saya melangkah berat meninggalkan bus tersebut. Bus yang berisi orang-orang asing yang saya ajak berbicara. Saya menginjakkan kaki di perempatan jalan, tidak tahu harus memilih jalur yang mana. Malam semakin larut. Saya berdiri di pembatas jalan. Mengatur napas agar tidak terlihat panik. Tapi tetap saja, saya merasa butuh kembali bertanya, kedua mata saya menangkap sosok pemuda yang tadi turun bersama saya dari primajasa.

“Misi, mas, saya mau tanya, kalau mau ke rumah sakit Hasan Sadikin, dari sini naik angkot yang mana ya ?” pemuda itu baru ingin menyebrang jalan ketika saya mencegahnya, ia menatap saya sejenak “Mba darimana emangnya ?”
“Bekasi” pemuda itu diam, lalu berkata “Ayo bareng sama saya” ajaknya sambil memutar balik tubuhnya, ia mengurungkan niatnya untuk menyebrang tadi, saya mengekor di belakangnya.
Kami berdua masuk ke dalam angkot kecil berwarna kuning, angkot jurusan apa saya lupa.
“Mba, nanti mba turun di paltiga ya ?”
“Apa ? PAL .. PALA ?”
“Paltiga ?”
“Paltiga ?”
“Oke. Saya antar aja, soalnya udah malam”
“ngg .. enggak apa-apa saya sendiri aja, si mas-nya turun dimana emang ?”
“Udah kelewat, lagian saya pernah, kok, ngerasain njadi mba, waktu di Karawang”
“Og gituh, ngapain ke Karawang ?”
“Saya kerja disana, mbak. Saya asli Bandung, kerjanya di Karawang, di OPPO ..” obrolan berlanjut sampai kami turun di sebuah jalan yang masih ramai, pemuda itu bilang kalau saya harus menyambung angkot untuk sampai di rumah sakit Hasan Sadikin. Dia menemani saya menunggu angkot sambil bercerita tentang dirinya yang mantan guru matematika, lalu sekarang bekerja menjadi trainer yang di pusingkan dengan pekerjaan kejar tayang, dan malam itu ia ke Bandung karena ada pertemuan untuk urusan pekerjaan. Saya menyimak ceritanya. Setengah jam berlalu,  setengah sebelas malam.

“Mas, masih ada enggak sih angkotnya ?” saya merasa tidak enak telah menyusahkannya cukup lama, belum lagi ada beberapa menit kosong yang membuat kami sibuk dengan gadget masing-masing. Saya merasa tidak nyaman, bukan tidak nyaman, tidak enak lebih tepatnya.
“Biasanya sih masih ada mba, tapi, ini, kok, enggak ada yang lewat ya ?” pemuda itu clingak-clinguk. Saya mengikuti arah kepalanya.
“Jauh enggak sih ?”
“Enggak, tapi mutar, itu yang ngebuat agak jauh”
“Saya mau naik taksi atau ojek ajalah” saya sudah merasa begitu lelah, butuh beristirahat, terlebih besok paginya harus mengisi kelas di sekolah dasar, bagaimana kalau fisik saya melemah ? Tidak boleh !
“Naik taksi aja mba, ya ?” saya mengangguk, tak lama, taksi melintas, pemuda itu langsung menyetopnya.
“Pak, ke rumah sakit Hasan Sadikin, ya. Ini teman saya tolong diantar” pesannya kepada sopir taksi, saya sudah duduk di bangku penumpang.
“Hati-hati ya mba” saya tersenyum tulus “Makasih ya mas” ucap saya sebelum taksi berlalu.

Saya berdiri seorang diri di depan jalan besar rumah sakit Hasan Sadikin. Sepi. Hanya ada beberapa mobil yang sesekali melintas. Jam sebelas belum sempurna.

‘ini gue ada dimana ?’ saya membatin.

Saya segera menghubungi teman saya, dan kurang dari sepuluh menit, teman saya terlihat dengan wajah lega menyambut kedatangan saya di depan gang. Ini pertemuan kedua setelah briefing dua minggu lalu di gedung sate. Pertemuan kedua dimana saya langsung menumpang bermalam di tempat kosannya. Ya, itulah hidup seorang ‘wanita petualang’.

Bagi saya, untuk melawan rasa takut yang besar tidak dibutuhkan sebuah keberanian yang lebih besar takarannya. Melainkan sebuah kepercayaan pada diri sendiri, percaya, bahwa ketakutan sejatinya hanya bisa ditaklukan oleh si pemilik ketakutan tersebut.

2 komentar:

  1. ayaa.
    kebandung berdiri..
    jadi inget sama aa indra
    hahaha...
    untung gua waktu itu naik dari stasiun

    BalasHapus
    Balasan
    1. diiih .. naek kereta, kok, berdiri ? bukannya enggak boleh, Di ?

      Hapus