Rabu, 20 Mei 2015

puzzle 'tentang cinta'

“Adek, Bapak boleh minta tolong ?” saya menghentikan langkah pelan-pelan saya dalam gerbong kereta yang baru beberapa detik meninggalkan stasiun Banyuwangi Baru. Seorang laki-laki tua menghampiri saya dengan memperlihatkan dua lembar tiket kereta api di genggamannya. Saya memiringkan kepala, memperhatikan dua lembar tiket yang di perlihatkan kakek itu, “Ini tiket kereta Bapak sama Ibu, tapi gerbongnya beda. Bapak di gerbong 3, Ibu di gerbong 6. Adek bisa tolong kita, supaya Bapak sama Ibu satu gerbong ?”

Deg.

Saya menelan ludah, lantas mengamati dua lembar tiket kereta api itu lamat-lamat. Ya. Sepasang lansia yang memiliki dua tiket kereta api dengan gerbong terpisah.

“Bisa, pak, bisa. Bapak sama ibu duduk aja di sini dulu, lagian masih kosong. Nanti, kalau ada penumpang aslinya yang duduk di bangku ini, bapak minta tukar tempat duduk aja” begitu penjelasan saya sesantai-santainya, bagaimana mungkin saya tega memberikan jawaban yang membuat keduanya kecewa.

“Ibu baru pertama kali naik kereta, bapak enggak bisa ninggalin, bapak mau nemanin ibu disini. Bisa ya, dek ?”

Saya mengangguk, sekali lagi dengan santainya menjawab “Bisa, pak, bisa”

Percakapan itu berakhir dengan dua buah permen yang saya terima dari isteri kakek itu. Saya kembali duduk di bangku saya, gerbong yang sama dengan sepasang lansia itu. Ups, bukan gerbong sepasang lansia, gerbong yang sama dengan sang kakek, ya, hanya sang kakeknya saja. Beberapa stasiun terlewati, saya mengisi waktu dengan membaca buku.

Deru mesin kereta berganti dengan sedikit kegaduhan yang berjarak beberapa bangku dari tempat saya duduk. Saya berdiri, dan, kakek yang saya temui sejak awal kereta ini berjalan menangkap wajah saya, dia memberi saya kode untuk menghampirinya.

“Adek, ini penumpangnya ada. Bagaimana dek ?” saya melirik bangku kosong yang tidak lagi kosong, posisi sepasang lansia itu berubah. Keduanya pindah bersamaan di tempat duduk yang ada di hadapannya. Tangan sang nenek melingkar di tengah siku sang kakek. Ada kecemasan di wajah sepasang lansia itu.

“Ini tempat ibu ?” tanya saya kepada seorang wanita setengah baya yang duduk menggantikan tempat si kakek. Ibu setengah baya itu mengangguk.

“Ibu sendirian, kan ?” tanya saya lagi tanpa basa-basi, ibu setengah baya itu menjawab enteng dan paham arah pertanyaan saya “saya enggak mau pindah, sengaja saya milih tempat duduknya disini, biar dekat jendela” begitu ungkapnya. Ya, kadang, seseorang begitu egois demi mendapatkan kepuasan semata, hanya ingin duduk dekat jendela, contohnya. Saya menghembuskan napas, bingung. Tatapan lansia itu memelas kepada saya, saya paham, mereka tidak ingin dipisahkan.

“Sebentar ya, pak” saya balik badan, menghampiri dua orang berseragam yang duduk tidak jauh dari tempat duduk sepasang lansia tersebut. Saya sempat melihat dua petugas itu sebelumnya.

“Pak, boleh tukar tempat duduk, enggak, sih ?” pada saat itu otak saya tumpul. Kebodohan membelenggu, tak memberikan celah untuk saya mencari akal.

“Enggak bisa dek, itu hak penumpang. Kami enggak bisa ikut campur. Kalau penumpangnya mau, silakan tukar tempat duduk, tapi kalau penumpangnya enggak mau, kita enggak bisa berbuat apa-apa” saya mengerti, ya, peraturan tetaplah peraturan.

“Iya, pak. Tapi, kakek sama nenek itu duduk dalam gerbong terpisah. Kasian”

Dua petugas itu tersenyum simpul mendengar kalimat yang keluar dari mulut saya.

“Adek di gerbong mana ?”

“Gerbong sini, seandainya saya tukar tempat duduk dengan isterinya, enggak masalah saya pindah ke gerbong enam, tapi, tempat duduk mereka berjarak jauh. Saya duduk di ujung sana” Salah satu petugas menggelengkan kepalanya sambil berkata “kita enggak bisa berbuat apa-apa”. Saya mengangguk lemah “Ya, makasih ya, pak” saya bangkit dan kembali menghampiri sepasang lansia tersebut.

Saya langsung mendapati dua wajah penuh harap kepada saya, saya menggeleng “Enggak bisa” lirih saya. Kakek itu mengangguk, telapak tangannya mengusap lembut punggung telapak tangan sang nenek. Menenangkan.

“Terima kasih, ya, dek” saya mengangguk, berbalik dan kembali duduk di bangku saya.

Setelah beberapa stasiun kembali terlewati, otak saya baru menemukan cara, ‘kenapa enggak tukeran tempat duduk sama gue dan teman gue aja ? bego !’ Ya, saya bersama tiga teman saya duduk dalam satu gerbong, posisi kami berdekatan. Namun telat, sepasang lansia itu tidak ada di tempat duduknya. Demi Tuhan, saya merasa begitu bersalah. Ketika itu saya hanya berharap keduanya tidak pernah terpisahkan. Baik dunia, maupun akhirat.

***
source http://m.kaskus.co.id/thread/5407b7b46208811c038b456b/ini-alasan-kenapa-punya-sahabat-lawan-jenis-ituasyik
Beberapa waktu yang lalu, ketika saya sedang bercerita tentang kisah cinta yang begitu saya banggakan, sebuah pertanyaan terlontar dari lawan bicara saya.

“Mbak Aya nyaman sama ‘dia’ ?”

Pertanyaan yang membuat saya terdiam panjang. Kedua bibir saya terkatup, saya menelan ludah berkali-kali, tenggorokkan saya tercekat, dada saya sesak, seperti ada benda keras yang baru saja menghujam. Saya tidak menjawabnya. Hanya kepala saya yang mengangguk perlahan.

Saat itu, tidak ada perasaan apapun yang saya rasakan, selain rasa takut. Takut akan kenyataan bahwa saya tidak tahu harus menjawab apa. Takut akan kenyataan bahwa rasa nyaman tidak pernah saya temui dari orang yang begitu saya cintai. Takut akan kenyataan kalau sekian hari yang saya lewati dalam mencintainya hanyalah sebuah ilusi.

‘Dia’ seorang yang begitu saya cintai, bukan seorang yang melangkah beriringan dalam perjalanan, bukan seorang yang menemani saya tertawa dalam kekonyolan, bukan seorang yang mendengarkan isakkan dalam kesedihan saya, juga bukan seorang yang menyatukan puzzle-puzzle cerita dalam kehidupan saya. Bagaimana mungkin saya bisa menjawab ‘Apakah saya nyaman dengannya ?’.

Karena rasa nyaman tak cukup di temui hanya karena saya mencintainya.

Lalu bagaimana dengan kesetiaan ini ? Mencintainya dalam kurun waktu yang tidak bisa dikatakan sebentar. Lalu bagaimana mungkin saya bisa begitu mencintainya, padahal tidak pernah ada pertemuan dan perbincangan diantara kami ? Saya tidak pernah paham akan hal itu.

Cerita cinta sejatinya selalu sederhana, saya percaya itu, karena yang menjadikannya rumit adalah diri kita sendiri.

Seperti sepasang lansia yang saya temui di dalam gerbong kereta Sri tanjung itu, mereka terikat, mereka bersama, dan mereka menua dalam kenyamanan.

1 komentar:

  1. keren keren "Rasa nyaman tak cukup di temui hanya karena saya mencintainya"

    BalasHapus