Minggu, 21 Juni 2015

Lorong waktu

taken picture from www.lintasan.com
“Eh, Aziz, lo bukannya sholat malah jualan ! Gimana sih ?” teriak seorang bocah kepada temannya yang sedang berdagang makanan ringan di halaman masjid bagian pinggir. Saya geli, persoalannya, bocah cewek yang meneriakinya itu pun tidak sholat. Bocah berusia kisaran sembilan tahun itu menggunakan mukena, menggelar sajadah, lalu duduk sambil mengunyah berkantong-kantong lidi-lidian yang dibeli dari temannya itu. Lucu, bukan ?
Tarawih memang pelengkap yang hanya ada dalam ramadhan.

Ramadhan selalu datang bersama kenangan-kenangan yang hampir semua manusia miliki. Saya memang tak mengenal bocah cewek itu, namun jika ditarik ke beberapa tahun silam, mungkin bocah cewek itu adalah diri saya.

Saya tak lagi melirik-lirik ke shaf laki-laki yang mungkin dulu, ada alasan mengapa saya begitu rajin tarawih. Atau, saya tak lagi rela menahan kantuk hanya sekadar untuk meminta tanda tangan sang imam, mengisi buku agenda ramadhan yang di perintahkan sekolah.

Ramadhan tak pernah kehabisan cerita, walau ia bertamu hanya sebulan dalam dua belas bulan yang ada, namun kesannya tak pernah dapat terlupakan bagi siapa saja yang pernah menjamu kehadirannya. Entah saat kecil, lalu tumbuh remaja, menjadi dewasa, atau setelah menikah, bagi yang kemudian menjadi ibu, dan bagi mereka yang menua. Ramadhan tetap kembali dan menciptakan cerita serta harapan-harapan baru.

Membekas, seperti ledakan petasan korek yang dulu begitu gemar saya nyalakan selepas sholat subuh. Ledakannya masih membekas dalam gendang telinga saya, bagaimana tidak ? petasan itu meledak tepat di genggaman jari saya. Terukir, dalam lantunan ayat-ayat yang setiap malam mengalun merdu dari speaker mushola, lalu ketika saya pulang, saya akan bertanya ‘mama tadi dengar enggak suara aku ? tadi, yang baca surat Maryam di mushola itu aku, bagus, enggak ?’. Terekam, bagaimana karambol, bola bekel, congklak, dan monopoli menyita hampir seharian penuh hari-hari ramadhan. Dan tercatat, saat saya bersama teman-teman duduk di balik pohon rambutan, menyedot sekantong besar es orson berwarna orange, lalu segera menyeka bibir dengan kerah baju.

Ramadhan akan selalu kembali, meski keadaan tak lagi sama, keceriaan tak lagi lengkap dan kenakalan tak lagi menarik. Ramadhan seperti kompas, yang ketika jarumnya berputar-putar, dan saat berhenti ia akan menjelma menjadi lorong waktu, menyedot ingatan-ingatan yang membuat siapa pun masuk kedalamnya, kemudian tersenyum.

Ya, ramadhan datang memberi kehangatan bagi siapa saja yang kemudian terpeluk erat dalam goresan kisahnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar