Minggu, 02 Agustus 2015

satu malam di pulau Cipir

Biasanya sesuatu yang direncanakan kerap kali tak terlaksana. Biasanya perjalanan yang dengan matang di agendakan tak menghadirkan beragam kejutan kecil yang sulit terlupakan. Saya menyukai segala sesuatu yang tak terencana, juga perjalanan tak bertuju.

Minggu, setelah hari raya idul fitri lalu, saya bersama sebelas teman lainnya memutuskan untuk plesiran ke sebuah pulau. Pulau Cipir, salah satu pulau yang ada di kepulauan seribu. Memang bukan pulau yang kebanyakkan menjadi pilihan wisatawan untuk berkunjung, pun dengan saya. Sungguh, pulau tersebut tak masuk dalam option yang akan saya jadikan tempat bermalam mengisi sisa libur hari raya. Pulau Bira, pulau Semak daun, pulau Melinjo, pulau Perak, pulau Bulat atau pulau Harapan, pulau-pulau yang menjadi rekomendasi dari seorang teman.
Saya menyimpan nama pulau-pulau tersebut, hingga tengah malam sebelum hari keberangkatan, saya bersama seorang teman belum juga memutuskan pulau mana yang akan kami tuju.

“Gimana ? ke pulau apa ?” tanya saya kepada Ipul ─teman obrolan dalam segala hal─
“Gue males ke muara angke, harus pagi-pagi buta” saya mengangguk lemah mendengar jawaban Ipul “Gue juga males, ini temen gue juga ngajak naik gunung nih, besok malem” Ipul tertawa, saya pun tertawa. Menertawakan hal yang sedang dinanti oleh seorang teman lain, seorang teman yang meminta plesiran ke pulau ini wajib dijadikan. Seorang teman yang rasanya tidak tega untuk saya dan Ipul kecewakan.

Jarum jam sudah jatuh di angka delapan sabtu malam, kami berdua belum tahu pulau apa yang akan kami datangi. Tapi tetap, kami akan berangkat. Saya dan Ipul adalah dua manusia yang begitu enggan memusingkan sesuatu. Males buat repot. Tapi percaya, beberapa hal yang kami lakukan tanpa rencana matang tak pernah ada yang gagal. Malam itu, kami tak ambil pusing mau kemana besok pagi, tapi tak berniat untuk membatalkannya, kami malah memutuskan untuk berkunjung ke rumah teman. Dan menghabiskan malam dengan menonton film. Ya, ya, itulah kami.

***

Dan tibalah harinya. Saya selalu bangun sebelum subuh. Membuka mata, menatap lamat-lamat langit kamar, lalu tersenyum, hal yang selalu saya lakukan. Senyum untuk mengawali satu hari, senyum untuk mengingat apa-apa yang terjadi di hari sebelumnya, dan senyum untuk rasa syukur akan hari yang baru. Saya tak langsung berkemas, saya masih bingung mau ke pulau mana. Namun, sebelum pagi tiba, Ipul bilang “Kita ke pulau untung jawa aja-lah, ngecamp disana, kalau enggak kita sewa homestay. Masalahnya kalau dari muara Angke itu harus pagi banget, kalau dari muara Kamal, bisa siangan. Gitu aja ya ?” saya mengangguk setuju “Hubungin bang Mono, ajakin, pasti dia punya tenda. Rusdi juga sama isterinya. Muis, kan, ada tuh tenda. Cukup-lah” solusi sudah kami dapatkan, ketika saya berkata demikian, Ipul mulai sibuk dengan ponselnya. Tapi kemudian saya tahu, dia tidak menghubungi mereka untuk membicarakan tenda. Hah !

Jumlah kami dua belas orang, sekitar pukul sepuluh pagi kami baru berangkat dari bekasi, sampai di muara Kamal (Tangerang) kurang lebih pukul dua belas siang.
“Enggak bisa Aya, untung jawa ombaknya lagi gede banget” ucap seorang nelayan yang kapalnya kami akan sewa.
“Gak bisa ? Terus gimana ? Aya kemana dong yang ada homestay ?”
“Pulau Onrust aja enak Aya, atau Cipir”
“Onrust Aya enggak mau ah, Cipir ? Disana, kan, enggak ada homestay, Aya gak bawa tenda”
“Kan ada gazebo, aya”

Deg.

Ya. Di pulau Cipir memang ada beberapa gazebo, saya langsung menolak untuk bermalam di pulau Onrust, bagaimana tidak, di pulau tersebut ada banyak makam. Sudahlah. Apapun yang akan saya jumpai di pulau Cipir, setidaknya saya hanya ingin menikmati sisa liburan ini.
“Oke-lah, ke Cipir aja”

***

Pulau Cipir ada di kepulauan seribu, sebuah pulau kecil yang dulunya menjadi tempat pemberhentian para jamaah Haji, dan kini pulau tersebut di resmikan menjadi salah satu pulau arkeologi. Di sekelilingnya penuh dengan sisa-sisa bangunan. Saya tak terbayang bermalam di pulau ini tanpa tenda, tidak masalah dengan saya, hanya saja, ada beberapa teman yang saya ragukan kenyamanannya dengan kondisi apa adanya seperti itu, dan saya memikirkan dua orang anak dibawah umur yang ikut dalam perjalanan tersebut.

“Ini apa ?” Jono bertanya sambil menunjuk ke sebuah kantong plastik yang saya letakkan di sisi pantai.
“Cumi sama ikan”
“Mau di bakar ?”
“Iya, cuma enggak ada alatnya, enggak ada pisau, gimana ya ?”
“Dan enggak minta batu es ?” jeda Jono
Saya mengangguk dengan bola mata berputar melihat Jono menepuk jidat sambil berkata “Haduuuuh”
“Yaudah, santai”

Dalam percakapan itu, Ipul yang entah darimana memanggil kami, ternyata ia habis membicarakan tenda yang disewakan.

“Tenda apa ?” tanya saya.
“Ya, biasa, kayak terpal gitu. Gimana ?”
“Yaudah enggak apa-apa”
“Yaudah ayo temenin nyari tempatnya”

Saya bersama Ipul mengekor seorang laki-laki tua yang akan membuatkan kami tenda 'apa adanya'. Tenda sederhana yang saat itu saya syukuri.

Ya, semua baik-baik saja, bukan ?

Tenda 'apa adanya' dengan penerangan telah jadi, rumah sementara yang melindungi kami. Siang telah berlalu, tepat di balik tenda apa adanya, bulatan orange perlahan turun, sinarnya terpancar cantik di gelombang air. Tak ada yang saya lakukan selain menatapnya tanpa kata. Saya memperhatikan Didin dan pacarnya yang sedang berpose di sisi pantai, pose yang diambil Muis dengan ponsel. Lendra yang tenggelam timbul di lautan lepas bersama Jono dan Bagong. Ipul yang saling bergantian mengambil gambar diri dengan Lala, adiknya. Serta Rusdi bersama Tri dan adiknya yang juga sama, mengabadikan lingkaran orange cantik itu. Wajah-wajah dengan senyum lebar saya dapati. Ini memang bukan liburan yang mewah, namun melihat keceriaan dan kebersamaan itu, membuat saya merasa liburan ini lebih dari mewah.

“Ay, tolong potoion ya” Rusdi memberikan kamera sakunya kepada saya, laki-laki muda yang telah menikah itu kemudian berlari mendekati wanitanya. Ia mencium kening isterinya di tengah matahari yang mau tenggelam. Saya menelan ludah dengan susah payah ketika mengabadikan moment tersebut.


Ini sunset termanis sepanjang pengalaman saya. Pemandangan terindah. Dan dari belakang, Ipul mengambil gambar saya yang sedang berjongkok memotret pasangan muda itu. Saya menyukai hasil jepretannya.

***

Ini kali pertama saya bermalam di sisi pantai, tidur di dalam tenda 'apa adanya', dan menikmati malam dengan membakar cumi. Canda tawa terus mengalir, hal yang kerap kali sulit untuk di dapati dari beberapa moment. Malam telah larut. Tenda 'apa adanya' sunyi, penerangan dimatikan. Satu per satu dari kami terlelap.


Bermalam di pulau Cipir, memberikan saya pemandangan berkesan. Sunset dan sunrise.

Saya mengendap seorang diri selepas berjalan menyusuri pulau tersebut bersama Lala. Lala saya antar kembali ke tenda, dan saya duduk seorang diri di ujung dermaga. Lagi-lagi menatap bulatan orange itu tanpa kata. Sepertinya, hal tersebut akan menjadi kebiasaan baru yang akan saya sukai. Matahari malu-malu muncul di balik pulau Bidadari, saya merasakan sudut-sudut bibir yang tertarik, saya tahu saya sedang tersenyum. Pagi itu sungguh manis. Jika saya lelah menatap matahari yang perlahan tinggi, saya menundukkan kepala, melihat gelombang air yang penuh dengan ikan-ikan kecil.

Saya mengembuskan napas, lalu tertawa kecil, bahkan dalam liburan yang tak terencana ini, Tuhan memberikan saya banyak kemewahan.

1 komentar: