Sabtu, 08 Agustus 2015

Adek gue udah gede

“Jadi, kakak keabisan inspirasi ? aaah, gampang lo mah kak, lo cukup keluar, liat keramaian, nanti juga langsung dapat inspirasi. Biasanya gitu, kan ?”

Kalimat Ana –adik gue─ membuat gue terdiam. Ya, gue mencoba mengingat, kapan terakhir gue keluyuran tanpa tujuan seorang diri. Lama rasanya enggak begitu. Duduk berlama-lama di bangku stasiun, menghabiskan ber-jam-jam di sebuah tempat makan sambil memperhatikan sekitar, nonton film di bioskop, menghadiri acara-acara yang berujung ketersesatan, salah naik angkotan umun, menjadi pendengar dari orang-orang asing yang enggak sengaja gue temui, dan semuanya gue alami sendirian, seorang diri. Iya, gue merindu menjauh. Menjauh bersama diri gue sendiri, menyaksikan keramaian.

Tapi bukan tentang hal itu yang pengin gue tulis detik ini. Kalimat yang keluar dari balik bibir adek gue, membuat gue tersadar akan satu hal, ‘adek gue udah gede’.


Ini sabtu malam, hari sibuk kebanyakkan remaja maupun pemuda ataupun remaji maupun pemudi, mereka akan berserakkan di setiap sudut dunia, okeh, ini lebay !

Gue ngajak Ana buat menemani gue nyari satu titik di sudut dunia ini, Ana adalah seorang abege yang enggak pernah nolak kalau gue ajak jalan.

“Ana, temenin kakak ke Mall yuk !” rengek gue satu waktu sambil membangunkan dia yang lagi tidur pules, enggak berkali-kali dan enggak perlu susah payah, dia langsung bangun, turun dari tempat tidur, mandi.

“Ana, besok mau ikut kakak ke Bandung ? Bangunnya pagi lho !” tegas gue di tengah malam, adek gue ini paling susah bangun pagi, kalo enggak karena sekolah, mungkin dia akan selalu bangun di jam makan siang. Tapi pagi itu, dia bangun sebelum subuh.

“Ana, besok ikut kakak ngaji yuk di istiqlal !” ajakkan barusan, adalah ajakkan yang pertama kali di tolaknya. Iya, adek gue akan menjabarkan beragam alasan, “Ana badannya pegel-pegel, kak” atau “Ah ngajinya pagi-pagi, gue, kan, susah kalo bangun pagi, kak” pernah juga “tapi sampe istiqlal gue tidur, ya, kak !”. Gue masih diminta sabar yang lebih untuk membuatnya ‘tersentuh’ mungkin.

Malam ini, gue ngajak dia ke Summarecon Bekasi, nah, apa gue bilang, Mall tersebut enggak menyisakan satu titik sudut pun, penuh dengan manusia.

“Ngopi aja yuk, ini rame banget” usul gue, gue emang hobi menonton keramaian, tapi gue enggak suka keramaian. Kadang gue emang sulit di mengerti, ya, pokoknya gue enggak begitu suka keramaian.

“Ngopi dimana, kak ?”

“Starbucks aja”

“Sebelah mana ya, kalau disini ?” Adek gue clingak-clinguk, gue menggelengkan kepala, ini benar-benar padat, gue suka migrain kalo ngeliat kerumunan orang. Hah !

“Yaudah kita ke Mall aja, kak. Kalau enggak .. hmmm .. ke Galaxy, disana tempat kongkownya enak. Lo pasti dapat inspirasi” Huft ! Bahkan gue lupa kalau tujuan gue keluar malam ini adalah untuk menemukan inspirasi. Gue enggak menjawab, gue menyerahkan sepenuhnya ke Ana, di zaman ini, dia lebih paham tempat tongkrongan yang cozy. Kita berdua pun berlalu meninggalkan padatnya tempat itu di pukul 9:58 PM.

Dalam perjalanan yang masih enggak tahu mau kemana, adek gue nanya “Gimana, kak ? mau kemana ?” harus gue akui, gue adalah orang yang plin plan, gue cuma jawab “Kemana maunya ?” dan adek gue adalah orang yang hobinya ngejawab “terserah”. Oke, dalam situasi kayak gitu, gue harus memutuskan, dengan mantap gue berkata “ke MM aja-lah, ngopi disana ! Eh, tapi, ke Galaxy boleh juga !” akhirnya Ana ngajak gue nyemplung ke kali. Hahahaha.

Mall metropolitan menjadi pilihan kita. Di pukul 10:22 PM, gue sama Ana masuk Mall. And then .. beberapa toko yang ada di dalam Mall mulai tutup.

“Ish, ini udah mau tutup. Kamu lapar, gak ?”

“Ana udah makan tadi, kenyang.”

“Kakak laper sih, pengin makan mie ramen deh”

“Dimana, kak ?”

Sambil jalan beriringan kita saling pandang sebentar, pikiran kita sama ‘dalam hitungan menit, Mall ini pasti sepi’

“Semua orang kayaknya pulang sebentar lagi, ke Giant ajah-lah, disana, kan, ada Solaria. Makan disana aja, yuk !”

Ana diam sebentar, lalu menebak “Entar disana tutup juga” dengan yakin gue menggeleng “Ya enggak-lah, Solarianya, kan, di luar. Di atas, ada Hema juga. Udah ke giant ajah yuk !”

Fix. Kita berdua keluar Mall, naik tangga penyebrangan, sampai di Giant, naik lagi escalator yang udah mati untuk sampai ke tempat makan yang kita tuju.

“Maaf mbak, udah mau tutup” ucap seorang pelayan yang menyapa gue pas gue sama Ana mau masuk. Ana menoleh, menatap gue dengan tatapan .. .. ya, ya, ya .. .. gue menyengir sambil mengangkat dua jari. Kita kembali turun melewati escalator mati.

“Yaudah pulang yuk !” ajak gue akhirnya.

“Entar dulu, ah. Ana capek, duduk dulu” keluhnya, dan dia langsung duduk di tangga depan pintu masuk Giant, gue mengikutinya, duduk di sebelahnya. Kita berdua diam. Sama-sama diam. Lalu saling pandang, dan tawa pecah diantara gue dan Ana.

“Kita ke Jakarta aja, yuk !” usul gue.

“Ayo, kak. Naik motor, kak ?”

“Ya enggak-lah, parkiran, kan, dua puluh empat jam. Kita tinggal ajah motornya, kita naik patas” Ana udah ngangguk-ngangguk menggebu. Tapi kemudian, “Eh jangan deh ! Nanti di omelin mama, ini udah jam sebelas, pulang ajah-lah yuk !”

“Gue tau kak, lo pasti mau bilang kayak gitu” sekali lagi, tawa pecah diantara kita. Ada hening yang panjang setelah tawa itu.

“Ana, kayaknya kakak mau deh, nikah sama *sensor*” tiba-tiba aja kalimat itu keluar dari mulut gue, tanpa pikir panjang, tanpa sadar siapa yang sedang gue ajak bicara, adek gue yang belom paham permasalahan orang dewasa.

“Ih, apaan sih, kak ? Ngapain sih buru-buru, emang kakak cinta sama dia ? Lagian kakak masih muda, maen nikah-nikah aja” jawabnya penuh ketegasan.

“Muda ? Umur kakak udah berapa emang ?”

Ana mendecakkan lidahnya “Syahrini aja udah tiga puluhan, kak. Sabar aja sih !”

Gue mendesah, tertawa kecil “Nyamain sama Syahrini, dia wanita karier” ketus gue.

“Lah, kakak emang wanita apa ?” gue diam menatap dia yang mengeluarkan kalimat tanya yang gue bingung harus ngejawabnya.

***

Gue dua bersaudara, kadang akur, tapi keseringannya berdebat kalo lagi bareng. Selisih kita delapan tahun, Ana emang sering banget bikin gue sebel, dalam banyak hal. Pun sebaliknya mungkin, gue sering menyebalkan buat dia. Kita sering meributkan hal-hal sepele, namun dibalik semua itu, kita sama-sama menyayangi dan melindungi.

Pernah, waktu bokap gue abis operasi ambeien, nyokap nemenin di rumah sakit. Dan gue sama Ana tidur berduaan di rumah, dalam situasi kayak gitu, banyak hal manis yang terjadi. Kayak kebangun tengah malam, terus sama sama iseng mau buang air kecil, pagi-pagi belanja sayuran, masak makanan untuk berdua yang berujung sama-sama beli nasi padang, ya, gimana mau makan masakkan sendiri, kalo kita berdua yakin rasanya pasti enggak enak. Bayangin deh, gue beli oncom, dan sebelum gue masak, oncom itu gue cuci, baru gue rendem, oncom itu ancur pada ngambang. Numis kangkung, akar-akarnya kebawa. Goreng tempe, lupa di pakein bumbu. Fine. Namanya juga belajar. Tapi belakangan, gue udah bisa, kok, lama-lama di dapur. Serius !

Pun pernah, pas gue patah hati, Ana begadang nemenin gue nonton bertumpuk DVD. Mendengarkan cerita gue, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ya, dia paham, orang yang patah hati biasanya hanya membutuhkan telinga untuk mendengarkan.

Ana juga pernah menjadi begitu motivator buat gue, Mario teguh lewat deh. Waktu itu gue pulang demo buruh, baru sampe rumah, baru duduk menghadap nasi bungkus yang gue buka, terdengar deru motor yang di barengin dengan  suara “poooooos”.

Deg.

Tangan gue yang baru nyomot nasi, langsung kaku. Gue menelan ludah dengan susah payah. Gue paham, kalau ada tukang pos, itu pasti naskah gue yang di tolak penerbit.

Saat itu Ana yang menyambut tukang pos tersebut. Dengan berat dia berkata “Naskah lo, kak” gue mengangangguk, bangkit dari duduk meninggalkan nasi yang belum sesuapun gue makan. Gue masuk ke dalam kamar, naik ke tempat tidur, bersandar di ujung kasur, membuka amplop dan membaca surat yang terlampir.

Mata gue berkaca-kaca. Semangat gue patah. Mimpi gue redup. Gue payah.

Tanpa gue duga, Ana yang waktu itu masih SMP masuk ke dalam kamar. Dia ngelirik gue, lalu bertanya dengan nada ngeledek “Ih, kenapa kak ?” gue diam, tapi Ana rese, dia malah duduk di depan gue.

“Lo nangis ?” tanyanya dengan nada tinggi.

“Kayaknya, kakak enggak bisa deh jadi penulis. Ini naskah di tolak lagi. Kakak enggak mau nulis lagi” gue sesegukkan.

Bertolak belakang sama Ana, anak itu malah menghidupkan keyakinan yang nyaris pudar “Segitu doang ? baru berapa kali sih, kak, di tolak ? Buat jadi penulis emang enggak gampang ! Kan, kakak pernah bilang, siapa tuh penulis Harry Potter ? Dia di tolak ratusan kali, tapi tetap nulis. Sabar, kak ! Jangan nyerah !”

“Tapi gue ngerjain naskah ini butuh pengorbanan, begadang semaleman padahal paginya kerja, dan ini bukan yang pertama. Kakak emang enggak bakat” tangis gue pecah, kalo ingat hari itu, gue selalu mensyukuri keberadaan Ana.

“Yang namanya impian ya butuh pengorbanan, kak ! Ah payah, masa mau nyerah ! Mana kakak gue yang punya impian besar, yang sering bilang ke gue, yang penting doa, kan ada Allah, apa yang enggak mungkin, semua bisa jadi mungkin. Ah payah ah !”

“Tapi kamu enggak ngerti gimana rasanya karya kamu enggak di hargai” bentak gue, Ana diam, berdiri, wajahnya sedikit ketakutan “Terserah kakak deh” katanya, kemudian berlalu keluar kamar. Dan di detik itulah, kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya masuk ke dalam hati gue. Gue mengusap wajah. Ya, gue enggak boleh nyerah. Desis gue.

Dan ya, sampai detik ini, gue tetap menulis.

Dan malam ini, jawaban dia dalam pembahasan pernikahan membuat gue lupa, lupa kalau adek gue ternyata udah gede.

Kadang pun kita lupa, ada keluarga yang sepertinya tepat menjadi pendengar dan penasihat untuk masalah-masalah kita. Buat kamu, yang punya saudara sedarah, sering-sering berbagi kepadanya, kalau kamu belum bisa berbagi kebahagiaan, seenggaknya kamu bisa merencanakan cara-cara bagaimana menjadi bahagia. Menggila bareng misalnya, hal konyol yang kelak begitu membahagiakan untuk di kenang.


2 komentar:

  1. titanium for sale | TITaniumArts
    Titanium titanium steel Arts ford focus titanium hatchback is a classic titanium post earrings and classic stone axe designed for use in conjunction ford fiesta titanium with the titanium rod in leg Classic Classic Armature (ARTS). Designed to use the same blade $49.00 · ‎In stock

    BalasHapus