Minggu, 09 Agustus 2015

Berdamai dengan patah hati


Jatuh cinta lagi adalah obat patah hati terbaik, katanya. Namun kadang, hati yang patah tak membutuhkan cinta yang baru, melainkan hanya perlu di lekatkan kembali, di kumpulkan puing-puing patahannya, kemudian kembali di rekatkan hingga menjadi utuh.

Minggu depan, saya akan bertemu dengan seorang di masa lalu, seorang wanita yang pernah menjadi wanita kedua dalam hubungan yang pernah saya bina. Di selingkuhi memang menyakitkan, kadang saya heran, kenapa tidak sudahi saja hubungan yang memang tidak bisa lagi untuk dipertahankan ? Kenapa harus mendua bila angka satu cukup menggenapkan ?

Kalau dibicarakan dengan baik-baik bisa, kenapa selingkuh harus menjadi pilihan yang di pilih ?

Saya menelan ludah dengan susah payah, seperti ada gumpalan di pangkal tenggorokkan yang membuat kata-kata sulit keluar dari mulut saya. Dan yang terparah, ada segores sayatan yang terasa begitu perih di bagian terdalam tubuh saya. Hari itu, saya memutuskan untuk menyudahi hubungan yang hampir setahun saya jaga. Itu adalah keputusan yang memang rasanya sudah menjadi puncak, terus-menerus mantan kekasih saya mengirim pesan, membahas ini, membahas itu. Sampai akhirnya, saya menemukan sebuah bukti tak terelakkan. Entah, sering kali seseorang yang disakiti akan di tuntun untuk melihat secara terang-terangan satu kesalahan yang secerdas apapun di tutupi. Bagaimana pun caranya, kapan pun waktunya atau dimana pun tempatnya, Tuhan selalu mempersiapkannya.

“Oke. Aku tahu, udah berapa lama ?” tanya saya pagi itu melalui telepon genggam kepada seorang lelaki yang pernah menjadi kekasih saya.

“Apaan ?” sebuah pertanyaan balik menjadi jawabannya.

“Aku tahu kamu selingkuh, udah berapa lama ?”

Ada hening yang panjang, lalu lelaki itu menjawab “Sebulan” mendengar jawaban itu saya tak langsung mencecarnya dengan amarah, sekuat hati saya menahannya. Saya diam. Kemudian dari sebrang sana saya kembali mendengar “Harusnya lo sadar, kenapa gue begitu, lo terlalu cuek, lo enggak pernah peduli. Sedangkan di luar sana ada orang yang lebih peduli sama gue” saya mengembuskan napas panjang mendengar tumpukkan kalimatnya.

Kejadian itu cukup membuat saya rapuh, ia dan wanita keduanya itu terus menghubungi saya, menyalahkan dan merangkai tumpukkan pembelaan. Ya, saya akui, saya salah, mungkin buat kebanyakkan laki-laki yang tidak setia, sifat cuek saya menjadi kekurangan yang seringkali di tuntut. Bahkan terkadang, beberapa lelaki yang dulu pernah menjalin status dengan saya, berkali-kali bertanya ‘lo sayang enggak sih sama gue ?’. Namun sesalah apapun saya, bagi saya, berkhianat bukanlah jalan keluar yang layak untuk menjadi pilihan. Saya menerima situasi saat itu, memilih melepaskan dan menjauh. Namun berbalik, lelaki itu kembali datang, datang, dan terus datang dalam kehidupan saya. Bukan karena pengkhianatannya yang membuat saya tak lagi memberinya kesempatan, karena saya percaya, manusia selalu mempunyai kesempatan untuk menjadi lebih baik. Saya tidak pernah bisa menjelaskan kenapa saya tidak bisa kembali padanya, hanya saja saya paham, hati saya tidak menginginkannya.

Saya memang marah pada wanita kedua itu, berkali saya bertanya ‘kenapa enggak bilang aja ? kenapa harus main belakang ?’ pada wanita itu. Tidak pernah ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu, wanita itu hanya mengulangi penjelasan yang sama ‘lo-nya sih kebangetan cuek sama dia, enggak pernah perhatian’ ya, saya tidak tahu harus bersikap seperti apa, bentuk perhatian kayak gimana yang umumnya laki-laki inginkan ? haruskah saya memberinya kabar setiap detik, mengirim pesan ‘sedang apa ?’, ‘udah makan ?’, ‘lagi dimana ?’, ‘makan pake apa ?’, ‘lagi sama siapa ?’. Bukan, saya bukan pribadi yang bisa seperti itu. Saya sendiri risih kalau terus menerus di perlakukan seperti itu. Baiklah, saya mengerti, dalam hubungan, komunikasi adalah yang terpenting, tapi saya rasa, komunikasi yang dimaksud, bukanlah setiap saat harus melapor, bukan ?

Menurut saya, ketika seseorang telah berkomitmen dalam membina satu hubungan, maka saat itu keduanya telah memutuskan untuk saling percaya.

Begitu pun dengan saya pada saat itu, tumpukkan pikiran negatif memang menari-nari di benak saya sebelum perselingkuhan itu saya ketahui, menerka ini, menerka itu, kenapa dia berubah, ada apa sama dia, jangan-jangan dia, dan masih banyak yang lainnya. Namun saya, ketika itu memilih untuk menghidupkan pikiran yang positif, memilih untuk menjadi tuli dari apa-apa yang saya dengar, memilih untuk menjadi buta dari apa-apa yang saya lihat, saya hanya ingin menguatkan hati yang belum bisa sepenuhnya menerima, menerima hal yang nyata kalau laki-laki yang saya percaya telah berkhianat.

Bohong kalau saya berkata, saya baik-baik saja pada saat itu. Karena butuh waktu lama untuk menata kembali hati yang patah. Saya membiarkan senyum terpancar dari persembunyian amarah di hati, memutuskan untuk memaafkan dan menerima adalah hal terhebat yang pernah hati saya lakukan, dimana saya harus mematikan kebencian, ego juga kepedihan dalam bersamaan.

Karena bukankah, melakukan semua yang baik, akan berdampak baik pula kepada diri sendiri ? saya sibuk memperbaiki diri, dan waktu memang penawar yang paling ampuh.

Detik ini, saya mendapatkan imbasnya. Imbas dari perdamaian saya dengan kepatahan hati, baru saja wanita yang pernah bermain di belakang saya itu menelpon, kami membicarakan soal perjalanan. Tak ada yang aneh, kami seperti seorang teman lama yang di pertemukan kembali. Pun dengan lelaki itu, hubungan saya dengannya tetap bertahan, saya membiarkannya terjaga menjadi seorang teman.

Untuk apa menciptakan lawan, kalau masih bisa berubah menjadi kawan ? untuk apa menyisakan dendam, kalau maaf mampu meredam ?

Berdamai dengan kepedihan ataupun menerima kepahitan adalah bukan hal yang mudah, tapi saya meyakini, ketidak mudahan itu tak menandakan ketidak mampuan. Percayalah, tidak ada yang tidak mudah selama kamu mau mencobanya. Termasuk untuk berdamai dengan patah hati. Tidak sulit, kalau yang menjadi tujuannya adalah untuk kebaikkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar