Jumat, 07 Agustus 2015

Rasa yang menyisakan tanda tanya

Ranum kembali menyeruput cokelat panas yang tinggal setengah cangkir, gadis berhijab itu menarik napas panjang, matanya terpejam. Ada sayatan yang tak terlihat di bagian terdalam dirinya.

Aku mencintaimu. Sejak lama.

Kalimat itu menari di benaknya, kalimat sederhana. Sebuah pengakuannya kepada seorang pria, kalimat yang di kirimnya melalui pesan singkat. Memang bukan kalimat tanya, namun membutuhkan jawaban.


Matanya masih terpejam, pejaman yang bergetar, pejaman yang mengalirkan bulir-bulir air di sudut matanya. Sesak di napasnya tak tertahan, bahu gadis itu terguncang. Kedua telapak tangan yang sejak tadi menggenggam cangkir berisi setengah cokelat panas, kini berpindah menutupi wajahnya. Dalam kedai yang tak begitu ramai, Ranum menyendiri, menyesali pengakuannya.

Memang apa salahnya mengungkapkan sebuah rasa ? menyatakan cinta kepada seseorang yang memang di cintainya ? Gadis itu dua hari lalu dengan kemantapan hati, mengetik dua kalimat. ‘aku mencintaimu. sejak lama.’ pesan singkat yang dengan yakin di kirimnya ke salah satu nomor yang ada di contact ponselnya. Seseorang yang dicintainya dalam diam. Keberanian macam apa yang tiba-tiba saja menyerang diri gadis itu, bertahun ia telah berhasil menahannya, membiarkan penantian tak beralasan itu dalam kedok kesetiaan. Dan lihatlah gadis itu sekarang,  dua kalimat yang dikirimnya itu membuatnya begitu tersiksa.

Tidak. Ia tidak mendapati penolakkan. Bahkan sejak dirinya paham tentang cinta yang mengendap di palungnya, ia telah siap akan sebuah patah hati. Bukan hal sepele itu yang membuatnya begitu menyedihkan, gadis itu merasa dirinya telah kalah. Kalah melawan dirinya sendiri.

Ranum menyapu wajahnya dengan telapak tangan, gerakkannya cepat. Ia menghela napas, lantas menjatuhkan tubuhnya ke sandaran kursi. Sekali lagi, gadis itu mengembuskan napasnya.

***

“Coba deh Num, kamu bilang ke dia kalau kamu suka. Kalau kamu mencintainya, seenggaknya setelah semua itu terungkap, kamu tahu sikap apa yang harus kamu ambil. Menunggu tanpa kepastian itu menyakitkan, Num”

Ranum hanya menarik napas dan mengembuskannya perlahan ketika mendengar saran Neira, sahabat terbaiknya.

“Kenapa ? Kamu gengsi karena kamu wanita ? atau kenapa ? apa perlu aku yang ngomong ke dia, bilang kalau kamu mencintainya” Ranum buru-buru menggeleng keras “Nggak gitu” tukasnya singkat.

“Terus ? Mau sampai kapan, Num ? Kamu enggak takut, orang yang kamu cintai ternyata sudah mencintai orang lain. Orang yang kamu tunggu itu, ternyata sedang menunggu orang lain juga. Kamu jangan bodoh, kesetiaan dan penantian macam apa ini, Num ?” Nada bicara Neira meningkat, kemudian melemah di akhir kalimatnya. Ya, sahabat manapun ingin melakukan yang terbaik untuk sahabatnya. Tidak banyak, Neira hanya ingin Ranum berhenti menjaga kesetiaan tanpa kejelasan.

Ranum mengusap wajahnya, meletakkan satu tangannya untuk menyangga wajahnya. Lagi, gadis itu menggeleng, menggeleng begitu lemah tanpa kata yang keluar dari balik bibirnya. Hanya kedua mata yang berkaca-kaca dan perlahan berubah menjadi titik-titik air mata.

Neira mendesah panjang, gadis itu bangkit dari duduknya, melangkah memutari meja, duduk merangkul bahu sahabat terbaiknya. Membiarkan Ranum menangis di dalam pelukkannya.

“Maafin aku, Num. Aku cuma enggak mau, cinta yang kamu jaga ini menjadi penghalang jodohmu. Kalau kamu merasa wanita tidak wajar mengungkapkan perasaannya, belajarlah pada Siti khadijah, isteri Rasulullah, Beliau memberanikan diri untuk melamar Nabi kita. Tapi memang beda, untuk sekelas Rasulullah yang mulia akhlaknya, wanita mana pun ingin menjadi isterinya. Tapi Num, aku enggak minta kamu buat melamar dia, aku cuma mau kamu menjelaskan ke dia, kalau ada hati yang begitu mencintainya. Kamu paham, kan ?” Jelas Neira dengan suara begitu lembut sambil terus mengelus bahu Ranum. Ranum mengangguk lemah di dalam pelukkan Neira.

***

Gadis itu mengangguk pelan mengingat kata-kata sahabatnya tempo lalu. Ia masih di kedai itu sejak tiga jam, menata hatinya baik-baik.

‘Ya, apa yang Neira bilang benar’ desisnya. Ranum mengembuskan napas panjang. Pengakuannya memang begitu menyiksa, gadis itu malu, benci pada dirinya sendiri. Namun di lain sisi, ia merasa hatinya lebih baik, ia hanya jujur pada seorang yang dicintainya, juga jujur pada dirinya sendiri.

Ranum meneguk cokelat panas ketiga yang tinggal setengah cangkir. Meneguknya sampai habis. Perlahan, senyum mengembang di wajahnya yang teduh.  Tak lagi peduli dengan lamanya penantian tanpa kepastian lalu, pun dengan ungkapan yang menyisakan tanda tanya.

Karena di ujung sana, Tuhan masih menyimpan jawaban terbaik baginya. Ujung yang nantinya akan menjadi cerita baru, bersama ataupun tidak dengan seorang yang dicintainya itu. Ranum mengeluarkan secarik kertas dan sebuah pena dari dalam tasnya, menulis sebuah kalimat,

Kepadamu hati, terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar