Rabu, 26 Agustus 2015

KITA BEREMPAT #TANPA ITINERARY 2

Mungkin semua orang punya uang. Mungkin semua orang punya teman. Dan mungkin semua orang punya waktu. Mungkin juga semua orang punya kesempatan. Namun, uang, teman, waktu ataupun kesempatan jarang menghampiri. Kitalah yang sering kali diminta mencari uang, menghubungi teman, menciptakan waktu dan mencuri kesempatan. Ya, kita.

Saya pusing memikirkan bagaimana caranya meminta izin selama tiga hari untuk tidak masuk kerja. Saya tidak punya cuti, cuti kerja saya baru saya dapatkan sebulan kedepan. Sempat memutar otak untuk membuat surat dokter, meminta keterangan sakit. Namun sakit apa ? sakit yang sekiranya perlu di opname. Sakit yang bahkan ketika saya mengajukan surat tersebut kepada atasan pun akan tetap di pertanyakan kebenarannya. Saya buruh, yang terikat kontrak kerja. Buruh yang ketika tidak masuk kerja akan di panggil dan menghadap atasan lalu mendengarkan celoteh yang panjang. Buruh yang akan selalu di sudutkan jika selalu diam. Kurang ajarnya, saya terlalu sering berontak. Berontak untuk melakukan hal-hal yang rasanya memang tak patas untuk dibatasi, beruntungnya saya sadar diri, saya butuh uang.


Tak lagi peduli dengan celoteh atasan saya nanti, tak lagi peduli dengan potongan rupiah yang akan saya dapatkan, tak lagi peduli dengan kerjaan yang akan di putuskan kontraknya. Saya tetap melangkah.

Sore itu Ipul ngambek, minggu, 10 Mei 2015, laki-laki berambut gondrong itu sudah rapi selepas ashar, kami akan melakukan perjalanan tanpa rentetan rencana. Kenapa ngambek ? ia uring-uringan karena mendapati saya dan Jono yang belum siap. Jono masih dalam perjalanan Cawang-Bekasi, saya masih meributkan soal kondangan ke wedding salah satu teman.

“Jon, lo dimana ? Kondangan bareng yaa” ucap saya di ujung telepon “Gue di jalan, yaudah bareng entar. Sama Ipul aja kalo enggak”
“Ipul enggak di undang”
“Yaudah ajakin ajah”
“Enggak mau dia” ya, itu saya bohong, saya tidak mengajak atau meminta Ipul untuk mengantar kondangan, sebelumnya sempat niat memintanya untuk menemani, namun percakapan di pesan whatsapp sebelumnya terasa tidak enak, saya jadi malas memintanya untuk menenami kondangan. Saya lebih memilih sabar menunggu Jono. Tapi ternyata sampai sore Jono belum sampai di Bekasi. Selepas ashar Ipul menghubungi saya, saya sudah rapi dan siap berangkat, lalu saya katakan padanya kalau Jono masih di Cawang.

Cawang ? Ngapain ?

pesan yang saya terima kemudian dari Ipul, selanjutnya sepertinya Ipul langsung menghubungi Jono.

Tidak lama, Jono datang menjemput saya.

“Heh ! Lo belum mandi ?”
“Belom”
“Ipul ngambek noh”
“Iyaa, makanya ayo udah berangkat. Gue anter lo ke rumah Ipul, gue mandi dulu sebentar”
Setelah pamit ke mama, saya dan Jono berangkat. Di rumah Ipul, kita bertiga lempar cengiran. Jono langsung buru-buru pulang buat mandi, tempat tinggal kami tidak terlalu jauh. Saya dan Ipul pun berangkat lebih dulu ke gerbang tol Bekasi, sekitar pukul lima sore. Jono sudah bergabung bersama kami, dan masalah terselesaikan. Begitulah kami.

Taksi melesat lancar mengantarkan kami ke bandara Soekarno-Hatta. Ada satu teman lagi yang akan masuk dalam petualangan ini. Hardi, teman perjalanan yang menjadi akrab di gerbong Matarmaja. Hardi menunggu kami di bandara.

Selama perjalanan Bekasi-Tangerang, tak banyak yang terpikirkan dalam benak. Meski banyak kekhawatiran yang membumbui, bagaimana dalam perjalanan nanti, saya satu-satunya wanita dalam perjalanan itu. Namun sungguh, saya percaya, tiga laki-laki yang menemani saya dalam perjalanan itu akan menjaga saya dengan kehormatan. Bagi saya, apa yang terpikirkan merupakan elemen besar dalam kehidupan. Jika kita memasukkan pikiran-pikiran positif, maka itu yang akan kita dapatkan. Saya sungguh penasaran, apa saja yang akan saya temui dalam perjalanan nanti.

Kami berempat telah lengkap, bertemu di mushola bandara. Masuk ke terminal tiga Lion Air. Bandara rame malam itu. Pesawat yang akan membawa kami ke Lombok berangkat pukul delapan malam.
“Delay ini mah, udah jam tujuh lewat belum di panggil” kata Jono dengan yakin, laki-laki yang memakai topi ‘copet’ itu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi besi di dalam ruang tunggu penumpang.
“Lho. Itu ibu-ibu rombongan umroh udah pada berangkat, tadi sih waktu ke toilet gue sempet ngobrol, mereka juga mau ke Lombok, naik Lion Air jam delapan malam” jelas saya ketika melihat rombongan umroh berseragam berbaris masuk ke pintu (aduh saya enggak tau menyebutnya), pokoknya pintu untuk ngecek tiket.
“Naik Air Asia kali”
“Lion, kok”
“Orang belum di paging”
Saya clingak-clinguk, sepi. Ketiga teman saya pun clingak-clinguk. Sepi.
“Ini udah mau jam delapan, di tiket boarding timenya jam setengah delapan” saya mengeluarkan selembar tiket, memperhatikannya.
“Ya, Delay” yakin Jono. Ipul dan Hardi tertawa.
“Enggak ada lagi kali ya penumpangnya, cuma kita doang ini” sadar Hardi sambil melihat sekeliling.
“Berasa naik pesawat pribadi. Sepi” ucap Ipul.

Namun kemudian, terdengar suara panggilan dari pengeras suara di ruangan itu, dan .. itu paging untuk penumpang Lion Air.

“Nah, ini baru” kata Jono mulai menegakkan badannya.
“Mana pintunya ?” tanya saya.
“Itu ..” kami berempat berbaris menghampiri pintu yang tadi dimasuki rombongan umroh berseragam.

Omaigoooooooot !!!

Setelah sempat kena sedikit semprot petugas, kami buru-buru masuk dan melewati lorong, masuk ke dalam bus yang mengantar kita ke penerbangan.

Di dalam bus itu kami berempat geli. Menertawakan hal yang sama mesti tak di bicarakan.

***

Bandara International Lombok padat malam itu, saya melangkah beriringan dengan Ipul dan Jono, Hardi entah dimana. Di luar pintu kaca banyak sekali orang, ya, kami terbang bersama rombongan umroh, jadi wajar kalau yang menunggu di Bandara Lombok begitu ramai.

Saya canggung. Saya sempat menelan ludah ketika melangkah keluar lewat pintu selorong yang di depannya kerumunan orang. Walau tidak menyambut saya, namun cukup membuat saya menahan napas panjang ketika semua mata memandang ke arah saya. Huuuuuh !

Dan, kami berempat lagi-lagi berpikiran sama. Kami tertawa lepas. Malam itu, sekitar pukul sebelas malam kaki kami berjarak jauh dari tempat tinggal kami. Malam itu cerita-cerita baru akan segera kami temukan. Kami duduk menunggu teman yang menjemput, memesan kopi hitam dan merasa beruntung atas kesempatan yang dengan berani kami curi.

Ya, semua orang mungkin punya uang, punya teman, punya waktu juga kesempatan. Namun malam itu, saya tersenyum merasakan angin malam kota Lombok. Mengembuskan napas penuh pujian atas keberanian mengambil resiko. Memutuskan keluar. Malam dimana mungkin sebagian orang sedang terlelap dan menyiapkan segala energi untuk menyabut senin pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar