Sabtu, 22 Agustus 2015

Air mata di pantai Kuta #tanpa itinerary 1

Bali. Katanya, bukan orang Indonesia namanya kalau belum menginjakkan kaki di Bali. Ada juga yang bilang, Indonesia identik dengan pulau dewata tersebut. Anything, semua orang bebas beropini.

Dalam list kota-kota yang ingin saya kunjungi, tidak ada BALI disana. Entah saya lupa, atau saya memang tidak berniat untuk mengunjunginya, saya tidak ingat. Tapi, langkah kaki membawa saya sampai di pulau yang penuh turis tersebut, dua hari saya menghirup udara pulau dewata.

Tengah malam, kapal perry yang membawa saya menyebrang dari pelabuhan Gilimanuk (Lombok) ke Padang bay (Denpasar) menepi dengan lembut, setelah kurang lebih lima jam saya menikmati perjalanan laut yang begitu luar biasa romantis, tidak, romantis tidak melulu harus bersama kekasih, bukan ? saya rasa tidak salah kalau saya menganggap perjalanan laut Gilimanuk-Padang bay itu romantis, bagaimana salah, saya terbaring di bangku kayu yang berada di tengah dek kapal, saya berada tepat di pertengahan, laut dan langit. Suara ombak dan deru angin yang begitu merdu terasa syahdu dengan pemandangan langit gelap yang tergelar apik di terangi cahaya bintang beserta bulan. Berkali, saya takjub dengan maha karya Tuhan yang tidak pernah biasa, sungguh, malam itu adalah perjalanan laut pertama saya yang tak akan pernah terlupakan. Jono tidak henti menyuruh saya untuk berpindah, masuk ke dalam kabin dan istirahat disana. Saya menolak, angin laut memang tidak begitu bersahabat, namun entah, saya merasa kalau malam itu tubuh saya justru ingin menyambut dinginnya hawa malam. Setelah membungkus tubuh saya dengan jaket tebal milik Jono, saya tetap ingin berada di dek kapal. Hardi sudah menghilang sejak beberapa jam, ia memilih kabin sebagai tempat peristiharatan. Jono masih kuat terbaring di bangku sebelah saya, ia sibuk menonton film. Tepat segaris lurus di depan saya, Ipul terlelap di atas bangku yang ukurannya sama, ia nyenyak dengan seluruh tubuh yang terbungkus.

Kaki saya tak terbungkus apapun, saya hanya memakai sandal jepit berwarna biru tosca. Celana bahan yang menyerap begitu banyak angin, dan kemeja merah muda yang untungnya terbungkus dengan jaket cokelat tebal milik Jono. Saya enggan untuk terpejam, bukan karena tidak mengantuk, saya hanya tidak ingin kehilangan moment syahdu di atas kapal itu. Ya, saya tak mau merugi.

“Heh ! Tidur !” perintah Jono sesekali “Sana ke dalam” tambahnya. Gelengan kepala menjadi jawaban yang saya berikan. Saya mengembuskan napas panjang satu kali, satu kali, lagi, lagi, dan terus, ‘ini indah banget’ bisik saya. Saya hanya merasa beruntung untuk setiap kesempatan yang saya peroleh.

Saya sempat terpejam, entah berapa lama, kemudian bangun kembali, dan hanyut lagi dalam kesyahduan alam. Ya, saya sempat bangun dari bangku kayu itu, melangkah ke depan, menghampiri tempat Ipul terlelap, mencari sesuatu di dalam tas yang ada di dekat sepatunya, dan .. .. saya menumpahkan kopi hitam yang masih setengah gelas, kopi yang di letakkan di dalam salah satu sepatunya. Tanpa membersihkannya dan hanya meletakkan kembali gelas plastik itu ke dalam sepatu, saya kembali ke bangku kayu saya. Saya juga sempat menyusul Jono yang pindah ke kabin, menonton film bersamanya, lebih dari sekali ke toilet dan akhirnya kembali terbaring di bangku kayu dek kapal.

Saya selalu jatuh hati dengan langit gelap yang tergelar luas di penuhi kerlip bintang. Sungguh, memandangnya membuat saya mampu menitikkan air mata penuh syukur.

Kapal menepi, Hardi yang sejak awal menghilang sudah bergabung, ‘kenapa harus secepat ini perjalanannya’ batin saya, saya masih ingin terbaring di dek kapal, menikmati angin malam dan menatap langit tanpa batas.

“Wah, kopi tumpah nih ..” ya, itu suara Ipul, dan tanpa menerka-nerka, Ipul menoleh “Lo ya, yang numpahin ?”

“Oh itu kopi. Iya” jawab saya lugu. Jono dan Hardi pun menoleh ke arah saya, tapi saya tak merasa bersalah, apa masalahnya sih, sekedar kopi yang tumpah ke dalam sepatu. Masalah yang ternyata menjadi masalah besar untuk hidung kami bertiga selanjutnya. Hah !

***

Denpasar sepi tengah malam itu, tak ada yang menjemput kami di pelabuhan. Diantara kami berempat tidak ada yang gemar bertanya, kami keseringan saling tunjuk. Tujuan kami malam itu adalah sebuah kontrakkan teman di jalan Sudirman, Denpasar. Tidak terlihat kendaraan umum, taksi pun jarang. Beberapa mobil pribadi menghampiri kami, menawarkan jasa. Tak ada pilihan lain, Xenia putih menjadi pilihan kami, kami berempat masuk, duduk dengan manis. Namun ternyata harga kurang bersahabat, si sopir menghitung /org empat puluh ribu (kalau tidak salah ingat) dengan perjanjian mau di gabung dengan penumpang lain, namun ternyata tidak ada penumpang lain lagi, sopir pun meminta biaya tambahan yang kami tidak setujui. Kami berempat kompak keluar dari mobil. Lalu kembali bernego, dan deal, ya, kami masuk lagi ke dalam mobil itu. Saya lupa berapa harga sewanya, hmmmm .. lebih dari seratus lima puluh ribu tapi kurang dari dua ratus ribu kayaknya.

Sekitar jam satu malam kami sampai di rumah singgah kedua dalam perjalanan tanpa itinerary itu. Sebuah kamar dengan satu kasur besar di dalamnya. Setelah membersihkan badan dan mengisi perut dengan beberapa cemilan, saya menimbang-nimbang yang teman-teman saya tahu apa yang ada di pikiran saya.

“Gue tidur disini ?” kadang, laki-laki memang harus di tegaskan, walau mereka tahu apa yang kita pikirkan. “Si ibu lagi pulang kampung sih, kalo si ibu ada, lo tidur disana, ibunya gak ada” jelas Dodo─teman yang kami singgahi─ saya menelan ludah, masih duduk di pojok pintu, bersandar ke dinding. Saya masih memakai jaket tebal milik Jono, Ipul melempar selimut ke arah saya “Oke. Gue di pojok, lampunya jangan di matiin. Kasih pembatas !” tiga teman perjalanan saya menanggapi dengan nada males-malesan. Ya, ya, ya .. saya paham, tiga teman saya itu mungkin tidak lagi ada hasrat kepada saya, tapi, kan, tetap .. kami berlawanan jenis. Walaupun Jono dan Ipul adalah dua laki-laki terbaik sepanjang hidup saya, mereka tetap laki-laki dan saya wanita. Karena mereka pula izin orang tua dapat saya kantongi, saya ingat kalimat mama saya ketika saya meminta izin “Beneran, kan, sama Jono sama Ipul ?” saya mengangguk mantap “Kalau sama mereka, kalau kamu kenapa-napa, mama tinggal datengin rumahnya, jelas disini, deket. Tapi tetap, jaga diri.” Saya yakin seratus persen, perjalanan seminggu itu tidak mungkin dapat saya lalui jika teman perjalanan saya bukan mereka.

Malam itu, adalah malam pertama saya tidur bersama empat orang laki-laki. Untuk calon suamiku, maafkan adinda, tapi serius, mereka menjaga saya dengan terhormat. Selama seminggu bersama mereka, tidak sekali pun saya melepaskan penutup kepala, pun penutup yang lainnya.

***

Berhubung tidak ada itinerary, perjalanan di Bali saya pasrahkan kepada Ipul dan Jono yang sebelumnya pernah ke Bali. Teman-teman di Bali meminjami kami sepeda motor, ya, setelah menghabiskan tiga hari dua malam di Lombok menggunakan mobil+di sopirin, di Bali kami harus mandiri. Jono dan Hardi yang menjadi sopir, Ipul dan saya membonceng di belakang mereka. Saya bersama Hardi. Dan Ipul bersama Jono. Naik sepeda motor keliling Bali bukan hal yang merugikan, sepanjang perjalanan mata saya di suguhkan dengan lautan karya seni, lukisan, rumah-rumah adat Bali yang di depannya ada dupa seperti sesajen. Saya sempat bertanya pada Hardi “Di, ini satu kompleks nikah semua ?” ketika saya melihat di setiap rumah terdapat anyaman janur, entah janur atau apa namanya “Bukan. Itu adat mereka” saya menganggukkan kepala sambil mengeluarkan “ooooooh”.

Dengan mengandalkan google map, perjalanan di mulai. Yeaaaaaaaaah .. .. ..

Ubud. Kalau ditanya, apa tujuan saya ke Bali ? Ubud adalah jawabannya, hmm .. saya begitu ingin menginjakkan kaki di desa bernama Ubud ini, kenapa ? Karena seorang traveler yang telah meracuni saya, kemana pun ia melangkah, saya ingin menapak tilas jejaknya. Ubud penuh dengan sawah. Motor kami masuk ke dalam perkiran monkey forest, tempat wisata yang kami datangi pertama.

“Di dalamnya apaan, Jon ?”
“Monyet”

Ternyata, Jono sudah pernah ke monkey forest, dan harga tiketnya tiga puluh ribu per orang. Harga yang membuat kami menimbang-nimbang, traveler pas-pasan, maklum.

“Kayak ragunan, dong ?”
“Iya. Hutan, isinya monyet semua” saya mendesah mendengar penjelasan Jono.
“Terus ada apalagi di Ubud ?”
“Apaan yaa ..?” kami memutuskan untuk istirahat sejenak, membeli minuman, dan memikirkan ‘mau kemana ?’.
“Yaudah yuk !” Ajak Jono.
“Kemana ?”
“Yaudah ayok !” suara Ipul, saya dan Hardi mengekori mereka, kembali ke parkiran dan kembali naik motor.
Oke. Perjalanan kami memang tanpa tujuan, tapi saya mensyukuri setiap embusan angin yang saya hirup dan setiap kedipan mata yang saya dapati keindahan di setiap sudutnya.

Saya tidak tahu mau dibawa kemana, saya dan Hardi benar-benar tidak tahu, jalanan beraspal yang di sisi-sisi jalannya berisi keindahan luar biasa, lapisan tanah yang terbentuk penuh seni, sawah-sawah yang padinya masih hijau ataupun telah menguning, bahkan jalanan panjang tak berujung yang penuh tanjakkan, turunan, datar, tanjakkan lagi, turunan lagi dan kemudian datar kembali, jembatan panjang, pohon-pohon besar berakar gantung, entah .. .. saya berkali berkata ‘kita dimana yah ?’. Satu hal yang saya yakini dimana pun saya berada, alam selalu menjadi pelindung bagi setiap pejalan.

Dalam perjalanan panjang itu, motor yang Jono dan Ipul kendarai mogok. Saya geli melihat Jono dan Ipul mendorong sepeda motor saat tanjakkan. Ya, saya jahat, tertawa diatas penderitaan mereka. Tapi menggemaskan sekali dua teman saya itu kalau sedang kelelahan. Syukurnya, ada bengkel yang letaknya tidak jauh, sebelumnya kami mengisi bensin di pertamini. Di setiap sudut jalan, banyak bunga yang sungguh cantik tumbuh di sekitar. Tak peduli mau kemana, ini sudah membuat saya merasa bahagia.


Danau Beratan. Bedugul. Ternyata tempat itu adalah tujuan Ipul dan Jono. Danau yang di atasnya terdapat sebuah kuil. Danau yang fotonya ada di selembar uang lima puluh ribuannya Indonesia. Keren.



Gimana ya .. yaa .. ini nyata, apa yang ada di gambar, yang mungkin selama ini cuma bisa di lihat, detik itu bisa saya nikmati. Saat memutuskan untuk keluar, banyak hal yang akan kita temui, tentang semua hal yang tadinya hanya kita dengar, semua hal yang tadinya hanya mampu kita tonton dari balik layar, dan semua hal yang tadinya hanya bisa kita raba dalam sebuah gambar. Semua itu ada, nyata dan ukirlah ceritamu sendiri.

Menjelang sore, kami kembali ke jalan Sudirman, menukar motor. Lalu memburu sunset di pantai Kuta. Sayang, sunset telah tenggelam tanpa sabar menunggu kami. Pantai Kuta tetap ramai. Alunan musik jazz, rock, metal, dan lainnya terdengar disana. Pesisir pantai penuh dengan kursi-kursi para pengunjung, ada juga yang memilih duduk santai di atas pasir.

Sisi jalan raya sesak dengan kendaraan yang terpakir dan jejeran restaurant, swalayan, ataupun bar-bar mini. Saya dan Jono membeli ice cream di salah satu stand makanan, lalu menyusul Hardi dan Ipul yang sedang duduk di tepi pantai. Saya baru ingin membuka ice cream, namun melihat angka digital di handphone saya yang hampir menunjukkan pukul tujuh mematikan gairah saya untuk menyantap ice cream.

“Gue mau sholat” ucap saya yang tak langsung di hiraukan dengan tiga teman saya. Ya, sholat menjadi begitu sulit saya kerjakan di tempat keramaian ini. Bahkan dzuhur dan ashar saya kerjakan di atas bale yang dibawahnya berceceran darah-darah daging kambing, mungkin. Bale di sebuah tempat makan ketika kami pulang dari danau Beratan.

“Jon, gue mau sholat” rengek saya sambil menoyor pundak Jono. Jono diam sebentar, masih sibuk menikmati ice cream “Sholat dimana ? Enggak ada masjid” jawabnya. Saya menelan ludah yang menyangkut di pangkal tenggorokkan. Ada sayatan yang menggores jauh di palung hati saya. Saya clingak-clinguk, lalu berkata “dimana, kek, itu di luar banyak toko. Masa gak ada tempat sholatnya”
“Mana toko ? Itu bar !” jawaban Jono membuat otak saya lumpuh, mulut saya terkunci, namun pandangan saya mulai berbayang. Saya beralih “Pul .. .. sholat yuk ! mukena gue mana ?” Ipul menyerahkan tas kamera yang di dalamnya tersimpan mukena saya selama perjalanan. Saya mengeluarkan tas kecil yang berisi mukena, memeluk tas mukena itu erat “Ayo sholat, pul !”
“Ini kotor celana gue” jawab Ipul.
“Terus gue sholat dimana ?” pandangan saya benar-benar hilang, saya menghapus tetesan air yang jatuh begitu cepat dari sudut mata.
“Yaudah sholat disini, entar, kan, rame tuh, orang-orang pada ngeliatin” saya diam, mau bagaimana ? apa hak saya untuk marah kepada mereka.
“Waktu maghrib sebentar lagi habis, gue mau sholat” hanya itu kalimat yang keluar dari mulut saya. Ipul mengeluarkan ponselnya, ia mencari masjid terdekat. “Di, Hardi, temenin, ini ada masjid enggak jauh” seru Ipul.
“Di .. .. sholat yuk !” rengek saya lagi, Hardi bangkit dari duduknya, berdiri dan berjalan, saya mengekor, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut saya, saya memeluk erat tas mukena. Menahan sesak yang begitu menyayat di dalam dada. Saya menyebrang jalan, bertanya, beberapa orang tidak tahu dimana letak masjidnya. Sampai seorang laki-laki setengah baya yang kami tanya, menjelaskan “Masjid, di basement hotel aja. Disana ada tempat sholat” bergegas, saya dan Hardi mengikuti petunjuknya.
“Keburu, gak Di ? sebentar lagi jam tujuh”
“Keburu insyaAllah”
Setelah bertanya berapa kali, kami berdua sampai di basement hotel, ketika menemukan tempat sholat, tangis saya pecah.

Malam itu, maghrib terasa memilukan dalam hidup saya, tetesan air enggan berhenti dari kelopak mata, bahkan isakkan terdengar di telinga saya sendiri. Seperti ini-kah rasanya, saudara-saudara saya disana, mereka yang ingin beribadah namun tak kuasa. Saya melihat ada mushaf di dalam lemari yang ada di sudut mushola kecil itu, tak tahan rasanya jika saya tak memanfaatkan kesempatan itu, saya mengambilnya, membukanya dan membaca surah Ar-Rahman, semua buncah, ada rindu di setiap bacaannya, bagaimana bisa sedetik pun saya mengabaikan-Nya, setelah apa yang diberikan-Nya kepada saya. Tak peduli dimana saya, yang saya tahu, selama saya ada di atas bumi dan di kolong langit, Tuhan selalu mengawasi saya. Dan yang saya pegang, sebisa mungkin, saya tak ingin berkhianat kepada-Nya. Meski saya hanya setetes air di tengah lautan luas yang tak berarti apapun. Namun sekali lagi, saya hanya tidak ingin berkhianat, kepada-Nya juga kepada diri saya sendiri.

Saya dan Hardi menunggu isya di mushola basement itu. Dan ketika keluar, saya berkata kepada Hardi “Gue enggak mau kesini lagi (pantai kuta).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar