Senin, 01 Juni 2015

‘RUMIT’

picture from www.pinterest.com

Satu malam, setelah mengantar peserta main-main ke pulau, saya bersama seorang teman lelaki tak langsung pulang. Ada beberapa hal yang harus dibicarakan kepada pemilik kapal yang biasa kapalnya kami sewa.

Sekitar pukul tujuh malam, kami meninggalkan dermaga lalu duduk di sebuah warung tenda pinggir jalan untuk mengisi perut.

Teman saya ini pernah bilang kalau dirinya lebih senang mendengarkan, tapi entah, malam itu ia seolah lupa dengan kalimatnya sendiri, saya memberinya telinga untuk menyimak semua cerita yang terlontar. Dia lelaki yang baik dalam penilaian saya. Seorang teman yang selalu membuat saya nyaman dalam setiap keadaan.


Dia jatuh cinta, hatinya terpaut kepada seorang gadis yang namanya tidak pernah asing di telinga saya. Gadis yang hatinya pun telah terpaut, sayangnya bukan kepada teman saya.

“Begini, perasaan gue maksimal banget ke dia, tapi dianya biasa aja ke gue. Nah, perasaan dia pun maksimal banget ke cowoknya, tapi cowoknya biasa aja ke dia” begitu penjelasan yang terucap di tengah obrolan yang mengalir tanpa aturan.

“Berarti cowoknya hebat, dong, ya ?” timpal saya, tidak ada kesimpulan yang tergambar dalam benak saya, laki-laki yang menjadi cowok dari gadis itu, hebat. Hmmm, bagaimana saya memberi penilaian ‘hebat’ ? Karena gini, teman saya bilang, dia terus usaha buat mendekati gadis yang membuatnya jatuh cinta itu, bahkan di awal-awal mereka dekat, teman saya selalu mengisi sabtu malamnya bersama gadis itu, di belakang cowoknya. Ya, teman saya selalu mencari celah dalam hubungan mereka. Namun, sampai detik ini hubungan itu masih bertahan. Laki-laki yang dicintai gadis itu masih tetap menjadi kekasihnya. Gadis itu menjauh dengan sendirinya dari teman saya. Dan teman saya masih terus berharap pada gadis itu.

Di sisi lain, baru-baru ini teman saya menjalin hubungan dengan seorang gadis yang berbeda, ya, dia terikat dalam status pacaran dengan gadis itu.

“Dimana, dimana letak ke-enggak klop-an lo sama dia ?” gemas saya ketika dia berkata kalau dirinya belum menemukan rasa ‘klop’ dengan pacar barunya itu.

“Ya, pikiran dia masih kayak anak yang baru lulus SMA, kayak gimana sih ? jadi, gue terus yang ngemong. Dia terlalu pasrah, gue bohongin terima, gue bilang ini nurut. Lebih ke polos, ya, anaknya asik. Cuma .. gue belum ngerasa apa ya ? Kalo udah ‘klop’ juga langsung gue nikahin”

“Kalau emang begitu, ya, lo enggak usah bohongin dia, dia terlalu polos untuk disakitin” untuk gadis yang ini, saya sempat bertatap muka lebih dari sekali.

“Begini, dia gue ajak jalan sekali, gue tembak, langsung di terima. Enggak ada tantangannya gituuuh”

Hemmm .. saya mendecakkan lidah. Serba salah, ya ?

Entah mengapa, saya merasa ragu dengan kisah cinta diatas. Selalu-kah, ada cinta lain di tengah cinta yang sedang terjalin ?

Gadis yang dicintai teman saya itu sepertinya begitu mencintai kekasihnya. Tapi bagaimana bisa, dia kedapatan menghabiskan beberapa sabtu malam bersama teman saya. Begitu juga dengan teman saya yang selalu memuja gadis yang di cintainya itu, entah sebesar apa perasaannya, namun bagaimana bisa, teman saya itu detik ini terikat dengan status pada gadis lain ?

Seperti itu-kah cinta ?

Saya meneguk air putih hangat yang masih tersisa, bagi saya, tak ada yang salah dengan cinta sepihak. Jika memang benar kau mencintainya, kau akan terus menjaga cinta itu dan mengabaikan rasa usil yang kerap kali datang menggoda. Ya, seharusnya seperti itu. Setidaknya, kau punya pilihan untuk membuat cinta tetap berharga untuk dinikmati. Perkara terbalas atau tidak, cinta selalu adil, itu yang harus kau yakini.

Saya melirik teman saya yang pelan-pelan mengepulkan asap rokok dari mulutnya, dia laki-laki baik, saya pun percaya kalau Tuhan menyiapkan wanita baik pula untuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar